Senin, 17 Maret 2014

ASUHAN KEPERAWATAN TIROIDITIS


 

A.    ANATOMI FISIOLOGI
Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah di sebelah anterior trachea.Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang dihubungkan oleh sebuah istmus.Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih 5 cm serta 3 cm dan berat kurang lebih 30 gr.Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang berbeda tiroksin (T4), Trilodotironin (T3) dan Kalsitonin.
  http://aangcoy13.blogspot.com/
 

Ambilan dan metabolisme Iodium.Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk sintesis hormon tiroid.Gangguan utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi tiroid. Iodium dikonsumsi dari makanan dan diserap dalam darah di dalam traktus gastrointestinal. Kelenjar tiroid bekerja sangat efisien dalam mengambil Iodium dari darah dan kemudian memekatkannya dalam sel-sel kelenjar tersebut. Ion-ion iodida akan diubah menjadi molekul Iodium yang akan bereaksi dengan tirosin (suatu asam amino) untuk membentuk hormon tiroid.
Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating Hormone), oleh kelenjar hipofisis akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya, pelepasan TSH ditentukan oleh kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon tiroid dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi peningkatan keluaran T4 dan T3.Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian umpan balik (feedback control).Hormon pelepasan tirotropin (TRH) yang disekresi oleh hipotalamus memberikan pengaruh yang mengatur pelepasan TSH dari hipofisis.Fungsi hormon tiroid.Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah mengendalikan aktivitas metabolik seluler.Kedua hormon ini bekerja sebagai alat pacu umum dengan mempercepat proses metabolisme.Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan sangat penting bagi perkembangan otak.Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler, hormon tiroid mempengaruhi sistem organ yang penting.
Kalsitonin atau tirokalsitonin merupakan hormon penting lainnya yang disekresi oleh kelenjar tiroid.Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid sebagai respon terhadap kadar kalsium plasma dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium dalam tulang.
Efek hormon tiroid pada pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin.Bila janin tidak dapat mensekresi hormon tiroid dalam waktu yang cukup maka pertumbuhan dan pematangan otak sebelum dan sesudah bayi dilahirkan akan sangat terbelakang dan otak tetap berukuran kecil dari normal.Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme sebagian besar sel tubuh.Bila produksi hormon tiroid sangat meningkat maka hampir selalu menurunkan berat adan. Dan bila produksinya menurun hampir selalu meningkatkan nafsu makan.Keadaan ini dapat melebihi keseimbangan perubahan kecepatan metabolisme
Efek pada sistem kardiovaskuler hormon tiroid akan meningkatkan aliran darah dan curah jantung, frekuensi denyut jantung, kekuatan denyut jantung, volume darah, dan tekanan arteri.
Efek pada respiratori. Meningkatnya kecepatan metablisme akan meningkatkan pemakaian oksigen dan pembentukan karbon dioksida.Ini akan mengaktifkan semua mekanisme yang meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan.
Efek pada saluran cerna, meningkatkan nafsu makan dan asupan makanan, karena hormon tiroid meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan gerakan saluran cerna. Sering terjadi diare, kekurangan hormon tiroid dapat menimbulkan konstipasi.
Efek pada sistem syaraf pusat.Hormon tiroid meningkatkan kecepatan berfikir, tapi juga sering menimbulkan disosiasi pikiran, dan sebaliknya berkurang hormon tiroid akan menurunkan fungsi ini.
Efek terhadap fungsi otot.Peningkatan hormon tiroid dapat menyebabkan otot bereaksi dengan kuat, namun bila jumlah hormon ini berlebihan, maka otot-otot malahan menjadi lemah oleh karena berlebihnya katabolisme protein. Kekurangan hormon tiroid menyebabkan otot sangat lambat, tremor pada otot.
Efek pada tidur.Karena efek yang melelahkan dari hormon tiroid pada otot dan sistem syaraf pusat, maka penderita hipertiroid seringkali merasa capai terus menerus tetapi karena efek ekstasi dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan tidur.Sebaliknya, somuolen yang berat merupakan gejala khas dari hipertiroidisme, disertai dengan waktu tidur yang berlangsung selama 12 jam sampai 14 jam sehari.
Efek hormon tiroid pada fungsi seksual. Pada pria, berkurangnya hormon tiroid menyebabkan hilangnya libido dan sebaliknya sangat berlebihannya hormon ini seringkali menyebabkan impotensi. Pada wanita, kekurangan hormon tiroid seringkali menyebabkan timbulnya menoragia dan polimenore.
B.     PENGERTIAN
Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme sementara yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi perubahan dalam fungsi tiroid.
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut atau kronis. Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau implemantasi limfotik pada kelenjar tiroid.
 

C.    KLASIFIKASI
1.      Tiroiditis Akut
Merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, mikrobakteri atau parasit pada kelenjar tiroid.Stapilokokus aureus atau jenis stafilokokus lain merupakan penyebab yang paling sering dijumpai.Secara khas, penyakit ini menyebabkan nu\yeri serta pembebgkakan leher pada bagian anterior, panas, disfagia, dan dispocia.Faringitis atau gejala sakit leher sering dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan rasa hangat, eritema (kemerahan) dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut mencakup pemberian preperat antibiotik dan penggantian cairan.Tindakan insisi dan drainase diperlukan jika terdapat abses.
2.      Tiroiditis Subakut
Tiroiditis sub akut dapat berupa tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de quervam) atau tiroiditis tanpa nyeri (silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub akut).Tiroiditis granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada kelenjar tiroid yang terutama mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50 tahun (sakiyuma 1993) kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri pada leher bagian anterior, dan berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra simetris dan kadang-kadang terasa nyeri. Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa hangat.Pasien merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas, kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan manipestasi dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan banyak pasien juga merasakan gejala demam serta menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis limposifik sub akut) sering terjadi pada periode pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi ditunjukkan untuk menangani gejala, dan pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk enentukan aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian.
3.      Tiroiditis kronis (tiroiditis hashimoto)
Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun diberi nama penyakit hashimoto atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya dilakukan berdasarkan gambaran histopatologis kelenjar tiroid yang mengalami inflamasi.Berbeda denag tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri, gejala penekanan ataupun rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau rendah dan bukan meningkat.
 

D.    ETIOLOGI
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi
1.      Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibody autoimun.
2.      Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten, kelainan yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
3.      Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi autoimun, membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan sindroma Kleinefelter.
4.      Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke dalam kelenjar tiroid.

E.     PATOFISIOLOGI
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit ini.
1.      Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu  CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD4, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD4), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2.      Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri .
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.
      Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
Faktor Lingkungan
Mekanisme
Fenotipe
Berat lahir rendah
Maturasi thymik tidak sempurna
Antibodi TPO
Ekses iodium
Tidak terjadi escape effect Wolff-Chaikoff; Jod-Basedow
HT
GD
Defisiensi selenium
Tidak diketahui; viral?
HT
Jarak proses reproduktif yang panjang
Efek estradiol
HT
Kontraseptif oral
Protektif
Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal
Sel laki-laki di sel tiroid menimbulkan efek antitiroid
HT dan GD
Stress
Upregulasi sumbu HPA
GD
Alergi
Tidak diketahui; kadar IgE tinggi
GD
Rokok
Hipoksia?; Kadar IgE tinggi
GD; terutama GO
Infeksi Yersinia enterocolitica
Mimikri molekuler
GD
Keterangan :           HT : Hashimoto thyroiditis
                                    GD : Graves’ disease
                                    GO : Graves’ ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari .
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid.
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI seperti :.
                              a. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
                              b. Induksi molekul MHC kelas II
                              c. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok  akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan iodium radioaktif .
3.      Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.

Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:
a.       Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
b.      TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis hormon tiroid;
c.       Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
d.      TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.
4.      Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.
5.      Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.
F.     TANDA DAN GEJALA
Tergantung pada ciri-cirinya, gejala tiroiditis dapat meniru tiroid kurang aktif atau terlalu aktif.Gejala-gejala ini bisa meliputi:
1.      Penurunan atau kenaikan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
2.      Nyeri otot atau rasa lesu dan lemah.
3.      Depresi, gelisah atau cemas.
4.      Kelelahan atau sulit tidur.
5.      Detak jantung cepat.
6.      Sering buang air besar
7.        Keringat bertambah
8.       Periode menstruasi tidak teratur(pada wanita)
9.       Iritabilitas
10.   Kram otot
11.  Berat badan menurun
G.    PENATALAKSANAAN
tujuan terpi adalah mengembalikan inflamasi.Secara umum, preparat anti-inflamasi konsteroid (NSAID) digunakan untuk menguirangi rasa sakit pada leher, panggunaan asam asetil salisilat (aspirin) perlu dihindari bila gejala hipertiroidisme timbul, karena aspirin akan mengusir hormon tiroid dari tempat penyikatannya hingga meningkatkan jumlah hormon tersebut dalam darah. Preparat penyekat beta dapat digunakan untuk mengendalikan gejala hipertiroidisme.Preparat antitiroidyg akan menyekat sintetis T3 dan T4 efektif untuk mengobati tiroiditis karena tirotoksikosis, yang menyertai keadaan ini, terjadi akibat pelepasan hormon tiroid yang tersimpan dan bukan akibat peningklatan siufesisunya, pada kasus-kasus yang lebih berat, preparat kortikostroid oral kadang-kadang dapat diresepkan untuk meredakan rasa nyeri dan mengurangi pembengkakan. Meskipun demikian, preparat tersebut biasnya tidak mempengaruhi penyebab yang mendasari infeksi ini. Pada sebagian kasus, keadaan hipertiroidisme dapat terjadi untuk sementara wktu dan memerlukan terapi penggantian dengan hormon tiroid. Pemantauan lebih lanjut diperlikan untuk lebih lanjut diperluklan untuk mengetahuio pulihnya pasien pada keadaan eutiroid.
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa mengurangi nyeri dan peradangan.
Pada kasus yang sangat berat, bisa diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8 minggu.
Jika pemberian kortikosteroid dihentikan, gejalanya sering kembali muncul.
H.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      T4 dan T3 serum
2.      Tiroksin bebas
3.      Kadar TSH serum
4.      Ambilan isodium radioskopi
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang lebih poten. Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar  T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
I.       KOMPLIKASI
1.      Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2.      Kerusakan pita suara (bisu)
3.      DM tipe 1
4.      Penyakit Addison
5.      Leukemia
6.      Sklerosis multiple
7.      Kanker gastrik
J.      ASUHAN KEPERAWATAN
1.      PENGKAJIAN
Riwayat dan pemeriksaan kesehatan berfokus pada kekambuhan gejala yang berkaitan dengan percepatan metabolisme.Hal ini mencakup keluhan keluarga dan pasien tentang kepekaan dan peningkatan reaksi emosional.Penting juga untuk menentukan dampak dari perubahan ini yang telah dialami dalam interaksi pasien dengan kelaurga, teman, dan rekan kerja.Riwayatnya meliputi stresor lain dan kemampuan pasien untuk menghadapi stres.
Status nutrisi dan adanya gejala dikaji.Kekambuhan gejala berkaitan dengan output sistem saraf  berlebihan dan perubahan penglihatan dan penampilan mata.Oleh karena kemungkinan adanya perubahan emosi yang berkaitan dengan hipertiroid, status emosi dan psikologi pasien dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi tentang perubahan terakhir dalam status emosi pasien.
1.      Data Subjektif
Hipersekresi kelenjar tiroid menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien untuk berfungsi, begitu pula pada proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari pasien atau anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan sekarang : Tingkat energi, kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari, Kemampuan mengatasi stress, Intoleransi terhadap panas atau dingin, Asupan makanan, Pola eliminasi.
Wawancara harus dapat membantu perawat mengetahui pemahaman pasien atau keluarganya mengenai penyakit dan pengobatannya, dan mengenai perawatan yang diperlukan oleh pasien.
2.      Data Objektif
Pemeriksaan fisik awal harus mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status mental (kemampuan mengikuti pengarahan),status gizi, status kardiovaskular, karakteristik tubuh, penampilan dan tektur kulit, penampilan mata dan gerakan ekstraokuler, adanya edema serta lokasinya, penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3.      Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar  T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
4.      Dasar Data Pengkajian
a.       Aktifitas / istirahat
Gejala : insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot.
Tanda : atrofi otot.
b.      Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina).
Tanda :disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah dengan tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosisi).
c.       Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d.      Integritas ego
Gejala : mengalami stres yang berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil 9euforia sedang sampai delirium), depresi
e.       Makanan & cairan
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f.       Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung, disorientasi, gelisah, peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan beberapa bagian tersentak-sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g.      Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h.      Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
i.        Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu meningkat di atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan
Eksotalus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yag menjadi sagat parah.
j.        Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
No
Diagnose keperawatam
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
rasional
1
Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
Setelah mendapatkan asuhan jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan :
Nyeri berkurang,skala 0-2,
Tidak ada tanda-tanda kesakitan,
1.Kaji lokasi dan skala nyeri
2.ajarkan manajemen nyeri ,  teknik napas dalam,& imajinasi
 3.pantau  kondisi pasien tiap 2 jam
4.colaburasi untuk pemberian analgetik
1.untuk mengetahui  lokasi dan berapa skala
2.untuk mengatasi rasa nyeri yang dialami,
3.untuk mengetahui kondisi  pasien dan mencegah  terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan
4.dapat membantu mengurangi rasa nyeri
2
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Setelah mendapatkan asuhan jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan :
Suhu tubuh normal (36.5-37.5 0 C)
Tidak ada tanda dehidrasi
Mukosa bibir lembab
1.Berikan  kompres  panas pada ketiak
2.anjurkan klien untuk menggunakan baju yang dapat menyerap keringat
3.monitoring   v/s
4.colaburasi untuk pemberian obat
1. dapat membantu proses penurunan panas yang dialami pasien
2.karena kondisi tubuh yang lembab memicu pertumbuhan jamur sehingga beresiko menimbulkan komplikasi
3.sebagai indicator untuk mengetahui perkembangan hipertermi
4.membantu menuunkan  suhu tubuh  pasien
3.
Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh  berhubungan  dengan proses penyakit
Setelah mendapatkan asuhan jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan :
Porsi makan kembali normal
BB normal
Pemeriksaan lab.normal dan tidak menunjukan tanda-tanda malnutrisi
1.awasi pemasokan diet,berikan makan sedikit tapi sering
2.berikan perawatan mulut sebelum makan
3.anjurkan klien makan dalam posisi duduk tegak
4.colaburasi dengan tim gizi
1.untuk menghindari mual dan muntah  dan memenuhi keb.nuteisi pasien
2. menghilangkan rasa tidak enak
3.Mencegah tersedak
4.untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien

(S.O.P) PEMBERIAN MAKANAN MELALUI NASO GASTRIC TUBE (NGT)


 


PENGERTIAN
Pemberian makanan pada klien yang menggunakan  selang melalui hidung menuju ke lambung.
TUJUAN
1.   Untuk mempertahankan status nutrisi.
2.   Untuk pemberian obat.
NO
TINDAKAN
BOBOT
NILAI
BOBOT
X
NILAI
KETERANGAN
I
PENGKAJIAN
2
1.   Mengkaji status nutrisi klien.
2.   Mengkaji nadanya riwayat alergi makanan.
3.   Mengkaji peristaltik usus, dan adanya ketidakmampuan sistem pencernaan dalam mencerna makanan.
4.   Mengkaji adanya masalah sistem pencernaan : distensi abdomen, diare, dehidrasi, konstipasi, atau gangguan keseimbangan elektrolit.
5.   Mengkaji frekuensi pemberian makanan.
6.   Mengkaji batas waktu/kadaluarsa dari makanan yang akan diberikan.
7.   Mengkaji karakteristik makanan (adanya bau, gumpalan - gumpalan, pada makanan cair).
II
INTERVENSI
3
A.   Persiapan Alat :
1.   Sejumlah makanan cair yang akan diberikan, yang sudah dihangatkan. Jumlah makanan dan air putih berkisar 300 – 500 cc. Makanan buatan rumah sakit atau buatan pabrik.
2.   Corong / spuit berukuran besar (50 cc).
3.   Stetoskop.
4.   Alat makan, serbet maskan / tissue.
5.   Obat sesuai instruksi.
6.   Tiang infus.
7.   Handscoen bersih (kalau perlu).
B.  Persiapan Klien :
1.   Menjelaskan prosedur pemberian makanan melalui NGT kepada klien.
2.   Mengatur posisi tempat tidur dan alat untuk kenyamanan kerja.
III
IMPLEMENTASI


3
1.   Mencuci tangan.
2.   Memakai handscoen bersih (kalau perlu).
3.   Mengatur posisi klien (semi fowler, fowler atau high fowler).
4.   Mengauskultasi peristaltik usus dan mengkaji adanya ketidaknyamanan pada abdomen (distensi abdomen).
5.   Meletakkan alas dibawah NGT.
6.   Mengkaji kepatenan letak NGT :
a.   Masukkan 5 – 15 cc udara kedalam NGT dan auskultasi suara di regio epigastrik.
b.   Aspirasi isi residu lambung, bila lebih dari 100 cc, tunda pemberian makanan ½ - 1 jam. Mengkaji juga warna, konsistensi, dan bau dari cairan lambung.
7.   Masukkan kembali isi residu lambung.
8.   Membilas NGT dengan air putih.
9.   Memberikan cairan nutrisi
a.   Secara Intermitten :
1)   Memasang corong dan jaga agar udara tidak masuk kedalam selang dengan menjepit selang NGT.
2)   Memasukkan sejumlah susu/makanan cair/air buah yang telah disediakan.
3)   Mengatur ketinggian corong (30 cm diatas lambung). Pemberian tidak boleh terlalu cepat (20 menit), maupun terlalu lambat dan sesuaikan dengan karakteristik makanan / cairan.
4)   Pemberian makanan tidak boleh dipaksa dengan dorongan.
b.   Secara Continous :
1)   Menggantungkan makanan yang hendak diberikan pada tiang infus.
2)   Mengeluarkan udara yang ada didalam selang.
3)   Menyambungkan selang makanan dengan NGT dan mengatur tetsan sesuai waktu yang telah ditentukan.
4)   Mengunci pengatur tetesan bila semua makanan sudah masuk kedalam lambung. Hindari masuknya udara kedalam lambung.
5)   Membilas dengan air putih, memasukkan obat bila bila ada, lalu bilas kembali dengan air putih.
10.  Melepaskan corong/kantung/formula makanan dan tutup selang NGT.
11.  Mempertahankan klien tetap posisi semi fowler selama 30 menit.
12.  Merapihkan klien dan peralatan.
13.  Melepaskan handscoen dan mencuci tangan.
14.  Mencuci tangan.
IV
EVALUASI
1
1.  Mengevaluasi toleransi klien terhadap pemberian makanan.
2.  Mengevaluasi adanya regurgitasi dan perasaan penuh (begah) setelah makan.
3.  Mengevaluasi penambahan atau penurunan berat badan secara periodik.
4.  Mengevaluasi turgor kulit dan keluaran urine.
V
DOKUMENTASI
1
1.   Mencatat respon dan toleransi klien selama prosedur.
2.   Mencatat tanggal dan waktu pemberian makanan melalui NGT.
3.   Mencatat jumlah, jenis makanan, waktu, dan isi residu lambung.
VI
SIKAP
1.  Sistematis.
2.   Hati-hati.
3.   Berkomunikasi.
4.   Mandiri.
5.   Teliti.
6.   Tanggap terhadap respon klien.
7.   Rapih.
8.   Menjaga privacy.
9.   Sopan.
TOTAL
10

SO.P) PERAWATAN KLIEN DENGAN COLOSTOMY




http://aangcoy13.blogspot.com/(S. 


PENGERTIAN
Colostomy adalah suatu tindakan pembedahan membuka dinding abdomen yang bertujuan untuk mengeluarkan feses.
TUJUAN PERAWATAN COLOSTOMY
1.   Mengevaluasi kondisi stoma.
2.   Melindungi kulit dari drainase produk kolon.
3.   Menjaga kebersihan stoma.
4.   Mengganti balutan luka dan colostomy bag.
NO
TINDAKAN
BOBOT
NILAI
BOBOT
X
NILAI
KETERANGAN
I
PENGKAJIAN
2
1.  Mengkaji kembali program/instruksi medik.
2.  Mengkaji kondisi kantong colostomy.
3.  Mengkaji adanya keluhan ketidaknyamanan/nyeri disekitar stoma.
4.  Mengkaji post operasi hari keberapa.
5.  Mengkaji peristaltik usus.
II
INTERVENSI
3
A.   Persiapan Alat :
1. Kantong colostomy dan penjepitnya.
2. Kapas basah (NaCl 0,9% atau air hangat).
3. Tissue.
4. Handscoen bersih dan steril.
5. Nierbeken / bengkok.
6. Kantong tempat balutan kotor.
7. Pot.
8. Gunting.
9. Handuk dan perlak/pengalas.
10.   Betadine (kalau perlu untuk lecet dikulit).
11.   Set ganti balut.
B.  Persiapan Klien :
1. Menjelaskan prosedur dan tujuannya.
2. Memberikan privacy untuk klien.
3. Mengatur posisi tidur klien (semifowler kalau perlu).
III
IMPLEMENTASI
3
1.   Mencuci tangan.
2.   Memakai handscoen.
3.   Meletakkan handuk disisi klien.
4.   Mendekatkan neirbeken/bengkok.
5.   Melepaskan colostomy bag yang sudah kotor dan meletakkannya di piala ginjal.
6.   Mengganti handscoen dengan yang bersih / steril.
7.   Membersihkan stoma dan kulit sekitarnya dengan kapas basah/NaCl.
8.   Observasi kondisi kulit, stoma dan jahitan.
9.   Mengeringkan kulit disekitar stoma.
10.  Memasang kantong colostomy yang baru.
11.  Merapikan klien dan alat-alat.
IV
EVALUASI
1
1.   Mengobservasi respon klien selama dan sesudah prosedur perawatan colostomy.
2.   Mengevaluasi integritas kulit sekitar stoma, stoma dan jahitan
3.   Mengevaluasi karakteristik cairan / feses yang keluar dari stoma (jumlah, konsistensi, dan warnanya).
V
DOKUMENTASI
1
1.   Mencatat respon klien selama pelaksanaan prosedur.
2.   Mencat waktu tindakan pemasangan dan pengosongan colostomy bag.
4.   Mencatat karakteristik cairan / feses yang keluar dari stoma (jumlah, konsistensi, dan warnanya).
5.   Mencat kondisi kulit sekitar stoma, stoma dan jahitan
3.   Mencatat partisipasi dan toleransi klien terhadap pemasangan colostomy bag.
4.   Mencatat penyuluhan keperawtan yang sudah diberikan (bila ada).
VI
SIKAP
1.   Sistematis.
2.   Hati-hati.
3.   Berkomunikasi.
4.   Mandiri.
5.   Teliti.
6.   Tanggap terhadap respon klien.
7.   Rapih.
8.   Menjaga privacy.
9.   Sopan.
TOTAL
10

(S.O.P) MELAKUKAN HUKNAH / ENEMA / LAVAMENT




http://aangcoy13.blogspot.com/ 


PENGERTIAN
Suatu tindakan memasukkan cairan kedalam rectum dan kolon melalui anus.
TUJUAN
1.   Mengurangi rasa tidak nyaman akibat distensi abdomen.
2.   Merangsang peristaltik usus untuk kembali normal.
3.   Mengembalikan pola eliminasi yang normal.
4.   Membersihkan dan mengosongkan isi kolon untuk pemeriksaan diagnostik atau untuk persiapan prosedur pembedahan.
NO
TINDAKAN
BOBOT
NILAI
BOBOT
X
NILAI
KETERANGAN
I
PENGKAJIAN
2
1.  Mengkaji kembali program/instruksi medic dan tujuan dilakukannya huknah/enema.
2.  Mengkaji ststus kesehatan klien.
3.  Mengkaji daerah anus, bokong, dan kulit sekitarnya (luka, lecet, hemorrhoid atau adanya fistula).
4.  Mengkaji kemampuan klien untuk mengontrol sphincter ani eksternal.
5.  Mengkaji adanya indicator konstipasi (nyeri, rasa keras pada abdomen bagian bawah, lubang anus yang menyempit).
6.  Mengkaji pola defekasi dan terakhir kali klien defekasi.
7.  Mengakji tanda-tanda vital klien sebelum dilakukan prosedur.
8.  Mengkaji adanya kontraindikasi atau kemungkinan adanya komplikasi pemberian huknah/enema, seperti : pada klien dengan gangguan jantung.
9.  Mengkaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan huknah / enema.
II
INTERVENSI
3
A.   Persiapan Alat :
1.   Set alat huknah / enema.
2.   Handuk mandi.
3.   Handscoen bersih.
4.   Pot.
5.   Alas / perlak.
6.   Vaseline / jelly.
7.   Kom, air hangat, sabun, dan washlap
8.   Tissue.
9.   Nierbeken / bengkok.
10.   Skort.
11.   Plastik sampah.
B.  Persiapan Klien :
1.   Menjelaskan kepada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan pemberian huknah / enema.
2.   Menjamin lingkungan yang memenuhi privacy klien dengan menutup lingkungan sekitar tempat tidur dengan sampiran atau pintu kamar klien.
3.   Mengatur posisi tidur klien sesuai dengan tujuan pemberian huknah / enama.
4.   Mengatur ketinggian tempat tidur klien sejajar dengan posisi kerja perawat.
III
IMPLEMENTASI
3
1.   Mencuci tangan.
2.   Memakai skort.
3.   Memakai handscoen bersih.
4.   Mempersiapkan cairan huknah / enema :
a.   Suhu (37° C untuk anak-anak dan 40,5 – 43 ° C untuk dewasa).
b.   Jumlah cairan (150 – 250 ml untuk usia infant, 250 – 350 ml untuk anak usia toddler, 300 – 500 ml untuk anak usia sekolah, 500 – 750 ml untuk anak usia adolescent, dan 750 – 1000 untuk usia dewasa).
5.   Memasang perlak / alas dibawah bokong klien.
6.   Menyiapkan pot pada posisi yang mudah dijangkau oleh perawat.
7.   Mengatur posisi tidur klien yang tepat :
a.   Huknah Rendah : Posisi tidur miring ke kiri.
b.   Huknah Tinggi : Posisi miring ke kriri, terlentang, kemudian miring ke kanan (bila memungkinkan).
8.   Menyambungkan kanul rektal dengan selang irigator (selang masih terklem).
9.   Mengolesi ujung kanul dengan vaseline / jelly sepanjang 3 – 4 inchi atau 7,5 – 10 cm.
10.  Mengeluarkan udara yang terdapat dalam selang irigator dengan cara mengeluarkan cairan sampai selang irigator bebas udara kemudian selang irigator di klem kembali.
11.  Membuka bokong klien sampai lubang anus terlihat jelas, sambil menganjurkan klien untuk rileks dengan menarik nafas dalam.
12.  Memasukkan kanul ke dalam rektum melalui anus mengarah ke umbilikus secara hati-hati sepanjang : infant = 2,5 – 4 cm, anak-anak = 5 – 6,5 cm, dewasa = 7,5 – 10 cm.
13.  Mengatur ketinggian irigator :
a.   Huknah Rendah : 30 cm dari anus.
b.   Huknah Tinggi : 30 – 45 cm dari anus.
14.  Membuka klem dan mengalirkan cairan huknah / enema kedalam kolon dengan kecepatan 75 – 100 ml/menit, smabil menganjurkan klien untuk menahan hingga keseluruhan cairan masuk.
15.  Apabila klien mengeluh kram abdomen atau cairan keluar dari anus, rendahkan ketinggian irigator.
16.  Mengklem selang irigator setelah semua cairan masuk kedalam kolon.
17.  Meletakkan kertas tissue pada kanul kemudian cabut secara perlahan-lahan dan masukkan kedalam plastik sampah.
18.  Menganjurkan klien untuk menahan cairan tetap didalam kolon selama 5 – 10 menit dengan posisi tetap berbaring di tempat tidur.
19.  Menjelaskan kepada klien bahwa perasaan tidak nyaman adalh hal yang normal.
20.  Bila klien merasa ada keinginan untuk defekasi, menganjurkan klien untuk buang air besar di kamar mandi, bila tidak memungkinkan bantu klien buang air besar di tempat tidur dengan menggunakan pot.
21.  Mengobservasi karakteristik cairan yang keluar (jumlah, warna dan konsistensi feses).
22.  Membersihkan daerah anus, bokong dan kulit disekitarnya dengan menggunakan tissue dan washlap dan sabun, kemudian mengeringkannya dengan handuk.
23.  Mengebakan kembali pakaian dan merpihkan klien.
24.  Memberikan posisi yang yang nyaman menurut klien.
25.  Membereskan alat-alat.
26.  Mencuci tangan.
IV
EVALUASI
1
1.   Mengevaluasi respon klien sebelum, selama, dan sesudah pelaksanaan prosedur huknah / enema.
2.   Mengevaluasi karakteristik cairan yang keluar (jumlah, warna dan konsistensi feses).
3.   Menjamin smapi cairan yang keluar menjadi bening, jika tujuan pemberian huknah/enema adalah untuk pemeriksaan diagnostik atau persiapan pembedahan.
V
DOKUMENTASI
1
1.  Mencatat tanggal dan waktu pemberian huknah / enema.
2.  Mencatat jenis dan jumlah cairan yang diberikan.
3.  Mencatat karakteristik, jumlah, warna cairan dan feses yang keluar.
4.  Mencatat bila ada komplikasi yang terjadi selama dan sesudah pemeberian huknah / enema.
5.  Mencatat tingkat toleransi klien terhada prosedur yang dilakukan.
VI
SIKAP
1.   Sistematis.
2.   Hati-hati.
3.   Berkomunikasi.
4.   Mandiri.
5.   Teliti.
6.   Tanggap terhadap respon klien.
7.   Rapih.
8.   Menjaga privacy.
9.   Sopan.
TOTAL
10

(S.O.P) PERSIAPAN DAN PERAWATAN KLIEN PADA PEMERIKSAAN COLONOSCOPY


 


PENGERTIAN
Colonoscopy adalah suatu tindakan pemeriksaan kolon dengan menggunakan alat endoscope fiberoptik yang fleksibel.
TUJUAN PEMERIKSAAN
1.   Untuk menilai adanya lesi pada usus besar, seperti : tumor, massa, polip, inflamasi jaringan, serta mendeteksi adanya perdarahan pada usus bagian bawah, atau diverticulitis.
2.   Dapat digunakan sebagai pengobatan perdarah usus dan striktura.
3.   Untuk mendapatkan bahan pemeriksaan biopsy jaringan atau polip sebagai screening  dan tindak lanjut pada klien dengan risiko tinggi kanker kolon.
4.   Untuk mengangkat polip.

KONTRAINDIKASI :
1.   Wanita hamil yang mendekati mas akelahiran.
2.   Klien dengan miokardium infark akut.
3.   Baru mengalami pembedahan abdomen.
4.   Diverticulitis akut.
5.   Colitis ulcerative akut atau aktif.
6.   Klien yang bingung dan tidak kooperatif.
NO
TINDAKAN
BOBOT
NILAI
BOBOT
X
NILAI
KETERANGAN
I
PENGKAJIAN
2
1.   Mengkaji program/instruksi medik tentang rencana colonscopy dan persiapannya.
2.   Mengkaji tanda-tanda vital.
3.   Mengkaji adanya riwayat penyakit kardiovaskuler berat.
4.   Mengkaji adanya pemeriksaan laboratorium; hemoglobin, hematokrit, dan masa pembekuan darah.
5.   Mengkaji status hidrasi klien (intake – output cairan).
II
INTERVENSI
3
A.  Persiapan Alat :
1.   Surat ijin tindakan (informed concent).
2.   Obat laxantia atau alat untuk huknah/enema (sesuai program medik).
3.   Pemeriksaan diagnostik sebelumnya, satus atau kartu opname klien.
4.   Alat pemeriksaan tanda-tanda vital.
B.  Persiapan Klien :
1.   Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
2.   Menjelaskan jenis anesthesi yang akan dilakukan.
3.   Meminta tanda tangan persetujuan tindakan (informed concent).
III
IMPLEMENTASI

3
1.  Memberikan diit cair 24 – 72 jam sebelum pemeriksaan.
2.  Memberikan laxantia, dapat dengan cara : Laxantia diberikan 2 malam sebelum pemeriksaan, kemudian pada pagi hari diberikan huknah/enema sampai dengan cairan yang keluar jernih. Cara lain adalah dengan memberikan cairan lavage elektrolit (Golytely atau Colyte).
3.  Menginstruksikan kepad aklien untuk puasa 8 – 12 jam sebelum pemeriksaan.
4.  Menjelaskan kepada klien prosedur yang akan dilakukan selama pemeriksaan :
a.   Alat dimasukkan melalui anus.
b.   Kliean kan mengalami rasa tidak nyaman ketika udara dimasukkan kedalam anus untuk membuka kolon.
c.   Jika diperlukan akan dilakukan pengambiln jaringan untuk pemeriksaan.
d.   Posisi saat pemeriksaan adalah : miring ke kiri dengan lutut ditekuk selama endoscope masuk melaui anus.
e.   Menganjurkankklien untuk menarik nafas panjang dan dalam selama colonoscope dimasukkan.
5.  Memberikan sedative sesuai dengan pesanan medik sebelum pemeriksaan.
6.  Mengantar klien ke ruang endoscopy.
7.  Setelah pemeriksaan : menganjurkan klien untuk tirah baring selama 2 – 6 jam setelah pemeriksaan.
IV
EVALUASI
1
1.   Mengevaluasi respon serta toleransi klien sebelum, selama,  dan sesudah prosedur.
2.  Mengevaluasi adanya keluhan nyeri.
3.  Mengobservasi tanda-tanda vital pasca prosedur secara periodik.
4.  Mengobservasi adanya tanda-tanda perdarahan.
V
DOKUMENTASI
1
1.   Mencatat respon serta toleransi klien sebelum, selama,  dan sesudah prosedur.
2.  Mencatat adanya tanda-perdarahan pada klien.
3.  Mencatat hasil pemeriksaan tanda-tanda vital.
VI

SIKAP
1.   Sistematis.
2.  Hati-hati.
3.  Berkomunikasi.
4.  Mandiri.
5.  Teliti.
6.  Tanggap terhadap respon klien.
7.  Rapih.
8.  Menjaga privacy.
9.  Sopan.
TOTAL
10

S.O.P) MELAKUKAN PERAWATAN LUKA : MENGGANTI BALUTAN


PENGERTIAN
Penggantian balutan untuk membantu proses penyembuhan luka.
TUJUAN
1.   Menghilangkan sekresi yang menumpuk dan jaringan mati pada luka insisi.
2.   Mengurangi pertumbuhan mikroorganisme pada luka/insisi.
3.   Membantu proses penyembuhan luka.

NO
TINDAKAN
BOBOT
NILAI
BOBOT
X
NILAI
KETERANGAN
I
PENGKAJIAN
2
1.   Mengkaji program/instruksi medik tentang prosedur rawat luka, jenis balutan, dan frekuensi ganti balut.
2.   Mengkaji jenis dan lokasi luka/insisi.
3.   Mengkaji tingkat nyeri klien dan kapan terakhir mendapat obat penghilang nyeri.
4.   Mengkaji riwayat alergi terhadap obat atau plester.
II
INTERVENSI
3
A.   Persiapan Alat :
1.   Set ganti balut steril (pinset cirrurgis, pinset anatomis, kasa, dan lidi kapas).
2.   Kasa steril tambahan atau bantalan penutup (kalau perlu).
3.   Handscoen bersih dan handscoen steril.
4.   Handuk.
5.   Bethadine, alkohol 70%, kapas bulat, dan lidi kapas steril.
6.   Nierbeken/bengkok.
7.   Korentang steril.
8.   Kantong plastik tempat sampah.
9.   Baki instrumen/meja dorong dan perlak / pengalas.
B.  Persiapan Klien :
1.   Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang tujuan dan prosedur yang akan dilakukan.
2.   Menjamin pemenuhan kebutuhan privacy klien.
3.   Mengatur ketinggian tempat tidur untuk memudahkan pekerjaan.
III
IMPLEMENTASI

3
1.  Mencuci tangan.
2.  Menyiapkan dan mendekatkan peralatan.
a. Membuka set ganti balut.
b. Menambahkan kasa steril dan lidi kapas steril secukupnya kedalam set ganti balut.
3.  Memakai handscoen bersih.
4.  Meletakkan handuk menutup bagian tubuh privasi klien yang terbuka.
5.  Meletakkan perlak dibawah luka.
6.  Mengatur posisi yang nyaman dan tepat untuk perawatan luka.
7.  Membuka plester searah tumbuhnya rambut dan membuka balutan secara hati-hati, masukkan balutan kotor kedalam kantong plastik yang sudah disediakan.
8.  Membuka handscoen bersih dan ganti dengan handscoen steril.
9.  Membersihkan sekitar luka dengan alkohol swab :
a.   Membersihkan dari arah atas kebawah disetiap sisi luka dengan arah keluar menjauh dari luka (1 alkohol swab untuk 1 kali usapan).
b.   Membersihkan sisi sebelah luka dari bagian atas ke bawah diikuti sisi sebelahnya dengan arah usapan menjauh dari luka (1 alkohol swab untuk 1 kali usapan).
10.   Mengolesi luka dengan bethadine mulai dari tengah luka.
11.   Menutup luka dengan kasa steril, dan fiksasi dengan plester pada pinggiran kasa pembalut.
12.   Menuliskan tanggal dan waktu mengganti balutan pada plester dan tempelkan pada balutan.
13.   Merapihkan klien dan membereskan alat-alat.
14.   Melepaskan handscoen dan mencuci tangan.
IV
EVALUASI
1
1.   Mengevaluasi respon serta toleransi klien selama, dan sesudah prosedur.
2.   Mengevaluasi kebutuhan frekuensi ganti balut.
3.   Mengevaluasi adanya tanda-tanda alergi plester.
4.   Mengevaluasi adanya tanda-tanda infeksi dan adanya cairan luaka serta karakteristiknya.
V
DOKUMENTASI
1
1.  Mencatat lokasi, jenis luka dan keadaan luka insisi.
2.  Mencatat keadaan luka sebelumnya.
3.  Mencatat cairan atau obat yang digunakan untuk merawat luka.
4.  Mencatat respon serta toleransi klien selama, dan sesudah prosedur.
VI
SIKAP
1.  Sistematis.
2.  Hati-hati.
3.  Berkomunikasi.
4.  Mandiri.
5.  Teliti.
6.  Tanggap terhadap respon klien.
7.  Rapih.
8.  Menjaga privacy.
9.  Sopan.
TOTAL
10