BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Limfoma (kanker kelenjar getah
bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel
limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah
limfoma malignum (maligna = ganas). Ironisnya, pada orang sehat sistem limfatik
tersebut justru merupakan komponen sistem kekebalan tubuh. Ada dua jenis
penyakit yang termasuk limfoma malignum yaitu penyakit Hodgkin (PH), yang
diderita sang rocker, dan limfoma non Hodgkin (LNH). Keduanya dibedakan
berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH ditemukan sel Reed
Sternberg.
Sifat LNH lebih agresif dan jumlah
penderitanya lebih banyak dibandingkan PH bahkan terus meningkat setiap tahun
seiring semakin banyaknya kasus HIV. Oleh karena itu, dalam edisi ini Farmacia
lebih khusus membahas LNH.
The
American Cancer Society memperkirakan terdapat 53.600 kasus baru setiap tahun dan
23.800 di antaranya meninggal dunia akibat LNH pada tahun 1997. Di Indonesia,
menurut Prof Dr dr Arry Haryanto SpPD KHOM, LNH menduduki peringat ke-6 kanker
terbanyak.
LNH lebih sering diderita pada usia
lanjut dengan usia pertengahan (median) 50 tahun. Laki-laki lebih sering
menderita LNH daripada perempuan dengan rasio 2:1. Insidennya meroket tiap
tahun sekitar 3-4% dan 4 kali lebih banyak daripada PH. Jenis LNH yang paling
sering diderita pada anak-anak adalah limfoma Burkitt sedangkan pada dewasa
muda adalah limfoma limfoblastik keganasan tinggi.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Jelaskan
apa saja tentang limfoma maligna?
2.
Bagaimana
pengaplikasian dalam asuhan keperawatan?
1.3
Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini
adalah pembaca dapt mengerti dan paham mengenai penyakit limfoma maligna dan
pengaplikasiannya dalam asuhan keperawatan
1.4
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
1.
Menjelaskan
tentang penyakit limfoma maligna
2.
Mengaplikasikan
penyakit limfoma pada asuhan keperawatan
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Definisi
Limfoma maligna, berlainan dengan
leukemia, merupakan transformasi neoplastik sel yang terutama berada di
jaringan limfoid. Dua farina utama limfoma maligna adalah limfoma non-Hodgkin
dan penyakit Hodgkin. Walaupun kedua tumor ini menyebuk organ retikuloendotel,
secara biologis dan klinis keduanya berbeda.
Limfoma (kanker kelenjar getah
bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel
limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah
limfoma malignum (maligna = ganas).
Dalam kondisi normal, sel limfosit
merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh. Sementara sel limfosit yang tidak
normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah bening dan menyebabkan
pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam pembuluh limfe,
sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah karena itulah
limfoma bisa juga timbul di luar kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang
tersering adalah di limpa dan sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di
organ lain seperti perut, hati, dan otak.
Limfoma maligna
merupakan bagian dari penyakit pada klien yang mengalami masalah pada
hematologi.Limfoma maligna merupakan penyakit keganasan primer dari jaringan
limfoid yang bersifat padat (solid) meskipun kadang-kadang dapat menyebar
secara sistemik
2.2
Klasifikasi
Limfoma Maligna
Secara klinis dan
patologis limfoma maligna dapat dibagi menjadi dua golongan besar berikut :
1. Penyakit
Hodgkin
2. Limfoma
non Hodgkin
2.3
Limfoma
Hodgkin
A. Pengertian
Limfoma
hodgin merupakan limfoma yang khas ditandai oleh adanya sel reed Sternberg
dengan latar belakang sel-sel radang pleomorf
B. Epidimiologi
Limfoma
hodgin merupakan penyakit yang relative jarang dijumpai, hanya merupakan 1 %
dari seluruh kanker. Dinegara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/ tahun
pada laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia belum ada
laporan angka kejadian limfoma hodgin, berdasarkan jenis kelamin LImfoma
Hodgkin lebih banyaka pada laki-laki dengan perbandingan 1,2: 1. Penyakit
limfoma hodgin terutama ditemukan pada orang dewasa muda antara usia 18-35
tahun dan pada seseorang di atas 50 tahun
C. Etiologi
Penyebab
limfoma Hodgkin sampai saat ini tidak diketahui secara pasti, namun salah satu
yang paling dicurigai adalah virus Epstein-barr. Biasanya dimulai pada satu
kelenjar getah bening dan menyebar ke sekitarnya secara per kontiunatum atau
melalui sistem saluran kelenjar getah beningke kelenjar-kelenjar sekitarnya.
Meskipun jarang sesekali menyerang juga organ-organ ekstranodal seperti
lambung, testis. dan tiroid, pada penemuan statistik, penyakit ini didapatklan
pada kelas sosioekonomi lebih tinggi dan insidennya meningkat pada keluarga
dengan riwayat penyakit Hodgkin
D. Klasifikasi
Pada
umumnya limfoma Hodgkin diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi RYE yang
membagi penyakit Hodgkin menjadi 4 golongan
1. Tipe
Limphocyte predominance
Ø Merupakan
5 % dari penyakit Hodgkin
Ø Pada
tipe ini limfodit kecil merupakan sel latar belakang yang domnan, hanya sedikit
sel R-S yang dijumpai
Ø Dapat
bersifat nodular atau difus
2. Tipe
mixed cellularity
Ø Terdapat
sebanyak 30 % dari penyakit Hodgkin
Ø Jumlah
sel R-S mulai banyak dijumpai dalam jumlah seimbang dengan limfosit
3. Tipe
lymphocyte depleted
Ø Kurang
dari 5% limfoma Hodgkin tetapi merupakan tipe yang paling agresif
Ø Sebagian
besar terdiri dari atas sel R-S sedangkan limfosit jarang sekali ditemui
4. Tipe
nodular sclerosis
Ø Tiep
ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai yaitu 40-69 % dari seluruh
penyakit Hodgkin
Ø Ditandai
oleh fibrosis dan sklerosis yang luas
Ø Sel
esinofil banyak dijumapai, juga terdapat sel R-S
E.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang
biasanya terdapat pada limfoma Hodgkin adalah :
1. Gejala
utama adalah pemebesaran kelenjar yang terserimg dan termudah terdeteksi adalah
pembesaran kelenjar didaerah leher
2. Gejala
selanjutnya bergantung pada lokasi penyakit dan organ-organ yang diserang. Pada
jenis ganas dan penyakit yang telah dalam stadium lanjut sering di\sertai
gejala-gejala sistemik, yaitu : demam yang tidak jelas penyebabnya, berkeringat
malam, dan penurunan berat badan sebesar 10 % selama 6 bulan. Kadang-kadang
kelenjar terasa nyeri bila klien minum alcohol
3. Hampir
semu sistem dapat diserang penyakuit ini, seperti saluran pencernaan,
pernafasan, persarafan, dan vaskularisasi
F. Tingkatan
Penyakit
Menurut
symposium penyakit Hodgkin di Amm Arbor tingkatan penyakit Hodgin
diklasifikasikan
Stadium I
|
Penyakit menyerang satu regio KGB
(I); atau satu organ ekstralimfatik (IE)
|
Stadium II
|
Penyakit menyerang dua atau lebih
KGB pada satu sisi diafragma (atas atau bawah diafragma); atau satu organ
ekstralimfatik dan satu atau lebih KGB pada satu sisi diafragma (IIE)
|
Stadium III
|
Penyakit menyerang KGB pada kedua
sisi diafragma, yang dapat disertai dengan keterlibatan limpa (IIIS)
atau terlokalisasi pada satu organ ekstralimfatik (IIIE) atau
keduanya (IIISE)
|
Stadium IV
|
Penyakit menyerang KGB secara
difus mengenai satu atau lebih organ ekstralimfatik, dengan atau tanpa
disertai keterlibatan pada KGB
|
G. Prosedur
Penentuan Derajat Penyakit
Prosedur
penentuan derajat penyakit dapat dilakukan dengan cara berikut ini :
1. Evaluasi
awal terdiri atas:
Ø Anamnesa
dan pemerikasaan fisik
Ø Laboratorium:
darh rutin, faal hati, faal ginjal, dan fosfatase alkali
Ø Aspirasi
atau biopsy sumsum tulang
2. Evaluasi
toraks terdiri dari:
Ø foto
torak Pa dan lateral
Ø tomografi
paru atau CT scan otak
3. Evaluasi
abdomen terdiri atas :
Ø bipedal
lymphangiograhy
Ø CT
scan abdomen
Ø Staging
laparotomi (untuk stage I,IIA dan B, serta IIIA)
H. Pemeriksan
Penunjang
1. Secara
patologis anatomi didapatkan gambaran khas yang merupakan gambaran sel
keganasan
Ø Sel
reed strenberg: merupakan sel R-S, ukuran besar, serta berinti banyak dan
polipoid
Ø Sel
Hodgkin : H-cell yang merupakan sel pre-Sternberg lacunar
-
Varian L dan H
-
Varian
pleomorf
2. Pada
pemeriksaan daerah didapatkan anemia yang bersifat normositer normokromik,
leukositos moderat yang disebabkan oleh netrofilia, limfopenia, laju endap
darah meningkat, serta LDH (Lactate dehydrogenase serum) meningkat
I. Penatalaksanaan
Terapi untuk penyakit Hodgkin adalah :
1. Radioterapi
a. Merupakan
moalitas terapi utamauntuk penyakit Hodgkin yang terlokalisasi derajat I dan
II. Dosis radiasi adalah 4000-5000 rad
b. Diberikan
dengan tekhnik penyinaran extended field (lesi di atas atau di bawah diafragma)
atau total nodal irradiation (TNI) untuk lesi di atas dan di bawah diafragma
2. Kemoterapi
Merupakan
pilihan utama untuk penyakit derajat III dan IV. Kombinasi yang paling utama
digunakan adalah sebagai berikut :
a. Regimen
MOPP
Ø Mustargen
: 6 Mg/m2 IV hari ke-1 dan 8
Ø Oneovin
: 1,4 mg/m2 IV hari ke-1 dan 8
Ø Procarbazine
: 100 mg/m2 oral hari ke-1 sampai dengan 4
Ø Prednison:
60-80 mg/m2/hari oral hari ke-1 sampai5
b. Regimen
ABVD
Ø Doxorubicin
()Adriamycin) : 25 mg/m2 IV hari ke-1 dan 15
Ø Bleomycine
10 mg/m2 Iv hari ke-1 dan 15
Ø Vimblastin
6 mg/m2 IV hari ke-1 dan 15
Ø Dacar
c. Kombinasi
regimen MOPP dan ABVD
d. Regimen
Hybrid MOP/ABV
e. Kombinasi
radioterapi dan kemoterapi
J. Komplikasi
Akibat Terapi
Komplikasi
1. Radioterapi
: dapat menimbulkan nausea, disfagia, oesofagitis dan hipotiroid
2. Kemoterapi
: dapat menimbulkan mielosupresi, sterilitas, dan timbulnya keganasan
hematologis sekunder : AML dan Limfoma non-Hodgkin
3. Komplikasi
yang dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan
berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi
meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan
gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling serius
yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari kemoterapi
meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
4. Efek
samping terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan
pada nodus limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai
berikut : mulut kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan
produksi saliva.Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang
mungkin terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia
2.4
LImfoma
Non Hodgkin
A. Pengertian
Limfoma
non Hodgkin merupakan suatu kelompok penyakit heterogen yang didefinisikan
sebagai keganasan jaringan limfoid selain penyakit Hodgkin
B. Insidens
Lebih
dari 45.0000 klien didiagnosa sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di
Amerika serikat. Di Indonesia frkuensi relative LNH jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan limfoma Hodgkin
C. Etiologi
Etiologi
dari penyakit limfoma non-Hodgkin adalah
1. Abnormalitas
sitogenik seperti translokasi kromosom
2. Infeksi
virus yang menyebabkan antara lain :
Ø Virus
Epstein-Barr yang berhubunga dengan limfoma burkitt (sebuah penyakit yang
ditemukan di Afrika)
Ø Infeksi
HTLV-1 (human T iymphotropic virus tipe 1)
D. Kalsifikasi
Klasifikasi
KIEl membagi LNH menjadi dua golongan besar berikut ini :
1. LNH
dengan derajat keganasan rendah
2. LNH
dengan derajat keganasan tinggi
Kalsifikasi
Kiel sudah menyesuaikan dengan kompartmen dari kelenjar getah bening serta
membedakan asal sel, apakah dari limfosit B atau limfosit T
E. Penentuan
Derajat Penyakit
Menurut
Hariyanto, penentuan derajat penyakit LNH di bagi menjadi empat tahap berikut
1. Tahap
I
a. Pengambilan
riwayat penyakit yang cermat
b. Pemeriksaan
fisik yang lengkap
c. Pemeriksan
laboratorium lengkap terdiri dari
Ø hemogram
lengkap
Ø asupan
darah tepi
Ø tes
faal hati dan ginjal
d. Pemeriksaan
radiologi terdiri atas:
Ø torak
PA
Ø jika
perlu survey kerangka
e. Fine
needle aspiaration pada klenjar getah bening yang dicurigai pada sisi lain
diafragma
2. Tahap
II
pada
penderita dengan dugaan stadium I derajat keganasan tinggi atau stadium I dan
II derajat keganasan menengah dilakukan biopsy summsum tulang bilateral
3. Tahap
III
Penderita
dengan stadium I derajat keganasan tinggi atau stadium I dan II derajat
keganasan menengah dilakukan penelitian radiologi traktus gastrointestinal
4. Tahap
IV
Penderita
dengan dugaan stadium I derajat keganasan menengah setelah prosedur
limfangiografi
F. Gejala
Klinis
Gejala
klinis yang dirasakan pada sebagian besar klien asimptomatik adalah
1. Pemebesaran
kelenjar getah bening yang asimetris
2. Demam
berkeringat pada malam hari
3. Hepatomegali
dan splenomegali
4. Dapat
timbul komplikasi saluran cerna
5. Demam,
kelelahan atau terjadi penurunan berat badan
6. Nyeri
punggung dan leher yang di sertai dengan hiperefleksia
7. Anemia
infeksi dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang
secara difus
G. Pemeriksaaan
diagnsotik
Pemeriksan
diagnostic yang dilakukan pada klien dengan LNH adalah
1. Pada
pemeriksaan hematologi ditemukan
Ø Adanya
anemia yang bersifat normositer normokromik
Ø Adanya
leucopenia dan trombositopenia serta gambaran leukoeritroblastik
Ø Pada
biopsy sumsum tulang menunjukkan lesi fokal
2. Pemeriksan
kromosom : adanya kelainan yang khas (limfoma burkitt’s. follicular limfoma)
3. LDH
: sering meningkat pada LNH dengan poliferasi yang cepat
4. Pemeriksan
pertanda imunologis : untuk menentukan jenis sel (sel T atau B) serta
perkembangannya
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
medis yang dilakukan pada klien dengan LNH adalah
1. Radioterapi
LNH
sangat radiosensitive, radio terapi ini dapt dilakukan untuk penyakit local,
stadium I limfoma indolendan untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2. Kemoterapi
Kemoterapi
dapat dilakukan pada :
Ø LNH
indolen derajat ringan dengan menggunakan klorambusil atau siklofosfamid dengan
atau tanpa prednisone
Ø Limfoma
stadium I atau II derajat menengah atau tinggi
3. Kombinasi
radioterapi dan kemoterapi setelah biopsy bedah
4. Dapat
diusahakan transplantasi sumsum tulang
5. Kemoterapi
dosis tinggi dengan memakai peripheral blood stem cell transplantation
6. Terapi
dengan imunomodulator, terapi yang dilakukan dengan interferon dikombinasikan
dengan kemoterapi
Stadium I dan II
|
Stadium III dan IV
|
|
Keganasan Rendah
|
Rekomendasi:
Radioterapi
lapangan terbatas (involvement field radiation therapy)
Alternatif:
Kombinasi
terapi (dengan kemoterapi)
|
Rekomendasi:
Asimtomatik
atau ukuran tumor kecil:
Observasi
dan deferred
Simtomatik
atau ukuran tumor besar:
Kombinasi
kemoterapi dengan tanpa interferon
Alternatif:
Asimtomatik
atau bulk kecil:
Kemoterapi
regimen tunggal
Total-body
irradiation
|
Keganasan Menengah/Tinggi
|
Rekomendasi:
Kemoterapi
CHOP diikuti dengan involved-field radiation therapy
|
Rekomendasi:
Kemoterapi
CHOP
Radiasi
adjuvan atau profilaksis
Profilaksis
kraniospinal
|
Penatalaksanaan pada Limfoma Keganasan Rendah
1. Stadium I-II (terbatas)
Prognosis pasien secara umum baik.
Bila lesi terlokalisasi dan pasien tidak mempunyai gejala khas sel B,
radioterapi menjadi pilihan utama. Jenis radioterapinya adalah radiasi lapangan
terbatas (involved field radiotherapy/IFRT) dengan dosis 35-45 Gy dalam
10-20 fraksi selama 2-4 minggu.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada
pasien dengan stadium 1 dan 2 yang ditatalaksana dengan radioterapi adalah
sekitar 70%. Kebanyakan kekambuhan terjadi pada daerah yang tidak diradiasi.
Alternatif terapi yang lain adalah
hanya melihat dan menunggu (watch-and-wait) sampai penyakit menunjukkan
progresifitas atau dengan menggunakan kemoterapi saja. Kemoterapi yang
diberikan adalah klorambusil atau siklofosfamid. Pada stadium terbatas
keganasan rendah, kemoterapi adjuvan diikuti radiasi akan menurunkan risiko
kekambuhan.
Radiasi total KGB (total
lymphatic irradiation/TLI) tidak digunakan pada stadium I dan II karena
belum ada bukti yang mendukung bahwa TLI lebih baik daripada IFRT.
2. Stadium III-IV (lanjut)
Penatalaksanaan pada stadium lanjut
keganasan rendah masih kontroversial. Ada yang hanya melihat dan menunggu
tetapi ada juga yang memberikan kemoterapi tunggal atau malah gabungan
kemo-radioterapi.
Terapi pada stadium III keganasan
rendah meliputi IFRT dengan dosis rendah atau menggunakan regimen tunggal alkylating
agent seperti klorambusil atau siklofosfamid. Selain itu TLI dosis tinggi
juga dapat dilakukan bahkan dapat menurunkan kejadian kekambuhan dan
meningkatkan angka ketahanan hidup. Radiasi total tubuh (total body
irradiation/TBI) dapat dilakukan sebagai terapi paliatif. Dosis TBI yang
dianjurkan adalah 1-1,5 Gy dengan 10cGy tiap fraksi, 5 fraksi tiap minggu,
diikuti masa vakum (tidak dilakukan radiasi) selama 2-3 minggu, kemudian
ditambah 1,7 Gy.
Penatalaksanaan pada Keganasan Menengah
1. Stadium I-II (terbatas)
Secara keseluruhan keberhasilan
kuratif dari radioterapi pada stadium I dan II keganasan menengah berkisar
40-50%. Yang menjadi faktor kegagalan radioterapi adalah stadium II dengan
keterlibatan KGB > 2, ukuran tumor > 2-3 cm, usia > 60 tahun, ada
gejala sel B, dan keterlibatan organ ekstralimfatik selain abdomen, tiroid dan
cincin Waldeyer. Pada pasien IA dan IIA yang terlokalisasi, usia < 60 tahun,
dan ukuran tumor (< 2,5 cm) menunjukkan angka keberhasilan 70-80% dengan
IFRT saja.
Anjuran dosis radiasi untuk
mengontrol tumor lokal adalah 30-35 Gy, 1,75-3 Gy tiap fraksi selama 3-4
minggu. Pada beberapa keadaan seperti limfoma otak primer, ukuran tumor besar,
dan beberapa limfoma sel T, dosis radiasi tersebut kurang berhasil dalam
mengontrol tumor lokal. Sebagai alternatifnya dapat digunakan kemoterapi.
Kombinasi kemoterapi dan radioterapi bahkan mampu menghilangkan gejala dalam
jangka waktu yang lama. Sebaliknya keberhasilan dengan kemoterapi saja belum
ada penelitian sahih sampai saat ini.
Anjuran terapi pada limfoma sel
berukuran besar stadium I atau II adalah kemoterapi CHOP (siklofosfamid,
doksorubisin, vinkristin, prednison) jangka pendek sebanyak 3 siklus,
kemudian diikuti IFRT bila ukuran tumor tidak besar; atau kemoterapi jangka
panjang diikuti radiasi bila ukuran tumor > 10 cm atau adanya keterlibatan
organ eksralimfatik
2. Stadium III-IV (lanjut)
Pada stadium lanjut (III atau IV),
kemoterapi dengan regimen CHOP merupakan terapi baku. Penggunaan radioterapi
sebagai adjuvan masih kontroversial. Akan tetapi pada beberapa keadaan,
radioterapi dapat mencegah kekambuhan. Radioterapi dapat mencegah kekambuhan
testis kontralateral pada limfoma testis. Radioterapi adjuvan dapat
dipertimbangkan pada pasien usia lanjut yang tidak diperbolehkan mendapat
kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sumsum tulang. Dengan demikian,
radioterapi pada stadium lanjut sebenarnya lebih diperuntukkan sebagai terapi
paliatif daripada kuratif.
Ø IFRT
IFRT merupakan teknik radioterapi
yang umum dipakai pada LNH. Pada stadium IA atau IE, daerah KGB diradiasi
secara in toto. Misalnya, bila cincin Waldeyer ikut terlibat, radiasi harus
dilakukan pada seluruh KGB di daerah leher hingga daerah infraklavikular.
Sementara itu, pada kasus dimana saluran pencernaan ikut terlibat, radiasi
harus diberikan dengan lapang pandang seluruh abdomen.
Pada stadium II atau III-IV,
terkadang pasien masih memiliki sisa tumor (residu) meski telah menyelesaikan
siklus kemoterapi dengan lengkap. Biasanya KGB residu paling sering ditemukan
di mediastinum, dapat juga di retroperitoneum, leher dan daerah inguinal.
Disinilah IFRT berperan sehingga angka ketahanan hidup pasien lebih tinggi.
Ø TBI
TBI digunakan sebagai terapi
paliatif pada LNH keganasan rendah. Sedangkan pada keganasan menengah dan
tinggi dimana angka kekambuhan cukup tinggi yaitu 50-60%, perlu dilakukan salvage
therapy yang terdiri dari kemoterapi dan terapi mieloablatif. TBI termasuk
dalam komponen mieloablatif.
Oleh karena lapangan radiasi dari
TBI sangat luas (seluruh tubuh) maka biasanya toleransi pasien rendah sehingga
dosis TBI pun diatur sedemikian rupa yaitu dengan total dosis adalah 150 cGy
dalam 10 fraksi, 2 kali setiap minggu.
Ø Terapi Paliatif
Masalah utama dari LNH adalah
metastasis ke tulang atau saraf tulang belakang. Bila hal itu terjadi,
penanganannya sangat sulit terutama bila mengenai daerah paraspinal. Steroid
diberikan sebagai terapi inisial yaitu dexametason parenteral 4-8 mg setiap 8
jam.
Selain medikamentosa, radioterapi
juga dapat digunakan sebagai terapi paliatif. Radioterapi yang diberikan harus
mencakup batas aman (safe margin) yaitu 3-5 cm di atas dan bawah dari
batas luar tumor. Dosis hiperfraksinasi (30 Gy/10 fraksi) mengakibatkan
dekompresi yang cepat dan perbaikan gejala neurologis pada kasus LNH
paraspinal. Dosis radiasi pada metastasis tulang adalah 30 Gy dalam 10 fraksi
selama 2 minggu atau 20 Gy dalam 5 fraksi selama 1 minggu.
Ø Rituximab
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
kelompok limfoma dunia (GELA atau Group d’Etude des Lymphomes de l’adulte)
menyimpulkan, kombinasi rituximab dengan CHOP memberi angka kesembuhan yang
lebih baik daripada CHOP saja. Penelitian yang dipimpin oleh Prof Mark
Hertzberg dari University of Sydney ini menunjukkan adanya perbedaan angka
harapan hidup yang cukup signifikan. Sekitar 53% pasien LNH yang diterapi
kombinasi dapat hidup setelah 3 tahun pengobatan, sedangkan yang diterapi CHOP
saja hanya 35%. Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang bekerja spesifik
hanya pada sel tumor sehingga efek toksisistasnya kecil.
Saat ini pengembangan terapi terus
dilakukan terutama yang mengarah pada targeted therapy. Usaha itu bukan
tanpa alasan sebab LNH adalah salah satu penyakit kanker yang potensial untuk
disembuhkan. Dengan demikian, kita dapat membuka kembali harapan sang rocker,
juga pasien-pasien lainnya.
I. Komplikasi
Akibat
efek samping pengobatan biasanya terjadi aplasia sumsum tulang, gagal jantung.
gagal ginjal. serta neuritis oleh obat vinkristin
Komplikasi yang
dialami pasien dengan limfoma maligna dihubungkan dengan penanganan dan
berulangnya penyakit. Efek-efek umum yang merugikan berkaitan dengan kemoterapi
meliputi : alopesia, mual, muntah, supresi sumsum tulang, stomatitis dan
gangguan gastrointestinal. Infeksi adalah komplikasi potensial yang paling
serius yang mungkin dapat menyebabkan syok sepsis. Efek jangka panjang dari
kemoterapi meliputi kemandulan, kardiotoksik, dan fibrosis pulmonal.
Efek samping
terapi radiasi dihubungkan dengan area yang diobati. Bila pengobatan pada nodus
limfa servikal atau tenggorok maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : mulut
kering, disfagia, mual, muntah, rambut rontok, dan penurunan produksi
saliva.Bila dilakukan pengobatan pada nodus limfa abdomen, efek yang mungkin
terjadi adalah muntah, diare, keletihan, dan anoreksia
2.5
Patofisiologi
Proliferasi
abmormal tumor dapat memberi kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh
yang diserang. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau diluar
kelenjar getah bening (ekstra nodal).
Gejala
pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan
(pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai
dengan gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat
segera dicurigai sebagai Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di
sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja benjolan tersebut hasil perlawanan
kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis limfa.
Beberapa
penderita mengalami demam Pel-Ebstein, dimana suhu tubuh meninggi selama
beberapa hari yang diselingi dengan suhu normal atau di bawah normal selama
beberapa hari atau beberapa minggu. Gejala lainnya timbul berdasarkan lokasi
pertumbuhan sel-sel limfoma.
PATHWAY
|
||||
BAB
III
PEMBAHASAN
Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Diagnosa Medis Limfoma Maligna
I.
Pengkajian
A.
Identitas
Pasien
Jenis Kelamin :
Limfoma hodgin
merupakan penyakit yang relative jarang dijumpai, hanya merupakan 1 % dari
seluruh kanker. Dinegara barat insidennya dilaporkan 3,5/100.000/ tahun pada
laki-laki dan 2,6/100.000/tahun pada wanita. Di Indonesia belum ada laporan
angka kejadian limfoma hodgin, berdasarkan jenis kelamin LImfoma Hodgkin lebih
banyaka pada laki-laki dengan perbandingan 1,2: 1 sedangkan untuk limfoma non
hdgkin Lebih dari 45.0000 klien didiagnosa sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap
tahun di Amerika serikat. Di Indonesia frkuensi relative LNH jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan limfoma Hodgkin
Usia :
Penyakit limfoma maligna banyak ditemukan pada usia
dewasa muda yaitu antara 18-35 tahun dan pada orang diatas 50 tahun
Pekerjaan : Beberapa pekerjaan yang
sering dihubugkan dengan resiko tinggi terkena limfoma maligna adalah peternak
serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida
dan pelarut organik.
B.
Keluhan
Utama
Keluhan
utama pada pasien dengan limfoma maligna biasanya adalah demam yang berkepanjangan
C.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Pasien
mengatakan tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelum sakit, tetapi
pasien mengatakan bahwa kondisi tubuhnya
sangat kelelahan, dan daya tahan tubuhnya kurang.
D.
Riwayat
Penyakit Sekarang
Pasien
mengatakan bahwa ada benjolan pada daerah leher yang bisa digerakkan dan
semakin membesar serta di barengi dengan demam tinggi yang berkepanjangan dan
sering berkeringat di malam hari.
E.
Riwayat
Penyakit keluarga
Pada
kelainan limfoma maligna faktor keturunan merupakan faktor yang bisa
menyebabkan penyakit ini
II.
Pemeriksaan
Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat di temukan Gejala Limfoma secara fisik dapat
timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher,
ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala
penurunan berat badan, demam, keringat malam
Pemeriksaan
fisik pada daerah leher, ketiak dan pangkal paha
Pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
Pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha)
Ø Inspeksi
, tampak warna kencing campur darah, pembesaran suprapubic bila tumor sudah besar.
Ø Palpasi,
teraba tumor masa suprapubic, pemeriksaan bimanual teraba tumor pada dasar
buli-buli dengan bantuan general anestesi baik waktu VT atau RT.
III.
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Pemeriksaan
Laboratorium
Pemeriksaan darah yaitu
hemogran dan trombosit. LED sering meninggi dan kemungkinan ada kaitannya
dengan prognosis. Keterlibatan hati dapat diketahui dari meningkatnya alkali
fosfatase, SGOT, dan SGPT
2. Sitologi
biopsi aspirasi
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering
dipergunakan pada diagnosis pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi
penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening,
metastasis karsinoma, dan limfoma maligna. Ciri khas sitologi biopsi aspirasi
limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak aspek serta pleomorfik dan
adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg sulit ditemukan adanya
sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat dipertimbangkan
sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin.
Penyulit diagnosis sitologi biopsi aspirasi pada
Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam membedakan Limfoma non-Hodgkin
folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin yang hanya mempunyai subtipe difus,
sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan sebagai diagnosis definitif.
Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi
aspirasi Limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif
palsu termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu
dianjurkan melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan
tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran
klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
3. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis
juga identifikasi subtipe histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas
limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin.
4. Radiologi
a. Foto
thoraks
b. Limfangiografi
c. USG
d. CT
scan
5. Laparotomi
rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening
pada iliaka, para aorta dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium.
IV.
Analisa
Data
Tgl/
Jam
|
Pengelompokan
Data
|
Masalah
Keperawatan
|
Etiologi
|
Ds
: Pasien mengatakan bahwa tubuhnya demam
Do
:
-
Pembesaran kelenjar limfe
-
Perdarahan
-Suhu
38 C
-Nadi
102 x/mnt
|
Resiko
tinggi infeksi
|
Virus epstein barr
Melemahkan limfosit
Menyererang
imunitas
Kerusakan
organ
Kelainan
su-tul
Anemia
Malnutrisi
Resiko infeksi
|
|
Ds:
Pasien mengatakan bahwa pasien demam
Do:
- Suhu tubuh 38 C
- Nadi
- Nadi 102 x/mnt
- RR 22x/mnt
|
Hipertermi
|
Virus epstein barr
Melemahkan limfosit
Menyererang
imunitas
Inflamasi
Hipertermi
|
|
Ds:
Pasien mengatkan baha badan cepat lelah dan nyeri
Do:
-
Mata
terlihat kuyu
-
Menarik
napas panjang
-
Nyeri
skala 8
|
Nyeri
|
Virus epstein barr
Melemahkan limfosit
Menyererang
imunitas
Kerusakan
organ
Hepatomegali
Interupsi sel saraf
Nyeri
|
|
Ds:
Pasien mengatakan bahwa tidak mengerti tentang pengobatan
Do:
-
Kegelisahan
-
Disstres
-
Perasaan
tidak adekuat
-
Takut
-
Khawatir
|
Ansietas
|
Virus epstein barr
Melemahkan limfosit B,T
Menyererang
imunitas
Kerusakan
organ
Kurang pengetahuan
Ansietas
|
|
Ds:
Pasien mengatakan bahwa Nafsu makan menurun
Do:
-
Berat
badan menurun dari 59 kg jadi 45 kg
-
Badan
lemah
|
Nutrisi
kurang dari kebutuhan
|
Virus epstein barr
Melemahkan limfosit
Menyererang
imunitas
Kerusakan
organ
Kelainan
su-tul
Anemia
Intake dalam tubuh kurang
Nutrisi kuarang dari kebutuhan
|
V.
Diagnosa
Keperawatan
No
|
Tgl /Jam
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Paraf
|
1
|
2
Oktober 2011
07.00 WIB
|
Resiko tinggi
infeksi b.d imunosupresi dan malnutrisi
|
|
2
|
2
Oktober 2011
07.00 WIB
|
Hipertermia
b.d ketidakefektifan termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
|
|
3
|
2
Oktober 2011
07.00 WIB
|
Nyeri b.d
interupsi sel saraf
|
|
4
|
2
Oktober 2011
07.00 WIB
|
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang kurang, meningkatnya
kebutuhan kebutuhan metabolic dan penurunan absorbsi zat gizi
|
|
6
|
2
Oktober 2011
07.00 WIB
|
Ansietas b.d
kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan
|
VI.
Intervensi
Tabel NOC: Resiko infeksi
Indikator
|
Berat
|
Agak berat
|
Sedang
|
Ringan
|
Tidak ada
|
Status imun
|
ü
|
||||
Pengetahuan:
pengendalian infeksi
|
ü
|
||||
Deteksi Risiko
|
ü
|
||||
Pengendalian
Risiko
|
ü
|
||||
Suhu : 36,5-37 C
|
ü
|
||||
Nadi :
80-100x/mnt
|
ü
|
Tabel
NIC : Resiko infeksi
Tgl/ jam
|
No DX
|
Tujuan/
Kriteria Hasil
|
Aktivitas
|
Intervensi
|
Rasional
|
Paraf
|
1
|
Tujuan :
Setelah dilakukan terapi selama 1x 24 jam pasien terhindar dari resiko
infeksi
Kriteria Hasil
:
- Status imun
baik
-Pngendalian
tentang infeksi baik
- Deteksi
resiko tidak ada
- Pengendalian
resiko baik
- Suhu tubuh
bayi 36,8 C
|
Pengkajian
|
1. Pantautanda/ gejala infeksi
(misalnya, suhu tubuh, denyut jantung,
pembuangan, penampilan luka, sekresi, penampilan urine, suhu kulit, lesi
kulit, keletihan, dan malaise)
2. kaji faktor yang meningkatkan
serangan infeksi (misalnya tanggap imun rendah dan malnutrisi)
3. Amati penampilan praktik hygiene
pribadi
|
1.
Mengetahui
resiko infeksi
2.
Mengetahui
resiko infeksi
3.
Mengurangi
faktor terjadinya infeksi
|
||
Pendidikan
untuk pasien/ keluarga
|
1. Jelaskan kepada pasien/ keluaraga
mengapa sakit dan pengobatan meningkatkan resiko terhadap infeksi
2. Intrusikan untuk menjaga hygiene
pribadi
3. Informasikan pada orang tua
mengenai jadwal imunisasi untuk difteri,
tetanus,pertusi,polio,campak,parotis, dan rubella
4. Jelaskan alas an/keuntungan dan
efek samping imunisasi
5. Ajarkan pada pasien teknik mencuci
tangan yang benar
6. Ajarkan kepada pengunjung untuk
mencuci tangan sewaktu masuk dan mengingalkan ruang pasien
7. Ajarkan kepada pasien dan
keluarganya tanda/ gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya ke pusat kesehatan
|
1.
Mengurangi
rasa kecemasan orang tua
2.
Mengurangi
faktor resiko
3.
Mengurangi
faktor resiko
4.
Mengurangi
faktor resiko terjadinya infeksi
5.
Mengurangi
adanya faktor infeksi yang di bawa oleh keluarga
6.
Mengurangi
adanya faktor infeksi yang di bawa oleh keluarga
7.
Memantau
terjadinya infeksi
|
||||
Aktivitas
kolaboratif
|
1. Ikuti petunjuk pelaporan terhadap
infeksi yang dicurigai dan/ budaya yang positif
2. Pengendalian infeksi (NIC):
berikan terapi antibiotik, bila diperlukan
|
1.
Mengurangi
terjadinya faktor resiko infeksi
2.
Menhilangkan
bakteri yang menginfeksi pasien
|
||||
Aktivitas lain
|
1. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi faktor di lingkungan mereka, gaya hidup dan praktik
kesehatan yang meningkatkan resiko infeksi
2. Bersikan lingkungan dengan benar
setelah dipergunakan pasien
3. Pertahankan teknik isolasi, bila
diperlukan
|
1.
Mengetahui
faktor dari terjadinya infeksi sehingga bisa melanjutkan intervensi
2.
Menghilangkan
infeksi yang telah di timbulkan
3.
Pasien
tidak terinfeksi oleh pengunjung lain
|
Tabel Noc. Hipertermi
Indikator
|
Sangat menyimpang sekali dari rentang
yang diharapkan
|
Sangat menyimpang dari rentang yang diharapkan
|
Menyimpang dari rentang yang diharapkan
|
Agak
menyimpang dari rentang yang
diharapkan
|
Tidak menyimpang dari rentang yang diharapkan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Nadi (80-100 x/mnt)
|
ü
|
||||
Suhu (36,5-37,5)
|
ü
|
||||
Mual
|
ü
|
||||
RR (18-24 x/mnt)
|
ü
|
||||
Tekanan Darah (120-110/80-70 mmHg)
|
ü
|
Tabel NIC. Hipertermi
Tgl/Jam
|
No
DK
|
Tujuan
dan Kriteria Hasil
|
Aktivitas
Keperawatan
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
26 Juni 2010
08.00
|
2
|
.
|
Pengkajian
|
1. Pantau
aktivitas kejang
2. Pantau
hidrasi(Misalnya, turgor kulit, kelembapan membrane mukosa)
3. Pantau
tekanan darah, nadi, dan pernafasan
4. Pantau
tanda hipertermia ( misalnya, demam, takipnea, aritmia,perubahan tekanan
darah, bercak pada kulit,kekakuan dan berkeringat banyak
5. Pantau
suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
6. Pantau
suhu basal secara kontinu, sesuai dengan kebutuhan
7. Pantau
warna kulit dan suhu
8. Untuk
pasien medical bedah dapatkan riwayat pribadi dan keluarga terhadap
hipertemia maligna, kematian akibat ansietas atau demam pasca operasi,
9. Pantau
tanda hipertemia maligna (misalnya demam,takipnea,aritmia,perubahan tekanan
darah, bercak pada kulit, kekakuan, dan berkeringat banyak)
|
1. Memantau
aktivitas kejang
2. Memantau
hidrasi(Misalnya, turgor kulit, kelembapan membrane mukosa)
3. Memantau
tekanan darah, nadi, dan pernafasan
4. Memantau
tanda hipertermia ( misalnya, demam, takipnea, aritmia,perubahan tekanan
darah, bercak pada kulit,kekakuan dan berkeringat banyak)
5. Memantau
suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
6. Memantau
suhu basal secara kontinu, sesuai dengan kebutuhan
7. Memantau
warna kulit dan suhu
|
Pendidikan
untuk pasien dan keluarga
|
1. Ajarkan
pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini
hipertermia( misalnya, sengatan panas, dan keletihan karena panas)
2. Ajarkan
indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan,
sesuai dengan kebutuhan
|
1. Mengajarkan
pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini
hipertermia( misalnya, sengatan panas, dan keletihan karena panas)
2. Mengajarkan
indikasi keletihan karena panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan,
sesuai dengan kebutuhan
|
|||
Aktivitas
Kolaboratif
|
1. Berikan
obat antisepiretik, sesuai dengan kebutuhan
2. Gunakan
matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh,
sesuai dengan kebutuhan
|
1.
Memberikan obat antisepiretik, sesuai
dengan kebutuhan
2.
Untuk mengatasi gangguan suhu tubuh,
sesuai dengan kebutuhan
|
|||
Aktivitas
Lain
|
1. Lepaskan
pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar pakaian
2. Gunakan
waslap dingin ( atau kantong es yang dibalut dengan pakaian ) pada aksila,
kening, leher, dan lipat paha.
3. Ajarkan
asupan cairan oral.
4. Gunakan
kipas yang berputar di ruangan pasien.
5. Gunakan
selimut pendingin
|
1. Melepaskan
pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar pakaian
2. Menggunakan
waslap dingin ( atau kantong es yang dibalut dengan pakaian ) pada aksila,
kening, leher, dan lipat paha.
3. Mengajarkan
asupan cairan oral.
4. Menggunakan
kipas yang berputar di ruangan pasien.
5. Menggunakan
selimut pendingin
|
Tabel
NOC : Nyeri
Indikator
|
Berat
|
Agak berat
|
Sedang
|
Ringan
|
Tidak ada
|
Tingkat
kenyamanan
|
ü
|
||||
Perilaku
mengendalikan nyeri
|
ü
|
||||
Nyeri : efek
merusak
|
ü
|
||||
Tingkat Nyeri
|
ü
|
Tabel
NIC : Nyeri
Tgl/ jam
|
No DX
|
Tujuan/
Kriteria Hasil
|
Aktivitas
|
Intervensi
|
Rasional
|
Paraf
|
3
|
Tujuan : Setelah dilakukan terapi selama
1x24 jam nyeri pada pasien akan menghilang
Kriteria Hasil
:
-Tingkat
kenyamanan sangat nyaman
- Periolaku
pengendalian nyeri tidak ada
- Nyeri efek
merusak tidak ada
- Tingkat
nyeri membaik
|
Pengkajian
|
1. Gunakan laporan dari pasien sendiri
sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan informasi pengkajian
2. Minta pasien untuk menilai nyeri/
ketidaknyamanan pada skala 0-10
3. Lakukan pengkajian nyeri yang
komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan/durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri, dan faktor prespitasinya
|
1. Mengumpulkan data-data tentang nyeri
pasien
2. Mengetahui tingkat nyeri pasien
3. Mengetahui seberapa besar bnyeri dan
akibat yang ditimbulkan
|
||
Pendidikan
untuk pasien/ keluarga
|
1. Intruksikan pasien untuk
menginformasikan kepada perawat jika pengurang nyeri tidak dapat dicapai
2. Informasikan kepada pasien/ keluarga
tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan tawarkan saran koping
3. Berikan informasi tentang nyeri,
seperti penyebab nyeri, seberapa lama akan berlangsung dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
4. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologi (seperti : terapi music, relaksasi, terapi bermain, terapi
aktivitas, kompres hangat/dingin, dan masase) sebelum, setelah dan jika
memungkinkan, selama aktivitas yang menyakitkan, sebelum nyeri terjadi/
meningkat dan selama pengguanaan tindakan pengurangan nyeri yang lain
|
1.
Melakukan
tindakan selanjutnya
2.
Mengurangi
rasa nyeri pada pasien
3.
Membangun
rasa percaya pasien kepada perawat
4.
Membuat
pasien lupa terhadap nyeri yang dialami
|
||||
Aktivitas
kolaboratif
|
1. Kelola nyeri pascaoperasi awal dengan
pemberian opiat yang terjadwal ( misalnya setiap 4 jam atau 36 jam ) atau PCA
2. Laporkan kepada dokter jika tindakan
tidak berhasil / jika keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri pasien di masa lalu
|
1.
Mengurangi
rasa nyeri yang diderita pasien pasca operasi
2.
Menentukan
tindakan selanjutnya
|
||||
Aktivitas lain
|
1. Bantu pasien untuk mengidentifikasi
tindakan memenuhi kebutuhan rasa nyaman yang telah berhasil dilakukannya
seperti, relaksasi atau kompres hangat/ dingin
2. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada
aktivitas daripada nyeri/ ketidaknyamanan dengan melakukan penalihan melalui
televise, radio, tape, dan kunjungan
|
1. Mengurangi rasa cemas dan nyeri yang
dialami
2. Melupakan nyeri yang telah dialami
|
Tabel
Noc Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Indikator
|
Tidak
mencukupi
|
Sedikit
mencukupi
|
Agak mencukupi
|
Cukup
|
Sangat
mencukupi
|
Status Gizi
|
ü
|
||||
Asupan makanan
dan cairan
|
ü
|
||||
Nilai Gizi
|
ü
|
Tabel
NIC : Manajemen Nutrisi
Tgl/ jam
|
No DX
|
Tujuan/
Kriteria Hasil
|
Aktivitas
|
Intervensi
|
Rasional
|
Paraf
|
3-10- 2011
07.00
|
4
|
Tujuan :
Setelah dilakukan terapi selama 1x 24 jam kebutuhan nutrisi pasien akan segera
terpenuhi
Kriteria Hasil
:
-
Status gizi pasien tercukupi
-
Asupan makanan dan
Cairan
tercukupi
-Nilai
gizi baik
|
Pengkajian
|
1. Tentukan motivasi pasien untuk
mengubah kebiasaan makan
2. Ketahui makanan kesukaan pasien
3. Pantau kandungan nutrisi dan kalori
pada catatan asupan
4. Timbang pasien pada interval yang
tepat
|
1.
Mengetahui
penyebab pasien untuk makan
2.
Menambah
nafsu makan pasien
3.
Memenuhi
asupan nutrisi pada pasien
4.
Mengetahui
berat badab pasien sehingga bisa menentukan intervensi lanjutan
|
|
Pendidikan untuk
pasien/ keluarga
|
1. Ajarkan metode untuk perencanaan makan
2. Ajarkan pasien/ keluarga tentang
makanan yang bergizi dan tidak mahal
|
1.
Pasien
dapat makan dengat teratur
2.
Memenuhi
asupan makanan pada pasien
|
||||
Aktivitas
kolaboratif
|
1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam
menentukan kebutuhan protein untuk pasien dengan ketidakadekuatan asupan
protein atau jehilangan protein
2. Rujuk ke dokter untuk menentukan
penyebab perubahan nutrisi
3. Rujuk ke program gizi komunitas yang
tepat jika pasien tidak dapat membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat
|
1.
Mengetahui
kualitas makanan yang dimakan pasien
2.
Mengetahui
dan menentukan tindakan berikutnya
3.
Mengetahui
nutrisi yang tepat dan berguna
|
||||
Aktivitas lain
|
1. Buat perencanaan makan dengan pasien
untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan, lingkungan makan,
kesukaan/ketidaksukaan pasien, suhu makanan
2. Anjurkan pasien untuk menampilkan
tujuan makan dan aktivitas pada lokasi yang terlihat jelas dan kaji ulang per
hari
3. Tawarkan makanan porsi besar pada
siang hari ketika nafsu makan tinggi
4. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
untuk makan (misalnya, pindahkan barang-barang yang tidak enak dipandang atau
ekskresi)
|
1.
Mengajarkan
pasien untuk makan dengan teratur
2.
Memotivasi
pasien untuk makan makanan yang bergizi
3.
Untuk
manambah asupan makanan pada tubuh
4.
Memotivasi
pasien untuk makan
|
Tabel
NOC : Ansietas
Indikator
|
Tidak ada
|
Sedikit/
terbatas
|
Sedang
|
Substansial
|
Luas
|
Kontrol agresi
|
ü
|
||||
Kontrol
ansietas
|
ü
|
||||
Koping
|
ü
|
||||
Kontrol impuls
|
ü
|
||||
Penahanan
Mutilasi Diri
|
ü
|
||||
Keterampilan
Interaksi Sosial
|
ü
|
Tabel
NIC : Ansietas
Tgl/ jam
|
No DX
|
Tujuan/
Kriteria Hasil
|
Aktivitas
|
Intervensi
|
Rasional
|
Paraf
|
6
|
Tujuan :
Setelah dilakukan terapi selama 1x 24 jam dan penjelasan kepada pasien dan
keluarga, ansietas atau kecemasan menjadi berkurang dan menghilang
Kriteria Hasil
:
-Kontrol
agresi baik
- Kontrol
ansietas baik
- Koping baik
- Kontrol
impuls baik
- Ketrampilan
interaksi sosial baik
- Pemahaman
mutilasi diri baik
|
Pengkajian
|
1. Kaji dan dokumentasikan tingkat
kecemasan pasien setiap 3x sehari
2. Selidiki dengan pasien tentang tekhnik
yang telah dimiliki dan belum dimiliki
|
1. Menentukan seberapa besar rasa
kecemasan keluarga pasien
2. Mengetahui tindakan koping yang akan
diperbuat
|
||
Pendidikan
untuk pasien/ keluarga
|
1. sediakan informasi factual menyangkut
diagnosis, perawatan, dan prognosis
2. Intruksikan pasien tentang penggunaan
teknik relaksasi
3. Jelaskan semua prosedur, termasuk
sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur
|
1. Mengurangi kecemasan keluarga pasien
2. Mengurangi rasa cemas dan takut
3. Membangun rasa percaya pasien
|
||||
Aktivitas
kolaboratif
|
1. Berikan pengobatan untuk mengurangi
ansietas sesuai dengan kebutuhan
|
1. Menghilangkan rasa cemas
|
||||
Aktivitas lain
|
1. Beri dorongan kepada pasien untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan
2. Bantu pasien untuk memfokuskan pada
situasi saat ini.
3. Yakinkan kembali pasien dengan
menyentuh, saling member empatik secara verbal dan nonverbal, dorong pasien
untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta ijinkan pasien untuk
menangis
|
1. Mengurangi rasa cemas
2. Membangun rasa percaya diri pasien
3. Menghilangkan rasa takut dan
mengembalikan rasa percaya diri pasien
|
VII.
Implementasi
No
DK
|
Tgl/
Jam
|
IMPLEMENTASI
|
1
|
3
oktober 2011
11.00
12.00
12.15
12.15
12.15
12.30
12.45
13.00
13.15
13.30
|
1.
Memantautanda/ gejala infeksi : suhu tubuh 37,8o C
, Nadi : 95/ mnt
2.
Mengkaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi
(misalnya tanggap imun rendah dan malnutrisi)
3.
Mengamati penampilan praktik hygiene pribadi
4.
Menjelaskan kepada pasien/ keluaraga mengapa sakit dan
pengobatan meningkatkan resiko terhadap infeksi
5.
Mengintrusikan untuk menjaga hygiene pribadi
6.
Mnginformasikan pada orang tua mengenai jadwal imunisasi
untuk difteri, tetanus,pertusi,polio,campak,parotis, dan rubella
7.
Menjelaskan alas an/keuntungan dan efek samping imunisasi
8.
Mengajarkan pada pasien teknik mencuci tangan yang benar
9.
Mengajarkan kepada pengunjung untuk mencuci tangan sewaktu
masuk dan mengingalkan ruang pasien
10. Mengajarkan kepada pasien dan
keluarganya tanda/ gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya ke pusat kesehatan
11. Mengikuti petunjuk pelaporan
terhadap infeksi yang dicurigai dan/ budaya yang positif
12. Mengendalian infeksi (NIC):
berikan terapi antibiotik, bila diperlukan
13.
Membantu
pasien/keluarga untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan mereka, gaya
hidup dan praktik kesehatan yang meningkatkan resiko infeksi
14. Membersikan lingkungan dengan
benar setelah dipergunakan pasien
15.
Mempertahankan teknik isolasi, bila diperlukan
|
2
|
4-10-2011
07.00
08.00
09.00
09.30
09.45
10.00
10.30
11.00
13.00
13.30
14.00
|
1.
Memantau aktivitas kejang
2.
Memantau hidrasi(Misalnya, turgor
kulit, kelembapan membrane mukosa)
3.
Memantau tekanan darah 130/90, nadi
95x/mnt, dan pernafasan 20 x/mnt
4.
Memaantau tanda hipertermia (
misalnya, demam, takipnea, aritmia,perubahan tekanan darah, bercak pada
kulit,kekakuan dan berkeringat banyak
5.
Memantau suhu minimal setiap dua jam,
sesuai dengan kebutuhan dengan hasil
37,8 C
6.
Memantau warna kulit dan suhu
7.
Untuk pasien medical bedah dapatkan
riwayat pribadi dan keluarga terhadap hipertemia maligna, kematian akibat
ansietas atau demam pasca operasi,
8.
Mengajarkan pasien/keluarga dalam
mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia( misalnya,
sengatan panas, dan keletihan karena panas)
9.
Mengajarkan indikasi keletihan karena
panas dan tindakan kedaruratan yang diperlukan, sesuai dengan kebutuhan
10. Mengkolaborasikan
dengan dokter untuk pemberian obat antisepiretik, sesuai dengan kebutuhan
11. Mengguunakan
matras dingin dan mandi air hangat untuk mengatasi gangguan suhu tubuh,
sesuai dengan kebutuhan
12. Melepaskan
pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar pakaian
13. Menggunakan
waslap dingin ( atau kantong es yang dibalut dengan pakaian ) pada aksila,
kening, leher, dan lipat paha.
14. Mengajarkan
asupan cairan oral.
15. Mengguunakan
kipas yang berputar di ruangan pasien.
16. Mengguunakan
selimut pendingin
|
3
|
4-10-2011
10.00
10.30
11.00
11.15
11.45
12.00
13.00
14.00
|
1.
Menggunakan
laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk mengumpulkan
informasi pengkajian
2.
Meminta pasien
untuk menilai nyeri/ ketidaknyamanan pada skala 0-10, dan skala yang didapt
adalah skala 5
3.
Melakukan
pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
awitan/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri, dan
faktor prespitasinya
4.
Mengintruksikan
pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika pengurang nyeri tidak dapat
dicapai
5.
Menginformasikan
kepada pasien/ keluarga tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri dan
tawarkan saran koping
6.
Memberikan
informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, seberapa lama akan
berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
7.
Mengajarkan
penggunaan teknik nonfarmakologi (seperti : terapi music, relaksasi, terapi
bermain, terapi aktivitas, kompres hangat/dingin, dan masase) sebelum,
setelah dan jika memungkinkan, selama aktivitas yang menyakitkan, sebelum
nyeri terjadi/ meningkat dan selama pengguanaan tindakan pengurangan nyeri
yang lain
8.
Mengelola
nyeri pascaoperasi awal dengan pemberian opiat yang terjadwal ( misalnya
setiap 4 jam atau 36 jam ) atau PCA
9.
Melaporkan kepada
dokter tindakan berhasil
10. Membantu
pasien untuk mengidentifikasi tindakan memenuhi kebutuhan rasa nyaman yang
telah berhasil dilakukannya seperti, relaksasi atau kompres hangat/ dingin
11. Membantu
pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas daripada nyeri/ ketidaknyamanan
dengan melakukan penalihan melalui televise, radio, tape, dan kunjungan
|
4
|
5-10-2011
07.00
07.30
08.00
08.30
09.00
09.15
09.45
10.00
10.15
11.00
13.00
|
1.
Menentukan
motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
2.
Mengetahui
makanan kesukaan pasien
3.
Memantau
kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
4.
Menimbang
pasien pada interval yang tepat dengan hasil BB naik 0,5 kg
5.
Mengajarkan
metode untuk perencanaan makan
6.
Mengajarkan
pasien/ keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
7.
Mendiskusikan
dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein untuk pasien dengan
ketidakadekuatan asupan protein atau jehilangan protein
8.
Merujuk ke
dokter untuk menentukan penyebab perubahan nutrisi
9.
Merujuk ke
program gizi komunitas yang tepat jika pasien tidak dapat membeli atau
menyiapkan makanan yang adekuat
10. Membuat
perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan,
lingkungan makan, kesukaan/ketidaksukaan pasien, suhu makanan
11.
Menganjurkan
pasien untuk menampilkan tujuan makan dan aktivitas pada lokasi yang terlihat
jelas dan kaji ulang per hari
12.
Menawarkan
makanan porsi besar pada siang hari ketika nafsu makan tinggi
13.
Menciptakan
lingkungan yang menyenangkan untuk makan (misalnya, pindahkan barang-barang
yang tidak enak dipandang atau ekskresi)
|
5
|
1.
Mengkaji dan
dokumentasikan tingkat kecemasan pasien setiap 3x sehari
2.
Menyelidiki
dengan pasien tentang tekhnik yang telah dimiliki dan belum dimiliki
3.
Menyediakan
informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan, dan prognosis
4.
Mengintruksikan
pasien tentang penggunaan teknik relaksasi
5.
Menjelaskan
semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya dirasakan selama prosedur
6.
Memberikan
pengobatan untuk mengurangi ansietas sesuai dengan kebutuhan
7.
Memberi
dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
8.
Membantu
pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini.
9.
Meyakinkan
kembali pasien dengan menyentuh, saling member empatik secara verbal dan
nonverbal, dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta
ijinkan pasien untuk menangis
|
VIII.
Evaluasi
Tgl/Jam
|
Diagnosa
Keperawatan
|
EVALUASI
|
6-10-2011
08.00
WIB
|
Resiko tinggi infeksi b.d imunosupresi
dan malnutrisi
|
S:
Pasien mengatakan bahwa tubuhnya demam
O
:
-
Pembesaran kelenjar limfe sudah mulai kecil
-Suhu
37,8 C
-Nadi
95 x/mnt
A
:REsiko infeksi mulai dapt diatasi
P
: Lanjutkan intervensi aktivitas mandiri dan kolaboratif
|
6-10-2011
08.00
WIB
|
Hipertermia b.d ketidakefektifan
termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
|
S:
Pasien mengatakan bahwa sudah tidak
terlalu demam seperti waktu pertama datang
O:
- Suhu tubuh 37,8 C
- Nadi 95 x/mnt
RR
20x/mnt
A
: Hipertermia dapt diatasi
P:
Lanjutkan intervensi
|
6-10-2011
08.00
WIB
|
Nyeri b.d interupsi sel saraf
|
S:
Pasien mengatkan bahwa Nyeri sudah
agak menghilang
Do:
-
Mata
tidak terlihat kuyu
-
Terkadang
masih menarik napas panjang
Nyeri
skala 5
A
: Nyeri pasien muali mereda
P:
Lanjutkan Intervensi
|
6-10-2011
08.00
WIB
|
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan kebutuhan
metabolic dan penurunan absorbsi zat gizi
|
S:
Pasien mengatakan bahwa Nafsu makan
bertambah
O:
-
Berat
badan naik 0,5 kg
-
Badan
tidak lagi terasa lemah
A: Nutrisi dalam
tubuh mulai meningkat
P: Lanjutkan
intervensi aktivitas mandiri, kolaboratif, dan pendidikan untuk orang tua
|
6-10-2011
08.00
WIB
|
Ansietas b.d kurang pengetahuan
tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan perawatan
|
S:Pasien
mengatakan bahwa tmulai mengerti tentang pengobatan dan terapinya
O:
-
Kegelisahan
menghilang
-
Disstres
tidak ada
-
Khawatir
mereda
A: Ansietas pada pasien sudah tidak
ada
P: Hentikan intervensi
|
BAB
IV
PENUTUP
- SimpulanDari makalah di atas dapat disimpulkan bahwa Limfoma maligna, berlainan dengan leukemia, merupakan transformasi neoplastik sel yang terutama berada di jaringan limfoid. Dua farina utama limfoma maligna adalah limfoma non-Hodgkin dan penyakit Hodgkin. Walaupun kedua tumor ini menyebuk organ retikuloendotel, secara biologis dan klinis keduanya berbeda.Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum (maligna = ganas).Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh. Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar getah bening dan menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma beredar di dalam pembuluh limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah karena itulah limfoma bisa juga timbul di luar kelenjar getah bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan sumsum tulang. Selain itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut, hati, dan otakselain itu juga penulis telah mencantumkan etiologi, tanda gejala, klasifikasi, patofisiologi, terapi, pemeriksaan penunjang dan juga pada aplikasi asuhan keperawatan yang berdasarkan Nic noc.
- SaranSaran dari penulis unruk pembaca adalah agar pembaca memahami tentang penyakit limfoma maligna dan pengaplikasian pada asuhan keperwatan
DAFTAR
PUSTAKA
www.jurnalnasional/limfoma/44356.com.
Diakses pada tanggal 15 Oktober 2009
Rohmah Nikmatur dan Saiful Walid. 2009. Proses Keperawatan Teori dan Aplikasi. Jogjakarta: Ar-ruzz media
Handayani, Wiwik.Andi sulistyo H. 2008.
Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta :
Salemba Medika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar