Jumat, 16 Desember 2011

askep FIBRO ADENOMA MAMMAE

Fibroadenoma mammae (FAM), umumnya menyerang para remaja dan wanita dengan usia di bawah 30 tahun. Adanya fibroadenoma atau yang biasa dikenal dengan tumor payudara membuat kaum wanita selalu cemas tentang keadaan pada dirinya. Terkadang mereka beranggapan bahwa tumor ini adalah sama dengan kanker. Yang perlu ditekankan adalah kecil kemungkinan dari fibroadenoma ini untuk menjadi kanker yang ganas.

1. DEFINISI
Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak yang paling sering terjadi pada wanita. Tumor ini terdiri dari gabungan antara kelenjar glandula dan fibrosa. Secara histologi:
intracanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang secara tidak teratur dibentuk dari pemecahan antara stroma fibrosa yang mengandung serat jaringan epitel.
pericanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang menyerupai kelenjar atau kista yang dilingkari oleh jaringan epitel pada satu atau banyak lapisan.
Tumor ini dibatasi letaknya dengan jaringan mammae oleh suatu jaringan penghubung.
Fibroadenoma mammae timbul akibat pengaruh kelebihan hormon estrogen.
Fibroadenoma mammae dibedakan menjadi 3 macam:
• Common Fibroadenoma
• Giant Fibroadenoma umumnya berdiameter lebih dari 5 cm.
• Juvenile fibroadenoma pada remaja.

2. PENYEBAB
Fibroadenoma ini terjadi akibat adanya kelebihan hormon estrogen. Biasanya ukurannya akan meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi hormon estrogen meningkat.



3. GEJALA
Pertumbuhan fibroadenoma mammae umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, hanya ukuran dan tempat pertumbuhannya yang menyebabkan nyeri pada mammae. Pada saat disentuh kenyal seperti karet

4. PATOLOGI
Makroskopi: tampak bulat, elastis dan nodular, permukaan berwarna putih keabuan.
Mikroskopi: epitel proliferasi tampak seperti kelenjar yang dikelilingi oleh stroma fibroblastic yang khas (intracanalicular f. dan pericanalicular f.).

5. PENEGAKAN DIAGNOSA
Pada awalnya penegakan diagnosa tehadap fibroadenoma mammae ini adalah dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian akan dilakukan mammogram (x-ray pada mammae) atau ultrasound pada mammae apabila diperlukan. Yang paling pasti dan tepat dalam diagnosa terhadap fibroadenoma mammae ini adalah penggunaan sample biopsi. Pengambilan sampel biopsi ini dapat dilakukan dengan mengiris bagian mammae atau dengan memasukkan jarum yang kecil dan panjang untuk mengambil sampel sel fibroadenoma tersebut.
Diagnosa terhadap FAM ini dapat dibuat dengan penggabungan penilaian klinis, ultrasonografi dan pengambilan sampel dengan penggunaan jarum. Penilaian klinis terhadap benjolan payudara ini harus mempertimbangkan:
• Umur:
Karsinoma: umumnya menyerang pada usia menjelang menopause
Fibroadenoma: umumnya menyerang wanita usia di bawah 30 tahun

6. TREATMENT
Karena FAM adalah tumor jinak maka pengobatan yang dilakukan tidak perlu dengan pengangkatan mammae. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk dan ukurannya saja. Pengangkatan mammae harus memperhatikan beberapa faktor yaitu faktor fisik dan psikologi pasien. Apabila ukuran dan lokasi tumor tersebut menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien maka diperlukan pengangkatan.
7. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Seluruh susunan kelenjar payudara berada di bawah kulit di daerah pektoral. Terdiri dari massa payudara yang sebagian besar mengandung jaringan lemak, berlobus-lobus (20-40 lobus), tiap lobus terdiri dari 10-100 alveoli, yang di bawah pengaruh hormon prolaktin memproduksi air susu. Dari lobus-lobus, air susu dialirkan melalui duktus yang bermuara di daerah papila / puting. Fungsi utama payudara adalah laktasi, dipengaruhi hormon prolaktin dan oksitosin pascapersalinan.
Kulit daerah payudara sensitif terhadap rangsang, termasuk sebagai sexually responsive organ.
ASKEP TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
Meliputi identitas klien dan identitas penanggung jawab.
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kemungkinan klien pernah mendapat sinar radiasi pada buah dada. Ada kalanya klien pernah memperoleh terapi hormon untuk mendapatkan anak.
b. Riwayat Keseahatan Sekarang
Klien dengan post FAM akan tersa nyeri karena prosedur pembedahan, aktifitas menurun, nafsu makan menurun, stres/ takut terhadap penyakit dan harapan yang akan datang.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Walaupun FAM bukan penyakit turunan tetapi angka statistik akan menunjukan bahwa FAM sering ditemukan pada wanita yang mempunyai hubungan keluarga.
3. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
• Klien akan merasa cemas denngan penyakitnya.
• Kadang kala klien marah pada tim kesehatan terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan.
• Kadang – kadang klien sering bertanya, mengapa saya yang yang sakit, mengapa tidak orang lain saja yang sakit.
• Ada kalanya klien tidak mau ada orang yang menjenguknya.
4. RIWAYAT SPIRITUAL
Biasanya klien dengan FAM tidak mengalami gangguan dalam menjalani ibadah.



5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
• LED meningkat.
• Serum alkali pospalse meningkat.
• Hipercalsemia.
b. Rontgen thorax dan alat lain
Untuk menentukan apakah sudah ada metastase atau belum.
B. KEMUNGKINAN DIAGNOSA
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d efek luka pembedahan.
2. Kecemasan tingkat sedang b/d kurangnya pengetehuan tentang pentingnya operasi.
3. Takut kehilangan fungsi mammae b/d kurangnya pengetahuan tentang tindakan operasi.
C. PERENCANAAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d efek luka pembedahan.
Tujuan : nyeri bisa diatasi, rasa nyaman dapat dipenuhi.
Dengan kriteria :
- Nyeri berkurang.
- Rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi :
 Kaji faktor – faktor yang dapat menurunkan toleransi klien terhadap nyeri dan diskusikan alasan mengapa klien mengalami peningkatan nyeri.
 Alihakan perahatian klien pada waktu serangan nyeri akut, seperti : nafas dalam, membaca koran, mendiskusikan hal – hal yang menarik.
 Berikan penjelasan tentang penyebab nyeri.
 Bantu klien untuk mendapatkan posisi yang menyenangkan.
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat – obat analgetik.

2. Kecemasan tingkat sedang b/d kurangnya pengetehuan tentang pentingnya operasi.
Tujuan : kecemasan klien dapat teratasi.
Kriteria :
- Klien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara terbuaka.
- Klien dapat bekerja sama dalam tindakan.
- Klien terlihat tenang.
Intervensi :
 Lakukan pendekatan dengan klien dan keluarga.
 Gunakan komunikasi efektif dan mudah dipahami.
 Monitor tingkat kecemasan melalui observasi.
 Pertahankan lingkungan yang aman dan tenang.
 Berikan penjelasan tentang pentingnya operasi.
 Anjurkan klien untuk mendekatkan diri pada tuhan.
3. Takut kehilangan fungsi mammae b/d kurangnya pengetahuan tentang tindakan operasi.
Tujuan : klien mengerti tentang penyakitnya dan manfaat dari operasi.
Kriteria :
- Klien dapat mengungkapkan penerimaannya tentang penyakit yang dideritanya.
- Klien tampak lebih tenang.
- Klien berpatisipasi dalam pelaksanaan tindakan.
Intervensi :
 Berikan penjelasan pada klien manfaat dari operasi.
 Perbaiki persepsi klien yang salah dengan memberikan informasi yang adekuat.
 Beri contoh pada klien orang yang pernah mengalami operasi yang sama dan mammaenya dapat berfungsi dengan baik.

Askep trauma kapitis

Pengertian…
Head injury (Trauma kepala) termasuk kejadian trauma pada kulit kepala, tengkorak atau otak.
Batasan trauma kepala digunakan terutama untuk mengetahui trauma cranicerebral, termasuk gangguan kesadaran.
Kematian akibat trauma kepala terjadi pada tiga waktu setelah injury yaitu :
Segera setelah injury.
Dalam waktu 2 jam setelah injury
rata-rata 3 minggu setelah injury.
Pada umumnya kematian terjadi setelah segera setelah injury dimana terjadi trauma langsung pada kepala, atau perdarahan yang hebat dan syok. Kematian yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma disebabkan oleh kondisi klien yang memburuk secara progresif akibat perdarahan internal.
Pencatatan segera tentang status neurologis dan intervensi surgical merupakan tindakan kritis guna pencegahan kematian pada phase ini
Kematian yang terjadi 3 minggu atau lebih setelah injury disebabkan oleh berbagai kegagalan sistem tubuh.
Faktor-faktor yang diperkirakan memberikan prognosa yang jelek adalah adanya intracranial hematoma, peningkatan usia klien, abnormal respon motorik, menghilangnya gerakan bola mata dan refleks pupil terhadap cahaya, hipotensi yang terjadi secara awal, hipoksemia dan hiperkapnea, peningkatan ICP.
Insiden
Diperkirakan terdapat 3 juta orang di AS mengalami trauma kepala pada setiap tahun. Angka kematian di AS akibat trauma kepala sebanyak 19.3/100.000 orang. Pada umumnya trauma kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas atau terjatuh
Jenis Trauma Kepala
Robekan Kulit Kepala
Robekan kulit kepala merupakan kondisi agak ringan dari trauma kepala. Oleh karena kulit kepala banyak mengandung pembuluh darah dengan kurang memiliki kemampuan konstriksi, sehingga banyak trauma kepala dengan perdarahan hebat. Komplikasi utama robekan kepala ini adalah infeksi.
Fraktur tulang tengkorak
Fraktur tulang tengkorak sering terjadi pada trauma kepala. Beberapa cara untuk menggambarkan fraktur tulang tengkorak :
Garis patahan atau tekanan.
Sederhana, remuk atau compound.
Terbuka atau tertutup
Fraktur yang terbuka atau tertutup bergantung pada keadaan robekan kulit atau sampai menembus kedalam lapisan otak. Jenis dan kehebatan fraktur tulang tengkorak bergantung pada kecepatan pukulan, momentum, trauma langsung atau tidak.
Pada fraktur linear dimana fraktur terjadi pada dasar tengkorak biasanya berhubungan dengan CSF. Rhinorrhea (keluarnya CSF dari hidung) atau otorrhea (CSF keluar dari mata).
Ada dua metoda yang digunakan untuk menentukan keluarnya CSF dari mata atau hidung, yaitu:
melakukan test glukosa pada cairan yang keluar yang biasanya positif. Tetapi bila cairan bercampur dengan darah ada kecenderungan akan positif karena darah juga mengadung gula.
Metoda kedua dilakukan yaitu cairan ditampung dan diperhatikan gumpalan yang ada. Bila ada CSF maka akan terlihat darah berada dibagian tengah dari cairan dan dibagian luarnya nampak berwarna kuning mengelilingi darah (Holo/Ring Sign).
Komplikasi…
Komplikasi yang cenderung terjadi pada fraktur tengkorak adalah infeksi intracranial dan hematoma sebagai akibat adanya kerusakan menigen dan jaringan otak. Apabila terjadi fraktur frontal atau orbital dimana cairan CSF disekitar periorbital (periorbital ecchymosis. Fraktur dasar tengkorak dapat meyebabkan ecchymosis pada tonjolan mastoid pada tulang temporal (Battle’s Sign), perdarahan konjunctiva atau edema periorbital
Commotio Cereberal
Concussion/commotio serebral adalah keadaan dimana berhentinya sementara fungsi otak, dengan atau tanpa kehilangan kesadaran, sehubungan dengan aliran darah keotak. Kondisi ini biasanya tidak terjadi kerusakan dari struktur otak dan merupakan keadaan ringan oleh karena itu disebut Minor Head Trauma.
Keadaan phatofisiologi secara nyata tidak diketahui. Diyakini bahwa kehilangan kesadaran sebagai akibat saat adanya stres/tekanan/rangsang pada reticular activating system pada midbrain menyebabkan disfungsi elektrofisiologi sementara.
Gangguan kesadaran terjadi hanya beberapa detik atau beberapa jam.
Pada concussion yang berat akan terjadi kejang-kejang dan henti nafas, pucat, bradikardia, dan hipotensi yang mengikuti keadaan penurunan tingkat kesadaran. Amnesia segera akan terjadi. Manifestasi lain yaitu nyeri kepala, mengantuk,bingung, pusing, dan gangguan penglihatan seperti diplopia atau kekaburan penglihatan
Kontusio Cereberal
Contusio didefinisikan sebagai kerusakan dari jaringan otak. Terjadi perdarahan vena, kedua white matter dan gray matter mengalami kerusakan. Terjadi penurunan pH, dengan berkumpulnya asam laktat dan menurunnya konsumsi oksigen yang dapat menggangu fungsi sel.
Kontusio sering terjadi pada tulang tengkorak yang menonjol. Edema serebral dapat terjadi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan ICP. Edema serebral puncaknya dapat terjadi pada 12 - 24 jam setelah injury.
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka tingat kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral
Diffus Axonal Injury
Adalah injury pada otak dimana akselerasi-deselerasi injury dengan kecepatan tinggi, biasanya berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor sehingga terjadi terputusnya axon dalam white matter secara meluas. Kehilangan kesadaran berlangsung segera. Prognosis jelek, dan banyak klien meninggal dunia, dan bila hidup dengan keadaan persistent vegetative
Injury Batang Otak
Walaupun perdarahan tidak dapat dideteksi, pembuluh darah pada sekitar midbrain akan mengalami perdarahan yang hebat pada midbrain. Klien dengan injury batang otak akan mengalami coma yang dalam, tidak ada reaksi pupil, gangguan respon okulomotorik, dan abnormal pola nafas
Komplikasi
EPIDURAL HEMATOMA
Sebagai akibat perdarahan pada lapisan otak yang terdapat pada permukaan bagian dalam dari tengkorak.
Hematoma epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergensi dan biasanya berhubungan dengan linear fracture yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan.
Venous epidural hematoma berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan
Arterial hematoma terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal.
Perdarahan masuk kedalam ruang epidural. Bila terjadi perdarahan arteri maka hematoma akan cepat terjadi.
Gejalanya adalah penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual dan muntah.
Klien diatas usia 65 tahun dengan peningkatan ICP berisiko lebih tinggi meninggal dibanding usia lebih mudah
Subdural hematoma
Terjadi perdarahan antara dura mater dan lapisan arachnoid pada lapisan meningen yang membungkus otak.
Subdural hematoma biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan pada pembuluh darah.
Vena yang mengalir pada permukaan otak masuk kedalam sinus sagital merupakan sumber terjadinya subdural hematoma.
Oleh karena subdural hematoma berhubungan dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-lahan. Tetapi bila disebabkan oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara cepat.
Subdural hematoma dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik
Setelah terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma menunjukkan tanda2 dalam waktu 48 jam setelah injury.
Tanda lain yaitu bila terjadi konpressi jaringan otak maka akan terjadi peningkatan ICP menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan nyeri kepala. Pupil dilatasi. Subakut biasanya terjadi dalam waktu 2 - 14 hari setelah injury.
Kronik subdural hematoma terjadi beberapa minggu atau bulan setelah injury. Somnolence, confusio, lethargy, kehilangan memory merupakan masalah kesehatan yang berhubungan dengan subdural hematoma
Intracerebral Hematoma
Terjadinya pendarahan dalamn parenkim yang terjadi rata-rata 16 % dari head injury. Biasanya terjadi pada lobus frontal dan temporal yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah intraserebral pada saat terjadi injury. Akibat robekan intaserebral hematoma atau intrasebellar hematoma akan terjadi subarachnoid hemorrhage
Collaborative Care
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memonitor hemodinamik dan mendeteksi edema serebral. Pemeriksaan gas darah guna mengetahui kondisi oksigen dan CO2.
Oksigen yang adekuat sangat diperlukan untuk mempertahankan metabolisma serebral. CO2 sangat berpengaruh untuk mengakibatkan vasodilator yang dapat mengakibatkan edema serebral dan peningkatan ICP.
Jumlah sel darah, glukosa serum dan elektrolit diperlukan untuk memonitor kemungkinan adanya infeksi atau kondisi yang berhubungan dengan lairan darah serebral dan metabolisma.
CT Scan diperlukan untuk mendeteksi adanya contusio atau adanya diffuse axonal injury. Pemeriksaan lain adalah MRI, EEG, dan lumbal functie untuk mengkaji kemungkinan adanya perdarahan.
Sehubungan dengan contusio, klien perlu diobservasi 1 - 2 jam di bagian emergensi. Kehilangan tingkat kesadaran terjadi lebih dari 2 menit, harus tinggal rawat di rumah sakit untuk dilakukan observasi.
Klien yangmengalami DAI atau cuntusio sebaiknya tinggal rawat di rumah sakit dan dilakukan observasi ketat. Monitor tekanan ICP, monitor terapi guna menurunkan edema otak dan mempertahankan perfusi otak.
Pemberian kortikosteroid seperti hydrocortisone atau dexamethasone dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi. Pemberian osmotik diuresis seperti mannitol digunakan untuk menurunkan edema serebral.
Klien dengan trauma kepala yang berat diperlukan untuk mempertahankan fungsi tubuh normal dan mencegah kecacatan yang nmenetap. Dapat juga diberikan infus, enteral atau parenteral feeding, pengaturan posisi dan ROM exercise untuk mensegah konraktur dan mempertahankan mobilitas.
Asuhan keperawatan
Pengkajian riwayat terjadinya injury akan membantu guna memahami trauma craniocerebral. Mengetahui jika klien kehilangan kesadaran akan membantu perawat untuk merencanakan tindakan keperawatan.
Asuhan keperawatan pada klien pada phase akut biasanya difokuskan pada mempertahankan pengaliran udara dan pola nafas. Asuhan keperawatan ditujukan untuk mengkaji secara terus menerus dan memonitoring fungsi neurologis pengaruhnya terhadap berbagai sistem tubuh.
Banyak diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan dengan hematoma intracranial atau sebagai akibat peningkatan ICP
Diagnosa keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan Coma atau perdarahan masuk kedalam jalan nafas.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan jalan nafas tetap efektif, ditandai :
Jalan nafas bagian atas bebas dari sekresi.
Pernafasan teratur (16-22)
bunyi perbafasan jelas pada kedua dasar paru.
Gerakan dada simetris.
Tidak ada dispnea, agitasi, confusio.
AGD normal ( PO2 diatas 90 mmHg dan PCO2 antara 30 - 35 mmHg..
Implementasi
Pertahankan jalan udara bebas.
Pertahankan jalan nafas tetap bebas.
Lakukan suction oropharynx dan trachea setiap 1 -2 jam.
Kaji RR setiap 1 -2 jam.
Cek bunyi nafas dan gerakan dada.
Monitor AGD.
Posisi baring semi prone/posisi lateral.
Berikan oksigen humidified.
Bantu atau pertahankan endotracheal tube, tracheostomy, dan mechanical ventilation (bila diperlukan).
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipotensi/intracranial hemorrhage/hematoma/atau injury lain.
Tujuan
Klien akan mempertahankan perfusi jaringan serebral yang adekuat, ditandai dengan :
LOC stabil atau meningkat.
GCS nilai 9 atau lebih.
C.Temperatur kurang dari 38.5
refleks pupil terhadap cahaya baik.
Respon motorik stabil atau peningkatan(gerakan lengan dan tungkai).
ICP kurang dari 15 mmHg.
tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
Implementasi
Kaji LOC.
Kaji lebarnya pupil setiap 1 - 4 jam.
Kaji gerakan ekstraokuler setiap 1 - 4 jam.
Catat respon verbal, gerakan tungkai, dorsiflexion dan plantar flexion setiap 1 - 4 jam.
Jika klien tidak sadar, catat gerekan spntan atau upaya menghindari nyeri setiap 1 - 4 jam.
Laporkan jika ada kelainan/kemunduran yang terjadi.
Monitor temperatur setiap setiap 2 jam, pertahankan temperatur batas normal denganpemberian obat antiperetika.
Monitor kondisi kardiovaskular dan pernafasan.
Catat vital sign setiap 1 - 4 jam.
Pertahankan posisi kepala 30 derajat dan pertahankan posisi kepala secara netral dengan memasang bantal pasir.
Monitor input dan output urin.
Lakukan massage setiap 2- 4 jam untuk mencegah adanya tekanan pada tonjolan tulang.
Robah posisi setiap 2 jam.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN OBSTRUKSI USUS

A. PENGERTIAN
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal (Reeves, 2001). Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998).

B. ETIOLOGI
1. Mekanis
Adhesi/perlengketan pascabedah (90% dari obstruksi mekanik)
Karsinoma
Volvulus
Intususepsi
Obstipasi
Polip
Striktur
2. Fungsional (non mekanik)
Ileus paralitik
Lesi medula spinalis
Enteritis regional
Ketidakseimbangan elektrolit
Uremia

C. JENIS-JENIS OBSTRUKSI
Terdapat 2 jenis obstruksi :
1. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.
2. Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup ( paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark(strangulasi). Sehingga menimbulkan obstruksi strangulata yang disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini tidak mengganggu suplai darah, menyebabkan gangren dinding usus.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Mekanika sederhana – usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah empedu awal, peningkatan bising usus (bunyi gemerincing bernada tinggi terdengar pada interval singkat), nyeri tekan difus minimal.
2. Mekanika sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat,muntah – sedikit atau tidak ada – kemudian mempunyai ampas, bising usus dan bunyi “hush” meningkat, nyeri tekan difus minimal.
3. Mekanika sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan difus minimal.
4. Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.
5. Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat; nyeri parah, terus menerus dan terlokalisir; distensi sedang; muntah persisten; biasanya bising usus menurun dn nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
2. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan sigmoid yang tertutup.
3. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah; peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
4. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik.

F. PENATALAKSANAAN MEDIS/BEDAH
1. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit :
2. Terapi Na+, K+, komponen darah
3. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial
4. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
5. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.
6. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.
7. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau infeksi.
8. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
9. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.
10. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi usus dengan reseksi usus yang dilakukan sebagai prosedur kedua.

G. PENGKAJIAN
1. Umum :
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal, peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan dan leukositosis.
2. Khusus :
a. Usus halus
Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi
Distensi ringan
Mual
Muntah : pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim; selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal
Dehidrasi
b. Usus besar
Ketidaknyamana abdominal ringan
Distensi berat
Muntah fekal laten
Dehidrasi laten : asidosis jarang

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan atau diforesis.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Tanda vital normal
b. Masukan dan haluaran seimbang
Intervensi :
c. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok
d. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
e. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten. Ukur haluaran drainase setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan konsistensi
f. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk memudahkan pasasse ke dalam usus; jangan memplester selang ke hidung sampai selang pada posisi yang benar
g. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam
h. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari 50 ml/jam
i. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
j. Pantau elektrolit, Hb dan Ht
k. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
l. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral juga dengan mengklem selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah air yang telah diukur atau memberikan cairan setelah selang usus diangkat.
m. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk memperkirakan jumlah absorpsi.
n. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau kekauan.
o. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising usus.
p. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.
q. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.
r. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari konstipasi

2. Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan; menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga lutut.
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari morfin
d. Berikan periode istirahat terencana.
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4 jam.
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit.
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri; berikan enema perlahan bila dipesankan.
h. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau kekakuan.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan pernafasan, pernafasan yang dalam dan perlahan.
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.

4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.
Tujuan : ansietas teratasi
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini dan mendemonstrasikan keterampilan kooping positif dalam menghadapi ansietas.
Intervensi :
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang berhasil pada waktu lalu.
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa takut; berikan penenangan.
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai penyakit, tindakan dan prognosis.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.



DAFTAR PUSTAKA

1. Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk. Ed. 1. Jakarta : EGC; 2001
2. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
3. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998
4. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
5. Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA

A. PENGERTIAN
Suatu proses inflamasi pada lapisan mukosa dan sub mukosa lambung.(Mizieviez).

B. ETIOLOGI
1. Faktor imunologi
2. Faktor bakteriologi
3. Faktor lain seperti : NSAID ( aspirin ), merokok, alkohol, kafein, stres/ ansietas, refluk usus-lambung, bahan kimia

C. PATWAYS DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN


F. imunologi F. Bakteriologik Faktor lain





Infiltrasi sel - sel radang


Atropi progresif sel epitel kelenjar mukosa


Kehilangan sel parietal dan chief sel


Produksi asam klorida, pepsi dan faktor intrinsik menurun


Dinding lambung menipis


Mukosa rata
Kerusakan mukosa asam lambung





Nyeri ulu hati Mual, muntah, anoreksia Kurang penget.


Perub. Kenyamanan Resiko nutrisi kurang
Nyeri dari kebutuhan tubuh

D. TANDA DAN GEJALA
Nyeri epigastrium yang tidak hebat, nyeri tekan pada epigastrium, mual, muntah anoreksia, muntah darah bila berat.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
2. Biopsi mukosa lambung
3. Analisa cairan lambung
4. Pemeriksaan barium
5. Radiologi abdomen
6. Kadar Hb, Ht, Pepsinogen darah
7. Feces bila melena


ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GASTRITIS DI RUMAH SAKIT

A. PENGKAJIAN
1. Riwayat atau adanya faktor resiko
Riwayat garis perama keluarga tentang gastritis
Penggunaan kronis obat yang mengiritasi mukosa lambung
Perokok berat
Pemajanan pada stres emosi kronis
2. Pengkajian fisik
 Nyeri epigastrik. Nyeri terjadi 2 – 3 setelah makan dan sering disertai dengan mual dan muntah. Nyeri sering digambarkan sebagai tumpul, sakit, atau rasa terbakar, sering hilang dengan makanan dan meningkat dengan merokok dan stres emosi.
Penurunan berat badan
Perdarahan sebagai hematemesis dan melena bila berat
3. Kaji diet khusus dan pola makan selama 72 jam perawatan dirumah sakit
4. Kaji respon emosi pasien dan pemahaman tentang kondisi, rencana tindakan, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan perawatan diri preventif
5. Kaji metode pasien dalam menerima peristiwa yang menimbulkanstres dan persepsi tentang dampak penyakit pada gaya hidup

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut /kronis b/d peningkatan lesi skunder terhadap peningkatan sekresi gastik
2. Resiko peningkatan inefektif regimen terapeutik yang b/d kurang pengetahuan tentang proses penyakit, kontra indikasi, tanda dan gejala, komplikasi, dan program pengobatan
3. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d rasa tidak nyaman setelah makan , anoreksia, mual, muntah

C. RENCANA KEPERAWATAN
• Dx/ Kep. 1.
• Kriteria klien akan :
1. Melaporkan gejala ketidaknyamanan dengan segera
2. Mengungkapkan peningkatan rasa nyaman dalam respon terhadap rencana pengobatan
• Intervensi
1. Jelaskan hubungan antara sekresi asam hidroklorit dan awitan nyeri
2. Berikan antasida, antikolinergik, sukralfat, bloker H2 sesuai pesanan
3. Beri dorongan untuk melakukan aktivitas yang meningkatkan istirahat dan rileks
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi subtansi pengiritasi misalnya makanan gorengan, pedas, kopi
5. Ajarkan tehnik diversional untuk reduksi stres dan penghilang nyeri
6. Nasehati klien untuk menghindari merokok dan penggunaan alkohol
7. Dorong klien untuk menurunkan masukan minuman yang mengandungkafein, bila ada indikasi
8. Peringatkan klien berkenaan dengan penggunaan salisal kecuali bila dianjurkan dokter
9. Ajarkan klien tentang pentingnya pengobatan berkelanjutan bahkan saat tidak nyeri sekalipun

Dx/ Kep. 2.
Kriteria : Berkaitan dengan perencanaan pemulangan, rujuk pada rencana pemulangan
Intervensi:
1. Jelaskan patofisiologi penyakit gastritis menggunakan terminologi dan media yang tepat untuk tingkat pengetahuan klien dan keluarga
2. Jelasskan perilaku yang dapat diubah atau dihilangkan untuk mengurangi resiko kekambuhan:
a. penggunaan tembakau,
b. masukan alkohol berlebihan,
c. makanan dan minuman yang mengandung kafein,
d. jumlah besar produk yang mengandung susu.
3. Jika klien dipulangkan dengan terapi antasid, ajarkan hal-hal berikut:
a. kunyah tablet dengan baik dan minum segelas air, untuk meningkatkan absorbsi
b. minum antasid 1 jam setelah makan untuk memperlambat pengosongan lambung
c. berbaring selama 1/2 jam setelah makan untuk memperlambat pengosongan lambung
d. Hindari antasid tinggi natrium ( misal: gelusil, amphojel, mylanta ), masukan natrium berlebuhan memperberat rettensi cairan dan meningkatkan takanan darah
4. Diskusikan tentang pengobatan lanjut bahkan saat tidak ada gejala
5. Instruksikan klien dan keluarga untuk memperhatikan dan melaporkan gejala ini :
Feces merah / hitam
Muntahan berdarah / hitam
Nyeri epigastrik menetap
Nyeri abdomen berat dan tiba-tiba
Konstipasi
Mual dan muntah menetap
Penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya
6. Rujuk ke sumber komunitas, bila ada indikasi( misal : program penghentian merokok, minum alkohol, penatalaksanaan stres)

Dx/ Kep. 3.
Kriteria: mempertahankan masukan makanan yang adekuat
Intervensi:
1. Kaji status nutrisi pasien: diit, pola makan, makanan yang dapat menjadi pencetus rasa nyeri
2. Kaji riwayat pengobatan pasien: aspirin, steroid, vasopresin
3. Pantau tanda-tanda vital / 4 jam
4. Pantau masukan dan haluaran
5. Pertahankan lingkungan tampa stres
6. Berikan diit dalam jumlah kecil dan sering
7. Pantau keefektifan / efek samping obat

DAFTAR PUSTAKA


1. Darmojo R.B, Martono H, (2000), Buku Ajar Geriatri, Edisi 2, Balai penerbit FKUI, Jakarta

2. Price SA, Lorraine M, (1995), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Buku 1, Edisi IV, EGC, Jakarta

3. Mansjoer a,dkk,(1999), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid I, Media Euskulapius FKUI, Jakarta

4. Bruner & Sudart, (2002), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 2, Edisi 8, EGC, Jakarta

5. FKUI, (2000), Kumpulan Makalah Pelatihan Askep Keluarga, Jakarta
6. Capernito L.J, (2000), Rencana Askep dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2, EGC, Jakarta

7. Engram B, (2000), Rencana askep medikal bedah, Edisi !, EGC, Jakarta

8. Tuker SM et al, (1992),Standard Perawatan Pasien, Vol 2, Edisi V, EGC, Jakarta

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM

A.PENGERTIAN
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai tukak.(misalnya tukak karena stress). Tukak kronik berbeda denga tukak akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar tukak. Menurut definisi, tukak peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum. Walaupun aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan factor etiologi yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu factor dari banyak factor yang berperan dalam patogenesis tukak peptic.

B.ETIOLOGI DAN INSIDEN
Etiologi ulkus peptikum kurang dipahami, meskipun bakteri gram negatif H. Pylori telah sangat diyakini sebagai factor penyebab. Diketahui bahwa ulkus peptik terjadi hanya pada area saluran GI yang terpajan pada asam hidrochlorida dan pepsin. Penyakit ini terjadi dengan frekuensi paling besar pada individu antara usia 40 dan 60 tahun. Tetapi, relatif jarang pada wanita menyusui, meskipun ini telah diobservasi pada anak-anak dan bahkan pada bayi. Pria terkenal lebih sering daripada wanita, tapi terdapat beberapa bukti bahwa insiden pada wanita hampir sama dengan pria. Setelah menopause, insiden ulkus peptikum pada wanita hampir sama dengan pria. Ulkus peptikum pada korpus lambung dapat terjadi tanpa sekresi asam berlebihan
Predisposisi :
Upaya masih dilakukan untuk menghilangkan kepribadian ulkus. Beberapa pendapat mengatakan stress atau marah yang tidak diekspresikan adalah factor predisposisi. Ulkus nampak terjadi pada orang yang cenderung emosional, tetapi apakah ini factor pemberat kondisi, masih tidak pasti. Kecenderungan keluarga yang juga tampak sebagai factor predisposisi signifikan. Hubungan herediter selanjutnya ditemukan pada individu dengan golongan darah lebih rentan daripada individu dengan golongan darah A, B, atau AB. Factor predisposisi lain yang juga dihubungkan dengan ulkus peptikum mencakup penggunaan kronis obat antiinflamasi non steroid(NSAID). Minum alkohol dan merokok berlebihan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ulkus lambung dapat dihubungkan dengan infeksi bakteri dengan agens seperti H. Pylori. Adanya bakteri ini meningkat sesuai dengan usia. Ulkus karena jumlah hormon gastrin yang berlebihan, yang diproduksi oleh tumor(gastrinomas-sindrom zolinger-ellison)jarang terjadi. Ulkus stress dapat terjadi pada pasien yang terpajan kondisi penuh stress.

C.PATOFISIOLOGI
Ulkus peptikum terjadi pada mukosa gastroduodenal karena jaringan ini tidak dapat menahan kerja asam lambung pencernaan(asam hidrochlorida dan pepsin). Erosi yang terjadi berkaitan dengan peningkatan konsentrasi dan kerja asam peptin, atau berkenaan dengan penurunan pertahanan normal dari mukosa. Mukosa yang rusak tidak dapat mensekresi mukus yang cukup bertindak sebagai barier terhadap asam klorida.
Sekresi lambung terjadi pada 3 fase yang serupa :
1. Sefalik
Fase pertama ini dimulai dengan rangsangan seperti pandangan, bau atau rasa makanan yang bekerja pada reseptor kortikal serebral yang pada gilirannya merangsang saraf vagal. Intinya, makanan yang tidak menimbulkan nafsu makan menimbulkan sedikit efek pada sekresi lambung. Inilah yang menyebabkan makanan sering secara konvensional diberikan pada pasien dengan ulkus peptikum. Saat ini banyak ahli gastroenterology menyetujui bahwa diet saring mempunyai efek signifikan pada keasaman lambung atau penyembuhan ulkus. Namun, aktivitas vagal berlebihan selama malam hari saat lambung kosong adalah iritan yang signifikan.

2.Fase lambung
Pada fase ini asam lambung dilepaskan sebagai akibat dari rangsangan kimiawi dan mekanis terhadap reseptor dibanding lambung. Refleks vagal menyebabkan sekresi asam sebagai respon terhadap distensi lambung oleh makanan.
3.Fase usus
Makanan dalam usus halus menyebabkan pelepasan hormon(dianggap menjadi gastrin) yang pada waktunya akan merangsang sekresi asam lambung.
Pada manusia, sekresi lambung adalah campuran mukokolisakarida dan mukoprotein yang disekresikan secara kontinyu melalui kelenjar mukosa. Mucus ini mengabsorpsi pepsin dan melindungi mukosa terhadap asam. Asam hidroklorida disekresikan secara kontinyu, tetapi sekresi meningkat karena mekanisme neurogenik dan hormonal yang dimulai dari rangsangan lambung dan usus. Bila asam hidroklorida tidak dibuffer dan tidak dinetralisasi dan bila lapisan luar mukosa tidak memberikan perlindungan asam hidroklorida bersama dengan pepsin akan merusak lambung. Asam hidroklorida kontak hanya dengan sebagian kecil permukaan lambung. Kemudian menyebar ke dalamnya dengan lambat. Mukosa yang tidak dapat dimasuki disebut barier mukosa lambung. Barier ini adalah pertahanan untama lambung terhadap pencernaan yang dilakukan oleh sekresi lambung itu sendiri. Factor lain yang mempengaruhi pertahanan adalah suplai darah, keseimbangan asam basa, integritas sel mukosa, dan regenerasi epitel. Oleh karena itu, seseorang mungkin mengalami ulkus peptikum karena satu dari dua factor ini : 1. hipersekresi asam pepsin
2. kelemahan barier mukosa lambung
Apapun yang menurunkan yang mukosa lambung atau yang merusak mukosa lambung adalah ulserogenik, salisilat dan obat antiinflamasi non steroid lain, alcohol, dan obat antiinflamasi masuk dalam kategori ini.
Sindrom Zollinger-Ellison (gastrinoma) dicurigai bila pasien datang dengan ulkus peptikum berat atau ulkus yang tidak sembuh dengan terapi medis standar. Sindrom ini diidentifikasi melalui temuan berikut : hipersekresi getah lambung, ulkus duodenal, dan gastrinoma(tumor sel istel) dalam pancreas. 90% tumor ditemukan dalam gastric triangle yang mengenai kista dan duktus koledokus, bagian kedua dan tiga dari duodenum, dan leher korpus pancreas. Kira-kira ⅓ dari gastrinoma adalah ganas(maligna).
Diare dan stiatore(lemak yang tidak diserap dalam feces)dapat ditemui. Pasien ini dapat mengalami adenoma paratiroid koeksisten atau hyperplasia, dan karenanya dapat menunjukkan tanda hiperkalsemia. Keluhan pasien paling utama adalah nyeri epigastrik. Ulkus stress adalah istilah yang diberikan pada ulserasi mukosa akut dari duodenal atau area lambung yang terjadi setelah kejadian penuh stress secara fisiologis. Kondisi stress seperti luka bakar, syok, sepsis berat, dan trauma dengan organ multiple dapat menimbulkan ulkus stress. Endoskopi fiberoptik dalam 24 jam setelah cedera menunjukkan erosi dangkal pada lambung, setelah 72 jam, erosi lambung multiple terlihat. Bila kondisi stress berlanjut ulkus meluas. Bila pasien sembuh, lesi sebaliknya. Pola ini khas pada ulserasi stress.
Pendapat lain yang berbeda adalah penyebab lain dari ulserasi mukosa. Biasanya ulserasi mukosa dengan syok ini menimbulkan penurunan aliran darah mukosa lambung. Selain itu jumlah besar pepsin dilepaskan. Kombinasi iskemia, asam dan pepsin menciptakan suasana ideal untuk menghasilkan ulserasi. Ulkus stress harus dibedakan dari ulkus cushing dan ulkus curling, yaitu dua tipe lain dari ulkus lambung. Ulkus cushing umum terjadi pada pasien dengan trauma otak. Ulkus ini dapat terjadi pada esophagus, lambung, atau duodenum, dan biasanya lebih dalam dan lebih penetrasi daripada ulkus stress. Ulkus curling sering terlihat kira-kira 72 jam setelah luka bakar luas.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan dan bahkan dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak individu mengalami gejala ulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya manifestasi yang mendahului.
§ Nyeri : biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar di epigastrium tengah atau di punggung. Hal ini diyakini bahwa nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme refleks local yang mamulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada epigastrium.
§ Pirosis(nyeri uluhati) : beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan lambung, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung pasien kosong.
§ Muntah : meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung.
§ Konstipasi dan perdarahan : konstipasi dapat terjadi pada pasien ulkus, kemungkinan sebagai akibat dari diet dan obat-obatan. Pasien dapat juga datang dengan perdarahan gastrointestinal sebagian kecil pasien yang mengalami akibat ulkus akut sebelumnya tidak mengalami keluhan, tetapi mereka menunjukkan gejala setelahnya.

E. EVALUASI DIAGNOSTIK
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya nyeri, nyeri tekan epigastrik atau distensi abdominal. Bising usus mungkin tidak ada. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat menunjukkan adanya ulkus, namun endoskopi adalah prosedur diagnostic pilihan. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negatif terhadap darah samar. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus. Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernafasan yang mendeteksi H. Pylori, serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.

F. PENATALAKSANAAN
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
§ Penurunan stress dan istirahat.
§ Penghentian merokok
§ Modifikasi diet
§ Obat-obatan
§ Intervensi bedah

G. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Riwayat pasien bertindak sebagai dasar yang penting untuk diagnosis. Pasien diminta untuk menggambarkan nyeri dan metode yang digunakan untuk menghilangkannya (tekanan, antacid). Nyeri ulkus peptikum biasanya digambarkan sebagai rasa terbakar atau menggerogoti dan terjadi kira-kira terjadi setelah 2 jam sesudah makan. Nyeri ini dering membangunkan pasien tengah malam dan jam 3 pagi. Pasien hanya menyatakan bahwa nyeri dihilangkan dengan antasida, makan makanan atau dengan muntah. Pasien ditanya kapan muntah terjadi. Bila terjadi, seberapa banyak? Apakah muntahan merah terang atau warna kopi. Apakah pasien mengalami defekasi disertai feses berdarah? Selama pengambilan riwayat, perawat meminta pasien untuk menuliskan masukan makanan, biasanya periode 72 jam dan memasukkan semua kebiasaan makan ( kecepatan makan, makanan regular, kesukaan pada makanan pedas, penggunaan bumbu, penggunaan minuman yang mengandung kafein ).
Tingkat ketegangan dan kegugupan pasien dikaji. Apakah pasien merokok? Bila ya, seberapa banyak? Bagaimana pasien mengekspresikan marah, terutama dalam konteks kerja dan kehidupan keluarga? Adakah stress pekerjaan atau adakah masalah dengan keluarga? Adakah riwayat keluarga dengan penyakit ulkus?
Tanda vital dikaji untuk indicator anemia ( takikardi, hipotensi ), feses diperiksa terhadap darah samar. Pemeriksaan fisik dilakukan dan abdomen dipalpasi untuk melokalisasi nyeri tekan.
2. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan :
Kurang pengetahuan mengenai pencegahan gejala dan penatalaksanaan kondisi berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat.
Tujuan :
Klien mendapatkan pengetahuan tentang pencegahan dan penatalaksanaan.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar dari klien.
R/ : Keinginan untuk belajar tergantung pada kondisi fisik klien, tingkat ansietas dan kesiapan mental.
2) Ajarkan informasi yang diperlukan : Gunakan kata-kata yang sesuai dengan tingkat pengetahuan klien. Pilih waktu kapan klien paling nyaman dan berminat. Batasi sesi penyuluhan sampai 30 menit atau kurang.
R/ : Individualisasi penyuluhan meningkatkan pembelajaran.
3) Yakinkan klien bahwa penyakitnya dapat diatasi.
R/ : Memberikan keyakinan dapat memberikan pengaruh positif pada perubahan perilaku.

b. Diagnosa keperawatan :
Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa dan spasme otot.
Tujuan : Klien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :
1) Berikan terapi obat-obatan sesuai dengan program :
Ø Antagonis histamine, R/ : Mempengaruhi sekresi asam lambung
Ø Garam antibiotic/ Bismuth, R/ : Antibiotik diberikan bersamaan dengan garam Bismuth mematikan H.Pylori
Ø Agen sitoprotektif, R/ : Agen sitoprotektik melindungi mukosa lambung
Ø Inhibitor pompa proton, R/ : Inhibitor pompa proton menurunkan asam lambung
Ø Antasida, R/ : Menetralisir asam lambung
Ø Antikolinergik, R/ : Menghambat pelepasan asam lambung
2) Anjurkan menghindari obat-obatan yang dijual bebas terutama yang mengandung salisilat.
R/ : Obat-obatan yang mengandung salisilat dapat mengiritasi mukosa lambung.
3) Anjurkan klien untuk menghindari makanan/ minuman yang mengiritasi mukosa lambung : kafein dan alcohol.
R/ : Dapat merangsang sekresi asam hidroklorida.
4) Anjurkan klien untuk menggunakan makanan dan kudapan pada interval yang teratur.
R/ : Jadwal makan yang teratur membantu mempertahankan partikel makanan dalam lambung yang membantu menetralisir keasaman sekresi lambung.
5) Anjurkan pasien untuk berhenti merokok
R/ : Merokok dapat merangsang kekambuhan ulkus

c. Diagnosa keperawatan :
Ansietas berhubungan dengan sifat penyakit dan penatalaksanaan jangka panjang.
Tujuan : Penurunan ansietas.
Intervensi :
1) Dorong klien untuk mengekspresikan masalah dan rasa takut dan ajukan pertanyaan sesuai kebutuhan.
R/ : Komunikasi terbuka membantu klien mengembangkan hubungan saling percaya yang membantu mengurangi ansietas dan stress.
2) Jelaskan alasan untuk mentaati jadwal pemngobatan yang direncanakan :
Ø farmakoterapi
Ø Pembatasan diet
Ø Modifikasi tingkat aktifitas
Ø Mengurangi atau menghentikan rokok
R/ : Pengetahuan mengurangi ansietas yang tampak sebagai rasa takut akibat ketidaktahuan. Pengetahuan dapat mempunyai pengaruh positif pada perubahan perilaku.
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi situasi yang menimbulkan ansietas.
R/ : Stresor perlu diidentifikasi sebelum dapat diatasi.
4) Ajarkan strategi penatalaksanaan stress : misalnya obat-obatan, distraksi dan imajinasi.
R/ : Penurunan ansietas menurunkan sekresi asam hidroklorida.
d. Diagnosa Keperawatan :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nyeri yang berkaitan dengan makanan.
Tujuan : Mendapatkan nutrisi yang optimal.

Intervensi :
1) Anjurkan makan makanan dan minuman yang tidak mengiritasi.
R/ : Makanan dan minuman yang tidak mengiritasi dapat membantu mengurangi nyeri epigastrik.
2) Anjurkan makan dengan jadwal yang teratur, hindari kudapan sebelum waktu tidur.
R/ : Makan teratur membantu menetralisasi sekresi asam lambung; kudapan sebelum tidur meningkatkan sekresi asam lambung.
3) Anjurkan makan makanan pada lingkungan yang rileks
R/ : Lingkungan yang rileks kurang menimbulkan ansietas. Menurunnya ansietas membantu menurunkan sekresi asam hidroklorida.

Asuhan Keperawatan KLIEN dengan ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) Pre Acut / Post Acut Care

DEFINISI
Gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru.
ETIOLOGI
ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung.
FAKTOR RESIKO
1. Trauma langsung pada paru
• Pneumoni virus,bakteri,fungal
• Contusio paru
• Aspirasi cairan lambung
• Inhalasi asap berlebih
• Inhalasi toksin
• Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
• Sepsis
• Shock
• DIC (Dissemineted Intravaskuler Coagulation)
• Pankreatitis
• Uremia
• Overdosis Obat
• Idiophatic (tidak diketahui)
• Bedah Cardiobaypass yang lama
• Transfusi darah yang banyak
• PIH (Pregnand Induced Hipertension)
• Peningkatan TIK
• Terapi radiasi

MANIFESTASI KLINIK
1. Peningkatan jumlah pernapasan
2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
PATOFISIOLOGI

PENATA LAKSANAAN MEDIS
Tujuan Terapi :
• Support pernapasan
• Mengobati penyebab jika mungkin
• Mencegah komplikasi.
TERAPI :
• Intubasi untuk pemasangan ETT
• Pemasangan Ventilator mekanik (Positive end expiratory pressure) untuk mempertahankan keadekuatan level O2 darah.
• Sedasi untuk mengurangi kecemasan dan kelelahan akibat pemasangan ventilator
• Pengobatan tergantung klien dan proses penyakitnya :
• Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.
• Antibiotik untuk mengatasi infeksi
• Kortikosteroid dosis besar (kontroversial) untuk mengurangi respon inflamasi dan mempertahankan stabilitas membran paru.
DATA DASAR PENGKAJIAN
Keadaan-keadaan berikut biasanya terjadi saat periode latent saat fungsi paru relatif masih terlihat normal (misalnya 12 – 24 jam setelah trauma/shock atau 5 – 10 hari setelah terjadinya sepsis) tapi secara berangsur-angsur memburuk sampai tahapan kegagalan pernafasan. Gejala fisik yang ditemukan amat bervariasi, tergantung daripada pada tahapan mana diagnosis dibuat.
AKTIVITAS & ISTIRAHAT
Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan
Insomnia
SIRKULASI
Subyektif : Riwayat pembedahan jantung/bypass cardiopulmonary, fenomena embolik (darah, udara, lemak)
Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock).
Heart rate : takikardi biasa terjadi
Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi
Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal
Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
INTEGRITAS EGO
Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian
Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.
MAKANAN/CAIRAN
Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea
Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan
Hilang/melemahnya bowel sounds
NEUROSENSORI
Suby./Oby. : Gejala truma kepala
Kelambanan mental, disfungsi motorik
RESPIRASI
Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal diffuse
Kesulitan bernafas akut atau khronis, “air hunger”
Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting
Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi.
Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial
Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi
Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada
Peningkatan fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi.
Sputum encer, berbusa
Pallor atau cyanosis
Penurunan kesadaran, confusion
RASA AMAN
Subyektif : Adanya riwayat trauma tulang/fraktur, sepsis, transfusi darah, episode anaplastik
SEKSUALITAS
Suby./Oby. : Riwayat kehamilan dengan komplikasi eklampsia
KEBUTUHAN BELAJAR
Subyektif : Riwayat ingesti obat/overdosis
Discharge Plan : Ketergantungan sebagai efek dari kerusakan pulmonal, mungkin membutuhkan asisten saat bepergian, shopping, self-care.
STUDY DIAGNOSTIK
- Chest X-Ray
- ABGs/Analisa gas darah
- Pulmonary Function Test
- Shunt Measurement (Qs/Qt)
- Alveolar-Arterial Gradient (A-a gradient)
- Lactic Acid Level
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi respirasi optimal dan oksigenasi
2. Meminimalkan/mencegah komplikasi
3. Mempertahankan nutrisi adekuat untuk penyembuhan/membantu fungsi pernafasan
4. Memberikan support emosi kepada pasien dan keluarga
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognose, dan kebutuhan pengobatan
TUJUAN KEPERAWATAN
1. Bernafas spontan dengan tidal volume adekuat
2. Suara nafas bersih/membaik
3. Bebas sari terjadinya komplikasi
4. Memandang secara realistis terhadap situasi
5. Proses penyakit, prognosis dan therapi dapat dimengerti
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli ditandai dengan : takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan penggunaan deuritik, ke-luaran cairan kompartemental
4. Resiko tinggi kelebihan volome cairan berhubungan dengan edema pulmonal non Kardia.
5. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena dan penurunan curah jantung,edema,hipotensi.
6. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas tidak adekuat,pening katan sekresi,penurunan kemampuan untuk oksigenasi dengan adekuat atau kelelahan.
7. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan , perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) ditandai oleh mengekspresikan masalah yang sedang dialami, tensi meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.
8. Defisit pengetahuan , mengenai kondisi , terafi yang dibutuhkan berhubungan dengan kurang informasi, salah presepsi dari informasi yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan , menyatakan masalahnya.
Intervensi dan Rasional
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas, peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan : dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
- Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
- Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
- Catat karakteristik dari suara nafas
Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
- Catat karakteristik dari batuk
Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
- Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
- Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi
Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan infeksi paru
- Peningkatan oral intake jika memungkinkan
Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
- Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
- Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
- Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi
Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan
- Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan alveolar hipoventilasi, penumpukan cairan di permukaan alveoli, hilangnya surfaktan pada permukaan alveoli ditandai dengan : takipneu, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, cyanosis, perubahan ABGs, dan A-a Gradient.
Tujuan :
- Pasien dapat memperlihatkan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat dengan nilai ABGs normal
- Bebas dari gejala distress pernafasan
Tindakan :
Independen
- Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan usaha nafas
- Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles, dan wheezing
Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas
- Kaji adanya cyanosis
Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
- Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
- Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
- Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang sesuai
- Berikan pencegahan IPPB
Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
- Review X-ray dada
Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
- Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan ekspektorant
Untuk mencegah ARDS
3. Resiko tinggi defisit volume cairan
Faktor resiko : penggunaan deuritik, keluaran cairan kompartemental
Tujuan :
pasien dapat menunjukkan keadaan volume cairan normal dengan tanda tekanan darah, berat badan, urine output pada batas normal.
Tindakan :
Independen
- Monitor vital signs seperti tekanan darah, heart rate, denyut nadi (jumlah dan volume)
Berkurangnya volume/keluarnya cairan dapat meningkatkan heart rate, menurunkan tekanan darah, dan volume denyut nadi menurun.
- Amati perubahan kesadaran, turgor kulit, kelembaban membran mukosa dan karakter sputum
Penurunan cardiac output mempengaruhi perfusi/fungsi cerebral. Deficit cairan dapat diidentifikasi dengan penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, sekret kental.
- Hitung intake, output dan balance cairan. Amati “insesible loss”
Memberikan informasi tentang status cairan. Keseimbangan cairan negatif merupakan indikasi terjadinya deficit cairan.
- Timbang berat badan setiap hari
Perubahan yang drastis merupakan tanda penurunan total body water
Kolaboratif
- Berikan cairan IV dengan observasi ketat
Mempertahankan/memperbaiki volume sirkulasi dan tekanan osmotik. Meskipun cairan mengalami deficit, pemberian cairan IV dapat meningkatkan kongesti paru yang dapat merusak fungsi respirasi
- Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi
Elektrolit khususnya pottasium dan sodium dapat berkurang sebagai efek therapi deuritik.
4. Cemas/takut berhubungan dengan krisis situasi, pengobatan , perubahan status kesehatan, takut mati, faktor fisiologi (efek hipoksemia) ditandai oleh mengekspresikan masalah yang sedang dialami, tensi meningkat, dan merasa tidak berdaya, ketakutan, gelisah.
Tujuan :
- Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara verbal
- Mengakui dan mau mendiskusikan ketakutannya, rileks dan rasa cemasnya mulai berkurang
- Mampu menanggulangi, mampu menggunakan sumber-sumber pendukung untuk memecahkan masalah yang dialaminya.
Tindakan
Independen:
- Observasi peningkatan pernafasan, agitasi, kegelisahan dan kestabilan emosi.
Hipoksemia dapat menyebabkan kecemasan.
- Pertahankan lingkungan yang tenang dengan meminimalkan stimulasi. Usahakan perawatan dan prosedur tidak menggaggu waktu istirahat.
Cemas berkurang oleh meningkatkan relaksasi dan pengawetan energi yang digunakan.
- Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi.
Memberi kesempatan untuk pasien untuk mengendalikan kecemasannya dan merasakan sendiri dari pengontrolannya.
- Identifikasi persepsi pasien dari pengobatan yang dilakukan
Menolong mengenali asal kecemasan/ketakutan yang dialami
- Dorong pasien untuk mengekspresikan kecemasannya.
Langkah awal dalam mengendalikan perasaan-perasaan yang teridentifikasi dan terekspresi.
- Membantu menerima situsi dan hal tersebut harus ditanggulanginya.
Menerima stress yang sedang dialami tanpa denial, bahwa segalanya akan menjadi lebih baik.
- Sediakan informasi tentang keadaan yang sedang dialaminya.
Menolong pasien untuk menerima apa yang sedang terjadi dan dapat mengurangi kecemasan/ketakutan apa yang tidak diketahuinya. Penentraman hati yang palsu tidak menolong sebab tidak ada perawat maupun pasien tahu hasil akhir dari permasalahan itu.
- Identifikasi tehnik pasien yang digunakan sebelumnya untuk menanggulangi rasa cemas.
Kemampuan yang dimiliki pasien akan meningkatkan sistem pengontrolan terhadap kecemasannya
Kolaboratif
- Memberikan sedative sesuai indikasi dan monitor efek yang merugikan.
Mungkin dibutuhkan untuk menolong dalam mengontrol kecemasan dan meningkatkan istirahat. Bagaimanapun juga efek samping seperti depresi pernafasan mungkin batas atau kontraindikasi penggunaan.
5. Defisit pengetahuan , mengenai kondisi , terafi yang dibutuhkan berhubungan dengan kurang informasi, salah presepsi dari informasi yang ditandai dengan mengajukan pertanyaan , menyatakan masalahnya.
Tujuan :
- Pasien dapat menerangkan hubungan antara proses penyakit dan terafi
- Menjelaskan secara verbal diet, pengobatan dan cara beraktivitas
- Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang membutuhkan perhatian medis
- Memformulasikan rencana untuk follow –up
Tindakan :
Independen
- Berikan pembelajaran dari apa yang dibutuhkan pasien. Berikan informasi dengan jelas dan dimengerti. Kaji potensial untuk kerjasama dengan cara pengobatan di rumah. Meliputi hal yang dianjurkan.
Penyembuhan dari gagal nafas mungkin memerlukan perhatian, konsentrasi dan energi untuk menerima informasi baru. Ini meliputi tentang proses penyakit yang akan menjadi berat atau yang sedang mengalami penyembuhan.
- Sediakan informasi masalah penyebab dari penyakit yang sedang dialami pasien.
ARDS adalah sebuah komplikasi dari penyakit lain, bukan merupakan diagnosa primer. Pasien sering bingung oleh perkembangan itu, dalam k esehatan sistem respirasi sebelumnya.
- Instruksikan tindakan pencegahan, jika dibutuhkan. Diskusikan cara menghindari overexertion dan perlunya mempertahankan pola istirahat yang periodik. Hindari lingkungan yang dingin dan orang-orang terinfeksi.
Pencegahan perlu dilakukan selama tahap penyembuhan. Hindari faktor yang disebabkan oleh lingkungan seperti merokok. Reaksi alergi atau infeksi yang mungkin terjadi untuk mencegah komplikasi berikutnya.
- Sediakan informasi baik secara verbal atau tulisan mengenai pengobatan misalnya: tujuan, efek samping, cara pemberian , dosis dan kapan diberikan
Merupakan instruksi bagi pasien untuk keamanan pengobatan dan cara-cara pengobatan dapat diikutinya.
- Kaji kembali konseling tentang nutrisi ; kebutuhan makanan tinggi kalori
Pasien dengan masalah respirasi yang berat biasanya kehilangan berat-badan dan anoreksia sehingga kebutuhan nutrisi meningkat untuk penyembuhan.
- Bimbing dalam melakukan aktivitas.
Pasien harus menghindari kelelahan dan menyelingi waktu istirahat dengan aktivitas dengan tujuan meningkatkan stamina dan cegah hal yang membutuhkan oksigen yang banyak
- Demonstrasikan teknik adaptasi pernafasan dan cara untuk menghemat energi selama aktivitas.
Kondisi yang lemah mungkin membuat kesulitan untuk pasien mengatur aktivitas yang sederhana.
- Diskusikan follow-up care misalnya kunjungan dokter, test fungsi sistem pernafasan dan tanda/gejala yang membutuhkan evaluasi/intervensi.
Alasan mengerti dan butuh untuk follow up care sebaik dengan apa yang merupakan kebutuhan untuk meningkatkan partisipasi pasien dalam hal medis dan mungkin mempertinggi kerjasama dengan medis.
- Kaji rencana untuk mengunjungi pasien seperti kunjungan perawat
Mendukung selama periode penyembuhan

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.
Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta.
……… 2000. Diktat Kuliah Gawat Darurat. PSIK FK.Unair. TA: 2000/2001. Surabaya.

PENGKAJIAN KASUS TRAUMA

Pendahuluan
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelah pengkajian lokasi kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadian tidak dilakukan maka akan membahayakan jiwa paramedik dan orang lain di sekitarnya sehingga jumlah korban akan meningkat.
Dalam kasus ini, kematian muncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah kejadian, kematian akibat perdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat komplikasi dan kegagalan fungsi organ-organ vital
Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian, biasanya akibat cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik. Kematian akibat hal ini tidak dapat dicegah.
Kematian berikutnya mungkin muncul sekitar sejam atau dua jam sesudah trauma. Kematian pada fase ini biasanya diakibatkan oleh hematoma subdural atau epidural, hemo atau pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan darah. Kematian akibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini disebut sebagai ‘golden hour’ dimana tindakan yang segera dan tepat dapat menyelamatkan nyawa korban.
Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanya diaklibatkan oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dan segera untuk mengatasi syok dan hipoksemia selama ‘golden hour’ dapat mengurangi resiko kematian ini.
Dalam menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secara cepat dan tepat, paramedik harus tetap mengutamakan keselamatan dirintya sebagai prioritas utama sebelum menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi kejadian sudah benar-benar aman untuk tindakan pertolongan.
Pengkajian Awal Lokasi Kejadian (‘Initial Scene Assessment’)
Dalam keadaan darurat, selalu kontrol diri sendiri, JANGAN PANIK! Kenali kegawatdaruratan yang terjadi dan segera panggil bantuan karena mungkin anda akan membutuhkan bantuan lebih banyak saat menangani kasus gawat darurat. Jika merespon suatu keadaan gawat darurat, paramedik harus membawa perlengkapan medis seperti:
 Tas responder medis (yang dilengkapi alat-alat untuk bantuan hidup dasar serta bantuan hidup lanjut sebagaimana untuk kasus trauma)
 Resusisator manual dan oksigen (contoh; LSP)
 Defibrillator (diharapkan tipe AED)
Saat di lokasi kejadian, paramedik harus mampu mengontrol lokasi kejadian untuk menjamin keselamatan diri sendiri, orang di sekitarnya serta korban. Paramedik mungkin membutuhkan beberapa alat pelindung diri (APD) seperti:
 Helm pengaman dengan strapnya (beberapa kebijakan perusahaan mungkin mengharuskan dengan warna dan tanda tertentu untuk tenaga medis)
 Pelindung mata (kaca mata atau pelindung wajah ‘face shield’)
 Sepatu pengaman ‘safety shoes’
 Sarung tangan (kadang jenis ‘heavy duty’ diperlukan)
 Rompi pengaman (biasanya disertai dengan tanda berfluoresens)
Paramedik harus menentukan resiko bahaya baik yang nyata maupun potensial. Beberapa jenis bahaya yang mungkin ada di lokasi kejadian:
 Ledakan
 Tumpahan bahan kimia
 Kabel listrik
 Bahan-bahan mudah terbakar
 Lokasi kejadian yang tidak stabil termasuk gedung ataupun tanah runtuh
Setelah resiko bahaya diketahui dan dibersihkan, paramedik harus melakukan pengkajian untuk menentukan:
 Mekanisme cedera dan penyebab cedera
 Korban: jumlah, tingkat keparahan dan kondisi masing-masing korban
 Triase
Mekanisme cedera
Paramedik harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian. Paramedik mungkin harus melihat reruntuhan atau kendaraan yang rusak untuk memperkirakan sejauh mana kecelakaan itu terjadi dan kemungkinan cedera yang terjadi. Beberapa mekanisme di bawah ini memungkinkan adanya cedera yang serius:
 Jatuh dari ketinggian lebih dari 20 kaki (+ 6 meter)
 Kecelakaan lalu lintas dan terjepit lebih dari 20 menit
 Korban terlempar keluar dari kendaraan
 Terlibat dalam kecelakaan dimana ada korban meninggal dalam kendaraan yang sama
 Anak-anak (dibawah 12 tahun) yang berjalan kaki atau bersepeda ditabrak oleh mobil
 Pejalan kaki tertabrak mobil dan terlempar
 Kendaraan yang mengalami kecelakaan melesak lebih dari 30 cm
Korban
Kemudian medik harus segera melakukan pengkajian untuk korban yang ada, paramedik harus menentukan:
 Jumlah korban
 Tingkat keparahan masing-masing korban
 Kondisi umum masing-masing korban
Triase
Setelah menentukan jumlah dan tingkat keparahan masing-masing korban, paramedik harus dapat melakukan ‘triase’ untuk mengefektifkan pertolongan. Triase yang sederhana serta cepat harus dilakukan untuk meningkatkan tingkat keselamatan korban.
Dalam kasus kejadian dengan ‘mass casualty’ dimana jumlah korban jauh lebih besar melebihi jumlah penolong, prioritas tindakan adalah menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya. Korban yang sudah stabil dapat dipindahkan ke bagian penanganan dengan segera.
Sementara dalam kejadian dengan ‘multiple casualty’ dimana jumlah korban sebanding dengan jumlah penolong, prioritas adalah memberikan tindakan kepada korban yang terancam jiwanya terlebih dahulu.
Jika hanya satu orang korban yang ada, maka prioritas tindakan adalah menangani masalah yang mengancam nyawa terlebih dahulu.
Prioritas Dalam ‘Multiple Casualty Incident’
Prioritas Tanda Contoh
Prioritas 1
(Prioritas tertinggi) MERAH
Diperlukan tindakan resusitasi segera (saat itu juga) Masalah di jalan pernapasan dan pernapasan
Perdarahan hebat atau tidak terkontrol
Penurunan tingkat kesadaran
Masalah medis yang berat: keracunan, kedaruratan diabetik dan jantung, dsb.
Luka bakar berat (khususnya yang melibatkan jalan napas)
Syok (hypoperfusi
Prioritas 2
(Prioritas menengah) KUNING
Diperlukan tindakan secepatnya Luka bakar tanpa gangguan jalan napas
Cedera tulang yang berat atau multi
Cedera punggung baik disertai atau tidak cedera tulang belakang
Prioritas 3
(prioritas rendah) HIJAU
Luka-luka ringan Luka bakar ringan
Cedera sendi ringan
Xcedera jaringan lunak ringan
Prioritas 
(Prioritas terakhir) HITAM / ABU_ABU / PUTIH
Mati
Tidak Terselamatkan Jelas-jelas meninggal
Trauma sangat berat yang kemungkinan besar tidak terselamtkan, seperti: kepala terputus, dada remuk, dll.

Survei Awal
Setelah pengkajian awal lokasi kejadian dilakukan, maka survei awal harus segera dilaksanakan. Survei awal adalah pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam nyawa. Apabila sudah ditemukan, maka harus segera ditangani. Survei awal dan tindakan resusitasi adalah tindakan yang dilakukan secara simultan
Setelah bahaya ditemuakan dan dibersihkan dari tempat kejadian, paramedik harus segera melakukan pemeriksaan terhadap respon korban yang akan mengindikasikan tingkat kesadaran korban. Untuk memeriksa respon korban, lakukan pemanggilan nama dan goyangkan badan korban.
 A  ‘Alert’ yang berarti sadar penuh yang ditunjukkan dengan membuka mata spontan, menjawab pertanyaan dengan benar dan menggerakkan bagian tubuh sebagaimana diperintahkan
 V  ‘Voice’ yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan suara
 P  ‘Pain’ yang berarti korban berespon setelah diberikan rangsangan nyeri
 U  ‘Unresponsive’ yang berarti korban tidak berespon sama sekali
Jika korban berespon maka segera lakukan tindakan survei kedua untuk mencari cedera-cedera tersembunyi. Jika korban tidak berspon, maka segera buka dan bersihkan jalan napas.
‘Airway’ Dengan Kontrol Tulang Belakang
Membuka jalan napas menggunakan teknik ‘ head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala dan mengangkat dagu hanya direkomendasikan pada kasus non-traua dimana masalah cedera tulang belakang tidak ditemui. Pada kasus trauma yang dicurigai melibatkan tulang belakang, maka tindakan yang disarankan adalah ‘jaw thrust’. Dalam setiap tindakan pembukaan jalan napas, tulang belakang harus diimobilisasi yang berarti adalah posisi lurus (‘in-line immobilization’) bukannya penarikan atau traksi.
Jika airway sudah terbuka, periksa adakah benda sing yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah atau benda asing lainnya harus segera dibersihkan untuk memastikan terbukanya jalan napas. Benda asing dapat dibersihkan dengan menggunakan alat ‘suction’ atau ‘finger sweep’. Tetapi, ‘finger sweep’ hanya dapat dilakukan apabila benda asing benar-benar terlihat. Apabila tidak terlihat, maka ‘finger sweep’ jangan dilakukan karena mungkin akan membuat benda asing makin terdorong jauh ke dalam dan menutup jalan napas. Benda asing yang berbentuk cair sebaiknya dibersihkan denganmenggunakan alat ‘suction’ baik yang bertenaga manual ataupun oksigen / elektrik.
Jika sudah dibersihkan, alat bantu jalan napas seperti ‘guedel’ dapat dipasang. Alat ini akan mencegah lidah bergerak ke bawah dan menutup jalan napas.
‘Breathing’ Dengan Ventilasi Yang Adekuat
Setelah jalan napas dibuka dan dibersihkan, paramedik harus segera memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara ‘lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak.
Jika napas ada dan normal, paramedik sebaiknya melakukan pemeriksaan akan adanya perdarahan yang hebat. Setelah itu maka lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan adekuat tidaknya pernapasan). Jika diperlukan maka oksigenasi dapat dilakukan dengan sungkup napas ‘non-rebreathing’ yang disuplai dengan oksigen 100% dengan aliran 8 – 15 liter per menit. Oksigenasi yang adekuat dapat mengurangi kemungkinan hipoksia yang memungkinakan adanya komplikasi jika tidak tertangani. Setelah pernapasan teratasi, maka pemeriksaan lanjutan dapat dilakukan secara menyeluruh.
Jika pernapasan tidak ada, dua kali bantuan napas yang efektif harus diberikan kepada pasien. Jika kedua bantuan napas efektif tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan hingga lima kali. Perhatikan pergerakan dada saat pemberian bantuan napas dilakukan untuk memastikan bahwa dada benar-benar mengembang. Jika tersedia, maka bantuan napas sebaiknya dilakukan dengan ambu bag yang disambungkan ke sumber oksigen 100%. Jika belum tersedia, maka bantuan dilakukan dengan teknik dari mulut ke mulut dengan ‘pocket mask’ atau ‘face shield’ untuk mengurangi resiko adanya kontaminasi.
‘Circulation’ Dengan Kontrol Perdarahan Hebat
Setelah memberikan dua kali napas efektif segera periksa sirkulasi dengan melakukan pemeriksaan tanda-tanda sirkulasi dan periksa nadi karotis. Jangan lebih dari 10 detik dalam pemeriksaan ini, dengan menggunakan teknik ‘lihat-dengar-rasakan’.
Jika ada tanda-tanda sirkulasi tetpai pernapasan tidak ada, atau pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan napas dapat dilakukan. Ambu bag yang disambungkan ke oksigen 100% disarankan digunakan dalam tindakan resusitasi ini. Bantuan napas ini dilakukan 10 kali dalam waktu satu menit.
Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP adalah 15 : 2 ( 15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas ) baik untuk satu orang penolong ataupun dua orang penolong sepanjang jalan napas masih belum dipasang intubasi. Tetapi perlu diingat bahwa perdarahan hebat harus dikontrol terlebih dahulu sebelum melakukan RJP.
Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan menggunakan dua jarum infus berukuran besar (14-16G). Kehilangan darah dapat diganti dengan cairan kristaloid dengan rasio 1:3 (satu bagian darah yang hilang dibagi dengan 3 bagian cairan kristaloid). Untuk memeriksa status sirkulasi, paramedik dapat melakukan pemeriksaan ‘capillary refill’ dan denyut nadi. ‘Capillary refill yang melebihi normal menunjukkan adanya penurunan perfusi jaringan. Sementara dari denyut nadi yang teraba dapat diperkirakan tekanan darah secar kasar:
 Nadi karotis mengindikasikan tekanan darah setidaknya sekitar 80 mmHg
 Nadi femoral mengindikasikan tekanan darah setidaknya sekitar 70 mmHg
 Nadi radialis mengindikasikan tekanan darah setidaknya sekitar 60 mmHg
Namun, pemasangan iV tidak boleh menunda evakuasi pasien ke RS. Pemasangan infus dapat dilakukan sepanjang perjalanan menuju RS.
INGAT ! DALAM SITUASI KRITIS
A+B dilakukan di lokasi kejadian
C dapat dilakukan sepanjang transportasi ke RS
Jangan pernah menunda evakuasi hanya karena pemasangan infus
Survei Kedua
Survei Kedua ditujukan untuk mengetahui adanya cedera-cedera yang tidak mengancam nyawa atau masalah yang mungkin tersembunyi tetapi potensial mengancam nyawa. Pemeriksaan ini bisa dilakukan saat survei awal sudah dilakukan dan tiada lagi masalah yang mengancam nyawa. Pemeriksaan ini mungkin dilakukan:
 Di tempat kejadian
 Dalam perjalanan menuju rumah sakit
 Di ruang gawat darurat
Pemeriksaan ini meliputi:
 Interview (untuk mencari data subyektif)
 Pemeriksaan fisik dari ujung kepala ke ujung kaki
 Pemeriksaan tanda-tanda vital
Interview
Data-data mungkin didapatkan dari:
 Pasien (jika ia sadar)
 Keluarga atau famili
 Koleganya atau sakti (mereka mungkin hanya bisa memberikan sedikit informasi dan terbatas kepada bagaimana kejadian itu terjadi atau mungkin saat-saat terakhir korban sebelum cedera)
 ‘First Responder’ atau ‘ first aider’ yang menemukan dan menangani korban pada saat-saat awal
Data-data yang dicari:
 ‘Sign & symptoms’; merupakan tanda dan gejala yang mungkin dirasakan korban seperti; pusing, sakit kepala, nyeri, mulas, dsb
 ‘Allergy’, alergi yang mungkin diderita korban; biasanya tertulis di ‘medic alert’ yang berbentuk gelang, kalung, dsb. Riwayat alergi terhadap obat merupakan data yang penting dalam pengobatan pasien
 ‘Medication’; pengobatan yang sedang dijalani korban, riwayat pengobatan mungkin akan memberikan gambaran mengenai penyakit yang mungkin sedang diderita korban (contoh, penemuan obat anti hipertensi mungkin mengindikasikan korban menderita hipertensi). Perlu juga diketahui bagaimana pengobatan dilakukan, kapan dan seberapa banyak obat yang telah ditelan.
 ‘Past Medical History’; riwayat kesehatan masa lalu, yang perlu dicari adalah penyakit-penyakit yang serius seperti diabetes, hipertensi, pembedahan, dll.
 ‘Last Meal’; Makan terakhir, perlu dicari kapan pasien makan terakhir, seberapa banyak dan apa saja yang sudah dimakan.
 ‘Even Lead to Injury’; kejadian yang mengakibatakan cedera, perlu dicari mengenai bagaimana kecelakaaan itu terjadi, apa yang menyebabkannya; sehingga medik akan tahu bagaimana meknisme terjadinya cedera sehingga dapat menentukan seberapa parah kondisi korban.
Pemeriksaan Fisik ‘Head to Toe’
Merupakan pemeriksaan fisik yang menyeluruh untuk mencari tanda-tanda cedera yang akan menunjukkan seberapa parah trauma tersebut dan bagian mana yang terkena dampak trauman. Saat pemeriksaan gunakan beberapa teknik dibawah:
 Inspeksi
 Palpasi
 Perkusi
 Auscultasi
Walau demikian, pemeriksaan fisik ‘head to toe’ harus dilakukan dengan singkat tetapi menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki. Ketika melakukan pemeriksaan, pasien tidak perlu untuk digerak-gerakkan kalau tidak perlu. Pemeriksaan yang terfokus dilakukan di bagian dimana trauma ditemukan.
Tanda-tanda cedera yang paling umum ditemukan sering disingkat sebagai ‘DOTS’ atau ‘DeCAP BTLS. ‘DOTS’ singkatan dari Deformity (kelainan bentuk), Open Wound (luka terbuka), tenderness (nyeri tekan), Swelling (bengkak). Sementara ‘DeCAP BTLS’ singkatan dari:
 Deformity (kelainan bentuk)
 Contusion (memar)
 Abrasion (luka gores)
 Puncture / penetrasion (luka tusuk / tancap)
 Burns (luka bakar)
 Tenderness (nyeri tekan)
 Lacerations (luka robek)
 Swelling (bengkak)
Hal-hal tersebut diatas mengindikasikan jenis cedera yang terjadi pada pasien.
Kepala
 Wajah
 Kulit kepala dan tulang tengkorak
 Mata
 Telinga
 Mulut
Temuan yang dianggap kritis:
 Pupil tidak simetris (terlebih bila disertai dengan perubahan tingkat kesadaran)
 Darah, muntahan atau kotoran di dalam mulut
 Cairan serebrospinal di telinga atau di hidung
 ‘Battle sign’ dan ‘racoon eyes’
Leher
 Bagian depan
 Trachea
 Vena Jugularis
 Otot-otot leher bagian belakang
Temuan yang dianggap kritis:
 Distnesi vena jugularis
 Deviasi trakea atau ‘tugging’
 Emfisema kulit
Dada
 Tampilan fisik
 Rusuk-rusuk
 Penggunaan otot-otot asesoris
 Pergerakan dada
 Suara paru
Temuan yang dianggap kritis:
 Luka terbuka, ‘sucking chest wound’
 ‘Flail chest’ dengan gerakan dada paradoksikalA
 Suara paru hilang atau melemah
 Gerakan dada\ sangat lemah dengan pola napas yang tidak adekuat (disertai dengan penggunaaan otot-otot asesoris)
Abdomen
 Distensi
 Perubahan warna
 Nyeri tekan
 Suara usus
Temuan yang dianggap kritis:
 Nyeri tekan di perut
 Distensi abdomen
 Perut ‘papan’
 Luka terbuka (khususnya dengan organ perut keluar)
Pelvis
 Daerah pubik
 Stabilitas pelvis
 Krepitasi dan nyeri tekan
Temuan yang dianggap kritis:
 Pelvis yang lunak, nyeri tekan dan tidak stabil
 Pembengkakan di daerah pubik
Extremitas
 Keempat anggota gerak
 Denyut nadi
 Fungsi motorik
 Fungsi sensorik
Temuan yang dianggap kritis:
 Perdarahan hebat
 Luka amputasi
 Cedera kedua tulang paha
 Menghilangnya denyut nadi
 Menghilangnya fungsi sensorik dan motorik
Untuk lebih detil bagaimana cara pemeriksaan anggota tubuh pada kasus pra-rumah sakit dibahas lebih lanjut pada bab ‘Pengkajian Pasien Tahap Pra-Rumah Sakit’.
Setiap temuan yang abnormal harus dikaji secara seksama dan ditangani sejauh yang dapat dilakukan oleh tim medis lapangan. Beberapa kasus mungkin membutuhkan penanganan yang lebih lanjut yang hanya tersedia di rumah sakit.
Pemeriksaan Tanda-Tand Vital
Tanda-tanda vital sangat penting dalam survei kedua, hal ini akan membantu paramedik untuk menentukan sejauhmana kondisi korban. Adanya gangguan pada tanda-tanda vital mengindikasikan tingkat keparahan kondisi korban.
Pernapasan
Paramedik harus memeriksa kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi, hiperventilasi, dll), suara napas (stridor, crowing, wheezing) dan penggunaan otot-otot asesoris. Normalnya pernapasan normal berkisar antara 8-20 kali per menit (dewasa), 15 – 30 (anak-anak) dan 25 – 50 (bayi)
Nadi
Jika memungkinkan periksalah denyut radialis, jika tidak teraba periksalah nadi karotis. Periksa kecepatan, kekuatan dan keteraturannya. Kecepatan normal adalah sekitar 60 – 100 (dewasa), 60 – 120 (anak-anak 5 - 12), 80 – 150 (anak-anak 1 – 5 tahun) dan 120 – 150 (bayi)
Tekanan Darah
Meskipun penghitungan tekanan darah secara kasar dapat dilakukan berdasarkan teraba tidaknya nadi tertentu, tetapi pemeriksaan menggunakan sphygmomanometer tetao sangat penting untuk hasil yang lebih akurat.
Pasien Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Dewasa Pria Umur + 100 (maks.150 mmHg) 60 – 90 mmHg
Dewasa Wanita Umur + 90 (maks. 140 mmHg) 50 – 80 mmHg
Bayi dan anak-anak 90 + (2 X umur dlm tahun)  batas atas normal
70 + (2 X umur dlm tahun)  batas bawah normal 2/3 systolik
Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan tingkat kesadaran dalam fase ini menggunakan teknik ‘Glasgow Coma Scale’ atau GCS. Pemeriksaan ini berdasar atas:
 Pembukaan mata
o Spontan 4
o Terhadap suara 3
o Terhadap nyeri 2
o Tak ada respon 1
 Respon Verbal
o Orientasi baik 5
o Bicara tetapi bingung 4
o Kata-kata tidak sesuai 3
o Suara tidak jelas 2
o Tak ada respon 1
 Respon Motorik
o Mengikuti perintah 6
o Lokalisasi nyeri 5
o Menghindar 4
o Fleksi abnormal 3
o Ekstensi abnormal 2
o Tak ada respon 1
Nilai total maksimum adalah 15 dan minimum adalah 3. pasien koma memiliki nilai GCS sekitar 8 atau kurang. Semakin rendah nilai total GCS maka semakin buruk kondisi korban. (untuk penjelasan lebih lanjut lihat bab ‘Pengkajian Pasien Tahap Pra-Rumah Sakit)
The total maximum score is 15 and the minimum is 3. The coma patient will have GCS about 8 or lower. The lower the score the condition is worst. (detail of the GCS will be discussed on the patient assessment chapter)
Kulit
Pnegecekan ini dilakukan dengan memeriksa
 Warna
 Tekstur / turgor
 Suhu
 ‘Capillary refill’
Temuan yang dianggap kritis:
 Sianotik, dingin dan basah
 Turgor jelek, kulit kering
Pupil
Periksalah:
 Ukuran
 Reaksi masing-masing pupil
 Kesamaan sisi kiri dan kanan
Temuan yang dianggap kritis:
 Reaksi melambat
 Ukuran pupil tidak sama
 Pupil ‘pinpoint’
 Pupil melebar
Periksa baik kiri dan kanan, adanya perbedaan dari tiga hal diatas mengindikasikan adanya gangguan pada sistem susunan saraf pusat. Hal ini mungkin menunjukkan adanya cedera di otak atau sistem susunan saraf pusat.

Jika kondisi pasien memburuk saat dilakukan survei kedua,
LAKUKAN PEMERIKSAAN STATUS ‘ABC’ KORBAN
Kaji ulang kondisi korban dan segera atasi masalah yang mengancam nyawa
Kesimpulan
Proses survei awal dan survei kedua akan membuat pemeriksaan korban menjadi terorganisir, rapi dan cepat. Kondisi korban kritis dan tidak dapat dikaji melalui survei awal, sehingga perlu tidaknya korban dievakuasi ke rumah sakit dapat ditentukan secepatnya.
Pemeriksaan survei kedua membuat pemeriksaan korban menjadi lebih metodis dan lebih lengkap dalam menemukan adanya cedera yang terjadi dan ditentukan tindakan yang diperlukan. Adanya penurunan kondisi korban di survei kedua harus segera ditanggapi dengan memeriksa status ‘ABC’ korban.
Ketrampilan praktek ini membutuhkan praktek setiap hari dan merupakan hal yang baik dalam menangani kasus trauma maupun kedaruratan medis. Apabila tidak terlatih, maka saat dibutuhkan anda tidak bisa melakukannya, karena itu latihan yang teratur akan membuat anda makin sempurna dalam melakukannya.

askep TRAUMA THORAKS

Trauma toraks mencakup area anatomis leher dan toraks serta dapat menyebabkan kelainan pada sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem pencernaan. Menurut salah satu buku rujukan disebutkan angka mortalitas pada trauma toraks mencapai 10%. Akan tetapi kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah kematian total akibat kasus-kasus trauma.
1. Klasifikasi dan Mekanisme
Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.
• Trauma tembus (tajam)
- Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma
- Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
- Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
• Trauma tumpul
- Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
- Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
- Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
- Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
2. Mekanisme
 Akselerasi
• Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
• Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.
 Deselerasi
• Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
 Torsio dan rotasi
• Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
 Blast injury
• Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.
• Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.



3. Faktor lain yang mempengaruhi
 Sifat jaringan tubuh
• Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.
 Lokasi
• Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
 Arah trauma
• Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi.
• Perlu diingat adanya efek "ricochet" atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
4. Kondisi Yang Berbahaya
Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan di-tatalaksana dengan segera:
 Obstruksi jalan napas
- Tanda: dispnoe, wheezing, batuk darah
- PF:stridor, sianosis, hilangnya bunyi nafas
- Ro toraks: non-spesifik, hilangnya air-bronchogram, atelektasis
 Tension pneumotoraks
- Tanda : dispnoe, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks, mediastinal shift
- Ro toraks (hanya bila pasien stabil) : pneumotoraks, mediastinal shift
 Perdarahan masif intra-toraks (hemotoraks masif)
- Tanda: dispnoe, penampakan syok, hilang bunyi napas, perkusi pekak, hipotensif
- Ro toraks: opasifikasi hemitoraks atau efusi pleura
 Tamponade
- Tanda: dispnoe, Trias Beck (hipotensi, distensi vena, suara jantung menjauh), CVP > 15
- Ro toraks: pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat
 Ruptur aorta
- Tanda: tidak spesifik, syok
- Ro toraks: pelebaran mediastinum, penyempitan trakhea, efusi pleura
 Ruptur trakheobronhial
- Tanda: Dispnoe, batuk darah
- Ro toraks: tidak spesifik, dapat pneumotoraks, hilangnya air-bronchograms
 Ruptur diafragma disertai herniasi visera
- Tanda: respiratory distress yang progresif, suara usus terdengar di toraks
- Ro toraks : gastric air bubble di toraks, fraktur iga-iga terbawah, mediastinal shift
 Flail chest berat dengan kontusio paru
- Tanda: dispnoe, syok, asimetris toraks, sianosis
- Ro toraks: fraktur iga multipel, kontusio paru, pneumotoraks, effusi pleura
 Perforasi esofagus
- Tanda: Nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal
- Ro toraks: udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal-space, pelebaran mediastinum, efusi pleura, pneumotoraks
5. Penatalaksanaan Trauma Toraks
 Prinsip
- Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary survey)
- Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)
- Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
- Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
- Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
- Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
- Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.
6. Primary Survey
 Airway
• Assesment
- perhatikan patensi airway
- dengar suara napas
- perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
• Management
- inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
- re-posisi kepala, pasang collar-neck
- lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
 `Breathing
• Assesment
- Periksa frekwensi napas
- Perhatikan gerakan respirasi
- Palpasi toraks
- Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
• Management
- Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
- Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest

 Circulation
• Assesment
- Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
- Periksa tekanan darah
- Pemeriksaan pulse oxymetri
- Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
• Management
- Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
- Torakotomi emergency bila diperlukan
- Operasi Eksplorasi vaskular emergency

7. Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1:
Tidak efektifnya pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas.
Tujuan :
Oksigenasi jaringan adekuat
Kriteria Hasil:
• Tidak ada tanda-tanda sianosis
• Frekuensi nafas 12 - 24 x/mnt
• SP O2 > 95
Intervensi :
1. Kaji airway, breathing, circulasi.
2. Kaji tanda-tanda distress nafas, bunyi, frekuensi, irama, kedalaman nafas.
3. Monitor tanda-tanda hypoxia(agitsi,takhipnea, stupor,sianosis)
4. Monitor hasil laboratorium, AGD, kadar oksihemoglobin, hasil oximetri nadi,
5. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemasangan endotracheal tube atau tracheostomi tube bila diperlukan.
6. Kolabolarasi dengan tim medis untuk pemasangan ventilator bila diperlukan.
7. Kolaborasi dengan tim medis untuik pemberian inhalasi terapi bila diperlukan
Diagnosa Keperawatan II: Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas.
 Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
 Intervensi :
- Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R : penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
- Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
R : Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
- Catat karakteristik dari suara nafas
R : Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
- Catat karakteristik dari batuk
R : Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
- Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
R : Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
- Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi
R : Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan infeksi paru
- Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R : Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
- Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
R : Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
- Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R : Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
- Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi
R : Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan
- Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
R : Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi