Selasa, 21 Oktober 2014

ASKEP BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)


BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Hiperplasia prostat jinak adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.   ( Price, 2005 )
Hiperplasia prostat benigna adalah perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. ( Brunner & Suddarth, 2000 )
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra, menyebabkan gejala urinaria dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari bulu-buli. ( Nursalam, 2006 )
Hiperplasia prostat benigna adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretra mengalami hiperplasia sedangkan jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. (http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/pus-3.htm)
Dari beberapa definisi diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa hiperplasia prostat benigna adalah perbesaran atau hipertrofi prostat, kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine sehingga menyebabkan berbagai  derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.
B. Patofisiologi
Ketika seorang berusia diatas 50 tahun, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadinya gangguan atau kerusakan pada organ-organ tubuh. Pada pria ketika menginjak usia 50 tahun keatas maka terjadi penurunan fungsi testis. Akibatnya adalah ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotestosteron sehingga memacu pertumbuhan atau pembesaran prostat ( dalam hal ini prostat dapat mencapai 60-100 gram atau bahkan lebih ). Pembesaran kelenjar prostat dapat meluas ke arah atas (bladder) sehingga mempersempit saluran uretra yang pada akhirnya akan menyumbat urine dan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan didalam bladder. Sebagai kompensasi terhadap tekanan uretra prostatika maka otot-otot destrusor dan buli-buli berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan ini. Kontraksi secara terus menerus menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli. Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini akan menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus dapat menyebabkan gagal ginjal. Pada klien benigna prostat hiperplasia urine yang dikeluarkan tidak tuntas sehingga tersisalah urine di dalam buli-buli saat proses miksi, sehingga seseorang cenderung mengejan untuk mengeluarkan urine tersebut dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen sehingga dapat menimbulkan hernia dan hemoroid.
Pembesaran prostat ini akan menimbulkan keluhan atau tanda dan gejala seperti sulit memulai miksi, nokturia ( bangun tengah malam untuk berkemih ), sering berkemih anyang-anyangan, abdomen tegang, pancaran urine menurun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling ( urine menetes terus setelah berkemih ), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, sakit atau nyeri ketika berkemih, retensi urine akut ( bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih ), anoreksia, mual dan muntah.
Apabila tidak segera ditangani, dapat menimbulkan komplikasi antara lain gagal ginjal, hemoroid dan hernia bahkan kematian. 
C. P enatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari penatalaksanaan medis, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diit.
1. Penatalaksanaan medis
a. Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin, prazosin tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis kronis diberikan antibiotik.
a.       Pembedahan
1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP ) prosedur pembedahan yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Sedapat mungkin hanya sedikit jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak terlalu lama. Restoskop sejenis instrumen hampir serupa dengan cystoscope tapi dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang disambungkan dengan arus listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas terus menerus selama prosedur berjalan. Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang diberi pelumas yang ditempatkan pada bawah paha. Kepingan jaringan yang halus dibuang dengan irisan dan tempat tempat pendarahan dihentikan dengan couterisasi. Setelah TUR dipasang folley kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40 ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang besar dipasang untuk memperlancar membuang gumpalan darah dari kandung kemih.
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar prostat dari uretra melalui kandung kemih..
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum.
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra.
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan  mengalirkan panas sehingga terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner and Suddart, (2000)
a.       Mandi air hangat
b.      Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul.
c.       Menghindari minuman beralkohol
d.      Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam sebelum tidur.
3. Penatalaksanaan diit menurut Brunner and Suddart, (2000)
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk menghindari minuman beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan makanan yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
D. Pengkajian
Pengkajian pada klien benigna prostat hiperplasia menurut Doenges, (1999) dan Brunner and Suddart (2000) diperoleh data sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Tanda  : Peninggian TD ( efek pembesaran ginjal )
2. Eliminasi
Gejala  : Penurunan kekuatan/dorongan aliran urine ; tetesan.
Keragu-raguan pada berkemih awal.
Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih.
Nokturia, disuria, hematuria.
Infeksi saluran kemih berulang, riwayat batu, Konstipasi.
Tanda  : Distensi kandung kemih, nyeri tekan kandung kemih.
3. Makanan/cairan
Gejala  : Anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
4. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala  : Nyeri suprapubis, panggul atau punggung dan rasa tidak nyaman pada abdomen, kolik renalis.
5. Keamanan
Gejala  : Demam
6. Seksualitas
Gejala  : Masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksual.
Takut Inkontinensia/menetes selama hubungan intim.
Penurunan kekutan kontraksi ejakulasi.
Tanda  : Pembasaran, nyeri tekan prostat.
7. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala  : Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.
Penggunaan antihipertensif atau antidepresan, antibiotik urinaria.
Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa      : Warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang ( berdarah);    penampilan keruh; pH 7 atau lebih besar ( menunjukkan infeksi ).
2. Kultur urine : Dapat menunjukkan Staphylococcus aureus, Proteus, Klebsiella, pseudomonas, atau Escherichia coli.
3. Sitologi urne            : Untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
4. BUN/kreatinin        : Meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
5. Asam fosfat serum/antigen khusus prstatik : Peningkatan karena pertumbuhan selular dan pengaruh hormonal pada kanker prostat.
6. SDP             :Mungkin lebih besar dari 11 000/ul ( infeksi )
7. Penentuan kecepatan aliran urine : mengkaji derajat obstruksi kandung kemih.
8. IVP dengan film pasca berkemih : Menunjukkan pelambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat obstruksi kandung kemih dan adanya pembesaran prostat, divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal otot kandung kemih.
9. Sistouretrografi berkemih : digunakan sebagai ganti IVP untuk memvisualisasi kandung kemih dan uretra.
10. Sistogram  : Mengukur tekanan dan volume dalam kandung kemih untuk       mengidentifikasi disfungsi yang tak berhubungan dengan BPH.
11. Sistouretroskopi    : Untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.
12. Ultrasound transrektal  : Mengukur ukuran prostate dan jumlah residu urine, dalam hal ini residu urine menjadi patokan yaitu dibagi menjadi beberapa derajat antara lain :
1.Derajat I, sisa urine < 50 ml.
2.Derajat II, sisa urine 50-150 ml.
3.Derajat III, sisa urine > 150 ml.
4.Derajat IV, retensi urine total.
13. Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi system perdarahan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a. Derajat I, beratnya ± 20 gram.
b.Derajat II, beratnya antara 20-40 gram.
c. Derajat III, beratnya > 40 gram.
14. PSA (Prostatik Spesifik Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
15. Pemeriksaan Uroflowmetri, Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a.  Flow rate maksimal > 15 ml/dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10-15 ml/dtk = border line
c.  Flow rate maksimal < 10 ml/dtk = obstuktif.
16. USG ( Ultrasonografi ), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
17. MRI ( Magnetic Resonance Imaging )
E. Diagnosa keperawatan
Setelah data dikumpulkan dilanjutkan dengan analisa data untuk menentukan diagnosa keperawatan. Menurut  Doenges, (1999)  dan Tucker, (1998) sebagai berikut :
Diagnosa pre operasi
1.      Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan Obstruksi mekanik; pembesaran prostat.
2.      Nyeri akut  berhubungan dengan Iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
3.      Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstuksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
4.      Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan: kemungkinan prosedur bedah/malignansi.
5.      Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter dan/atau retensi urine.
6.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Diagnosa post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, spasme kandung kemih, dan retensi urine.
2. Perubahan eliminasi perkemihan berhubungan dengan reseksi pembedahan dan irigasi kandung kemih.
3. Potensial terhadap infeksi yang berhubungan dengan adanya kateter dikandung kemih dan insisi bedah.
4. Potensial kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
5. Disfungsional seksual yang berhubungan dengan perubahan pola seksual.
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pascaoperasi.
F. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan ditemukan, dilanjutkan dengan menyusun perencanaan untuk masing-masing diagnosa yang meliputi prioritas diagnosa keperawatan, penetapan tujuan dan kriteria evaluasi sebagai berikut :
Diagnosa Pre operasi
1. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan Obstruksi mekanik; pembesaran prostat.
Tujuan : Berkemih dengan jumlah adekuat tanpa distensi kandung kemih.
Kriteria evaluasi : 1). Berkemih dengan jumlah yang cukup tak teraba distensi kandung kemih. 2).Menunjukkan residu pasca-berkemih kurang dari 50 ml, dengan tak adanya tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi :1). Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 2). Tanyakan klien tentang inkontinensia stres. 3). Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan. 4). Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih. 5). Perkusi/palpasi area suprapubik 6). Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi jantung, bila diindikasikan. 7). Awasi tanda vital dengan ketat. 8). Kolaborasi dengan pemberian obat Antiposmadik (menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan iritasi oleh kateter) sesuai indikasi.
2. Nyeri akut  berhubungan dengan Iritasi mukosa; distensi kandung kemih, kolik ginjal; infeksi urinaria; terapi radiasi.
Tujuan           : nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria evaluasi        : 1). Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. 2). Postur dan wajah rileks. 3). Mendemonstrasikan keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri. 4). Mengekspresikan perasaan nyaman.
Intervensi :
1). Kaji nyeri, perhatikan lokasi,intensitas ( skala (0-10 ), lamanya. 2). Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen. 3). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 4). Bantu klien dalam melakukan posisi nyaman dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam. 5). kolaborasi dengan pemberian obat penghilang rasa nyeri sesuai indikasi.
3. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstuksi diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Tujuan : Kebutuhan volume cairan klien terpenuhi.
Kriteria evaluasi : 1). Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil. 2). Nadi perifer teraba. 3). Pengisian kapiler baik. 4). Membran mukosa lembab.
Intervensi : 1). Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. 2). Dorong peningkatan pemasukan oral. 3). Awasi TD, nadi dengan sering. 4). Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi. 5). Awasi elektrolit, khususnya natrium. 6). Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai kebutuhan.
4. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan: kemungkinan prosedur bedah/malignansi.
Tujuan           : klien menunjukkan ekspresi rileks
Kriteria evaluasi        1). Klien tampak rileks dan mengatakan ansitas berkurang pada tingkat yang dapat diatasi. 2). Mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalah.
Intervensi       : 1). Kaji tingkat ansietas klien. 2). Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur. 3). Berikan kesempatan klien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapi. 4). Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh dan mungkin menghalangi proses penyembuhannya.
5. Potensial terhadap infeksi berhubungan dengan penggunaan kateter dan/atau retensi urine.
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi : 1). Suhu dalam rentang normal. 2). Urine jernih, warna kuning, tanpa bau. 3). Tidak terjadi distensi kandung kemih.
Intervensi : 1). Periksa suhu tiap 4 jam. 2) Tuliskan karakter urne; laporkan bila keruh atau bau busuk. 3). Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup. 4). Gunakan teknik steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit. 5). Pantau abdomen atau kandung kemih terhadap distensi. 6). Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih. 7). Gunakan teknik cuci tangan yang baik.
6. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan           : mengatakan pengertiannya tentang kondisi dan tindakan medis yang dilakukan.
Kriteria evaluasi        : 1). Klien mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, prognosis dan tindakan. 2). Melakukan kembali perubahan gaya hidup.
Intervensi       : 1). Jelaskan kembali proses penyakit dan prognosis serta pembatasan kegiatan seperti menghindari mengemudikan kendaraan dalam periode waktu yang cukup lama. 2). Berikan informasi mengenai mekanika tubuh sendiri untuk berdiri, mengangkat, dan menggunakan sepatu penyokong. 3). Diskusikan mengenai pengobatan dan efek sampingnya, seperti halnya beberapa obat yang menyebabkan kantuk yang sangat berat ( analgetik, relaksan otot ). 4). Anjurkan menggunakan papan/matras yang kuat, bantal kecil yang agak datar dibawah leher, tidur miring dengan lutut difleksikan, hindari posisi telungkup. 5). Diskusikan mengenai kebutuhan diit. 6). Hindari pemakaian pemanas dalam waktu yang lama. 7). Anjurkan untuk melakukan kontrol medis secara teratur.
Diagnosa Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah, spasme kandung kemih, dan retensi urine.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria evaluasi : Nyeri berkurang atau hilang dan ekspresi wajah tampak rileks
Intervensi : 1). Kaji nyeri, perhatikan lokasi,intensitas ( skala 0-10 ), lamanya dan faktor pencetus. 2). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. 3). Bantu klien dalam melakukan posisi nyaman dan ajarkan teknik relaksasi napas dalam. 4) kolaborasi dengan pemberian obat penghilang rasa nyeri sesuai indikasi.
2. Perubahan eliminasi perkemihan . berhubungan dengan reseksi pembedahan dan irigasi kandung kemih.
Tujuan : Berkemih tanpa aliran berlebihan.
Kriteria evaluasi : keteter berada pada posisi yang tetap dan tidak ada sumbatan.
Intervensi : 1). Kaji posisi kateter. 2). Kaji warna, karakter dan aliran urine serta adanya bekuan melalui kateter tiap 2 jam. 3). Catat jumlah irigan dan haluaran urine. 4). Kaji kandung kemih terhadap retensi. 5). Kaji dengan sering lubang aliran keluar  urine. 6). Masukkan larutan irigasi melalui lubang terkecil dari kateter.
3. Potensial terhadap infeksi yang  berhubungan dengan adanya kateter dikandung kemih dan insisi bedah.
Tujuan : infeksi tidak terjadi
Kriteria evaluasi : 1). Suhu dalam rentang normal. 2). Urine jernih, warna kuning, tanpa bau. 3). Tidak terjadi distensi kandung kemih.
Intervensi : 1). Periksa suhu tiap 4 jam. 2). Tuliskan karakter urine; laporkan bila keruh atau bau busuk. 3). Bila ada kateter uretral, pertahankan sistem drainase gravitasi tertutup. 4). Gunakan teknik steril untuk kateterisasi intermiten selama perawatan di rumah sakit. 5). Pantau abdomen atau kandung kemih terhadap distensi. 6). Pantau dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih. 7). Gunakan teknik cuci tangan yang baik.
4. Potensial kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan.
Tujuan : Tidak ada tanda-tanda  kemerahan, bengkak dan panas.
Kriteria evaluasi : TTV dalam batas normal, urine berwarna jernih, tidak ada kemerahan, bengkak dan peningkatan suhu.
Intervensi : 1). Pantau tanda dan gejala hemorragi. 2). Pantau uretra dan suprapubis terhadap pendarahan yang berlebihan. 3). Pertahankan traksi pada kateter bila diprogramkan. 4). Pantau Hb dan Ht.
5. Disfungsional seksual yang berhubungan dengan perubahan pola seksual.
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan perasaannya tentang seksualitas.
Kriteria evaluasi : Klien dapat mengungkapkan perasaannya tentang seksualitas
Intervensi : 1). Berikan kesempatan untuk diskusi tentang seksualitas antara pasien dan orang terdekat. 2). Beri informasi tentang harapan kembalinya fungsi seksual. 3). Berikan informasi tentang konseling seksual.
 
6. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang informasi tentang rutinitas pascaoperasi.
Tujuan : Klien mengerti tentang rutinitas pascaoperasi.
Kriteria evaluasi : Klien mengerti tentang rutinitas pascaoperasi, gejala yang harus dilaporkan kedokter dan perawatan dirumah, serta instruksi evaluasi dan dapat mendemostrasikan ulang latihan perineum dan perawatan luka insisi.
Intervensi : 1). Instruksikan pada klien untuk menghindari duduk terlalu lama 2). Lakukan latihan perineal 10 sampai 20 menit tiap jam setelah kateter dilepas. 3). Pertahankan diet dan hindari konsumsi kopi, teh dan cola serta alkohol. 4). Hindari latihan yang membutuhkan kekuatan otot 5). Hindari aktivitas seksual selama 1 bulan. 6). Instruksikan klien untuk menghindari konstipasi. 7). Ajarkan cara perawatan dan mengganti balutan.
G. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan komponen dari proses keperawatan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan oleh perawat secara mandiri atau kerjasama dengan tim kesehatan lainnya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan mandiri maupun kolaborasi. Dalam pelaksanaan langkah-langkah yang dilakukan adalah mengkaji kembali keadaan klien, validasi rencana keperawatan, menentukan kebutuhan dan bantuan yang diberikan serta menetapkan strategi tindakan yang akan dilakukan. Selain itu juga dalam pelaksanaan tindakan semua tindakan yang dilakukan pada klien dan respon klien pada setiap tindakan keperawatan didokumentasikan dalam catatan keperawatan. Dalam pendokumentasian yang perlu didokumentasikan adalah waktu tindakan dilakukan, tindakan dan respon klien serta diberi tanda tangan sebagai aspek legal dari dokumentasi yang dilakukan.
H. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Nursalam, 2001). Tujuannya adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan, sehingga perawat dapat mengambil keputusan dalam mengakhiri rencana tindakan keperawatan ( klien telah mencapai tujuan yang ditetapkan ), memodifikasi rencana tindakan keperawatan ( klien mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan pertama ), meneruskan rencana tindakan keperawatan ( klien memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuan ). Proses evaluasi terdiri dari 2 tahap yaitu tahap mengukur pencapaian tujuan klien yang terdiri dari komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi tubuh dan gejala. Sedangkan tahap kedua adalah tahap penentuan keputusan pda tahap evaluasi. Dalam tahap yang kedua ini terdapat 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan keperawatan yaitu proses ( formatif ) dan hasil ( sumatif ).
1). Proses ( formatif )
Fokus evaluasi tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses baru dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk membantu keefektifitasan terhadap tindakan dan harus dilakukan terus menerus sampai tujuan yang telah dilakukan tercapai.
2). Hasil ( Sumatif )
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atas status kesehatan pada akhir tindakan keperawatan.
Adapun langkah-langkah evaluasi keperawatan :
1. Mengumpulkan data perkembangan pasien.
2. Menafsirkan ( menginteprestasikan ) perkembangan pasien.
3. Membandingkan dengan keadaan sebelum dan sesudah dilakukan  tindakan dengan menggunakan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
4. Mengukur dan membandingkan perkembangan pasien dengan standar norma yang berlaku.
Seorang perawat harus mampu menafsirkan hasil evaluasi dari masalah keperawatan klien yaitu sebagai berikut  :
1. Tujuan tercapai
Bila klien menunjukkan perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
2. Tujuan tercapai sebagian
Bila klien menunjukkan perubahan dan perkembangan kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
3. Tujuan tidak tercapai
Bila klien menunjukkan tidak ada perubahan perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah baru.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Nursing Care Plans and Dokumentation : Nursing Diagnosis and Collaboration Problems. (Monica Ester, Penerjemah). Eight Edition.Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher. (sumber asli diterbitkan 1995)
Doonges, Marilynn  E. (1999). Nursing Care Plans ( I Made K, penerjemah ) Third Edition.Jakarta : EGC. (sumber asli diterbitkan 1993)
Lyer, Patricia W. (2004). Nursing Documentation : A Nursing Approach (Sari K, Penerjemah) Third Edition. Flemington : Mosby inc. (sumber asli diterbitkan 1999)
Potter, Patricia A. (2005). Fundamentals of Nursing : Concept, Processand Practise(Yasmin Asih, Penerjemah) Volume I Fourth Edition. Saint Louis : Mosby Year Book inc. (sumber asli diterbitkan 1997)
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursig. (dr. H. Y. Kuncara, Penerjemah) Volume II Eight Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher. (sumber asli diterbitkan 1996)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar