Rabu, 03 Agustus 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STEVEN JOHNSON

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STEVEN JOHNSON
A.Pengertian
• Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
• Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
• Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
B.Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. penisilin, analgetik, arti piuretik
b. Penisilline dan semisentetiknya
c. Sthreptomicine
d. Sulfonamida
e. Tetrasiklin
f. Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol)
g. Kloepromazin
h. Karbamazepin
i. Kirin Antipirin
j. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Neoplasma dan faktor endokrin
4. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
C.Manefestasi klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
3. Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
4. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esofagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
5. Kelainan mata
konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
6. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan onikolisis.
7. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
C.Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.
D.Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi
tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
1. Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2. Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
E.Test diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.
2. Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
3. Determine renal function and evaluate urine for blood.
4. Pemeriksaan elektrolit
5. Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
6. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan
7. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
8. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.
G.Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena
dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.Infus dan tranfusi darah.
3. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas.
4. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
5. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
H.Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
• Nama;
• Jenis kelamin
• Umur
• Status perkawinan
• Pekerjaan
• Agama
• Pendidikan terakhir
• Alamat.
b. Riwayat Kesehatan lalu
c. Riwayat kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan keluarga
e. Riwayat pengobatan
f. Data sosial ekonomi
g. Aktifitas sehari-hari
h. Pemeriksaan Fisik
• Keadaan umum
• Tanda-tanda Vital : suhu tubuh, tekanan darah, nadi, pernafasan.
2. Diagnosa
a. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
• Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan
lainnya yang terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
• Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan
menurunkan resiko infeksi
• Jaga kebersihan alat tenun
Rasional: untuk mencegah infeksi
• Kolaborasi dengan tim medis
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi:
• Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
• Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
• Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
Rasional: meningkatkan nafsu makan
• Kerjasama dengan ahli gizi
Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
KH:
• Melaporkan nyeri berkurang
• Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi:
• Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
• Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
• Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek
obat
• Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri
d. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
• Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
• Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
• Jelaskan pentingnya pembatasan energy
Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
e. Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
KH :
• Kooperatif dalam tindakan
• Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi:
• Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional: Menetukan kemampuan visual
• Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan.
• Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
• Orientasikan terhadap lingkungan.
 Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan penglihatan klien.
 Berikan pencahayaan yang cukup.
 Letakan alat-alat ditempat yang tetap.
 Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.
 Hindari pencahayaan yang menyilaukan.
 Gunakan jam yang ada bunyinya.
• Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun.
DAFTAR PUSTAKA
• Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
• Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.
• Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
• Price dan Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta: EGC.
• Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
• Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.
• Kamus kedokteran Dorland_EGC,
• Kamus kedokteran _penerbitdjambatan,
• Ilmu penyakit kulit kelamin_FK UI, saripati penyakit kulit_EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar