BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembedahan prostat transuretral (TURP) masih merupakan salah satu terapi standar dari Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu di luar negeri dan berkembang terus dengan makin majunya peralatan yang dipakai. Tapi di Indonesia khususnya di Mataram TURP ini relatif baru.
Terapi ini makin populer karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah dibandingkan dengan prostatektomi secara terbuka. Dalam TURP dilakukan reseksi jaringan prostat dengan menggunakan kauter yang dilakukan secara visual. Dalam TURP dilakukan irigasi untuk mengeluarkan sisa-sisa jaringan dan untuk menjaga visualisasi yang bisa terhalang karena perdarahan. Karena seringnya tindakan ini dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan komplikasi makin banyak diketahui.
Salah satu komplikasi yang penting dari TURP adalah intoksikasi air dan hiponatremi dilusional yang disebut Sindroma TUR yang bisa berakhir dengankematian.
TUR syndrom adalah suatu komplikasi yang paling sering dan paling menakutkan dalam pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun, Sindroma TUR dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Sampai sekarang Sindrom TUR merupakan suatu komplikasi yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang melakukan operasi maupun para anestesiolog yang seharusnya melakukan diagnosa sindrom ini dan melakukan intervensi untuk mencegah kematian(1,2).
TUR syndrom adalah suatu komplikasi yang paling sering dan paling menakutkan dalam pembedahan urologi endoskopik. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun, Sindroma TUR dapat terjadi pada 2% kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Sampai sekarang Sindrom TUR merupakan suatu komplikasi yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang melakukan operasi maupun para anestesiolog yang seharusnya melakukan diagnosa sindrom ini dan melakukan intervensi untuk mencegah kematian(1,2).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan TUR Syndrom
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui pengertian TUR Syndrom
b. Mahasiswa mengetahui anatomi fisiologi perkemihan
c. Mahasiswa mengetahui penyebab TUR Syndrom
d. Mahasiswa mengetahui patofisiologi TUR Syndrom
e. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis TUR Syndrom
f. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan TUR Syndrom
g. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan TUR Syndrom
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan studi kasus dan kepustakaan yang dilaksanakan pada klien.
D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan Makalah Asuhan Keperawatan ini terdiri dari 4 bab, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab yang memberikan gambaran awal dari Makalah Asuhan Keperawatan yang berisikan: latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Berisikan teori-teori tentang konsep dasar TUR Syndrom, Pengertian TUR Syndrom, anatomi fisiologi, penyebab TUR Syndrom, manifestasi klinis TUR Syndrom, patofisiologi TUR Syndrom, penatalaksanaan TUR Syndrom, asuhan keperawatan TUR Syndrom.
BAB III : PENUTUP
Berisikan kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi selama operasi. Hiponatremia, hipovolemia, dan kadang hiperamonemia mungkin terjadi (Eaton, 2003)
B. Anatomi Fisiologi
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dlam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih).
Sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b) dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c) satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin dikeluarkan dari vesika urinaria.
C. Etiologi
Disebabkan oleh absorbsi masif dari cairan irigasi.Absorbsi masif tergantung oleh:Proses TURP yang lama.absorbsi meningkat jika reseksi dilakukan lebih dari 90menitTekanan intravaskuler meningkat. karena tinggi bagian irigasi lebih dari 60 cm di atas lokasi pembedahan. Banyak sinus prostat yang terbuka. Semakin besar prostat yang direseksi, semakin banyak sinus prostat yang terbukaJenis cairan irigan yang digunakan.
D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala klinis awal:
a. Restlessness, nyeri kepala, takipnea
b. Dapat berlanjut menjadi respiratory distress, hypoxia, pulmonary oedema, nausea,vomiting, confusion and coma
c. Tanda dan gejala dideteksi lebih dini pada pasien sadar
d. Pada pasien tidak sadar (dianestesi),tanda yang muncul hanya: takikardi danhipertensi
Sindrom TUR dapat terjadi kapan pun dalam fase perioperatif dan dapat terjadi beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai pembedahan. Penderita dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan sebagai beriku:
· Pusing
· Sakit kepala
· Mual
· Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
· Napas pendek
· Gelisah
· Bingung
· Nyeri perut
Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun. Bila penderita tidak segera di terapi maka penderita menjadi sianotik, hipotensif dan dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala neurologis. Mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir dengan koma. Bila pasien mengalami anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat. Salah satu tanda adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak dapat diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST, munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar. Pada pasien yang mengalami sindrom TURP, pulihnya kembali kesadaran karena anestesi dan khasiat muscle relaxant dapat terlambat.
Patogenesis
Sejumlah besar cairan dapat diserap selama operasi terutama bila sinus vena terbuka secara dini atau bila operasi berlangsung lama. Rata-rata diperkirakan terjadi penyerapan 20cc cairan permenit atau kira-kira 1000-1200cc pada 1 jam pertama operasi, sepertiga bagian di antaranya diserap langsung ke dalam sistem vena. Dan hal ini akan menimbulkan hiponatremia dilusional.
Gambar 1 Proses TURP
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah circulatory overload, keracunan air, dan hiponatremia.
- Circulatory overload
Penyerapan cairan irigasi praktis terjadi pada semua operasi TURP dan hal ini terjadi melalui jaringan vena pada prostat. Menurut penelitian, dalam 1 jam pertama dari operasi terjadi penyerapan sekitar 1 liter cairan irigasi yang setara dengan penurunan akut kadar Na sebesar 5-8 mmol/liter. Penyerapan air di atas 1 liter menimbulkan risiko timbulnya gejala sindrom TUR. Penyerapan air rata-rata selama TUR adalah 20 ml/menit. Dengan adanya circulatory overload, volume darah meningkat, tekanan darah sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah jantung.
Cairan yang diserap akan menyebabkan pengenceran kadar protein serum, menurunnya tekanan osmotik darah. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan tekanan darah dan cairan di dorong dari pembuluh darah ke dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan cerebri. Di samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar cairan dapat terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga peritoneal. Setiap 100 cc cairan yang masuk ke dalam cairan interstitial akan membawa 10-15 ml eq Na. Lamanya pembedahan berhubungan dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas dan mortalitas terbukti tinggi bila pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit.
Penyerapan cairan intravaskuler berhubungan dengan besarnya prostat sedang penyerapan cairan interstitial tergantung dengan integritas kapsul prostat. Circulatory overload sering terjadi bila prostat lebih dari 45 gram. Faktor penting yang berhubungan dengan kecepatan penyerapan cairan adalah tekanan hidrostatik dalam jaringan prostat. Tekanan ini berhubungan dengan tingginya tekanan cairan irigasi dan tekanan dalam kandung kencing selama pembedahan. Tinggi dari cairan irigasi adalah 60 cm yang dapat memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit dengan visualisasi yang baik.
- Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari keracunan air karena meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah. Dapat terjadi kejang-kejang dan koma, dan posisi desereberate. Dapat terjadi klonus dan refleks babinsky yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis. Gejala keracunan air terjadi bila kadar Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal.
- Hiponatremia
Na sangat penting untuk fungsi sel jantung dan otak. Beberapa mekanisme terjadinya hiponatremia pada pasien TUR adalah:
a. Pengenceran Na karena penyerapan cairan irigasi yang besar.
b. Kehilangan Na dari daerah reseksi prostat ke dalam cairan irigasi.
c. Kehilangan Na ke dalam kantong-kantong cairan irigasi di daerah periprostat dan rongga peritoneal.
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan kejang-kejang. Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan penurunan kontraktilitas otot jantung. BIla kadar Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi dan kompleks QRS yang melebar, gelombang ektopik ventrikuler dan gelombang T yang terbalik. Di bawah 100 meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
- Koagulopati
Pada Sindroma TUR dapat terjadi Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC) yang terjadi akibat lepasnya partikel prostat yang mengandung tromboplastin dalam jumlah besar ke dalam peredaran darah dan menyebabkan fibrinolisis sekunder. DIC ini dapat diketahui dari turunnya kadar trombosit dan meningkatnya Fibrin Degradation Product (FDP) serta kadar fibrinogen yang rendah.
- Bakteriemia dan Sepsis
Pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi infeksi sebelum operasi. Bila sinus vena prostat terbuka sebelum operasi dan dilakukan irigasi dengan tekanan tinggi maka kuman bisa masuk ke dalam peredaran darah dan terjadi bakteremia. Pada 6% pasien bakteremia ini menyebabkan sepsis.
- Hipotermi
Hipotermi sering terjadi pada pasien yang mengalami TURP. Irigasi kandung kencing merupakan penyebab penting kehilangannya panas tubuh dan hal ini ditambah dengan suhu kamar operasi yang rendah. Hipotermi sering terjadi pada penderita lanjut usia karena gangguan saraf otonomik.
E. Patofisiologi
F. Penatalaksanaan
a. Jika dideteksi saat intra operatif tindakan segeradihentikan dan pemberian cairan IV dihentikan
b. Air yang diabsorbsi harus dikeluarkan: Furosemid40 mg iv
c. Bantu pernafasan dengan oksigen (nasal kanul ataumasker, atau intubasi dan ventilasi jika diperlukan)
d. Simptomatik hiponatremia yang menyebabkankelemahan sampai koma harus diatasi dengancairan hipertonik (NaCl 3% = 0.513 mmol/ml) sampaigejala hilang
e. Periksa BGA, serum sodium dan Hb
f. Kelemahan dapat diatasi dengan dosis kecil midzolam(2-4 mg), diazepam (3-5 mg) atau thiopental (50-100mg)
g. Intubasi endotrakeal disarankan untuk mencegahaspirasi sampai status mental kembali normal
h. Jika odem paru dan hipotensi berlanju invasif hemodinamik monitoring direkomendasikan sebagaipetunjuk untuk penatalaksanaan farmakologis danmanajemen cairan
Cairan Irigasi
Untuk operasi TUR dapat dipakai beberapa macam cairan irigasi. Salin tidak dapat dipakai karena cairan ini merupakan penghantar listrik dan akan mengganggu proses pemotongan dan kauterisasi. Di samping itu arus listrik dapat dihantarkan ke alat resektoskop dan dapat mengenai ahli bedah. Belakangan ini telah ditemukan mesin resektoskop yang lebih moderen yang dapat menggunakan salin sebagai cairan irigasinya tapi alat tersebut masih sangat mahal. Salin merupakan cairan irigasi yang ideal karena sifatnya yang isotonik sehingga tidak mengganggu bila terserap.
Cairan lain yang dapat dipakai adalah air steril, glysin 1,2%, 1,5%, atau 2,2%. Cairan lain yang dapat dipakai adalah sorbitol atau manitol 3%. Di negara maju air steril sudah jarang dipakai karena jika diserap dalam jumlah besar dapat menyebabkan hiponatremia, hemolisis intra vaskuler dan hiperkalemia. Karena itu sorbitol, manitol, atau glisin lebih banyak dipakai. Sorbitol/manitol atau glisin dapat mencegah hemolisis intravaskuler tetapi tidak dapat mencegah hiponatremia dilusional karena bisa terjadi penyerapan cairan dalam jumlah besar tanpa penambahan natrium. Cairan yang banyak dipakai di luar negeri adalah glisin. Tetapi penyerapan glisin dalam jumlah besar dapat menyebabkan beberapa akibat dan sebenarnya cairan sorbitol dan manitol lebih baik dibandingkan dengan glisin. Tetapi harganya lebih mahal. Cairan non ionik yang dapat dipakai adalah larutan glukose 2,5%-4%. Untuk negara yang sedang berkembang, Collins dan kawan-kawannya menganjurkan pemakaian dektrose 5% yang lebih ekonomik dibandingkan dengan cairan glisin dan lebih jarang menimbulkan hemolisis serta lebih aman dibandingkan air steril. Tetapi larutan dextrose tidak disukai karena dapat menyebabkan hipoglikemi tissue charring pada tempat reseksi dan menimbulkan rasa lengket pada sarung tangan ahli bedah dan peralatan. Di Amerika Serikat, cairan irigasi yang paling banyak dipakai adalah Cytal yang merupakan campuran antara sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%.
Terapi
Pada hiponatremia ringan atau sedang, pemberian furosemide intravenous dan infus normosalin mungkin sudah cukup. Tindakan ini akan menurunkan kelebihan beban cairan melalui diuresis dan menjaga kadar Na dalam batas normal. Pemberian furosemide sebaiknya dimulai selama pasien masih di dalam kamar operasi kalau terjadi perdarahan yang banyak dan waktu operasi lebih dari 90 menit atau bila kadar natrium menurun. Pada kasus hiponatremi berat diberikan infus 3% saline sebanyak 150-200 cc dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai furosemide intravena, terutama pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif. Pemberian hipertonik saline ini dapat diulangi bila perlu. Selama pemberian saline hipertonik, kadar elektrolit harus diperikasa tiap 2-4 jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia. Pada penderita hiponatremia yang menunjukkan gejala, gejala itu bisa dihilangkan dengan peningkatan kadar natrium 4-6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama, hanya setengah dari kekurangan kadar natrium yang perlu diatasi dengan pemberian saline 3%. Pemberian saline 3% sebaiknya segera digantikan dengan normal saline. Jangan meningkatkan kadar natrium lebih dari 20 meq/liter dalam waktu 24 jam. Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara perlahan. Karena pemberian saline 3% hanya dipakai untuk tidak lebih dari separuh dari penggantian kalium, maka pada pasien dengan hiponatremia berat hanya memerlukan 300-500cc saline 3%.
Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi tekanan positif dengan menggunakan oksigen 100%(1). Bila terjadi kehilangan darah yang banyak maka transfusi dilakukan dengan menggunakan Packed Red Cells (PRC). Bila terjadi DIC diberikan fibrinogen sebanyak 3-4 gram intravena diikuti dengan pemberian heparin 2000 unit secara bolus dan diikuti 500 unit per jam. Dapat juga diberikan fresh frozen plasma dan trombosit, tergantung dari profil koagulasi.
Pencegahan Sindroma TUR
Identifikasi gejala-gejala awal sindrom TUR diperlukan untuk mencegah manifestasi berat dan fatal pada pasien-pasien dengan pembedahan urologi endoskopik. Bila diketahui adanya hiponatremi yang terjadi sebelum operasi terutama pada pasien-pasien yang mendapat diuretik dan diet rendah garam harus segera dikoreksi. Karena itu pemeriksaan natrium sebelum operasi TUR perlu dilakukan. Pemberian antibiotik profilaktik mungkin mempunyai peran penting dalam pencegahan bakteremia dan septicemia. Untuk penderita-penderita dengan penyakit jantung, perlu dilakukan monitoring CVP atau kateterisasi arteri pulmonalis.
Tinggi cairan irigasi yang ideal adalah 60 cm dari pasien. Lamanya operasi TURP tidak boleh lebih dari 1 jam. Bila diperlukan waktu lebih dari 1 jam, maka TURP sebaiknya dilakukan bertahap. Pemeriksaan natrium serum sebaiknya dilakukan tiap 30 menit dan perlu dilakukan koreksi sesuai dengan hasil serum natrium. Perlu dilakukan pemberian furosemid profilaksis untuk mencegah overload cairan. Bila perlu dilakukan transfusi darah, sebaiknya dilakukan dengan PRC bukan dengan whole blood. Perlu dilakukan pencegahan hipotermi misalnya dengan menghangatkan cairan irigasi sampai 37˚C.
ASUHAN KEPERAWATAN
Asuhan Keperawatan Klien dgn Sindrom TURP
- Pengkajian
Ø Identitas
- Terjadi akibat operasi TURP +50% laki-laki >60 thn, +80% laki-laki usia 80 thn. (Purnomo, 2003)
Ø Keluhan Utama
- Sesak napas.
Ø Riwayat Kesehatan
- Pasien BPH dengan post operasi TURP.
- Pemeriksaan Fisik
Ø B1 breath: distress napas, odem paru, hipoksia, sianosis.
Ø B2 blood: hipertensi, aritmia.
Ø B3 brain: penurunan kesadaran, TIK↑, konfusi sampai koma.
Ø B4 bladder: gagal ginjal akut.
Ø B5 bowel: mual, muntah.
Ø B6 bone: gatal-gatal pada kulit.
- Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan pertukaran gas b.d odem paru.
2. Kelebihan volume cairan b.d adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan.
3. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intracranial.
- Kerusakan pertukaran gas b.d odem paru
· Tujuan
- Masalah kerusakan pertukaran gas teratasi selama masa perawatan.
· Kriteria Hasil
- SpO2 98-100%.
- Analisa gas darah:
▪ PaO2 80 – 100 mmHg.
▪ PaCO2 35 – 45 mmHg.
▪ pH 7,35 – 7,45.
- Tidak ada tanda distress napas:
▪ RR= 12 – 20 x/mnt, flaring nostril (-), tracheal tug (-), intrekking (-).
· Intervensi
- Posisi semi fowler atau slide head up 30-45°.
- Bebaskan jalan napas dengan kepala posisi ekstensi.
- Bantu pernafasan dengan oksigen (nasal kanul atau masker, atau intubasi dan ventilasi jika diperlukan).
- Pertahankan istirahat klien.
- Kolaborasi pemberian furosemid.
- Monitor evaluasi BGA, pulse oxymeter.
- Kelebihan volume cairan adanya penyerapan cairan irigasi yang berlebihan
· Tujuan
- Kelebihan volume cairan teratasi selama masa perawatan.
· Kriteria Hasil
- Odem paru (-), odem seluruh tubuh (-).
- Asites (-).
- Hasil lab elektrolit:
▪ Na+ 135 – 145 mEq/L.
▪ K+ 3,5 – 5,0 mEq/L.
- Hemodinamik CVP = 5 – 15 cmH20.
- Tanda vital: TD = 120/90 mmHg, nadi = 60 – 100 x/mnt.
· Intervensi
- Restriksi cairan I=IWL.
- Kolaborasi pemberian terapi diuretic.
- Kolaborasi tindakan invasif hemodinamik (pemasangan CVP).
- Atasi hiponatremi dengan cairan hipertonik (NaCl 3% = 0.513 mmol/ml) sampai gejala hilang.
- Pantau tanda dan gejala hiponatremi.
- Pantau TTV.
- Perubahan perfusi jaringan serebral b.d peningkatan tekanan intracranial
· Tujuan
- Masalah perubahan perfusi jaringan serebral teratasi selama masa perawatan.
· Kriteria Hasil
- Tidak ada tanda peningkatan TIK.
▪ Nyeri kepala, muntah proyektil, kaku kuduk, papil edema.
· Intervensi
- Slide head up 30°-45°.
- Cegah hal-hal yang dpt meningkatkan TIK: batuk, mengejan, posisi trendelenburg.
- Monitor evaluasi adanya tanda-tanda TIK↑.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindroma TUR adalah kumpulan tanda dan gejala yang terjadi pada penderita yang menjalani operasi TURP yang disebabkan karena penyerapan cairan irigasi dalam jumlah besar. Sindroma TUR dapat terjadi pada 2-10% operasi TURP dan masih dapat terjadi walaupun di tangan urolog yang sudah berpengalaman sekalipun. Sindroma TUR paling banyak terjadi pada pemakaian cairan irigasi yang hipotonik terutama bila yang dipakai adalah air steril. Karena penyerapan air dalam jumlah besar mudah menimbulkan hiponatremia dan hemolisis. Frekuensi sindroma TUR meningkat pada operasi yang lamanya lebih dari 90 menit, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sindroma TUR dapat terjadi pada operasi yang berlangsung dibawah 30 menit, pada prostat yang besarnya lebih dari 45 gram, dan bila cairan irigasi yang dipakai 30 liter atau lebih. Dalam penanganan sindroma TUR, yang paling penting adalah diagnosa dini yang memerlukan kerja sama yang baik antara ahli bedah dan ahli anestesi. Diagnosa dini dari sindrom TUR dan penanganan yang tepat banyak menurunkan angka kematian sindroma TUR ini.
B. Saran
1. Didalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan system perkemihan diharapkan perawat memahami konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan.
2. Dalam pemberian tindakan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan system perkemihan hendaknya perawat dapat melakukan tindakan dengan cepat dan tepat dengan mengutamakan tindakan yang paling prioritas, tanpa mengabaikan masalah yang lain.
Daftar Pustaka
Moorthy HK, Philip S. TURP Syndrome, Current Concepts In The Pathophysiology And Management. Indian J Urol 2001;17:97-102.
Hahn RG, The Transurethral Resection Syndrome. Acta Anaesthesiol Scand. 1991 ; 35 (7): 557-567.
Leslie SW. Transurethral Resection of the Prostate. Taken from www.emedicine.com/MED/topic3071.htm Accessed on 9 Sept 2008. Last Update Oct 33, 2006.
Marrero AS, Prodigalidad AM, Ambrosio AZ. Prediction and Early Diagnosis of Transurethral Prostatectomy Syndrome. Members http://members.tripod.com/nktiuro/paper2.htm. Accessed on 9 Sept 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar