BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya lahir dengan sempurna, memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, tak jarang di antara mereka yang kecewa bahkan tidak ingin menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus.
Sebenarnya tidak ada anak cacat melainkan anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak yang dianggap cacat itu sebenarnya sama saja dengan anak-anak pada umumnya, punya kelebihan dan kekurangan. Tetapi karena pemahaman sebagian masyarakat yang kurang, maka masyarakatlah yang memberi label cacat itu.
Untuk itu perlu dipahami sebuah pendekatan kepada masyarakat bahwa mereka yang mempunyai keterbatasan ada dalam lingkungan mereka, sama-sama mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal pada umumnya.
Jika kita melihat anak-anak yang mengalami kecacatan mental, mungkin kita beranggapan bahwa mereka mengalami jenis kecacatan mental yang sama. Namun kita harus mengetahui kecacatan mental yang dialami anak-anak tersebut berbeda penyebabnya yang dalam hal ini adalah cerebral palsy.
Walaupun perkembangan dan kemajuan dalam bidang obstetrik dan perinatologi akan mengakibatkan penurunan angka kematian bayi yang pesat, namun tidak dapat mencegah peningkatan jumlah anak cacat. Ini disebabkan, meskipun bayi berhasil diselamatkan dari keadaan gawat, akan tetapi biasanya meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan jaringan otak yang gejala-gejalanya dapat terlihat segera ataupun di kemudian hari.
Cerebral Palsy adalah salah satu gejala sisa yang cukup banyak dijumpai. Istilah Cerebral Palsy (CP) pertama kali dikemukakan oleh Phelps. Cerebral : yang berhubungan dengan otak; Palsy : ketidaksempurnaan fungsi otot. Dalam kepustakaan, CP sering juga disebut diplegia spastik, tetapi nama ini kurang tepat, sebab CP tidak hanya bermanifestasi spastik dan mengenai 2 anggota gerak saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam bentuk lain dan dapat mengenai ke 4 anggota gerak. Nama lain ialah : Little’s disease, oleh karena dokter John Little adalah orang yang pertama pada pertengahan abad ke 19 menguraikan gambaran klinik CP.
Makalah ini menguraikan secara singkat : definisi, insidensi, etiologik, neurofisiologik dan patologik, gambaran klinik dan klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan khusus, penanganan, pencegahan dan prognosis CP.
B. INSIDENS
1. CP merupakan cacat fisik permanen yang paling sering pada masa kanak- kanak.
2. Insidennya 2-3 kasus dari setiap seribu kelahiran hidup.
3. Prevalensi CP telah meningkat dengan peningkatan kelangsungan hidup bayi baru lahir dengan berat badan sabgat rendah.
4. CP spastik merupakan jenis yang paling sering terjadi.
BAB II
KONSEP DASAR
A. DEFINISI
Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan, yang dimaksud dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat
motorik atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik. Pada tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP sebagai berikut : CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Sedangkan Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya dalam susunan saraf pusat.
Definisi lain : CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan), dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup, dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa kelumpuhan spastik, gangguan ganglia basalis dan serebelum.
Paralisis serebral (cerebral palcy, CP) adalah istilah tidak spesifik yang digunakan untuk memberi ciri khas pada ketidaknormalan tonus otot, postur dan koordinasi yang diakibatkan oleh suatu lesi tidak progresif atau cedera yang memengaruhi otak yang tidak matur. CP dapat diakibatkan dari ketidaknormalan otak pranatal, asfiksia lahir atau lahir prematur.
B. PATOFISIOLOGI/ PATHWAY
Adanya malformasi pada otak, penyumbatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron akan menimbulkan berat otak rendah.
Anoxia merupakan penyebab yang berarti dengan kerusakan otak.
Cerebral palsy dapat dikaitkan dengan prematur yaitu spastik diplegia yang disebabkan oleh hypexic infraction atau hemoragik dalam ventrikel.
Type athetoid/ dyskinetik desebabkan oleh kernicterus dan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, adanya pigmen berdeposit dalam basal ganglia dan beberapa saraf kranial juga dapat terjadi bila basal ganglia mengalami injury yang ditandai dengan tidak terkontrol, per Type cerebral palsy hemiparetic karena trauma pada korteks atau cva pada artei cerebral tengah.
Spastik cerebral palsy yang paling disertai dan melibatkan kerusakan pada motor korteks yang ditandai dengan ketengangan otot dan hiperresponsif. Refleks tendon yang dalam akan meningkatkan dan menstimulasi yang dapat menyebabkan pergerakan sentakan yang tiba- tiba pada sedikit atau semua ekstremitas.
Ataxic cerebral palsy , adanya injury dan serebelum yang mana mengatur koordinasi, keseimbangan dan kinestik. Akan tampak pergerakan yang tidak terkoordinasi pada ekstremitas atas bila anak meregang benda.
Rigid/ tremor/ atonic cerebral palsy ditandai dengan kekakuan pada kedua otot fleksor dan ekstensor. Tipe ini mempunyai prognosis yang buruk karena ada deformitas multipel yang terkait dengan kurangnya pergerakan aktif.
gerakan yang tidak disadari dan lambat.
(Whaley dan Wong, 1996)
C. ETIOLOGI
Ketidaknormalan dapat muncul dari berbagai penyebab : Malformasi anatomis otak
, atrofi, oklusi vaskular, kehilangan neuron, atau berat otak yang rendah. Faktor resiko yang menjadi predisposisi meliputi kelahiran kembar, infeksi ibu dan kondisi trombofilik janin dan ibu.
Penyebab Cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu:
1) Pranatal
Infeksi terjadi dalam kandungan, menyebabkan kelainan pada janin, misalnya: kelainan yang mencolok. Misalnya gangguan pergerakan dan retardasi mental.
2) Natal
a. Anoreksia/ hipoksia
Terdapat pada keadaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalopelvik, partus lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan alat tertentu dan lahir dengan seksio sesaria.
b. Perdarahan intra kranial
Perdarahan dan anoreksia dapat terjadi bersama- sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan dan peredaran darah sehingga terjadi anoreksia.
c. Prematuritas
Bayi kurang bulan kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan, karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain- lain masih belum sempurna.
d. Ikterus
Ikterus pada masa neonates dapat menyebabkan keruskan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompabilitas golongan darah.
e. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat menyebakan gejala sisa berupa cerebral palsy
Setiap kerukan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat menybabkan cerebral palsy, misalnya : pada trauma kapitis, meningitis, ensefalitis dan luka pada otak pasca operasi.
3) Postnatal
a. Trauma kapitis
b. Infeksi
Misalnya : meningitis bakterial, abses cerebri, tromboplebitis, ensefalomiolitis
c. Kern ikrterius
Beberapa penelitian menyebutkan faktor prenatal dan perinatal lebih berperan dari pada faktor pascanatal. Studi olrh Nelson dkk (1986) ( dikutip dari 13) menyebutkan bayi dengan berat lahir rendah, asfiksia saat lahir, iskemi prenatal, faktor genetik, malformasi kongenital, toksin, infeksi intrauterin merupakan faktor penyebab cerebral palsy. Faktor prenatal dimulai saat masa gestasi sampai saat lahir, sedangkan faktor yang menyebabkan cerebrayl palsy mulai dari lahir sampai satu bulan kehidupan, sedang faktor pasca natal mulai dari bulan pertama kehidupan sampai 2 tahun ( Herberg dkk 1975) , atau sampai 5 tahun kehidupan ( Blair dan Stanley, 1982) atau sampai 16 tahun ( Perlstein, Hod, 1984) dikutip dari 12).
D. MANIFESTASIM KLINIK
Gambaran klinik cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan:
a. Paralisis
Dapat berbentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia, monoplegia, triplegia. Kelumpuhan ini mungkin bersifat flaksid, spastic atau campuran.
b. Gerakan involunter
Dapat berbentuk atetosis, khoreoatetosis, tremor dengan tonus yang dapat bersifat flaksid, rigiditas atau campuran.
c. Ataksia
Gangguan koordinasi ini timbul karena kerusakan serebelum. Penderita biasanya memperlihatkan tonus yang menurun (hipotoni), dan menunjukkan perkembangan motorik yang terlambat. Mulai berjalan sangat lambat dan semua pergerakan secara canggung.
d. Kejang
Dapat bersifat umum dan lokal
e. Gangguan perkembangan mental
Retardasi mental ditemukan kira- kira pada 1/3 dari anak dengan cerebral palsy terutama pada grup tetraparesis, diparesis spastik dan ataksia. Serebral palsy yang disertai retardasi mental apada umumnya disebabkan oleh anoksia, serebri yang cukup lama, sehingga terjadi atrofi serebri yang menyeluruh. Retardasi mental masih dapat diperbaiki bila korteks serebri tidak mengalami kerusakan menyeluruh dan masih ada angggota gerak yang dapat digerakkan secara volunter. Dengan dikembangkannya gerakan- gerakan tangkas oleh anggota gerak perkembangan mental akan dapat dipengaruhi secara positif.
f. Mungkin didapat juga gangguan penglihatan
(misalnya: hemianopsia, strabismus atau kelainan refraksi) gangguan bicara, gangguan sensibilitas)
g. Problem emosional terutama pada saat remaja
h. Keterlambatan dalam mencapai tahap perkembangan motorik.
i. Penampilan motorik yang tidak normal dan kehilangan kendali motorik selektif.
j. Perubahan tonus otot.
k. Postur yang tidak normal.
l. Ketidaknormalan refleks.
E. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain adalah :
a. Letak sungsang
b. Proses persalinan sulit
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut bisa menyebabkan kerusakan otak permanen.
c. Apgar score rendah
Agar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran
d. BBLR dan prematuritas
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir
e. Kehamilan ganda
f. Malformasi SSP
Sebagian besar bayi-bayi lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkat kepala (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan
Perdarahan vaginal selama bulan ke-9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang
i. Kejang pada bayi baru lahir
F. KOMPLIKASI
a. Gangguan fungsi intelektual
b. Kejang
c. Gangguan komunikasi
d. Mengeluarkan air liur, kesulitan makan dan menelan
e. Kontraktur sendi
f. Disfungsi persepsi
g. Ketidakmampuan belajar
G. GAMBARAN KLINIS DAN KLASIFIKASI
CP sering diklasifikasikan sesuai dengan kategori fungsional yang teramati untuk menggambarkan ketidaknormalan neuromuskular. Dua bentuk yang paling sering adalah sebagai berikut :
1. CP Spastik adalah bentuk yang paling sering (80% dari kasus CP). CP spastik dikarakteristikkan dengan hipertonik dan buruknya kendali postur, keseimbangan dan koordinasi. Ketrampilan motorik kasar dan halus terganggu. CP spastik lebih jauh diklasifikasikan sesuai dengan bagian tubuh yang dipengaruhinya.
a. Diplegia > meliputi tungkai dan paling sering terjadi pada bayi prematur dan yang mengalami hemoragi intraventrikular atau leukomalasia iskemik. Tidak adanya koordinasi ekstermitas atas pada lengan derajat ringan dapat juga terlihat.
b. Monoplegia > hanya meliputi satu ekstermitas.
c. Hemiparesis > biasanya lebih sering mengenai lengan daripada tungkai.
d. Kuadriparesis > meliputi semua ekstermitas dengan tungkai yang lebih terganggu.
2. Cp diskinetik dikarakteristikkan oleh suatu gangguan pergerakan dan merupakan akibat dari inkompatibilitas Rh dan ensefalopati iskemik hipoksik.
a. Atetosis > gerakan menggeliat perlahan yang meliputi wajah dan ekstermitas
b. Distonia > distorsi kedutan ritmik yang meliputi badan dan ekstermitas proksimal
c. Korea > gerakan wajah dan ekstermitas tidak beraturan yang cepat
d. Balismus > gerakan menjatuhkan ekstermitas
Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy mengemukakan klasifikasi sebagai berikut :
Klasifikasi neuromotorik
1. Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon reflex
meninggi pada bagian-bagian yang terkena.
Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan.
Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi membongkokkan "pipa timah" (lead pipe rigidity).
Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi.
Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali, reciprocal dengan irama yang teratur.
Mixed.
Klasifikasi berdasarkan beratnya. lalah berdasarkan beratnya keterlibatan neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup (activities of daily living).
1. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak mempunyai problema bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong.
2. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Ia memerlukan brace dan alat-alat penolong diri.
3. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian hebat, sehingga prognosis untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara adalah jelek.
H. UJI LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan klinis untuk mengidentifikasi ketidaknormalan tonus, seringnya terjadi hipotonik yang diikuti dengan hipertonik, ketidaknormalan postur dan keterlambatan perkembangan motorik.
2. Ultrasonografi kranial untuk mendeteksi hemoragi dan iskemik hipoksik.
3. CT scan untuk mendeteksi lesi-lesi susunan saraf pusat
4. Tomografi emisi positron dan tomografi terkomputerisasi emisi foton tunggal untuk melihat metabolisme dan perfusi otak.
5. MRI untuk mendeteksi lesi-lesi kecil.
6. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan.
7. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP likuor serebrospinalis normal.
8. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak.
9. Foto kepala (X-ray) dan CT Scan.
10. Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang diperlukan.
11. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental.
Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi individu.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh suatu
Team yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist,guru luar biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli THT, perawat anak dan lain-lain.
I. PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :
1) Reedukasi dan rehabilitasi.
Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.
2) Psiko terapi untuk anak dan keluarganya.
Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.
3) Koreksi operasi.
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada
saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.
4) Obat-obatan.
Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.
Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 -- 10 mg pada pagi hari dan 2,5 -- 5 mg pada waktu tengah hari.
J. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born" dapat dicegah dengan transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin" pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain.
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.
Sering terjadi pada anak pertama è kesulitan pada waktu melahirkan.
Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.
Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.
2. Riwayat kesehatan.
Riwayat kesehaataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal serta keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.
3. Keluhan dan manifestasi klinik
Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang berhubungan dengan pencapaian perkembangan :
Perlambatan perkembangan motorik kasar
Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat sejalan dengan pertumbuhan.
Tampilan motorik abnormal
Penggunaan tangan unilateral yang terlaalu dini, merangkaak asimetris abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi, menghisap buruk, kesulitan makaan, sariawan lidah menetap.
Perubahan tonus otot
Peningkatan ataau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik (lengkung punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau berpakaian, kesulitan dalam menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul dan sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).
Posture abnormal
Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada posisi telungkup, menyilangkan ataau mengekstensikan kaki dengan telapak kaki plantar fleksi pada posisi telentang, postur tidur dan istirahat infantile menetap, lengan abduksi pada bahu, siku fleksi, tangan mengepal.
Abnormalitas refleks
Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa pun, tidak menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetaap atau hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek meregang muncul pada banyak kelompok otot pada gerakan pasif cepat.
Kelainan penyerta (bisa ada, bisa juga tidak).
Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental pada kira-kira dua pertiga individu).
Kerusakan perilaku dan hubungan interpersonal
Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP:
- Kecerdasan di bawah normal
- Keterbelakangan mental
- Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
- Gangguan menghisap atau makan
- Pernafasan yang tidak teratur
- Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan)
- Gangguan berbicara (disartria)
- Gangguan penglihatan
- Gangguan pendengaran
- Kontraktur persendian
- Gerakan menjadi terbatas.
4. Pemeriksaan penunjang (Bisa dilihat pada konsep dasar).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.
Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.
C. INTERVENSI, RASIONAL DAN EVALUASI
1. Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.
Tujuan :
Anak berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya
Anak mengkonsumsi jumlah yang cukup
Intervensi :
Berikan nutrisi dengan cara yang sesuai dengan kondisi anak
Catat masukan dan haluaran
Pantau pemberian makan intravena (bila diinstruksikan)
Berikan formula makanan yang ditentukan dengan selang nasogastrik (sesuai indikasi)
Berika anak beberapa otonomi dalam cara makan pasif
Baringkan pasien dengan kepala tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk dan menegakkan leher
R/ posisi ideal saat makan sehingga menurunkan resiko tersedak
Libatkan dalam pemilihan makanan dan urutan makan yang dihidangkan (dalam batasan diet dan nutrisi)
Berikan makanan semipadat dan cairan melalui sedotan untuk anak yang berbaring pada posisi telungkup
R/ mencegah aspirasi dan membuat makan/minum menjadi lebih mudah
Berikan makanan daan kudapaan tinggi kalori dan tinggi protein
R/ memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan
Beri makanan yang disukai anak
R/ mendorong anak agar mau makan
Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen yang lain
R/ memaksimalkan kualitas asupan makanan
Pantau berat badan dan pertumbuhan
R/ intervensi pemberian nutrisi tambahan dapat diimpementasikan bila pertumbuhan mulai melambat dan berat badan menurun
Lakukan higiene oral setiap 4 jam dan setelah makan
Evaluasi :
Klien mendapat masukan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya.
2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.
Tujuan :
Klien mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
Kaji kulit setiap 2 jam dan prn terhadap area tertekan, kemerahan dan pucat.
R/ pengkajian yang tepat dan lebih dini akan cepat pula penanganan terbaik pada masalah yang terjadi pada klien
Tempatkan anak pada permukaan yang mengurangi tekanan
R/ mencegaah kerusakan jaringan dan nekrosis karena tekanan
Ubah posisi dengan sering, kecuali jika dikontraindikasikan
R/ mencegah edema dependen dan merangsang sirkulasi
Lindungi titik-titik tekanan (misalnya : trikanter, sakrum, pergelangaan kaki,bahu dan oksiput)
Pertahankan kebersihan kulit dan kulit dalam keadaan kering
Berikan cairan yang adekuat untuk hidrasi
Berikan masukan makanan dengan jumlah protein dan karbohidrat yang adekuat.
Evaluasi :
Kulit klien tetap keadaan utuh, bersih dan kering
3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
Tujuan :
Klien tidak mengalami cedera fisik
Intervensi :
Berikan lingkungan fisik yang aman :
Beri bantalan pada perabot. R/ untuk perlindungan.
Pasang pagar tempat tidur. R/ untuk mencegah jatuh.
Kuatkan perabot yang tidak licin. R/ untuk mencegah jatuh.
Hindari lantai yang disemir dan permadani yang berantakan. R/ untuk mencegah jatuh.
Pilih mainan yang sesuai dengan usia dan keterbatasan fisik. R/ untuk mencegah cedera.
Dorong istirahat yang cukup. R/ karena keletihan dapat meningkatkan resiko cedera.
Gunakan restrein bila anak berada dikursi atau kendaraan.
Lakukan teknik yang benar untuk menggerakkan, memindahkan daan memanipulasi bagian tubuh yang paralisis.
Implementasikan tindakan keamanan yang tepat untuk mencegah cedera termal. R/ terdapat kehilangan sensasi pada area yang sakit.
Berikan helm pelindung pada anak yang cenderung jatuh dan dorong untuk menggunakannya. R/ mencegah cedera kepala.
Berikan obat anti epilepsi sesuai ketentuan. R/ mencegah kejang.
Evaluasi :
Keluarga memberikan lingkungan yang aman untuk anak.
Anak bebas dari cedera.
4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.
Tujuan :
Klien melakukaan proses komunikasi dalam batas kerusakan.
Intervensi :
Beri tahu ahli terapi wicara dengan lebih dini
R/ sebelum anak mempelajari kebiasaan komunikasi yang buruk.
Bicara pada anak dengan perlahan
R/ memberikan waktu padaa anak untuk memahami pembicaraan
Gunakan artikel dan gambar
R/ menguatkan bicara adaan mendorong pemahaman
Gunakan teknik makan
R/ membantu memudahkan bicara seperti menggunakan bibir, gigi dan berbagai gerakan lidah.
Ajari dan gunakan metode komunikasi non-verbal (mis.,bahasa isyarat) untuk anak dengan disartria berat.
Bantu keluarga mendapatkan alat elektronik untuk memudahkan komunikasi non-verbal (mis., mesin tik, microkomputer dengan pengolah suara).
Evaluasi :
Anak mampu mengkomunikasikan kebutuhan pada pemberi perawatan.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cerebral Palsy adalah suatu kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen dan tidak progresif. Walaupun demikian, gambaran kliniknya masih dapat berubah dalam perjalanan hidup penderita. Insidensi penyakit ini di luar negeri bervariasi antara 0,07 -- 6per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia masih belum diketahui. Faktor penyebab mungkin terletak pada masa prenatal, natal dan post natal. Perubahan neuropatologik pada CP berlokasi pada korteks motorik, ganglia basalis dan serebelum. Manifestasi klinik bergantung pada lokalisasi dan luasnya kerusakan jaringan otak. Dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu spastisitas, atetosis dan ataksia. Diagnosis ditegakkan atas adanya riwayat yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kerusakan jaringan otak dan kelainan fisik/neurologik yang sesuai. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang.
Penanganan meliputi : reedukasi/rehabilitasi, psiko terapi, tindakan operasi dan pemberian obat-obatan, yang melibatkan suatu team yang terdiri dari berbagi disiplin keahlian. Prognosis bergantung pada : berat ringannya CP, gejala-gejala penyerta, cepatnya dimulai dan intensipnya penanganan, sikap dan kerjasama penderita/keluarga serta masyarakat.
B. SARAN
Perawatan dari anak-anak ini memerlukan ketrampilan dan, jika mereka dirawat dirumah, maka harus ada pelayanan pendukung yang efektif. Tindakan perawatan spesifik bertujuan :
© Pencegahan dekubitus
© Memperthankan saluran pernafasan yang bersih
© Menemukan cara terbaik untuk memberikan makanan pada anak dan menjamin asupan makanan yang adekuat
© Menentukan suatu sistem komunikasi sehingga anak dapat mengutarakan, kebutuhan, keinginan dan kerinduannya, dan
© Mendorong agar anak menggunakan kemampuannya dan membantu anak mengembangkan kemampuannya secara penuh.
CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan untuk memperbaiki kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP adalah mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.
CP tak selalu menganggu intelegensia penderita. Ada pasien justru yang bisa sekolah dan berprestasi. Contohnya saja, ada pasien yang sekarang sudah kelas 6, bahkan kuliah di UI. Pasien dari Bandung misalkan, kelas 5 juara kelas. Sebenarnya, soal intelegensia pada CP, ada yang memang kena, ada yang tidak, tergantung tingkat keparahan CP-nya.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Lynn,cecily.(2009). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta. EGC
WWW.GOOGLE.COM
Hadinoto, S. Wirawan. Aspek Neurologik Cerebral Palsy. Buletin PNPNCH 1977 ; 3:36
Nuartha AABN . Cerebral Palsy. 25 tahun Neurologik FK.UNUD ( Kumpulan Makalah ). 1`987
http://binhasyim.wordpress.com..page..6_files
Tidak ada komentar:
Posting Komentar