Jumat, 27 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) DIFTERI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, Nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui hubungan dekat, udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.

Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana definisi difteri?

1.2.2 Bagaimana etiologi difteri?

1.2.3 Bagaimana manifestasi klinis difteri?

1.2.4 Bagaimana patofisiologi difteri?

1.2.5 Bagaimana penatalaksanaan difteri?

1.2.6 Bagaimana WOC dari difteri?

1.2.7 Bagaimana komplikasi difteri?

1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus difteri?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui konsep difteri dan keperawatan pada difteri

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami definisi difteri.

2. Mengetahui dan memahami etiologi difteri.

3. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri.

4. Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri.

5. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri.

6. Mengetahui dan memahami WOC dari difteri.

7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri.

8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan difteri.

1.4 Manfaat

Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi

Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan menyerang terutama saluran napas bagian atas dengan tanda khas berupa pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. Penularan umumnya melalui udara, berupa infeksi droplet, selain itu dapat melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa tunas 2-7 hari. (FKUI: 2007)

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini. (Acang: 2008)

Difteria adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. (Infeksi dan Tropis Pediatrik IDAI: 2008)

Difteria adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian atas dan ditandai dengan terbentuknya pseudomembran dan dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Ilmu Kesehatan Anak FK UI: 2007).

Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae (C. diphtheriae). Penyakit ini menyerang bagian atas mukosa saluran pernapasan dan kulit yang terluka. Tanda-tanda yang dapat dirasakan ialah sakit tekak dan demam secara tiba-tiba disertai tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernapasan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Difteri)

Gambar 1.Corynebacterium diphteriae

Klasifikasi Difteri

Berdasar berat ringannya penyakit diajukan Beach (1950):

- Infeksi ringan

  • Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan

- Infeksi sedang

  • Pseudomembran menyebar lebih luas sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif

- Infeksi berat

  • Ada sumbatan jalan nafas, hanya dapat diatasi dengan trakeostomi
  • Dapat disertai gejala komplikasi miokarditis, paralisis/ nefritis

Berdasarkan letaknya, digolongkan sebagai berikut:

Difteria Tonsil Faring (fausial)

Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadetis servikalis dan submandibularis, bila limfadentis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derjat penetrasi toksin dan luas memban. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafsan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian dapat berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis dan neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Diteria Laring

Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.

Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

Difteria kulit, difteria vulvovaginal, diftera konjungtiva dan difteri telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim. Difteri kulit berupa tukak di kulit, tetapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dan sekret purulen dan berbau.

2.2 Etiologi

Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.

Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:

Gravis, koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.

Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Intermediate, koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.

Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas C.diphteriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara:

  1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi.
  2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR)
  3. Rapid enzyme immunoassay(EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan bakteriologik, basil difteri ini kadang-kadang dikacaukan dengan adanya basil difteroid yang bentuknya mirip dengan basil difteri. Misalnya basil Hoffman, dan Corynebacterium serosis.

Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.

Basil dapat membentuk :

o Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

o Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.

2.3 Manifestasi Klinis

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.

Gambar 2. pseudomembran

Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. (Ditjen P2PL Depkes,2003)

Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.

2.4 Patofisiologi

Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.

Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. .(Ditjen P2PL Depkes,2003)

2.5 Penatalaksanaan Difteri

Tindakan Umum
Tujuan :
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Mempertahankan/memperbaiki keadaan umum
c. Mengatasi gejala /akibat yang timbul
Jenis Tindakan :
1. Perawatan tirah baring selama 2 minggu dalam ruang isolasi
2. Jamin intake cairan dan makanan. Bentuk makanan disesuaikan dengan toleransi, untuk hal ini dapat diberikan makanan lunak, saring/cair, bilaperlu sonde lambung jika ada kesukaranmenelan (terutama pada paralysisis palatum molle dan otot-otot faring).
3. Jamin kemudahan defekasi. Jika perlu berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia, stool softener) untuk mencegah mengedan berlebihan.
4. Bila anak gelisah beri sedative : diazepam/luminal
5. Pemberian antitusif untukmengurangi batuk (difteri laring)
6. Aspirasi sekret secara periodic terutama untuk difteri laring.
7. Bila ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas :
· Berikan Oksigen
· Trakeostomi, yang mana disesuaikan dengan tingkat dispneu laryngeal menurut Jackson :
I. Penderita tenang dengan cekungan ringal suprasternal
II. Retraksi suprasternal lebih dalam + cekungan epigastrium dan penderita gelisah
III. Retraksi supra dan infrasternal, penderita gelisah
IV. Penderita sangat gelisah, ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
Tindakan Spesifik
Tujuan :
a. Menetralisir Toksin
b. Eradikasi Kuman
c. Menanggulangi infeksi sekunder
Jenis Tindakan (Ada 3 jenis pengobatan) :
1. Serum Anti Difteri (SAD)
Dosis diberikan berdasar atas luasnya membrane dan beratnya penyakit.
· 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara unilateral/bilateral.
· 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
· 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Tipe difteri

Dosis DS (KI)

Cara Pemberian

Difteri hidung

20.000

IM

Difteri tonsil

40.000

IM atau IV

Difteri faring

40.000

IM atau IV

Difteri laring

40.000

IM atau IV

Kombinasi lokasi di atas

80.000

IV

Difteri + penyulit, bullneck

80.000-120.000

IV

Terlambat berobat (>72 jam), lokasi dimana saja

80.000-120.000

IV


SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemberiannya. Untuk mencegah rx anafilaktik ini maka harus dilakukan :

Uji Kepekaan
· Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian SAD terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.
· Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan ( dosisnya 0,01 cc/kg BB im, maksimal diulang 3x dengan interval 5-15 menit ).
· Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.

Uji Kepekaan yang dilakukan terdiri dari :
Tes kulit
· SAD 0,1 cc pengenceran 1:10 dalam NaCl 0,9% intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit.
· Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
Tes Mata
· 1 tetes pengenceran SAD 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah
· 1 tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian
· Dianggap (+) bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi )
· Konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000
Bila salah satu tes kepekaan (+), maka SAD tidak diberikan secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensibilisasi) dengan interval 20 menit. SAD diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan dosis sebagai berikut:
· 0,05 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:20 secara subkutan
· 0,1 cc dari pengenceran 1:10 secara subkutan
· 0,1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,3 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 0,5 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· 1 cc tanpa pengenceran secara subkutan
· SAD yang sisa diberikan secara drips IV. Bila ada tanda-tanda reaksi anafilaktik segera berikan adrenalin 1:1000.

2. Antibiotik
· Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3 gram/hari.
· Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.

3. Kortikosteroid
· Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull neck)
· Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.
· Dexamethazon 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

  1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab)
  2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
  3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
  4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
  5. Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
  6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
  7. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0.1 ml. pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. (FKUI kapita selekta)

Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). (Sumarmo: 2008)

Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.

  1. Tes hapusan spesimen:

Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies,uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi.

DIAGNOSA BANDING

  1. Difteri Hidung

Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital)

  1. Difteri Fausial

Harus dibedakan dengan:

- Tonsilitis folikularis atau lakunaris

Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita difteriae bila panas terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlampau lemah, faring an tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.

- Angina Plaut Vincent

Penyakit ini juga membran putih yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif).

- Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa

Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.

- Blood dyscrasia (misalnya leukimia)

Mungkin pula ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil.

  1. Difteri Laring

Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala striddor inspirasi dan sesak.

  1. Difteri Kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.

PENGOBATAN PENYULIT

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjagaagar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

PENGOBATAN KARIER

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji shick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaring. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Tabel 2.Pengobatan terhadap Kontak Difteri

Biakan

Uji Shick

Tindakan

(-)

(-)

Bebas isolasi : anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria

(+)

(-)

Pengobatan karier : adalah penisillin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

(+)

(+)

Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40 mg/kgBB + ADS 20.000 KI

(-)

(+)

Toksoid difteri(imunisasi aktif), sesuaikan dengan status imunitas

2.7 Komplikasi

Komplikasi yang timbul pada pasien difteri :

  1. Miokarditis
  • biasanya timbul akhir minggu kedua atau awal minggu ketiga perjalanan penyakit
  • Pemerikasaan Fisik :

Irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung.

Gambaran EKG :

    • Depresi segmen ST, inversi gelombang T, blok AV, tachicardi ventrikel, fibrilasi ventrikel dan perubahan interval QT
    • Laborat : kadar enzim jantung meningkat (LDH,CPK,SGOT,SGPT)
    • Rontgen : jantung membesar bila terdapat gagal jantung
  1. Kolaps perifer
  2. Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis
  3. Urogenital : dapat terjadi nefritis
  4. Penderita difteri (10%) akan mengalami komplikasi yg mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik
  • Terjadi pada akhir minggu pertama perjalanan penyakit
  • Tanda-tanda renjatan :
      • TD menurun (systol ≤ 80 mmHg)
      • Tekanan nadi menurun
      • Kulit keabu-abuan dingin dan basah
      • Anak gelisah

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN


Kasus Semu :

Anak L usia 6 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak dan demam. Dari pemeriksaan fisik anak L didiagnosa difteri laring dan faring, kemudian dari hasil EKG didapatkan tachicardi. Anak L rewel dan tidak mau makan, sehingga dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul dengan 3 lpm.

Anamnesa:

1. Identitas pasien

a. Nama : L

b. Usia : 6 Tahun

c. Jenis Kelamin : Laki-laki

2. Keluhan Utama :

Keluhan utama yang di rasakan pasien adanya sesak nafas.

3. Riwayat Penyakit Sekarang :

Anak L demam, sesak nafas dan tidak mau makan. Sehingga anak L dipasang NGT dan juga terpasang nasal kanul. Dari hasil EKG didapat tachicardy.

4. Riwayat penyakit keluarga

5. Riwayat penyakit masa lalu

Pemeriksaan Fisik

  • B1 : Breathing (Respiratory System)

RR tak efektif (Sesak nafas)

  • B2 : Blood (Cardiovascular system)

tachicardi

  • B3 : Brain (Nervous system)

Normal

  • B4 : Bladder (Genitourinary system)

Normal

  • B5 : Bowel (Gastrointestinal System)

Anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi

  • B6 : Bone (Bone-Muscle-Integument)

Lemah pada lengan, turgor kulit

  1. Diagnosa keperawatan: Sesak nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas akibat pembengkakan.

Tujuan: Pasien mampu bernafas tetap pada batas normal

Kriteria Hasil:

  • Tidak terjadi Obstruksi jalan nafas
  • Pernapasan tetap pada batas normal

No

Intervensi

Rasional

1.

Oksigenasi dengan pemasangan nasal kanul

Mempertahankan kebutuhan oksigen yang maksimal bagi pasien

2.

Tirah baring selam 2 minggu di ruang isolasi

Untuk mepertahankan atau memperbaiki keadaan umum

3.

Pemberian SAD 40.000 KI secara IM atau IV

Menetralisir toksin sehingga mengurangi peradangan

  1. Diagnosa keperawatan: Kerusakan (kesulitan) menelan dan nyeri menelan berhubungan dengan peradangan pada faring

Tujuan: Pasien mendapatkan nutrisi yang adekuat.

Kriteria Hasil: Pasien mendapat nutrisi yang cukup dan menunjukkan penambahan berat badan yang memuaskan.

No

Intervensi

Rasional

1.

Beri makan melalui Naso Gastric Tube (NGT)

Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian makanan oral memungkinkan.

2.

Pantau masukan keluaran dan berat badan.

Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.


  1. Diagnosa keperawatan: Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pemasangan NGT

Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.

Kriteria Hasil: Anak tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi karena pemasangan Naso Gastric Tube

No

Intervensi

Rasional

1.

Bersihkan kateter sesering mungkin

Untuk mencegah bakteri masuk ke dalam tubuh

  1. Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pemasangan NGT.

Tujuan: Pasien mengalami rasa aman tanda ketidaknyamanan.

Kriteria Hasil:

  • Pasien istirahat dengan tenang, sadar bila terjaga.
  • Mulut tetap bersih dan lembab.
  • Nyeri yang dialami pasien minimal atau tidak ada.

No

Intervensi

Rasional

1.

Beri stimulasi taktil (mis; membelai, mengayun).

Untuk memudahkan perkembangan optimal dan meningkatkan kenyamanan.

2.

Beri perawatan mulut.

Untuk menjaga agar mulut tetap bersih dan membran mukosa lembab.

3.

Dorong orangtua untuk berpastisipasi dalam perawatan anak.

Untuk memberikan rasa nyaman dan aman.

  1. Diagnosa keperawatan : Tachicardi berhubungan dengan penyebaran eksotoksin ke daerah jantung

Tujuan : Denyut jantung normal dan pasien tidak gelisah

Kriteria hasil:

- bunyi jantung normal

- tidak ditemukan tanda-tanda payah jantung.

- gambaran EKG : tidak ada depresi segmen ST

No.

Intervensi

Rasional

1.

Pemberian ADS 40.000 KI secara IM atau IV

- Menetralisir Toksin

- Eradikasi Kuman

- Menanggulangi infeksi sekunder

2.

Pemberian obat sedative (diazepam/luminal)

Untuk mengurangi rasa gelisah anak

3.

Pantau terus hasil perekaman EKG

Untuk evaluasi segala kedaaan dari miokard

DOWNLOAD : WOC ASKEP DIFTERI


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung.

4.2 Saran

Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Biofarma. 2007.Vaksinasi. http:/www.biofarma.com,2007

Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit),2007, Jakarta

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. 1 Mei 2010, 16.00 WIB.

Kadun I Nyoman.2006.Manual Pemberantasan Penyakit Menular.

CV Infomedika: Jakarta

Raya, Rheny. 2010. Asuhan Keperawatan Anak dengan Difteri. www.raya.blogspot.com. 15 Oktober 2010

Carpentino, Lynda Juall.2001.Buku Saku : Diagnosa keperawatan edisi : 8 Penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Doengoes, E Marlynn,dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3 penterjemah Monica Ester.EGC.Jakarta

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta

Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Salemba Medika: Jakarta

Sumarmo, dkk. 2008. Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Bag. IKA FK UI: Jakarta

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi IV. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta

Staf Pengajar IKA FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Vol.2. Infomedika: Jakarta

Behrman, Kliegman dan Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15 Vol.2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta


RSUD VVIP UPAYA WALUYA JOMBANG

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) ASBESTOSIS DAN SILIKOSIS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.

Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization(ILO), setiap hari terjadi 1.1 juta kematian yang disebakan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Dari data ILO tahun 1999, penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan paling banyak disebabkan oleh kanker 34%. Sisanya terdapat kecelakaan sebanyak 25 %, penyakit saluran pernapasaan 21%, dan penyakit kardiovaskuler 15%. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa penyakit saluran pernapasaan menempati peringkat ketiga.

Sebagai tenaga kesehatan, termasuk perawat harus melakukan pengkajian terhadap pasien dan apakah ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien dengan pekerjaan mereka. Sehingga dapat ditentukan perencanaan serta intervensi yang tepat untuk pasien agar hasil yang diperoleh dapat maksimal dan benar-benar bermanfaat untuk pasien.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1. Apa definisi silicosis dan asbestosis?

1.2.2. Bagaimanakah etiologi silicosis dan asbestosis?

1.2.3. Apa saja manifestasi klinis seseorang hingga dikatakan menderita silicosis dan asbestosis?

1.2.4. Bagaimana patofisiologi silicosis dan asbestosis?

1.2.5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada silikosis dan asbestosis?

1.2.6. Bagaimana penatalaksanaan untuk silikosis dan asbestosis?

1.2.7. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan asbestosis?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan silikosis dan asbestosis.

1.3.2 Tujuan Khusus

  1. Mengetahui patofisiologi silikosis dan asbestosis.
  2. Mengetahui mekanisme klinis silikosis dan asbestosis.
  3. Mengetahui pemeriksaan dignostik pada silikosis dan asbestosis.
  4. Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan asbestosis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Silikosis

2.1.1 Definisi

Pada saat orang menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut.

- Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas,

- Partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran pernapasan bagian tengah.

- Partikel yang berukuran lebih kecil yaitu 1 sampai 3 mikron, akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru kemudian menempel pada alveoli.

- Partikel yang lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas dihembuskan.

Silikosis adalah suatu penyakit saluran pernafasan akibat menghirup debu silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silikosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak. (RS Persahabatan,2002)

Terdapat 3 jenis silikosis menurut RS Persahabatan, 2002 :

1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.

3. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.

4. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.

Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif masif progresif. Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang normal.

2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama–sama dengan partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.

Silika merupakan unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada:

1. buruh tambang logam

2. pekerja pemotong batu dan granit

3. pekerja pengecoran logam

4. pembuat tembikar.

5. keluarga pekerja asbes akibat terpaparnya debu dari baju pekerja

2.1.3 Manifestasi Klinis

Penyakit silikosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silikosis tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila penyakit silikosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung.

Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut:

1. demam

2. batuk

3. penurunan berat badan

4. gangguan pernafasan yang berat.

Komplikasi :

1. Bronkitis

2. Emphysenic(kembang paru-paru)

3. Kegagalan jantung berfungsi

2.1.4 Patofisiologi

Partikel-partikel silika yang berukuran 0.5-5 µm bila terhirup akan tertahan di alveolus dan sel pembersih (makrofag) akan mencernanya. Banyak dari partikel ini dibuang bersama sputum sedangkan yang lain masuk ke dalam aliran limfatik paru-paru, kemudian mereka ke kelenjar limfatik. Enzim yang dihasilkan oleh sel pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada kelenjar, makrofag itu kemudian berintregasi, meninggalkan partikel silika yang akan menyebabkan dampak lebih luas. Kelenjar itu menstimulasi pembentukan bundel-bundel nodular dari jaringan parut dengan ukuran mikroskopik, semakin lama semakin banyak pula nodul yang terbentuk, mereka kemudian bergabung menjadi nodul yang lebih besar yang kemudian akan merusak jalur normal cairan limfatik melalui kelenjar limfe.

Ketika ini terjadi, jalan lintasan yang lebih jauh dari sel yang telah tercemar oleh silika akan masuk ke jaringan limfe paru-paru. Sekarang, antibodi baru di dalam pembuluh limfatik bertindak sebagai gudang untuk sel-sel yang telah tercemar oleh debu, dan parut nodular terbentuk terbentuk pada lokasi ini juga. Kemudian, nodul-nodul ini akan semakin menyebar dalam paru-paru.

Gabungan dari nodul-nodul itu kemudian secara berangsur-angsur menghasilkan bentuk yang mirip dengan masa besar tumor. Sepertinya, silika juga menyebabkan menyempitnya saluran bronchial yang merupakan sebab utama dari dyspnea. Jika penderita silikosis terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.

Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun.

2.1.5 Pemeriksaan

Biasanya akan ditanyakan secara terperinci mengenai jenis pekerjaan, hobi dan aktivitas lainnya yang kemungkinan besar merupakan sumber pemaparan silika. Pemeriksaan yang dilakukan:

1. Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut)

Foto toraks berguna dalam mendeteksi dan memantau respon paru untuk debu mineral, logam tertentu, dan debu organik mampu mendorong pneumonitis hipersensitivitas. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) International Klasifikasi Radiografi dari Pneumoconioses mengklasifikasikan radiografi dada sesuai dengan sifat dan ukuran dan kekeruhan melihat sejauh mana keterlibatan parenkim tersebut. Secara umum, kekeruhan linier terlihat di asbestosis. (Harrison , 2008)

  1. Tes fungsi paru

Banyak debu mineral menghasilkan perubahan karakteristik dalam mekanisme pernapasan dan volume paru-paru yang secara jelas menunjukkan pola restriktif. Demikian pula, pemaparan debu organik atau bahan kimia dapat menyebabkan asma kerja atau PPOK. Pengukuran perubahan volume ekspirasi paksa (FEV1) sebelum dan setelah shift kerja dapat digunakan untuk mendeteksi respon bronchoconstrictive atau peradangan akut. (Harrison, 2008)

2.1.6 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan pengobatannya. Penyakit silikosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantauan riwayat penyakit pekerja kalau sewaktu – waktu diperlukan.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:

1. Membatasi pemaparan terhadap silika

2. Berhenti merokok

3. Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.

Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. . Silika diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.

2.1.7 Pencegahan

Pengawasan terhadap di lingkungan kerja dapat membantu mencegah terjadinya silikosis. Penekanan debu dengan pengendalian teknis( pembasahan sebelumnya,pengeboran basah) perlu dilaksanakan dengan ketat dan debu residu hendaknya dikontrol dengan ventilasi yang sesuai. Kadar debu dan kandungan silika dalam debu yang masuk pernapasan hendaknya dipantau secara teratur. Jika menggunakan bahan peledak,para pekerja seharusnya dicegah masuk ke daerah berdebu sampai debu dibersihkan melalui ventilasi. Debu hendaknya disaring dari dari udara yang dikeluarkan .

Pekerja harus memakai masker dan tutup kepala bertekanan. Selama kerusakan alat-alat pengendalian debu teknis atau pada keadaan darurat. Kabin dengan pengatur udara (ber-AC) hendaknya disediakan untuk para pengemudi truk dan operator alat berat pada operasi terbuka di cuaca panas di mana penyemprotan dengan air tidak dimungkinkan.

Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto rontgen dada secara rutin. Untuk pekerja peledak pasir setiap 6 bulan dan untuk pekerja lainnya setiap 2-5 tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara dini.

Jika foto rontgen menunjukkan silikosis, dianjurkan untuk menghindari pemaparan terhadap silika.

2.2 Asbestosis

2.2.1 Definisi

Asbestosis merupakan penyakit kronis progesif, Penyakit ini disebabkan oleh udara yang mengandung debu asbes. Umumnya debu masuk kedalam paru-paru pada saat kita menarik nafas. Hal ini tergantung pada ukuran debu yang terhirup. Semakin kecil ukuran debu yang masuk melalui saluran pernapasan, maka semakin besar pula resiko terjadinya penimbunan debu dalam paru-paru. Debu dikelompokan menjadi tiga yaitu debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dll, debu mineral yaitu debu yang merupakan senyawa komplek seperti SiO2, SiO3, dan arangbatu, dan debu metal yaitu debu yang mengandung unsur logam. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Debu dengan ukuran 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan atas, 3-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah, 1-3 mikron akan sampai di permukaan alveoli, 0,5-1 mikron hinggap di permukaan alveoli/selaput lender sehingga menyebabkan fibrosis paru, sedangkan 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli.(RS Harapan, 2002)

Asbestosis disebabkan oleh debu asbes dengan masa latennya 10-20 tahun. Asbes adalah campuran berbagai silikat yang terpenting adalah campuran magnesium. Jika terhisap, serat asbes mengendap di dalam dalam paru-paru, mempengaruhi parenkim jaringan dari paru-paru, menjadi jaringan parut. Menghirup asbes juga dapat menyebabkan penebalan pleura. It occurs after long-term, heavy exposure to asbestos , eg in mining , and is therefore regarded as an occupational lung disease . Ini terjadi setelah jangka panjang, paparan berat asbes, misalnya di pertambangan. Asbestos terdiri dari serat silikat mineral dengan komposisi kimiawi yang berbeda. Asbestos is a mineral that can be woven like wool. Asbes adalah mineral yang dapat dijalin seperti wol dan merupakan produk alam mineral yang diketahui tahan terhadap panas dan korosi, tidak meneruskan arus listrik, tahan terhadap asam kuat, serta merupakan serat yang kuat dan fleksibel, mudah dijalin bersama-sama dan digunakan secara luas di dalam bangunan dan pabrik-pabrik industri. Some of its more common uses were in pipe and duct insulation, fire-retardant materials, brake and clutch linings, cement, and some vinyl floor tiles.

Terdapat beberapa jenis kristal debu asbestosis :

  1. Chrysotile
  2. Crocidolite
  3. Anthrophylite
  4. Tremolite
  5. Actinolite

Yang paling banyak digunakan adalah asbestos golongan chrysotile, karena seratnya panjang dan paling kuat. Pada kelompok amphibole serat lebih pendek namun lebih stabil secara kimiawi dan lebih tahan terhadap asam. Bersifat fibrogenik terhadap paru lebih kuat dibanding silika, karsinogenik.

Di dalam paru banyak terdapat “asbestos bodies” yaitu serat asbestos yang dilapisi bahan protein. Sering serat asbestos harus dipisahkan dengan tangan, sehingga terjadi papel kecil-kecil pada jari-jari tangan seperti duri, disebut duri asbestos. Terjadi juga fibrosis interstisialis, penebalan dan perlekatan pleura, fibrosis peritoneal. Paru menjadi kaku karena terdapat klasifikasi pada pleura dan dapat pula dijumpai keganasan Ca bronkogenik dan mesothelioma. Mesothelioma adalah tipe kanker pleura yang jarang. Peningkatan insidensi mesotelioma dihubungkan dengan inhalasi serat asbestos di lingkungan kerja. Walaupun gejala awalnya sedikit, mesotelioma dapat disembuhkan jika berhasil terdiagnosis. Waktu antara paparan asbestos pertama dan kemunculan tanda-tanda tumor beragam mulai dari 20 sampai 50 tahun, khusus mesotelioma. Kenaikan angka insidensi mesotelioma juga tampak pada penduduk yang walaupun tidak terpapar secara okupasional, tinggalnya serumah dengan pekerja asbestos atau tinggal di sekitar sumber emisi asbestos. Walaupun asbestos tidak lagi dipakai sebagai penyekat, zat ini masih menjadi sorotan karena adanya bahaya yang berasal dari bangunan yang sekatnya menggunakan asbestos

2.2.2 Etiologi

Asbestosis disebabkan oleh terhirupnya serat asbes (panjang 50 mikron atau lebih dan diameter 0,5 mikron atau kurang), oleh serat asbes, dimana serat asbes sukar untuk dihancurkan, bahkan oleh makrofag. Ketika makrofag mencoba untuk mencernakan serat asbes, sering mengalami kegagalan sebab seratnya terlalu kuat dan ikatan rantainya sangat kuat untuk diuraikan.

Faktor resiko terjadinya asbestosis adalah:

  1. Orang-orang yang bekerja di industri pengelolaan, pertambangan, penenunan, pemintalan asbes dan reparasi tekstil dengan produk-produk yang mengandung asbes.
  2. Pemaparan pada keluarga pekerja asbes terjadi dari partikel yang terbawa ke rumah di dalam pakaian pekerja
  3. Perokok tembakau lebih cenderung menderita penyakit yang berhubungan dengan asbes dibandingkan non-perokok. Life expectancy is also shorter among smokers than non-smokers. Asbestos workers who stop smoking, can within 5-10 years reduce their risk of dying with lung cancer by about one half to one third that of their colleagues who continue to smoke. Harapan hidup perokok lebih pendek dibandingkan non-perokok. Asbestos pekerja yang berhenti merokok, dalam 5-10 tahun dapat mengurangi risiko kematian kanker paru-paru oleh sekitar satu setengah sampai satu sepertiga dari rekan-rekan mereka yang terus merokok.

2.2.3 Manifestasi Klinis

Gejala asbestosis muncul secara bertahap dan baru muncul setelah terbentuknya jaringan parut dalam jumlah banyak dan paru-paru kehilangan elastisitasnya. Gejala pertama adalah sesak nafas ringan dan berkurangnya kemampuan untuk melakukan gerak badan juga ditandai dengan batuk kering. Sekitar 15% penderita, akan mengalami sesak nafas yang berat dan mengalami kegagalan pernafasan. Berlangsung sebagai penyakit paru- paru dan kerusakan meningkat, sesak nafas terjadi walaupun pada pasien istirahat.

Perokok berat dengan bronkitis kronis dan asbestosis, akan menderita batuk-batuk dan sesak napas. Menghirup serat asbes kadang-kadang dapat menyebabkan terkumpulnya cairan pada ruang antara kedua selaput yang melapisi paru-paru.

Keluhan dan gejala timbulnya sangat lambat, membutuhkan waktu 7-10 tahun. Terutama sesak nafas bila melakukan aktifitas. Batuk non produktif, lebih sering dan lebih hebat dibanding silikosis. Bila terjadi batuk darah biasanya sudah ada neoplasma paru. Nyeri dada retrosternal, berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisik pada fase dini biasanya belum dijumpai kelainan selain adanya benda asbestos didalam dahak pekerja (2 bulan). Pada fase lanjut didapatkan sianosis dan jari tabuh. Jari tabuh umumnya dihubungkan dengan penyakit yang lanjut. Bila ada pada pekerja dengan kelainan fibrosis interstisialis yang ringan maka lebih banyak dihubungkan dengan kanker paru.

Gerak pernafasan menurun, simetris, tanda-tanda fibrosis hebat. Sianosis akan bertambah hebat apabila melakukan kegiatan fisik, bisa juga didapatkan suara mengi. Dapat terdengar ronkhi (pada akhir inspirasi atau selama inspirasi) dibasal paru, terjadi pada > 60% penderita dengan asbestosis. Ronkhi ini tergantung pada dosis paparan dan dapat terjadi pada x-foto toraks normal. Pada asbestosis risiko terjadinya tuberculosis paru tidak didapatkan, tetapi disini didapatkan risiko kanker paru lebih besar. Risiko terjadinya mesothelioma atau penebalan pleura sangat besar. Kelainan kuku atau clubbing of fingers (bentuk jari-jari tangan yang menyerupai tabuh genderang) juga dapat terjadi.

As the adverse health effect of asbestos is irreversible and only the smoking habit can alter the consequence to a certain extent, it has been decided to rate the health effect into the following t

2.2.4 Patofisiologi

Asbestosis disebabkan oleh inhalasi jangka panjang dari serat asbes. People with occupational exposure to the mining, manufacturing, handling or removal of asbestos are at risk of developing asbestosis. There is an increased risk of lung cancer and mesothelioma associated with asbestosis.Terdapat peningkatan risiko kanker paru-paru dan mesothelioma terkait dengan asbestosis. The risk is related to the total dose of asbestos received and the duration of asbestos exposure. Biasanya mikroorganisme, debu, dan partikel asing lainnya yang ada di udara saat kita bernafas akan disaring oleh rambut-rambut hidung, sehingga menimbulkan reflek batuk. Sedangkan partikel asbes (amphiboles) panjang, sangat tipis, ringan, dan mikroskopis yang masuk ke hidung, tidak dapat disaring oleh rambut-rambut hidung, menyebabkan partikel asbes dapat masuk ke saluran pernapasan Occupational exposure is the most common cause of asbestosis, but the condition also Ketika memasuki saluran pernapasan, partikel ini masuk ke dalam paru-paru kesalah satu alveoli dari 300 juta gas yang ada dan melakukan pertukaran gas.

Setiap alveolus memiliki banyak sel-sel pembersih yang disebut macrophages menelan partikel apapun yang dibuat ke bawah alveoli. Alveoli have very thin, elastic walls that allow an exchange of gases vital to your health - oxygen flows from the alveoli into your bloodstream to nourish your body, and carbon dioxide waste flows from your bloodstream into the alveoli and on into your bronchi to be expelled.Alveoli yang sangat tipis dan elastis yang memungkinkan pertukaran gas yang penting untuk kesehatan. Oksigen mengalir dari alveoli ke dalam darah untuk memelihara tubuh, dan karbon dioksida mengalir dari darah ke alveoli dan ke bronchi untuk dibuang. Asbestos fibers can easily flake off and are small enough to be inhaled deep into the lungs.Serat asbes dapat dengan mudah mengelupas dan cukup kecil untuk terhirup masuk ke dalam paru-paru. When they are inhaled into the lungs, the lungs’ defense cells try to destroy the asbestos fibers, but the body's defense mechanisms cannot break down asbestos.Apabila mereka terhirup ke dalam paru-paru, dan serat tersebut mencapai alveoli (kantung udara) dalam paru-paru, di mana oksigen dipindahkan ke dalam darah, benda asing (asbes serat) menyebabkan aktivasi dari paru-paru.

Sel pertahanan paru-paru mencoba merusak serat asbes, tetapi mekanisme pertahanan tubuh tidak dapat menghancurkan asbes, bahkan untuk macrophage. Macrophage berusaha untuk menelan sebuah serat asbes, ia sering gagal karena serat yang terlalu panjang. Dalam prose macrophage tersebut mengeluarkan zat untuk menghancurkan benda asing, tetapi juga dapat membahayakan alveoli. Hal ini menyebabkan terjadinya perlukaan di alveoli dan membentuk jaringan parut disebut sebagai proses fibrosis. Kemudian serat asbes yang tidk dapat tersaring tetap berada di dalam dan menyebabkan radang paru-paru dan jaringan parut.

Jaringan paru menyebabkan dinding alveolar menebal dapat mengurangi elastisitas dan kemampuan mereka untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Sehingga, terjadi penurunan kapasitas paru-paru, pertukaran oksigen berkurang, dan akan terasa semakin kekurangan nafas. Lebih dari 50% orang yang terkea dengan mengembangkan asbestosis plak di pleura parietal, di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru. Pasien datang dengan inspirasi kering crackles, clubbing finger, dan pola fibrotik menyebar di bagian bawah lobus paru-paru yang merupakan tempat paling sering terserang asbestosis.

2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik

a. Radiologis

Penderita dapat mengalami sesak nafas tanpa adanya kelainan radiologis. Didapatkan infiltrat halus tersebar difus, lokasi kelainan pada umumnya didaerah lateral dan basal. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular. Pada fase lanjut infiltrat makin banyak dan luas. Bila penyakit bertambah berat batas infiltrat makin tidak jelas dan jantung membesar. Bila ada penyulit maka akan didapatkan gambaran tumor paru, pelebaran pleura, ektasis dengan gambaran sarang lebah, cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan CT-scan meningkatkan diagnostik dengan mendeteksi perubahan pada pleura dan parenkim yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologis biasa.

  1. Tes fungsi paru dengan
    1. Oximetry

Evaluasi oksigenasi penting sebab hypoxemia yang belum dikoreksi akan menyebabkan hipertensi yang berkenaan dengan paru-paru dan dapat mendorong kearah kor pulmonal . terutama oximetry dilakukan pada saat istirahat dan selama latihan (misalnya, 6-menit tes berjalan).

  1. Spirometri

Gambaran spirometri yang khas adalah penurunan kavasitas vital dan kapasitas paru total,volume residu biasanya normal atau sedikit menurun serta penurunan kapasitas difusi.Dalam mendeteksi kelainan ini secara dini maka kita harus mengamati adanya penurunan kapasitas vital dan kapasitas difusi

  1. Bilas Bronkoalveolar

Merupakan indikator aktivitas penyakit (alveolitis). Cairan bilas bronkoalveolar normal mengandung 90% macrophage,10% limfosit dan sesekali neutrofil.

  1. Pemeriksaan darah

Gas darah arteri (ABG) digunakan untuk mendeteksi penurunan oksigen dalam darah yang berhubungan dengan perubahan pernapasan yang terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan asbes. Nilai normal BGA (Blood Gas Analysa) adalah PCO2 :35-45mmHg, PO2 : 80 – 100 mmHg, pH : 7,35 – 7,45. Pada klien dengan asbestosis analisis gas darah arteri menunjukkan ❑ Partial pressure of arterial oxygen — decrtekanan parsial oksigen arteri menurun dan ❑ Partial pressure of arterial carbon dioxide — low due to hyperventilationtekanan parsial karbon dioksida arteri rendah karena hiperventilasi.

2.2.6 Penatalaksanaan

Tidak ada obat yang tersedia. Menghentikan paparan asbes lebih lanjut ditunjukkan. Maka dilakukan perawatan yang bertujuan untuk membantu pasien dapat bernapas dengan mudah, mencegah infeksi pernapasan, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pengguanaan antibiotik dimaksudkan untuk menyerang infeksi. Aspirin atau Acetominophen (Tylenol) dapat membebaskan ketidaknyaman dan bronchodilators oral atau inhalasi dan melebarkan saluran napas.Dapat diberikan obat semprot untuk mengencerkan lendir. Pengobatan suportif untuk mengatasi gejala yang timbul adalah membuang lendir atau dahak dari paru-paru melalui prosedur postural drainase. Bila asbestosis sudah memasuki stadium mesotelioma maka belum ada terapi yang berhasil meningkatkan kesembuhan.

2.2.7 Pencegahan

Asbestosis dapat dicegah dengan mengurangi kadar serat dan debu asbes dilingkungan kerja. Penggunaan kontrol debu dapat mengurangi penderita asbestosis, tetapi mesotelioma masih terjadi pada orang yang pernah terpapar 40 tahun yang lalu, ventilasi udara yang cukup di ruang kerja, penggunaan masker bagi pekerja yang beresiko tinggi dapat mengurangi pemaparan, Untuk mengurangi resiko terjadinya kanker paru-paru dianjurkan pekerja pabrik untuk berhenti merokok. Perawatan medis untuk infeksi saluran pernapasan, dengan sering menggunakan antibiotik ketika diperlukan. Mereka juga harus berpartisipasi dalam terapi pernapasan seperti bronkial drainase atau penggunaan humidifier kabut ultrasonik yang membantu dalam pembersihan lendir dari paru-paru. Pasien harus menghindari situasi yang mungkin mengekspos mereka untuk infeksi saluran pernapasan seperti banyak orang

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi lanjutan pada asbestosis antara lain:

  1. Efusi pleura
  2. Mesothelioma, meskipun jarang, asbes juga bisa menyebabkan tumor pada pleura yang disebut mesotelioma atau pada selaput perut yang disebut mesotelioma peritoneal. Mesotelioma yang disebabkan oleh asbes bersifat ganas dan tidak dapat disembuhkan. Mesotelioma umumnya muncul setelah terpapar krokidolit, satu dari 4 jenis asbes. Amosit, jenis yang lainnya, juga menyebabkan mesotelioma. Krisotil mungkin tidak menyebabkan mesotelioma tetapi kadang tercemar oleh tremolit yang dapat menyebabkan mesotelioma. Mesotelioma biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun.
  3. Cor pulmonale
  4. Fibrosis Pulmoner idiopatik
  5. Pneumoconeosis
  6. Kanker bronkus

2.2.9 WOC (Web of Caution)

DOWNLOAD : WOC ASKEP ASBESTOSIS

DOWNLOAD : WOC ASKEP SILIKOSIS

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Asbestosis

3.1 Pengkajian

Meliputi:

  1. Identitas pasien

Meliputi nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.

Asbestosis lebih sering diderita oleh kalangan pekerja bangunan atau pekerjaan yang sering berhubungan dengan asbes yang sebagian besar dilakukan oleh pria sehingga lebih sering menyerang pria dibanding wanita.

  1. Riwayat Penyakit Sekarang

Klien sesak saat bernafas, batuk disertai dahak, mengeluh nyeri dada, peningkatan frekuensi nadi, lemas, nyeri kepala.

  1. Keluhan utama

Pada klien dengan silikosis akan mengeluh sesak, batuk, demam.

  1. Riwayat Penyakit dahulu

Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan gejala luka tenggorok, bersin demam ringan sebelumnya.

  1. Riwayat penyakit keluarga

Pauda mumnya klien dengan silikosis tidak memiliki penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini.

  1. Riwayat Psikososial

Perawat mengkaji tentang perasaan, status emosional, dan perilaku klien. Misalnya, klien sering merasa cemas akibat nyeri yang kronis dan mengisolasi diri karena penyakit yang diderita.

  1. Pemeriksaan Fisik:
    1. B1 (Breath) : sesak, nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan parut di alveoli, RR menurun, adanya penggunaan otot bantu pernafasan saat inspirasi, hipoksia
    2. B2 (Blood) : cyanosis, hipoksia, denyut jantung meningkat, TD meningkat, tachycardi
    3. B3 (Brain) : dizziness, cemas, penurunan kesadaran
    4. B4 (Bladder) : -
    5. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, Pasien lemah
    6. B6 (Bone): malaise
    7. Pemeriksaan penunjang
      1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit 15.000-40.000/mm³, biakan sputum, darah, bila perlu cairan efusi pleura
      2. Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-anterior dan lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular.

Hasil diagnosa asbestosis dibangun atas 3 tahap :

  1. Riwayat ekspose.
  2. Bukti fibrosis dari radiografi (misalnya, HRCT), dan ditemukannya gangguan fungsi paru-paru dengan atau tanpa bukti histologi (serat asbes di dalam bronchoalveolar, cairan atau fibrosis pada biopsi jaringan paru-paru).
  3. Tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan fibrosis interstitial.

3.2 Analisa Data

Data

Etiologi

Masalah

DS: Klien mengeluh sesak

DO: RR menurun, pola nafas tidak teratur, pucat, ketidaknormalan frekuensi, irama dan kedalaman nafas, hipoksia, tachycardia, tekanan O2 dan CO2 menurun. Pada lapang paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular

Adanya jaringan parut di alveoli

Gangguan Pertukaran gas

DS : Demam

DO : Suhu tubuh lebih dari 37 ° C

Peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes

Hipertermi

DS : Klien merasa lemah, tidak nyaman

DO: Denyut jantung meningkat, TD meningkat.

Kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas

Intoleransi Aktivitas

DS : Klien merasa lemas

DO :kurus, BB menurun, albumin << 3,2 , Hb << 11g/dl , rambut terlihat memerah pada anak-anak, lapisan subkutan tipis.

Intake makanan kurang dari kebutuhan

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3.3 Diagnosa Keperawatan

  1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
  2. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika
  3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas

3.4 Intervensi dan Rasional

  1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli

Tujuan : Pertukaran gas tidak terganggu

Kriteria hasil : status respiratoris dalam rentang yang diharapkan; dispnea saat istirahat; gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada; PaO2, PaCO2, dan pH arteri, dan saturasi O2 dalam batas normal. Nilai normal BGA (Blood Gas Analysa) adalah PCO2 :35-45mmHg, PO2 : 80 – 100 mmHg, pH : 7,35 – 7,45.

Intervensi

Rasional

Observasi

  • Monitor bunyi paru; frekuensi napas, kedalaman, dan usaha dan produksi sputum sesuai dengan indikator dari penggunaan alat penunjang yang efektif.
  • Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara atau bunyi tambahan
  • Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.

Mandiri

  • Jelaskan prosedur pengobatan kepada klien

  • Awasi tanda vital dan irama jantung

Kolaborasi

  • Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan analisa gas darah (AGD) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan.
  • Siapkan klien untuk ventilasi atau oksigenasi mekanis bila perlu.

Health edukasi

  • Jelaskan penggunaan alat bantu pernafasan sesuai indikasi.

  • Ajarkan kepada pasien tekhnik bernapas dan relaksasi

  • Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya proses penyakit.

  • Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau konsolidasi
  • Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia. Nilai AGD memburuk disertai bingung/somnolen menunjukkan disfungsi serebral yang berhubungan dengan hipoksemia.

  • Menurunkan kecemasan klien terhadap prosedur tindakan yang dilakukan.
  • Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung

  • Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.

  • Terjadinya atau kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan penyelamatan hidup

  • Memberikan informasi kepada pasien tentang tata cara menggunakan alat bantu.
  • Dengan adanya tekhnik bernapas dan relaksasi dapat mengurangi hipoksia

  1. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes

Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh

Kriteria Hasil: suhu tubuh normal (36-37°C).

Intervensi

Rasional

Observasi:

  • Pantau tanda vital tiap tiga jam atau lebih sering

Mandiri

  • Berikan kebutuhan cairan ekstra

  • Anjurkan klien untuk memakai

pakaian yang minimal

  • Berikan kompres dingin

Kolaborasi

  • Berikan antipiretik

Health Edukasi

  • Ajarkan pentingnya mempertahankan asupan cairan yang adekuat

  • Perubahan frekuensi jantung atau tekanan darah menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda vital telah terlihat

  • Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat, sehingga perlu diimbangi dengan intake cairan yang banyak
  • Pakaian yang tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh
  • Konduksi suhu membantu menurunkan suhu tubuh

  • Antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh

  • Agar pasien dapat mempertahankan asupan cairan tubuhnya

  1. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas

Tujuan : pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas

Kriteria Hasil: menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas.

Intervensi

Rasional

Observasi

  • Monitor respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas

  • Pantau asupan nutrisi

  • Pantau/dokumentasikan pola istirahat pasien dan lamanya waktu tidur

Mandiri

  • Hindari menjalankan aktivitas perawatan selama periode istirahat

  • Bantu dengan aktivitas fisik teratur

  • Batasi rangsangan lingkungan

Kolaborasi

  • Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik dan atau rekreasi
  • Rujuk pada pelayanan kesehatan rumah

  • Rujuk pada ahli gizi untuk merencanakan makanan

Health Edukasi

  • Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu.
  • Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat

  • Menetapkan kemampuan, kebutuhan dan memudahkan pilihan intervensi pasien
  • Asupan nutrisi yang cukup dapat menjaga keadekuatan energi.
  • Dengan istirahat yang cukup dan teratur dapat membantu untuk menyiapkan energi yang cukup bagi klien

  • Aktivitas di periode istirahat dapat menyebabkan pasien kekurangan tenaga sehingg pasien lemas.
  • Dengan aktivitas yang teratur menyebabkan tubuh terbiasa sehingga klien bisa lebih kuat melakukan aktivitas
  • Dengan membatasi rangsangan dapat mengurangi tingkat distress klien yang membutuhkan tenaga

  • merencanakan dan memantau program aktivitas
  • mendapatkan pelayanan tentang bantuan perawatan di rumah sesuai dengan kebutuhan
  • meningkatkan asupan makanan yang tinggi energi

  • mencegah kelelahan

  • tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon individual pasien terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan pernafasan

  1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan

kurang dari kebutuhan

Tujuan : status gizi baik

Kriteria Hasil :

ü Antropometri : BB tidak turun (stabil), Tinggi badan, lingkar lengan

ü Biokimia : Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dL, Hb Normal anak 11-13 g/dL

ü Klinis : Tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah.

ü Diet : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan bertambah

Intervensi

Rasional

Observasi

  • Pastikan pola diet biasa pasien, yang disukai atau tidak disukai.
  • Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara pariodik.
  • Monitor turgor kulit pasien

  • Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah

Mandiri

  • Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
  • Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.

  • Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi

Kolaborasi

  • Patikan diet memenuhi kebutuhan pernafasan sesuai indikasi.

Health Edukasi

  • Ajarkan metode untuk perencanaan makan

  • Ajarkan pasien dan keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal

  • Untuk mendukung peningkatan nafsu makan pasien
  • Mengetahui keseimbangan intake dan pengeluaran asuapan makanan
  • Sebagai data penunjang adanya perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan
  • Untuk dapat mengetahui tingkat kekurangan kandungan Hb, albumin, dan glukosa dalam darah

  • Menjaga pola makan pasien sehingga pasien makan secara teratur

  • Pasien merasa nyaman dengan makanan yang dibawa dari rumah dan dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
  • Dengan pemberian porsi yang besar dapat menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.

  • Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori diperlukan atau dibutuhkan selama perawatan.

  • Klien terbiasa makan dengan terencana dan teratur.
  • Menjaga keadekuatan asupan nutrisi yang dibutuhkan.

Silikosis

3.1 Pengkajian

Meliputi:

  1. Identitas pasien

Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan. Silikosis lebih sering diderita oleh kalangan pekerja bangunan atau yang sering berhubungan dengan asbes yang sebagian besar dilakukan oleh pria sehingga lebih sering menyerang pria dibanding wanita.

  1. Riwayat Penyakit Sekarang

Klien sesak saat bernafas, batuk, keluhan nyeri dada, peningkatan frekuensi peningkatan, lemas, nyeri kepala.

  1. Keluhan utama

Pada klien dengan asbestosis akan mengeluh sesak, batuk, demam

  1. Riwayat Penyakit dahulu

Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan gejala luka tenggorok, bersin demam ringan.

  1. Riwayat penyakit keluarga

Umumnya klien dengan silikosis tidak memiliki penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini

  1. Riwayat Psikososial

Perawat perlu memperoleh persepsi yang jelas mengenai perasaan, status emosi, dan perilaku klien. klien sering merasa cemas akibat nyeri yang kronis dan mengisolasi diri karena penyaklit yang diderita.

  1. Pemeriksaan Fisik:
    1. B1 (Breath) : sesak napas, Nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan parut di alveoli, RR menurun, adanya penggunaan otot bantu pernafasan inspirasi, hipoksia
    2. B2 (Blood) : cyanosis, hypoxia, denyut jantung meningkat, TD meningkat, tachycardi
    3. B3 (Brain) : dizziness, cemas, penurunan kesadaran
    4. B4 (Bladder) : -
    5. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, Pasien lemah
    6. B6 (Bone): malaise
    7. Pemeriksaan penunjang
      1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit 15.000-40.000/mm³, biakan sputum, darah, bila perlu cairan efusi pleura.
      2. Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-anterior dan lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular.

Hasil diagnosa asbestosis dibangun atas 3 tahap :

  1. Riwayat ekspose.
  2. Bukti fibrosis dari radiografi (misalnya, HRCT), dan ditemukannya gangguan fungsi paru-paru dengan atau tanpa bukti histologi (serat asbes di dalam bronchoalveolar, cairan atau fibrosis pada biopsi jaringan paru-paru).
  3. Tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan fibrosis interstitial.

3.2 Analisa Data

Data

Etiologi

Masalah

DS: Klien mengeluh sesak

DO: RR menurun, pola nafas tidak teratur, pucat, ketidaknormalan frekuensi, irama dan kedalaman nafas, hipoksia, tachycardia, tekanan O2 dan CO2 menurun. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular

Adanya jaringan parut di alveoli

Gangguan Pertukaran gas

DS : Demam

DO : Suhu tubuh lebih dari 37 ° C

Peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika

Hipertermi

DS : Klien merasa lemah, tidak nyaman

DO: denyut jantung meningkat, TD meningkat.

Kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas

Intoleransi Aktivitas

DS : Klien merasa lemas

DO: kurus, BB menurun, albumin << 3,2 , Hb << 11g/dl , rambut terlihat memerah pada anak-anak, lapisan subkutan tipis.

Intake makanan kurang dari kebutuhan

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3.3 Diagnosa Keperawatan

  1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
  2. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika
  3. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas
  4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan kurang dari kebutuhan

3.4 Intervensi dan Rasional

  1. Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli

Tujuan : Pertukaran gas tidak terganggu

Kriteria hasil : status neurologis dalam rentang yang diharapkan; dispnea saat istirahat dan aktivitas tidak ada; gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada; PaO2, PaCO2, dan pH arteri, dan saturasi O2 dalam batas normal

Intervensi

Rasional

Observasi

  • Monitor bunyi paru; frekuensi napas, kedalaman, dan usaha dan produksi sputum sesuai dengan indikator dari penggunaan alat penunjang yang efektif.
  • Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara atau bunyi tambahan
  • Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.

Mandiri

  • Jelaskan prosedur pengobatan kepada klien

  • Awasi tanda vital dan irama jantung

Kolaborasi

  • Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan akan pemeriksaan gas darah arteri (GDA) dan penggunaan alat bantu yang dianjurkan.
  • Siapkan klien untuk ventilasi atau oksigenasi mekanis bila perlu.

Health edukasi

  • Jelaskan penggunaan alat bantu pernafasan.

  • Ajarkan kepada pasien tekhnik bernapas dan relaksasi

  • Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya proses penyakit.

  • Bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau konsolidasi
  • Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia. AGD memburuk disertai bingung/somnolen menunjukkan disfungsi serebral yang berhubungan dengan hipoksemia.

  • Menurunkan kece masan klien terhadap prosedur tindakan yang dilakukan.
  • Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung

  • Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.

  • Terjadinya atau kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan penyelamatan hidup

  • Memberikan informasi kepada pasien tentang tata cara menggunakan alat bantu.
  • Dengan adanya tekhnik bernapas dan relaksasi dapat mengurangi hipoksia
  1. Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes

Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh

Kriteria Hasil: suhu tubuh normal (36-37°C).

Intervensi

Rasional

Observasi:

  • Pantau tanda vital tiap tiga jam atau lebih sering

Mandiri

  • Berikan kebutuhan cairan ekstra

  • Anjurkan klien untuk memakai

pakaian yang minimal

  • Berikan kompres dingin

Kolaborasi

  • Berikan antipiretik

Health Edukasi

  • Ajarkan pentingnya mempertahankan asupan cairan yang adekuat

  • Perubahan frekuensi jantung atau tekanan darah menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda vital telah terlihat.

  • Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat, sehingga perlu diimbangi dengan intake cairan yang banyak
  • Pakaian yang tipis akan membantu mengurangi penguapan tubuh
  • Konduksi suhu membantu menurunkan suhu tubuh

  • Antipiretik untuk menurunkan suhu tubuh

  • Agar pasien dapat mempertahankan asupan cairan tubuhnya

  1. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas

Tujuan : pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas

Kriteria Hasil: menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas.

Intervensi

Rasional

Observasi

  • Monitor respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas

  • Pantau asupan nutrisi

  • Pantau/dokumentasikan pola istirahat pasien dan lamanya waktu tidur

Mandiri

  • Hindari menjalankan aktivitas perawatan selama periode istirahat

  • Bantu dengan aktivitas fisik teratur

  • Batasi rangsangan lingkungan

Kolaborasi

  • Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik dan atau rekreasi
  • Rujuk pada pelayanan kesehatan rumah

  • Rujuk pada ahli gizi untuk merencanakan makanan

Health Edukasi

  • Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu.
  • Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat

  • Menetapkan kemampuan, kebutuhan dan memudahkan pilihan intervensi pasien
  • Asupan nutrisi yang cukup dapat menjaga keadekuatan energi.
  • Dengan istirahat yang cukup dan teratur dapat membantu untuk menyiapkan energi yang cukup bagi klien

  • Aktivitas di periode istirahat dapat menyebabkan pasien kekurangan tenaga sehingg pasien lemas.
  • Dengan aktivitas yang teratur menyebabkan tubuh terbiasa sehingga klien bisa lebih kuat melakukan aktivitas
  • Dengan membatasi rangsangan dapat mengurangi tingkat distress klien yang membutuhkan tenaga

  • merencanakan dan memantau program aktivitas
  • mendapatkan pelayanan tentang bantuan perawatan di rumah sesuai dengan kebutuhan
  • meningkatkan asupan makanan yang tinggi energi

  • mencegah kelelahan

  • tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon individual pasien terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan pernafasan

  1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan kurang dari kebutuhan

Tujuan : status gizi baik

Kriteria Hasil :

ü Antropometri : BB tidak turun (stabil), Tinggi badan, lingkar lengan

ü Biokimia : Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dL, Hb Normal anak 11-13 g/dL

ü Klinis : Tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah.

ü Diet : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan bertambah

Intervensi

Rasional

Observasi

  • Pastikan pola diet biasa pasien, yang disukai atau tidak disukai.
  • Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara pariodik.
  • Monitor turgor kulit pasien

  • Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah

Mandiri

  • Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
  • Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.

  • Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi

Kolaborasi

  • Patikan diet memenuhi kebutuhan pernafasan sesuai indikasi.

Health Edukasi

  • Ajarkan metode untuk perencanaan makan

  • Ajarkan pasien dan keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal

  • Untuk mendukung peningkatan nafsu makan pasien
  • Mengetahui keseimbangan intake dan pengeluaran asuapan makanan
  • Sebagai data penunjang adanya perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan
  • Untuk dapat mengetahui tingkat kekurangan kandungan Hb, albumin, dan glukosa dalam darah

  • Menjaga pola makan pasien sehingga pasien makan secara teratur

  • Pasien merasa nyaman dengan makanan yang dibawa dari rumah dan dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
  • Dengan pemberian porsi yang besar dapat menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.

  • Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori diperlukan atau dibutuhkan selama perawatan.

  • Klien terbiasa makan dengan terencana dan teratur.
  • Menjaga keadekuatan asupan nutrisi yang dibutuhkan.