Jumat, 16 Desember 2011

PENGKAJIAN KASUS TRAUMA

Pendahuluan
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian lokasi kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka akan membahayakan jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan meningkat.
Dalam kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian, kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat komplikasi dan kegagalan fungsi organ-organ vital
Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian, biasanya akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik. Kematian akibat hal ini tidak dapat dicegah.
Kematian berikutnya mungkin muncul sekitar sejam atau dua jam sesudah trauma. Kematian pada fase ini biasanya diakibatkan oleh hematoma subdural atau epidural, hemo atau pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan darah. Kematian akibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini disebut sebagai ‘golden hour’ dimana tindakan yang segera dan tepat dapat menyelamatkan nyawa korban.
Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanya diaklibatkan oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan segera untuk mengatasi syok dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat mengurangi resiko kematian ini.
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara cepat dan tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirintya sebagai prioritas utama sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi kejadian sudah benar-benar aman untuk tindakan pertolongan.
Pengkajian Awal Lokasi Kejadian (‘Initial Scene Assessment’)
Dalam keadaan darurat, selalu kontrol diri sendiri, JANGAN PANIK! Kenali kegawatdaruratan yang terjadi dan segera panggil bantuan karena mungkin anda akan membutuhkan bantuan lebih banyak saat menangani kasus gawat darurat. Jika merespon suatu keadaan gawat darurat, paramedik harus membawa perlengkapan medis seperti:
 Tas responder medis (yang dilengkapi alat-alat untuk bantuan hidup dasar serta bantuan hidup lanjut sebagaimana untuk kasus trauma)
 Resusisator manual dan oksigen (contoh; LSP)
 Defibrillator (diharapkan tipe AED)
Saat di lokasi kejadian, paramedik harus mampu mengontrol lokasi kejadian untuk menjamin keselamatan diri sendiri, orang di sekitarnya serta korban. Paramedik mungkin membutuhkan beberapa alat pelindung diri (APD) seperti:
 Helm pengaman dengan strapnya (beberapa kebijakan perusahaan mungkin mengharuskan dengan warna dan tanda tertentu untuk tenaga medis)
 Pelindung mata (kaca mata atau pelindung wajah ‘face shield’)
 Sepatu pengaman ‘safety shoes’
 Sarung tangan (kadang jenis ‘heavy duty’ diperlukan)
 Rompi pengaman (biasanya disertai dengan tanda berfluoresens)
Paramedik harus menentukan resiko bahaya baik yang nyata maupun potensial. Beberapa jenis bahaya yang mungkin ada di lokasi kejadian:
 Ledakan
 Tumpahan bahan kimia
 Kabel listrik
 Bahan-bahan mudah terbakar
 Lokasi kejadian yang tidak stabil termasuk gedung ataupun tanah runtuh
Setelah resiko bahaya diketahui dan dibersihkan, paramedik harus melakukan pengkajian untuk menentukan:
 Mekanisme cedera dan penyebab cedera
 Korban: jumlah, tingkat keparahan dan kondisi masing-masing korban
 Triase
Mekanisme cedera
Paramedik harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat reruntuhan atau kendaraan yang rusak untuk memperkirakan sejauh mana kecelakaan itu terjadi dan kemungkinan cedera yang terjadi. Beberapa mekanisme di bawah ini memungkinkan adanya cedera yang serius:
 Jatuh dari ketinggian lebih dari 20 kaki (+ 6 meter)
 Kecelakaan lalu lintas dan terjepit lebih dari 20 menit
 Korban terlempar keluar dari kendaraan
 Terlibat dalam kecelakaan dimana ada korban meninggal dalam kendaraan yang sama
 Anak-anak (dibawah 12 tahun) yang berjalan kaki atau bersepeda ditabrak oleh mobil
 Pejalan kaki tertabrak mobil dan terlempar
 Kendaraan yang mengalami kecelakaan melesak lebih dari 30 cm
Korban
Kemudian medik harus segera melakukan pengkajian untuk korban yang ada, paramedik harus menentukan:
 Jumlah korban
 Tingkat keparahan masing-masing korban
 Kondisi umum masing-masing korban
Triase
Setelah menentukan jumlah dan tingkat keparahan masing-masing korban, paramedik harus dapat melakukan ‘triase’ untuk mengefektifkan pertolongan. Triase yang sederhana serta cepat harus dilakukan untuk meningkatkan tingkat keselamatan korban.
Dalam kasus kejadian dengan ‘mass casualty’ dimana jumlah korban jauh lebih besar melebihi jumlah penolong, prioritas tindakan adalah menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya. Korban yang sudah stabil dapat dipindahkan ke bagian penanganan dengan segera.
Sementara dalam kejadian dengan ‘multiple casualty’ dimana jumlah korban sebanding dengan jumlah penolong, prioritas adalah memberikan tindakan kepada korban yang terancam jiwanya terlebih dahulu.
Jika hanya satu orang korban yang ada, maka prioritas tindakan adalah menangani masalah yang mengancam nyawa terlebih dahulu.
Prioritas Dalam ‘Multiple Casualty Incident’
Prioritas Tanda Contoh
Prioritas 1
(Prioritas tertinggi) MERAH
Diperlukan tindakan resusitasi segera (saat itu juga) Masalah di jalan pernapasan dan pernapasan
Perdarahan hebat atau tidak terkontrol
Penurunan tingkat kesadaran
Masalah medis yang berat: keracunan, kedaruratan diabetik dan jantung, dsb.
Luka bakar berat (khususnya yang melibatkan jalan napas)
Syok (hypoperfusi
Prioritas 2
(Prioritas menengah) KUNING
Diperlukan tindakan secepatnya Luka bakar tanpa gangguan jalan napas
Cedera tulang yang berat atau multi
Cedera punggung baik disertai atau tidak cedera tulang belakang
Prioritas 3
(prioritas rendah) HIJAU
Luka-luka ringan Luka bakar ringan
Cedera sendi ringan
Xcedera jaringan lunak ringan
Prioritas 
(Prioritas terakhir) HITAM / ABU_ABU / PUTIH
Mati
Tidak Terselamatkan Jelas-jelas meninggal
Trauma sangat berat yang kemungkinan besar tidak terselamtkan, seperti: kepala terputus, dada remuk, dll.

Survei Awal
Setelah pengkajian awal lokasi kejadian dilakukan, maka survei awal harus segera dilaksanakan. Survei awal adalah pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa. Apabila sudah ditemukan, maka harus segera ditangani. Survei awal dan tindakan resusitasi adalah tindakan yang dilakukan secara simultan
Setelah bahaya ditemuakan dan dibersihkan dari tempat kejadian, paramedik harus segera melakukan pemeriksaan terhadap respon korban yang akan mengindikasikan tingkat kesadaran korban. Untuk memeriksa respon korban, lakukan pemanggilan nama dan goyangkan badan korban.
 A  ‘Alert’ yang berarti sadar penuh yang ditunjukkan dengan membuka mata spontan, menjawab pertanyaan dengan benar dan menggerakkan bagian tubuh sebagaimana diperintahkan
 V  ‘Voice’ yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan suara
 P  ‘Pain’ yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan nyeri
 U  ‘Unresponsive’ yang berarti korban tidak berespon sama sekali
Jika korban berespon maka segera lakukan tindakan survei kedua untuk mencari cedera-cedera tersembunyi. Jika korban tidak berspon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
‘Airway’ Dengan Kontrol Tulang Belakang
Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘ head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu hanya direkomendasikan pada kasus non-traua dimana masalah cedera tulang belakang tidak ditemui. Pada kasus trauma yang dicurigai melibatkan tulang belakang, maka tindakan yang disarankan adalah ‘jaw thrust’. Dalam setiap tindakan pembukaan jalan napas, tulang belakang harus diimobilisasi yang berarti adalah posisi lurus (‘in-line immobilization’) bukannya penarikan atau traksi.
Jika airway sudah terbuka, periksa adakah benda sing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya harus segera dibersihkan untuk memastikan terbukanya jalan napas. Benda asing dapat dibersihkan dengan menggunakan alat ‘suction’ atau ‘finger sweep’. Tetapi, ‘finger sweep’ hanya dapat dilakukan apabila benda asing benar-benar terlihat. Apabila tidak terlihat, maka ‘finger sweep’ jangan dilakukan karena mungkin akan membuat benda asing makin terdorong jauh ke dalam dan menutup jalan napas. Benda asing yang berbentuk cair sebaiknya dibersihkan denganmenggunakan alat ‘suction’ baik yang bertenaga manual ataupun oksigen / elektrik.
Jika sudah dibersihkan, alat bantu jalan napas seperti ‘guedel’ dapat dipasang. Alat ini akan mencegah lidah bergerak ke bawah dan menutup jalan napas.
‘Breathing’ Dengan Ventilasi Yang Adekuat
Setelah jalan napas dibuka dan dibersihkan, paramedik harus segera memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak.
Jika napas ada dan normal, paramedik sebaiknya melakukan pemeriksaan akan adanya perdarahan yang hebat. Setelah itu maka lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan). Jika diperlukan maka oksigenasi dapat dilakukan dengan sungkup napas ‘non-rebreathing’ yang disuplai dengan oksigen 100% dengan aliran 8 – 15 liter per menit. Oksigenasi yang adekuat dapat mengurangi kemungkinan hipoksia yang memungkinakan adanya komplikasi jika tidak tertangani. Setelah pernapasan teratasi, maka pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan secara menyeluruh.
Jika pernapasan tidak ada, dua kali bantuan napas yang efektif harus diberikan kepada pasien. Jika kedua bantuan napas efektif tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan hingga lima kali. Perhatikan pergerakan dada saat pemberian bantuan napas dilakukan untuk memastikan bahwa dada benar-benar mengembang. Jika tersedia, maka bantuan napas sebaiknya dilakukan dengan ambu bag yang disambungkan ke sumber oksigen 100%. Jika belum tersedia, maka bantuan dilakukan dengan teknik dari mulut ke mulut dengan ‘pocket mask’ atau ‘face shield’ untuk mengurangi resiko adanya kontaminasi.
‘Circulation’ Dengan Kontrol Perdarahan Hebat
Setelah memberikan dua kali napas efektif segera periksa sirkulasi dengan melakukan pemeriksaan tanda-tanda sirkulasi dan periksa nadi karotis. Jangan lebih dari 10 detik dalam pemeriksaan ini, dengan menggunakan teknik ‘lihat-dengar-rasakan’.
Jika ada tanda-tanda sirkulasi tetpai pernapasan tidak ada, atau pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Ambu bag yang disambungkan ke oksigen 100% disarankan digunakan dalam tindakan resusitasi ini. Bantuan napas ini dilakukan 10 kali dalam waktu satu menit.
Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 ( 15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas ) baik untuk satu orang penolong ataupun dua orang penolong sepanjang jalan napas masih belum dipasang intubasi. Tetapi perlu diingat bahwa perdarahan hebat harus dikontrol terlebih dahulu sebelum melakukan RJP.
Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan menggunakan dua jarum infus berukuran besar (14-16G). Kehilangan darah dapat diganti dengan cairan kristaloid dengan rasio 1:3 (satu bagian darah yang hilang dibagi dengan 3 bagian cairan kristaloid). Untuk memeriksa status sirkulasi, paramedik dapat melakukan pemeriksaan ‘capillary refill’ dan denyut nadi. ‘Capillary refill yang melebihi normal menunjukkan adanya penurunan perfusi jaringan. Sementara dari denyut nadi yang teraba dapat diperkirakan tekanan darah secar kasar:
 Nadi karotis mengindikasikan tekanan darah setidaknya sekitar 80 mmHg
 Nadi femoral mengindikasikan tekanan darah setidaknya sekitar 70 mmHg
 Nadi radialis mengindikasikan tekanan darah setidaknya sekitar 60 mmHg
Namun, pemasangan iV tidak boleh menunda evakuasi pasien ke RS. Pemasangan infus dapat dilakukan sepanjang perjalanan menuju RS.
INGAT ! DALAM SITUASI KRITIS
A+B dilakukan di lokasi kejadian
C dapat dilakukan sepanjang transportasi ke RS
Jangan pernah menunda evakuasi hanya karena pemasangan infus
Survei Kedua
Survei Kedua ditujukan untuk mengetahui adanya cedera-cedera yang tidak mengancam nyawa atau masalah yang mungkin tersembunyi tetapi potensial mengancam nyawa. Pemeriksaan ini bisa dilakukan saat survei awal sudah dilakukan dan tiada lagi masalah yang mengancam nyawa. Pemeriksaan ini mungkin dilakukan:
 Di tempat kejadian
 Dalam perjalanan menuju rumah sakit
 Di ruang gawat darurat
Pemeriksaan ini meliputi:
 Interview (untuk mencari data subyektif)
 Pemeriksaan fisik dari ujung kepala ke ujung kaki
 Pemeriksaan tanda-tanda vital
Interview
Data-data mungkin didapatkan dari:
 Pasien (jika ia sadar)
 Keluarga atau famili
 Koleganya atau sakti (mereka mungkin hanya bisa memberikan sedikit informasi dan terbatas kepada bagaimana kejadian itu terjadi atau mungkin saat-saat terakhir korban sebelum cedera)
 ‘First Responder’ atau ‘ first aider’ yang menemukan dan menangani korban pada saat-saat awal
Data-data yang dicari:
 ‘Sign & symptoms’; merupakan tanda dan gejala yang mungkin dirasakan korban seperti; pusing, sakit kepala, nyeri, mulas, dsb
 ‘Allergy’, alergi yang mungkin diderita korban; biasanya tertulis di ‘medic alert’ yang berbentuk gelang, kalung, dsb. Riwayat alergi terhadap obat merupakan data yang penting dalam pengobatan pasien
 ‘Medication’; pengobatan yang sedang dijalani korban, riwayat pengobatan mungkin akan memberikan gambaran mengenai penyakit yang mungkin sedang diderita korban (contoh, penemuan obat anti hipertensi mungkin mengindikasikan korban menderita hipertensi). Perlu juga diketahui bagaimana pengobatan dilakukan, kapan dan seberapa banyak obat yang telah ditelan.
 ‘Past Medical History’; riwayat kesehatan masa lalu, yang perlu dicari adalah penyakit-penyakit yang serius seperti diabetes, hipertensi, pembedahan, dll.
 ‘Last Meal’; Makan terakhir, perlu dicari kapan pasien makan terakhir, seberapa banyak dan apa saja yang sudah dimakan.
 ‘Even Lead to Injury’; kejadian yang mengakibatakan cedera, perlu dicari mengenai bagaimana kecelakaaan itu terjadi, apa yang menyebabkannya; sehingga medik akan tahu bagaimana meknisme terjadinya cedera sehingga dapat menentukan seberapa parah kondisi korban.
Pemeriksaan Fisik ‘Head to Toe’
Merupakan pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk mencari tanda-tanda cedera yang akan menunjukkan seberapa parah trauma tersebut dan bagian mana yang terkena dampak trauman. Saat pemeriksaan gunakan beberapa teknik dibawah:
 Inspeksi
 Palpasi
 Perkusi
 Auscultasi
Walau demikian, pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Ketika melakukan pemeriksaan, pasien tidak perlu untuk digerak-gerakkan kalau tidak perlu. Pemeriksaan yang terfokus dilakukan di bagian dimana trauma ditemukan.
Tanda-tanda cedera yang paling umum ditemukan sering disingkat sebagai ‘DOTS’ atau ‘DeCAP BTLS. ‘DOTS’ singkatan dari Deformity (kelainan bentuk), Open Wound (luka terbuka), tenderness (nyeri tekan), Swelling (bengkak). Sementara ‘DeCAP BTLS’ singkatan dari:
 Deformity (kelainan bentuk)
 Contusion (memar)
 Abrasion (luka gores)
 Puncture / penetrasion (luka tusuk / tancap)
 Burns (luka bakar)
 Tenderness (nyeri tekan)
 Lacerations (luka robek)
 Swelling (bengkak)
Hal-hal tersebut diatas mengindikasikan jenis cedera yang terjadi pada pasien.
Kepala
 Wajah
 Kulit kepala dan tulang tengkorak
 Mata
 Telinga
 Mulut
Temuan yang dianggap kritis:
 Pupil tidak simetris (terlebih bila disertai dengan perubahan tingkat kesadaran)
 Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut
 Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung
 ‘Battle sign’ dan ‘racoon eyes’
Leher
 Bagian depan
 Trachea
 Vena Jugularis
 Otot-otot leher bagian belakang
Temuan yang dianggap kritis:
 Distnesi vena jugularis
 Deviasi trakea atau ‘tugging’
 Emfisema kulit
Dada
 Tampilan fisik
 Rusuk-rusuk
 Penggunaan otot-otot asesoris
 Pergerakan dada
 Suara paru
Temuan yang dianggap kritis:
 Luka terbuka, ‘sucking chest wound’
 ‘Flail chest’ dengan gerakan dada paradoksikalA
 Suara paru hilang atau melemah
 Gerakan dada\ sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris)
Abdomen
 Distensi
 Perubahan warna
 Nyeri tekan
 Suara usus
Temuan yang dianggap kritis:
 Nyeri tekan di perut
 Distensi abdomen
 Perut ‘papan’
 Luka terbuka (khususnya dengan organ perut keluar)
Pelvis
 Daerah pubik
 Stabilitas pelvis
 Krepitasi dan nyeri tekan
Temuan yang dianggap kritis:
 Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil
 Pembengkakan di daerah pubik
Extremitas
 Keempat anggota gerak
 Denyut nadi
 Fungsi motorik
 Fungsi sensorik
Temuan yang dianggap kritis:
 Perdarahan hebat
 Luka amputasi
 Cedera kedua tulang paha
 Menghilangnya denyut nadi
 Menghilangnya fungsi sensorik dan motorik
Untuk lebih detil bagaimana cara pemeriksaan anggota tubuh pada kasus pra-rumah sakit dibahas lebih lanjut pada bab ‘Pengkajian Pasien Tahap Pra-Rumah Sakit’.
Setiap temuan yang abnormal harus dikaji secara seksama dan ditangani sejauh yang dapat dilakukan oleh tim medis lapangan. Beberapa kasus mungkin membutuhkan penanganan yang lebih lanjut yang hanya tersedia di rumah sakit.
Pemeriksaan Tanda-Tand Vital
Tanda-tanda vital sangat penting dalam survei kedua, hal ini akan membantu paramedik untuk menentukan sejauhmana kondisi korban. Adanya gangguan pada tanda-tanda vital mengindikasikan tingkat keparahan kondisi korban.
Pernapasan
Paramedik harus memeriksa kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi, hiperventilasi, dll), suara napas (stridor, crowing, wheezing) dan penggunaan otot-otot asesoris. Normalnya pernapasan normal berkisar antara 8-20 kali per menit (dewasa), 15 – 30 (anak-anak) dan 25 – 50 (bayi)
Nadi
Jika memungkinkan periksalah denyut radialis, jika tidak teraba periksalah nadi karotis. Periksa kecepatan, kekuatan dan keteraturannya. Kecepatan normal adalah sekitar 60 – 100 (dewasa), 60 – 120 (anak-anak 5 - 12), 80 – 150 (anak-anak 1 – 5 tahun) dan 120 – 150 (bayi)
Tekanan Darah
Meskipun penghitungan tekanan darah secara kasar dapat dilakukan berdasarkan teraba tidaknya nadi tertentu, tetapi pemeriksaan menggunakan sphygmomanometer tetao sangat penting untuk hasil yang lebih akurat.
Pasien Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Dewasa Pria Umur + 100 (maks.150 mmHg) 60 – 90 mmHg
Dewasa Wanita Umur + 90 (maks. 140 mmHg) 50 – 80 mmHg
Bayi dan anak-anak 90 + (2 X umur dlm tahun)  batas atas normal
70 + (2 X umur dlm tahun)  batas bawah normal 2/3 systolik
Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan tingkat kesadaran dalam fase ini menggunakan teknik ‘Glasgow Coma Scale’ atau GCS. Pemeriksaan ini berdasar atas:
 Pembukaan mata
o Spontan 4
o Terhadap suara 3
o Terhadap nyeri 2
o Tak ada respon 1
 Respon Verbal
o Orientasi baik 5
o Bicara tetapi bingung 4
o Kata-kata tidak sesuai 3
o Suara tidak jelas 2
o Tak ada respon 1
 Respon Motorik
o Mengikuti perintah 6
o Lokalisasi nyeri 5
o Menghindar 4
o Fleksi abnormal 3
o Ekstensi abnormal 2
o Tak ada respon 1
Nilai total maksimum adalah 15 dan minimum adalah 3. pasien koma memiliki nilai GCS sekitar 8 atau kurang. Semakin rendah nilai total GCS maka semakin buruk kondisi korban. (untuk penjelasan lebih lanjut lihat bab ‘Pengkajian Pasien Tahap Pra-Rumah Sakit)
The total maximum score is 15 and the minimum is 3. The coma patient will have GCS about 8 or lower. The lower the score the condition is worst. (detail of the GCS will be discussed on the patient assessment chapter)
Kulit
Pnegecekan ini dilakukan dengan memeriksa
 Warna
 Tekstur / turgor
 Suhu
 ‘Capillary refill’
Temuan yang dianggap kritis:
 Sianotik, dingin dan basah
 Turgor jelek, kulit kering
Pupil
Periksalah:
 Ukuran
 Reaksi masing-masing pupil
 Kesamaan sisi kiri dan kanan
Temuan yang dianggap kritis:
 Reaksi melambat
 Ukuran pupil tidak sama
 Pupil ‘pinpoint’
 Pupil melebar
Periksa baik kiri dan kanan, adanya perbedaan dari tiga hal diatas mengindikasikan adanya gangguan pada sistem susunan saraf pusat. Hal ini mungkin menunjukkan adanya cedera di otak atau sistem susunan saraf pusat.

Jika kondisi pasien memburuk saat dilakukan survei kedua,
LAKUKAN PEMERIKSAAN STATUS ‘ABC’ KORBAN
Kaji ulang kondisi korban dan segera atasi masalah yang mengancam nyawa
Kesimpulan
Proses survei awal dan survei kedua akan membuat pemeriksaan korban menjadi terorganisir, rapi dan cepat. Kondisi korban kritis dan tidak dapat dikaji melalui survei awal, sehingga perlu tidaknya korban dievakuasi ke rumah sakit dapat ditentukan secepatnya.
Pemeriksaan survei kedua membuat pemeriksaan korban menjadi lebih metodis dan lebih lengkap dalam menemukan adanya cedera yang terjadi dan ditentukan tindakan yang diperlukan. Adanya penurunan kondisi korban di survei kedua harus segera ditanggapi dengan memeriksa status ‘ABC’ korban.
Ketrampilan praktek ini membutuhkan praktek setiap hari dan merupakan hal yang baik dalam menangani kasus trauma maupun kedaruratan medis. Apabila tidak terlatih, maka saat dibutuhkan anda tidak bisa melakukannya, karena itu latihan yang teratur akan membuat anda makin sempurna dalam melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar