BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai) hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologis, termasuk menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal natrium dan air yang menekan produksi renin dan aldosteron (Glassok, 1988; Dalam buku Sandra M. Nettina, 2001).
Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan jaringan interstisiel. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling umum adalah Escherichia Coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan ginjal akibat refluks vesikouretral. Penyebab lain pielonefritis mencakup obstruksi urine atau infeksi, trauma, infeksi yang berasal dari darah, penyakit ginjal lainnya, kehamilan, atau gangguan metabolik (Sandra M. Nettina, 2001).
Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus beta nemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya. Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan hipertensi (Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005).
Penyebab pielonefritis yang paling sering adalah Escherichia Coli. Tanda dan gejalanya adalah demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri tekan daerah kostovertebral, leukositosis, dan bakteriuria (Sylvia A. Price dan M. Willson, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis dan pielonefritis lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis pelajar. 5%-10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Perbandingannya penyakit ini pada perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asuhan keperawatan glomerulonefritis dan pielonefritis.
2. Tujuan Khusus
- Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan intervensi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melaksanakan implementasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
- Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien glomerulonefritis dan pielonefritis.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. GLOMERULONEFRITIS
1. Pengertian
Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal (glomerulus) (Sandra M. Nettina, 2001).
Glomerulonefritis adalah sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen (Barbara Engram, 1999).
Glomerulonefritis akut adalah istilah yang sering secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana inflamasi terjadi di glomerulus (Brunner & Suddarth, 2001).
2. Etiologi
a. Kuman streptococcus.
b. Berhubungan dengan penyakit autoimun lain.
c. Reaksi obat.
d. Bakteri.
e. Virus.
(Sandra M. Nettina,2001).
3. Manifestasi Klinis
a. Faringitis atau tansiktis.
b. Demam.
c. Sakit kepala.
d. Malaise.
e. Nyeri panggul.
f. Hipertensi.
g. Anoreksia.
h. Muntah.
i. Edema akut.
j. Oliguria, proteinuria, dan urine berwarna cokelat.
(Sandra M. Nettina, 2001).
4. Patofisiologi
Prokferusi seluler (peningkatan produksi sel endotel ialah yang melapisi glomerulus). Infiltrasi leukosit ke glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan perut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis ginjal membesar, bengkak dan kongesti. Pada kenyataan kasus, stimulus dari reaksi adalah infeksi oleh kuman streptococcus A pada tenggorokan, yang biasanya mendahului glomerulonefritis sampai interval 2-3 minggu. Produk streptococcus bertindak sebagai antigen, menstimulasi antibodi yang bersirkulasi menyebabkan cedera ginjal (Sandra M. Nettina, 2001).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Urinalisis (UA).
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG).
c. Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum.
d. Pielogram intravena (PIV).
e. Biopsi ginjal.
f. Titer antistrepsomisin O (ASO).
(Sandra M. Nettina, 2001).
6. Penatalaksanaan
a. Manifestasi diet:
- Pembatasan cairan dan natrium.
- Pembatasan protein bila BUN sangat meningkat.
b. Farmakoterapi
- Terapi imunosupresif seperti agen sitoksit dan steroid untuk glomerulonefritis progresif cepat.
- Diuretik, terutama diuretik loop seperti furosemid (lasix), dan bumex.
- Dialisis, untuk penyakit ginjal tahap akhir.
(Sandra M. Nettina, 2001).
7. Komplikasi
a. Hipertensi.
b. Dekopensasi jantung.
c. GGA (Gagal Ginjal Akut).
(Sandra M. Nettina, 2001).
B. PIELONEFRITIS
1. Pengertian
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstinal dari salah satu atau kedua ginjal ( Brunner & Suddarth, 2002).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik (J.C.E. Underwood, 2007).
2. Etiologi
a. Bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella Pneumoniac, Streptococcus Fecalis).
b. Obstruksi urinari track.
c. Refluks.
d. Kehamilan.
e. Kencing manis.
f. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
(Barbara Engram, 1988).
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba, kemudian dapat disertai menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual dan muntah (Barbara Engram, 1988).
4. Patofisiologi
Bakteri naik ke ginjal dan pelvis ginjal melalui saluran kandung kemih dan uretra. Flora normal fekal seperti E. Coli, Streptococcus Fecali, Pseudomonas Aeruginosa, dan Staphilococcus Aureus adalah bakteri paling umum yang menyebabkan pielonefritis akut, E. Coli menyebabkan sekitar 85% infeksi. Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim. Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kulit dan pelvis ginjal juga akan berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghasilkan fibrosis dan scarring pielonefritis kronik muncul setelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan degeneratik dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang menjadi gagal ginjal (Barbara Engram, 1988).
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Whole Blood.
b. Urinalisis.
c. USG dan Radiologi.
d. BUN.
e. Kreatinin.
f. Serum Selectrolytes.
(Barbara Engram, 1988).
6. Komplikasi
a. Nekrosis papila ginjal.
b. Fionefrosis.
c. Abses perinefrit.
(Barbara Engram, 1988).
7. Penatalaksanaan
a. Terapi antimikroba spesifik organisme:
- Biasanya dimulai segera untuk mencakup prevalen patogen gram negatif, kemudian disesuaikan berdasarkan hasil kultur urine.
- Pengobatan dilakukan 2 minggu atau lebih.
b. Pengobatan pasien rawat inap dengan terapi antimikroba parenteral jika pasien tidak dapat mentoleransi asupan oral dan mengalami dehidrasi atau penyakit akut.
c. Drainase perkutan atau terapi antibiotik yang lama diperlukan untuk mengobati abses renal atau abses perinefrik.
(Barbara Engram, 1988).
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Genitourinaria : urine keruh, proteinuria, penurunan urine output, hematuria.
2. Kardivaskular : hipertensi.
3. Neurologis : letargi, iritabilitas, kejang.
4. Gastrointestinal : anoreksia, azotemia, hiperkalemia.
5. Integumen : pucat, edema.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Perubahan pola eliminasi urine (disuria, dorongan, frekuensi, atau nokturia) berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : pola eliminasi urine dalam batas normal (3-6 x/hari).
Kriteria Hasil : - Pasien bisa berkemih secara normal.
- Tidak ada infeksi pada ginjal, tidak nyeri waktu berkemih.
Intervensi:
- Ukur dan catat urine setiap kali berkemih.
Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan warna dan untuk mengetahui input/output.
- Anjurkan untuk berkemih setiap 2-3 jam.
Rasional : Untuk mencegah terjadinya penumpukan urine dalam vesika urinaria.
- Palpasi kandung kemih setiap 4 jam.
Rasional : Untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih.
- Bantu klien ke kamar kecil, memakai pispot/urinal.
Rasional : Untuk memudahkan klien dalam berkemih.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan cukup.
Kriteria Hasil : Klien akan menunjukkan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi:
- Sediakan makanan yang tinggi karbohidrat.
Rasional : Diet tinggi karbohidrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
- Sajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
Rasional : Menyajikan makanan sedikit-sedikit tapi sering memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaan dapat meningkatkan nafsu makan.
- Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
Rasional : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.
3. Nyeri berhubungan dengan infeksi pada ginjal.
Tujuan : Nyeri berkurang atau tidak ada.
Kriteria Hasil : - Klien menunjukkan wajah yang rileks.
- Infeksi bisa diatasi.
Intervensi:
- Kaji intensitas, lokasi, dan faktor yang memperberat dan memperingankan nyeri.
Rasional : Rasa sakit yang hebat menandakan adanya infeksi.
- Berikan waktu istirahat yang cukup.
Rasional : Klien dapat beristirahat dengan tenang dan dapat merilekskan otot-otot.
- Anjurkan minum banyak 2-3 liter jika tidak ada kontraindikasi.
Rasional : Untuk membantu klien dalam berkemih.
- Berikan analgesik sesuai dengan program terapi.
Rasional : Analgesik dapat memblok lintasan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Engram, Barbara. (1992). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 1. EGC. Jakarta.
Lawler, William, dkk. (1992). Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta.
Nettina, Sandra M. (2001). Pedoman Praktik Keperawatan. EGC. Jakarta.
Price, Sylvia,dkk. (2005). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta
Di sini kami mempunyai angan2 untuk membantu teman2 se profesi agar bisa mempermudah dalam mencari bahan dlm tugas kuliah. Berbagai judul ASKEB/ASKEP insyaallah dapat membantu,, Ide tersebut pertama muncul karena seorang istri yang menjadi mahasiswi keperawatan di suatu Sekolah Tinggi Swasta yang ada di Kab Jombang, yang setiap waktu mengerjakan tugas untuk membuat ASKEP Semoga Bermanfaat kawan semoga sukses jazakumulloh khairon khatsiron wassalam wr wb.
Sabtu, 18 Juni 2011
ASKEP DENGAN FRAKTUR HUMERUS
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
a Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2. Anatomi Dan Fisiologi
a Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
b Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
c Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a Terhadap Klien
1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
2) Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3) Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4) Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998
1. Pengertian
a Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.
Keuntungan :
1) Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2) Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3) Klien tidak akan tirah baring lama.
4) Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3) Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2. Anatomi Dan Fisiologi
a Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
b Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
c Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
1) Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
2) Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
3) Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
d Fungsi Tulang
1) Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2) Tempat mlekatnya otot.
3) Melindungi organ penting.
4) Tempat pembuatan sel darah.
5) Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
(Oswari E, 1993)
4. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)
c. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur.
1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a Terhadap Klien
1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
2) Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3) Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4) Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3) Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1) Bayangan jaringan lunak.
(2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.
2. Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
3. Perencanaan
4. Pelaksanaan
5. Evaluasi
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS TETANUS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka (Arjatmo, 1996).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia (Hasan, Rusepno, 1989).
Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun 1882 Nicolailer dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini ditemukan oleh bakteri. Kemudian tahun 1889 oleh Kitasono dan Nicolailer, kuman Cl. Tetani dan toksinnya dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasono melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan anti serum spesifik yang merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Berdasarkan insiden yang terjadi di atas, kami tertarik untuk mengangkat kasus tetanus sehingga akan meningkatkan pemahaman kita semua, khususnya kelompok mengenai tetanus.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mampu memahami dan menjelaskan konsep teori dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien tetanus.
2. Tujuan Khusus
a. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi tetanus.
b. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi tetanus.
c. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi tetanus.
d. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis tetanus.
e. Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien tetanus.
f. Agar mampu menegakkan diagnosis pada pasien tetanus.
g. Agar mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien tetanus.
h. Agar mampu melakukan implementasi pada pasien tetanus.
i. Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien tetanus.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejng otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob clostridium tetani (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan (Arjatmo, 1996).
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl. Tetani (Mansjoer, 2000).
B. ETIOLOGI
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat murni. Kuman ini mudah dikenal karena berbentuk spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau rekek squash.
Spora Cl. Tetani dapat bertahan bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau di debu. Tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 °C, dan bahkan pada otoklaf 120 °C selama 15-20 menit. Dari berbagai study yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
C. PATOFISIOLOGI
Tetanus
Clostridium
Luka tusuk Luka tabrakan Luka goresan
Perawatan luka yang kurang baik
Toksin diabsorbsi di ujung saraf motorik Toksin bersifat
dan susunan limfatik antigen
Masuk ke dalam sirkulasi darah Arteri
Kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat
Perubahan marfologi
Pembengkakan sel-sel ganglion motorik yang
berhubungan dengan pembengkakan dengan
liris inti sel
(Arjatmo, 1996).
D. GEJALA KLINIS
Masa tunas biasanya 5-14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kuduk kaku sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dari abdomen akut).
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi).
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku, dan tangan menggepal kuat. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium:
1. Trismus (3cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1cm) dengan kejang tonik umum spontan.
E. KOMPLIKASI
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Ateleksasi karena obstruksi oleh secret.
4. Fractural kompresi.
F. PENATALAKSANAAN
1. Umum
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsangan luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
- Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan
- Antitoksin
Tetanus immunoglobulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5000 U intramuscular yang dianjurkan dengan dosis harian 500-6000 U. bila pemberian TIG tidak memungkinkan ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 U intramuscular dan 5000 U intravena. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
- Anti Kejang
Obat Efek Samping
Diazepam Stupor, koma
Meprobomat Tidak ada
Klorpromazine Hipertensi
Fenobarbital Depresi
Intramuscular Pernafasan
G. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Mencegah terjadinya luka.
2. Merawat luka secara adekuat.
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes kulit.
4. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIG.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medis, rencana terapi.
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan sekarang.
- Riwayat kesehatan masa lalu.
- Riwayat kesehatan keluarga.
4. Riwayat imunisasi.
5. Riwayat tumbuh kembang.
6. Riwayat nutrisi.
7. Riwayat psikososial.
8. Riwayat spiritual.
9. Riwayat hospitalisasi.
10. Riwayat aktivitas sehari-hari.
11. Pemeriksaan fisik.
- Keadaan umum klien.
- Tanda-tanda vital.
- Atropometri.
- Sistem pernafasan.
- Sistem cardiovascular.
- System integument.
- Sistem pencernaan.
- Sistem indra.
- Sistem perkemihan.
- Sistem endokrin.
- Sistem reproduksi.
- Sistem imun.
- Sistem musculoskeletal.
- Sistem saraf : fungsi serebral, fungsi cranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi serebelum, fungsi reflex, fungsi iritasi meningen.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan ditandai dengan susah bernafas, sesak, apnea.
Tujuan : Pola nafas pasien kembali normal atau pasien dapat
mempertahankan pola nafas efektif.
Kriteria Hasil : semua hal yang terkait dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Pantau frekuensi dan irama serta kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan adanya komplikasi, pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luar keterlibatan otot pernafasan lambat periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi.
- Catat kompetensi reflex gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri, pasang alat bantu pernafasan sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan mobilisasi atau memberikan sekresi penting untuk memelihara jalan nafas, kehilangan reflex menelan, atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan/intubasisal.
- Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring, sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan penurunan kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
- Anjurkan pasien untuk bernafas dalam yang efektif jika pasien sadar serta berikan oksigen.
Rasional : Pencegahan atau penurunan atelektasis serta memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu mencegah hipoksia.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan membuka mulut ditandai dengan BB menurun, sukar menelan, kaku otot wajah.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi dan adekuat.
Kriteria Hasil : Pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan menunjukkan peningkatan BB yang memuaskan.
Intervensi:
- Beri makan melalui NGT sesuai dengan ketentuan.
Rasional : Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian oral memungkinkan.
- Pantau pemasukan dan BB.
Rasional : Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
- Beri cairan/nutrisi parenteral, sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin perlu untuk mengatasi dehidrasi, menggantikan kehilangan cairan dan memberikan nutrisi yang perlu bila masukan oral dibatasi.
- Konsul dengan ahli diet.
Rasional : Bermanfaaat dalam menyusun rencana/kebutuhan diet individu.
3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan pusing, sakit kepala, sesak, TD: 90/70 mmHg, Temp: 35 ºC.
Tujuan : : Perfusi jaringan kembali normal.
Kriteria hasil : Semua hal yang berkaitan dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan perubahan perfusi jaringan otak dan potensial potetik.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi.
- Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya dengan koma glasgow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP, serta menentukan tingkat kesadaran.
- Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Menentukan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral tekanan peningkatan dan terbentuknya edema.
- Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Rasional : Dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
- Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti masasse punggung dan sebagainya.
Rasional : Meningkatkan efek ketegangan, menurunkan reaksi tubuh, meningkatkan istirahat untuk memelihara atau menurunkan TIK.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Hasan, Rusepno, 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.
Sjamsuhidayat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Tjokronegoro, Arjotmo, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka (Arjatmo, 1996).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh clostridium tetani pada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia (Hasan, Rusepno, 1989).
Hippocrates sudah menggambarkan gejala penyakit tetanus pada manusia. Tahun 1882 Nicolailer dan Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini ditemukan oleh bakteri. Kemudian tahun 1889 oleh Kitasono dan Nicolailer, kuman Cl. Tetani dan toksinnya dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasono melaporkan keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan anti serum spesifik yang merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan tetanus toksoid untuk imunisasi aktif (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Berdasarkan insiden yang terjadi di atas, kami tertarik untuk mengangkat kasus tetanus sehingga akan meningkatkan pemahaman kita semua, khususnya kelompok mengenai tetanus.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Agar mampu memahami dan menjelaskan konsep teori dan melaksanakan Asuhan Keperawatan pada pasien tetanus.
2. Tujuan Khusus
a. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang definisi tetanus.
b. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang etiologi tetanus.
c. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi tetanus.
d. Agar mampu memahami dan menjelaskan tentang gejala klinis tetanus.
e. Agar mampu melakukan pengkajian pada pasien tetanus.
f. Agar mampu menegakkan diagnosis pada pasien tetanus.
g. Agar mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien tetanus.
h. Agar mampu melakukan implementasi pada pasien tetanus.
i. Agar mampu melakukan evaluasi pada pasien tetanus.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR PENYAKIT
A. DEFINISI
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejng otot disebabkan oleh eksotoksin spesifik dari kuman anaerob clostridium tetani (R. Sjamsuhidayat, 1997).
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot proksimal diikuti kekakuan otot seluruh badan (Arjatmo, 1996).
Tetanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl. Tetani (Mansjoer, 2000).
B. ETIOLOGI
Infeksi tetanus disebabkan oleh clostridium tetani yang bersifat murni. Kuman ini mudah dikenal karena berbentuk spora dan karena bentuk yang khas. Ujung sel menyerupai tongkat pemukul genderang atau rekek squash.
Spora Cl. Tetani dapat bertahan bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah atau di debu. Tahan terhadap antiseptic, pemanasan 100 °C, dan bahkan pada otoklaf 120 °C selama 15-20 menit. Dari berbagai study yang berbeda spora ini tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing dan kucing. Toksin diproduksi oleh bentuk vegetatifnya.
C. PATOFISIOLOGI
Tetanus
Clostridium
Luka tusuk Luka tabrakan Luka goresan
Perawatan luka yang kurang baik
Toksin diabsorbsi di ujung saraf motorik Toksin bersifat
dan susunan limfatik antigen
Masuk ke dalam sirkulasi darah Arteri
Kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat
Perubahan marfologi
Pembengkakan sel-sel ganglion motorik yang
berhubungan dengan pembengkakan dengan
liris inti sel
(Arjatmo, 1996).
D. GEJALA KLINIS
Masa tunas biasanya 5-14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kuduk kaku sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki).
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dari abdomen akut).
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornus anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi).
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku, dan tangan menggepal kuat. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernafasan dan laring. Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot uretral.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium:
1. Trismus (3cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1cm) dengan kejang tonik umum spontan.
E. KOMPLIKASI
1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2. Asfiksia.
3. Ateleksasi karena obstruksi oleh secret.
4. Fractural kompresi.
F. PENATALAKSANAAN
1. Umum
- Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
- Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde parenteral.
- Isolasi untuk menghindari rangsangan luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
- Oksigen, pernafasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
- Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan
- Antitoksin
Tetanus immunoglobulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Dosis inisial TIG yang dianjurkan adalah 5000 U intramuscular yang dianjurkan dengan dosis harian 500-6000 U. bila pemberian TIG tidak memungkinkan ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 U intramuscular dan 5000 U intravena. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
- Anti Kejang
Obat Efek Samping
Diazepam Stupor, koma
Meprobomat Tidak ada
Klorpromazine Hipertensi
Fenobarbital Depresi
Intramuscular Pernafasan
G. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Mencegah terjadinya luka.
2. Merawat luka secara adekuat.
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes kulit.
4. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIG.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medis, rencana terapi.
2. Keluhan utama/alasan masuk RS.
3. Riwayat kesehatan.
- Riwayat kesehatan sekarang.
- Riwayat kesehatan masa lalu.
- Riwayat kesehatan keluarga.
4. Riwayat imunisasi.
5. Riwayat tumbuh kembang.
6. Riwayat nutrisi.
7. Riwayat psikososial.
8. Riwayat spiritual.
9. Riwayat hospitalisasi.
10. Riwayat aktivitas sehari-hari.
11. Pemeriksaan fisik.
- Keadaan umum klien.
- Tanda-tanda vital.
- Atropometri.
- Sistem pernafasan.
- Sistem cardiovascular.
- System integument.
- Sistem pencernaan.
- Sistem indra.
- Sistem perkemihan.
- Sistem endokrin.
- Sistem reproduksi.
- Sistem imun.
- Sistem musculoskeletal.
- Sistem saraf : fungsi serebral, fungsi cranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi serebelum, fungsi reflex, fungsi iritasi meningen.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan ditandai dengan susah bernafas, sesak, apnea.
Tujuan : Pola nafas pasien kembali normal atau pasien dapat
mempertahankan pola nafas efektif.
Kriteria Hasil : semua hal yang terkait dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Pantau frekuensi dan irama serta kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan adanya komplikasi, pulmonal (umumnya mengikuti cedera otak) atau menandakan lokasi/luar keterlibatan otot pernafasan lambat periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi.
- Catat kompetensi reflex gangguan menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan nafas sendiri, pasang alat bantu pernafasan sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan mobilisasi atau memberikan sekresi penting untuk memelihara jalan nafas, kehilangan reflex menelan, atau batuk menandakan perlunya jalan nafas buatan/intubasisal.
- Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring, sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan penurunan kemungkinan lidah jatuh dan menyumbat jalan nafas.
- Anjurkan pasien untuk bernafas dalam yang efektif jika pasien sadar serta berikan oksigen.
Rasional : Pencegahan atau penurunan atelektasis serta memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu mencegah hipoksia.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan dan membuka mulut ditandai dengan BB menurun, sukar menelan, kaku otot wajah.
Tujuan : Pasien mendapatkan nutrisi dan adekuat.
Kriteria Hasil : Pasien mendapatkan nutrisi yang cukup dan menunjukkan peningkatan BB yang memuaskan.
Intervensi:
- Beri makan melalui NGT sesuai dengan ketentuan.
Rasional : Untuk memberikan nutrisi sampai pemberian oral memungkinkan.
- Pantau pemasukan dan BB.
Rasional : Untuk mengkaji keadekuatan masukan nutrisi.
- Beri cairan/nutrisi parenteral, sesuai indikasi.
Rasional : Mungkin perlu untuk mengatasi dehidrasi, menggantikan kehilangan cairan dan memberikan nutrisi yang perlu bila masukan oral dibatasi.
- Konsul dengan ahli diet.
Rasional : Bermanfaaat dalam menyusun rencana/kebutuhan diet individu.
3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan proses inflamasi ditandai dengan pusing, sakit kepala, sesak, TD: 90/70 mmHg, Temp: 35 ºC.
Tujuan : : Perfusi jaringan kembali normal.
Kriteria hasil : Semua hal yang berkaitan dengan gejala kembali baik.
Intervensi:
- Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan perubahan perfusi jaringan otak dan potensial potetik.
Rasional : Menentukan pilihan intervensi.
- Pantau dan catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (misalnya dengan koma glasgow).
Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP, serta menentukan tingkat kesadaran.
- Berikan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Menentukan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi serebral tekanan peningkatan dan terbentuknya edema.
- Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Rasional : Dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
- Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti masasse punggung dan sebagainya.
Rasional : Meningkatkan efek ketegangan, menurunkan reaksi tubuh, meningkatkan istirahat untuk memelihara atau menurunkan TIK.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Hasan, Rusepno, 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.
Sjamsuhidayat, dkk. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Tjokronegoro, Arjotmo, dkk. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM KEKEBALAN TUBUH (IMUNITAS)
PENDAHULUAN
IMUNITAS adalah mengacu pada respons protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing atau mikroorganisme yang menginvasinya.
Imunopatologi berarti ilmu tentang penyakit yang terjadi akibat disfungsi dalam sistem imun.
struktur sistem imun
KONSEP UMUM SISTEM IMUNITAS
1. Struktur dan fungsi sistem imun
Pada hakekatnya sistem imunitas terbentuk dari :
Sel-sel darah putih
Sumsum tulang
Jaringan limfoid yang mencakup
kelenjar timus,
kelenjar limfe,
lien,
tonsil serta
adenoid,
Di antara sel2 darah putih yang terlibat dalam imunitas terdapat limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T). Kedua jenis sel ini berasal dari limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang.
Limfosit B mencapai maturitasnya dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah.
Limfosit T bergerak dari sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel2 tersebut mencapai maturitasnya menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi yang berbeda.
Struktur lainnya adalah kelenjar limfe, lien, tonsil, dan adenoid.
Kelenjar limfe yang tersebar di seluruh tubuh
menyingkirkan benda asing dari sistem limfe sebelum benda asing tersebut memasuki aliran darah dan
juga berfungsi sebagai pusat untuk proliferasi sel imun
Lien yang tersusun dari pulpa rubra dan alba bekerja seperti saringan
Tonsil dan adenoid serta jaringan limfatik mukoid lainnya, mempertahankan tubuh terhadap serangan mikroorganisme.
ISTILAH2 DALAM IMUNITAS
Kelainan yg b/d autoimunitas adl penyakit di mana respons imun protektif yang normal sec. paradoksal berbalik melawan atau menyerang tubuh sendiri sehingga terjadi kerusakan jaringan. Cthnya : penyakit SLE, Addison.
Kelainan yg b/d hipersensitivitas adl keadaan di mana tubuh mproduksi respons yg tdk tepat atau yg berlebihan thdp antigen spesifik. Cthnya : asma.
Kelainan yg b/d imunodefisiensi dpt dikategorikan sebagai kelainan primer dimana defisiensi terjadi akibat perkembangan jaringan atau sel2 imun yang tdk tepat & umumnya bersifat genetik atau kelainan sekunder di mana defisiensi terjadi akibat gangguan pada sistem imun yg sudah berkembang. Cthnya : AIDS.
Gambar Sistem Imun
2. TIPE / JENIS SISTEM IMUN
Ada 2 tipe umum imunitas, yaitu :
Imunitas alami (natural) → merupakan kekebalan non spesifik sudah ditemukan pada saat lahir.
Imunitas didapat (akuisita)→ terbentuk sesudah lahir.
Namun berbagai komponen biasanya bekerja dengan cara yang saling tergantung satu sama lain.
IMUNITAS ALAMI ( NON SPESIFIK)
Imunitas alami akan memberikan respon nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut.
Mekanisme alami mencakup sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel2 darah putih dan respon inflamasi.
Sawar fisik mencakup kulit serta membran mukosa yang utuh sehingga mikroorganisme patogen dapat dicegah agar tidak masuk dalam tubuh.
Sambungan imunitas alami
Silia pada traktus respiratorius bersama respon batuk serta bersin yang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran napas atas dari mikroorganisme patogen sblm mikroorganisme dapat menginvasi tubuh lebih lanjut.
Sawar kimia seperti getah lambung yang asam, enzim, dalam air mata serta air liur (saliva) dan substansi dalam sekret kelenjar sebasea serta lakrimalis, bekerja dengan cara non spesifik untuk menghancurkan bakteri dan jamur.
Sambungan
Granulosit akan memerangi serbuan benda asing at toksin dgn melepaskan mediator sel, spt histamin, bradikinin serta prostaglandin.
IMUNITAS DIDAPAT ( SPESIFIK)
Imunitas yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respon imun yang tidak dijumpai pada saat lahir tetapi akan diperoleh kmdn dalam hidup seseorang.
Biasanya terjadi stlh seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif.
Limfosit B berperan dlm sistem imun spesifik humoral. Bila sel B dirangsang benda asing, sel akan bproliferasi & bdeferensiasi mjd sel plasma yg dpt mbtk antibodi.
Sambungan Imunitas Didapat
Imunitas didapat ada 2 tipe yaitu aktif dan pasif.
Imunitas didapat yang aktif, pertahanan imunologi akan dibentuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini umumnya berlangsung selama bertahun2 atau bahkan seumur hidup.
Imunitas didapat yang pasif, merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber lain yang sudah dimiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani imunisasi.
PERTAHANAN SISTEM IMUN
Ketika tubuh diserang atau diinvasi oleh bakteri atau virus atau mikroorganisme patogen lainnya.
Ada 3 macam cara yang dilakukan untuk mempertahankan dirinya sendiri yaitu :
Respon imun fagositik
Respon imun humoral atau antibodi
Dan respon imun seluler
a. Respon imun fagositik
Garis pertama pertahanan yang berupa respon imun fagositik meliputi sel2 darah putih (granulosit dan makrofag) yang dapat memakan partikel2 asing.
Sel-sel ini akan bergerak ke tempat serangan dan kemudian menelan serta menghancurkan mikroorganisme penyerang tersebut.
b. Respon imun humoral
Respon protektif yang kedua, yaitu respon imun humoral ( respon antibodi ), mulai bekerja dengan terbentuknya limfosit yang dapat mengubah dirinya menjadi sel2 plasma yang menghasilkan antibodi.
Antibodi ini merupakan protein yang sangat spesifik diangkut dalam aliran darah dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan penyerangnya.
c. Respon imun seluler
Mekanisme pertahanan yang ketiga, yaitu respon imun seluler, juga melibatkan limfosit yang di samping mengubah dirinya menjadi sel plasma, juga dapat berubah menjadi sel-sel T sitotoksik khususnya yang dapat menyerang mikroorganisme patogen itu sendiri.
Antigen adalah bagian dari mikroorganisme penyerang atau penginvasi yang menstimulasi pembentukan antibodi.
STADIUM RESPON IMUN
Ada 4 stadium yang batasnya jelas dalam suatu respon imun, yaitu :
Stadium pengenalan
Proliferasi
Respon
Efektor
1. Stadium pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition). Stadium ini merupakan kemampuan dari sistem imunitas untuk mengenali antigen sebagai unsur yang asing atau bukan bagian dari dirinya sendiri dgn dmkn merupakan kejadian pendahulu dalam setiap reaksi imun.
Pertama2 tubuh harus mengenali penyerang sebagai unsur asing sebelum dapat beraksi thdp penyerang tsbt.
Sambungan stadium pengenalan
Tubuh akan melaksanakan tugas pengenalan (recognition) dengan menggunakan nodus limfatikus dan limfosit sebagai pengawas (surveilans).
Secara terus menerus nodus limfatikus akan melepaskan limfosit berukuran kecil ke dalam aliran darah. Limfosit ini akan berpatroli untuk mengawasi jaringan dan pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe dari daerah2 yang dilayani oleh nodus limfatikus. Pada dasarnya nodus limfatikus dan limfosit membentuk sistem kekebalan.
2. Stadium proliferasi( memperbanyak diri)
Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenik akan kembali ke nodus limfatikus terdekat. Begitu berada dalam nodus limfatikus, limfosit yang sudah disensitisasi akan menstimulasi sebagian limfosit non aktif (dormant) yang menghuni nodus tersebut untuk membesar, membelah diri, mengadakan proliferasi dan berdiferensiasi menjadi limfosit T atau B.
Pembesaran nodus limfatikus dalam leher yang menyertai sakit leher merupakan salah satu contoh dari respon imun.
3. Stadium respon
Limfosit yang sudah berubah akan berfungsi dengan cara humoral dan seluler.
Respon humoral inisial.
Produksi antibodi oleh limfosit B. Humoral mengacu kepada kenyataan bahwa antibodi dilepas ke dalam aliran darah dan dengan demikian akan berdiam di dalam plasma atau fraksi darah yang berupa cairan.
sambungan
Respon seluler inisial
Limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus limfatikus akan bermigrasi ke daerah nodus limfatikus, tempat sel2 tersebut menstimulasi limfosit yang berada dalam nodus ini untuk menjadi sel2 yang akan menyerang langsung mikroba dan bukan menyerangnya lewat kerja antibodi.
Limfosit yang sudah ditransformasikan ini dikenal sebagai sel2 T sitotoksik.
4. Stadium efektor
Dlm stadium efektor, antibodi dari respon humoral atau sel T sitotoksik dari respon seluler akan menjangkau antigen dan terangkai dengan antigen tersebut pada permukaan objek yang asing.
Perangkaian ini memulai st seri kejadian yg pada sebagian bsr kasus akan mengakibatkan penghancuran mikroba yang menginvasi tubuh atau netralisasi toksin secara total.
Kejadian tsbt meliputi interaksi antibodi (imunitas humoral), komplemen, dan kerja sel2 T sitotoksik (imunitas seluler).
ANTIGEN
ANTIGEN adl suatu substansi yg mempunyai kemampuan merangsang respon imun.
ANTIGEN ( Imunogen) adl bagian dr mikoorganisme penyerang at penginvasi yg mstimulasi pembentukan antibodi.
ANTIBODI
PRODUKSI
Limfosit B, yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi menjadi ribuan klon yang masing2 bersifat responsif terhadap suatu kelompok tunggal antigen dengan karakteristik yang hampir identik.
Pesan antigenik yang dibawa kembali ke nodus limfatikus akan menstimulasi klon spesifik limfosit B untuk membesar, membelah diri, memperbanyak diri (berproliferasi), dan berdeferensiasi menjadi sel2 plasma yang dapat memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut.
STRUKTUR ANTIBODI
Antibodi merupakan protein besar yg dinamakan imunoglobulin krn ditemukan dlm fraksi globulin pd protein plasma.
Setiap molekul antibodi terdiri atas 2 subunit yg masing2 mengandung rantai peptida ringan & berat.
Subunit tsbt disatukan oleh suatu hubungan kimia yg tersusun dari ikatan disulfida.
Tempat ini dinamakan fragmen Fab merupakan bagian "gembok"(lock)"yg sangat spesifik u/ suatu antigen.
Fragmen Fc memungkinkan molekul antibodi u/ mengambil bagian dalam sistem komplemen.
IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin secara umum beri simbol Ig.
Tubuh dapat memproduksi lima tipe imunoglobulin yang berbeda yaitu :
Ig A
Ig D
Ig E
Ig G
Dan Ig M
Ig G (75% dari Total Imunoglobulin)
Terdapat dalam serum dan jaringan (cairan interstisial).
Memiliki peranan utama dalam infeksi yang dibawa darah dan infeksi jaringan.
Mengaktifkan sistem komplemen (menetralisir toksin)
Menggalakkan fogositosis.
Memintas plasenta.
Ig A (15% dari Total Imunoglobuliun)
Terdapat dalam cairan tubuh (darah, saliva, air mata, air susu ibu, dan sekret paru, gastrointestinal prostat serta vagina).
Melindungi terhadap infeksi paru, gastrointestinal dan urogenital.
Mencegah absobsi antigen dari makanan.
Melintas ke dalam neonatus lewat air susu ibu untuk memberikan perlindungan.
Ig M (10% dari total Imunoglobulin)
Terutama terdapat dalam serum intravaskuler.
Imunoglobulin pertama yang dihasilkan sebagai reaksi terhadap infeksi bakteri dan virus.
Mengaktifkan sistem komplemen.
Ig D (0,2% dari Total Imunoglobulin)
Terdapat dengan jumlah yang kecil dalam serum.
Fungsinya bekerja sbgi reseptor antigen pd permukaan limfosit.
Ig E (0,004 dari Total Imunoglobulin)
Terdapat dalam serum
Mengambil bagian dalam reaksi alergi dan hipersensitifitas
Kemungkinan membantu pertahanan tubuh terhadap parasit.
FUNGSI ANTIBODI
Antibodi mempertahankan tubuh terhadap berbagai penyerang (invader) melalui beberapa cara.
Antibodi juga turut meningkatkan pelepasan substansi vasoaktif, seperti histamin dan slow-reacting substance(SRS). Kedua substansi ini merupakan mediator kimia dalam respons inflamasi.
Antibodi juga terlibat dalam proses pengaktifan sistem komplemen.
PENGIKATAN ANTIGEN-ANTIBODI
Bagian antigen yang terlibat dalam proses pengikatan dengan antibodi disebut determinan antigen.
Reaksi imunologi yg paling efisien akan terjadi bila antibodi dan antigen memiliki kecocokan yang tepat.
Ketidakcocokan antigen dan antibodi dikenal sebagai reaktivitas-silang.
Limfosit yang Terlibat dalam Respon Imun
Faktor2 yg mempengaruhi fungsi sistem imun
Usia
Jenis kelamin
Nutrisi
Penyakit Kanker
Kelainan organ lain
Faktor2 psikoneuro-imunologik
Obat2n
Radiasi
Penyakit Immunodefisiensi
DEFINISI
Penyakit Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak maupun dewasa), serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka kemungkinan masalahnya terletak pada sistem kekebalan.
Gangguan pada sistem kekebalan juga menyebabkan kanker atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang tidak biasa.
DEFISIENSI NUTRISI
Defisiensi nutrisi dapat terjadi karena :
1. Kurangnya asupan makanan.
2. Adanya kegagalan penyerapan dan metabolisme.
3. Makin banyaknya ekskresi.
Pasien yang rentan terhadap defisiensi nutrisi adalah orangtua yang menjalankan diet ketat dan pecandu alkohol yang menjalankan diet tidak berimbang, serta sindrom malabsorpsi.
DEFISIENSI VITAMIN A
Pada tikus defisiensi vitamin A menyebabkan sel-sel kolumnar menjadi tipe squamosa dan berkeratinisasi, sel-sel sekretori kelenjar saliva juga menjadi sel squamosa dan berkeratinisasi. Tapi tidak ada bukti bahwa defisiensi vitamin A pada manusia menyebabkan perubahan besar.
DEFISIENSI RIBOFLAVIN
Pada beberapa kasus terdapat stomatitis angularis berupa fissur merah pada sudut mulut, sakit, dan membran mukosa berwarna merah mengkilap. Lidah biasanya sakit. Pengobatan dengan pemberian riboflavin 5 mg 3 kali sehari
DEFISIENSI NICOTINAMIDE (PELLAGRA)
Penderita akan kehilangan nafsu makan diikuti oleh glossitis atau stomatitis dan dermatitis. Bagian ujung dan lateral margin lidah menjadi merah. Bagian dorsum lidah dilapisi bulu keabu-abuan. Gingival margin menjadi merah, bengkak dan memborok.
DEFISIENSI VITAMIN C
Penyakit yang terjadi adalah Scurvy. Dampak utama adalah dermatitis dan purpura, pada kasus berat anemia penyembuhan yang lambat pada luka dn gusi yng bengkak berdarah juga dapat terjadi.
DEFISIENSI VITAMIN D
Pada masa pertumbuhan tulang akan menyebabkan penyakit ricket. Faktor penyebab adalah kurangnya cahaya matahari, makanan berkabohidrat tinggi dan kemungkinan penggunaan tepung yang terlalu banyak menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium.
ANOREXIA NERVOSA DAN BULLIMIA
Anorexia nervosa adalah penolakan terhadap makanan secara tegas dan terus menerus yang berakibat pada tubuh kurus bahkan kematian. Bullimia adalah keadaan dimana seseorang setelah makan dimuntahkan kembali. Akibatnya adalah terjadinya sialadenitis dn erosi gig akibat muntah yang dipaksakan.
Penyakit imunodefisiensi kongenital
1. Penyakit dimana terdapat kadar antibodi yang rendah
- Common variable immunodeficiency
- Kekurangan antibodi selektif (misalnya kekurangan IgA)
- Hipogammaglobulinemia sementara pada bayi
- Agammaglobulinemia X-linked
2. Penyakit dimana terjadi gangguan fungsi sel darah putih
* Kelainan pada limfosit T
- Kandidiasis mukokutaneus kronis
- Anomali DiGeorge
* Kelainan pada limfosit T dan limfosit B
- Ataksia-teleangiektasia
- Penyakit imunodefisiensi gabungan yang berat
- Sindroma Wiskott-Aldrich
- Sindroma limfoproliferatif X-linked
3. Penyakit dimana terjadi kelainan pada fungsi pembunuh dari sel darah putih
- Sindroma Chediak-Higashi
- Penyakit granulomatosa kronis
- Kekurangan leukosit glukosa-6-fosfatas dehidrogenasi
- Kekurangan mieloperoksidase
4. Penyakit dimana terdapat kelainan pergerakan sel darah putih
- Hiperimmunoglobulinemia E
- Kelainan perlekatan leukosit
5. Penyakit dimana terdapat kelainan pada sistem komplemen
- Kekurangan komplemen komponen 3 (C3)
- Kekurangan komplemen komponen 6 (C6)
- Kekurangan komplemen komponen 7 (C7)
- Kekurangan kompleman komponen 8 (C8)
AGAMMAGLOBULINEMIA X-LINKED
Agammaglobulinemia X-linked (agammaglobulinemia Bruton) hanya menyerang anak laki-laki dan merupakan akibat dari penurunan jumlah atau tidak adanya limfosit B serta sangat rendahnya kadar antibodi karena terdapat kelainan pada kromosom X.
Bayi akan menderita infeksi paru-paru, sinus dan tulang, biasanya karena bakteri (misalnya Hemophilus dan Streptococcus) dan bisa terjadi infeksi virus yang tidak biasa di otak.
Tetapi infeksi biasanya baru terjadi setelah usia 6 bulan karena sebelumnya bayi memiliki antibodi perlindungan di dalam darahnya yang berasal dari ibunya.
Jika tidak mendapatkan vaksinasi polio, anak-anak bisa menderita polio. Mereka juga bisa menderita artritis.
Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita agar penderita memiliki antibodi sehingga bisa membantu mencegah infeksi.
Jika terjadi infeksi bakteri diberikan antibiotik.
Anak laki-laki penderita agammaglobulinemia X-linked banyak yang menderita infeksi sinus dan paru-paru menahun dan cenderung menderita kanker.
COMMON VARIABLE IMMUNODEFICIENCY
Immunodefisiensi yang berubah-ubah terjadi pada pria dan wanita pada usia berapapun, tetapi biasanya baru muncul pada usia 10-20 tahun.
Penyakit ini terjadi akibat sangat rendahnya kadar antibodi meskipun jumlah limfosit Bnya normal. Pada beberapa penderita limfosit T berfungsi secara normal, sedangkan pada penderita lainnya tidak.
Sering terjadi penyakit autoimun, seperti penyakit Addison, tiroiditis dan artritis rematoid.
Biasanya terjadi diare dan makanan pada saluran pencernaan tidak diserap dengan baik.
Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita.
Jika terjadi infeksi diberikan antibiotik.
KEKURANGAN ANTIBODI SELEKTIF
Pada penyakit ini, kadar antibodi total adalah normal, tetapi terdapat kekurangan antibodi jenis tertentu.
Yang paling sering terjadi adalah kekurangan IgA. Kadang kekurangan IgA sifatnya diturunkan, tetapi penyakit ini lebih sering terjadi tanpa penyebab yang jelas.
Penyakit ini juga bisa timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang).
Sebagian besar penderita kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau hanya mengalami gangguan ringan, tetapi penderita lainnya bisa mengalami infeksi pernafasan menahun dan alergi.
Jika diberikan transfusi darah, plasma atau immunoglobulin yang mengandung IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA, yang bisa menyebabkan reaksi alergi yang hebat ketika mereka menerima plasma atau immunoglobulin berikutnya.
Biasanya tidak ada pengobatan untuk kekurangan IgA.
Antibiotik diberikan pada mereka yang mengalami infeksi berulang.
PENYAKIT IMMUNODEFISIENSI GABUNGAN YANG BERAT
Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat merupakan penyakit immunodefisiensi yang paling serius.
Terjadi kekurangan limfosit B dan antibodi, disertai kekurangan atau tidak berfungsinya limfosit T, sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi secara adekuat.
Sebagian besar bayi akan mengalami pneumonia dan thrush (infeksi jamur di mulut); diare biasanya baru muncul pada usia 3 bulan.
Bisa juga terjadi infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia pneumokistik.
Jika tidak diobati, biasanya anak akan meninggal pada usia 2 tahun. Antibiotik dan immunoglobulin bisa membantu, tetapi tidak menyembuhkan.
Pengobatan terbaik adalah pencangkokan sumsum tulang atau darah dari tali pusar.
SINDROMA WISKOTT-ALDRICH
Sindroma Wiskott-Aldrich hanya menyerang anak laki-laki dan menyebabkan eksim, penurunan jumlah trombosit serta kekurangan limfosit T dan limfosit B yang menyebabkan terjadinya infeksi berulang.
Akibat rendahnya jumlah trombosit, maka gejala pertamanya bisa berupa kelainan perdarahan (misalnya diare berdarah).
Kekurangan limfosit T dan limfosit B menyebabkan anak rentan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur. Sering terjadi infeksi saluran pernafasan.
Anak yang bertahan sampai usia 10 tahun, kemungkinan akan menderita kanker (misalnya limfoma dan leukemia).
Pengangkatan limpa seringkali bisa mengatasi masalah perdarahan, karena penderita memiliki jumlah trombosit yang sedikit dan trombosit dihancurkan di dalam limpa.
Antibiotik dan infus immunoglobulin bisa membantu penderita, tetapi pengobatan terbaik adalah dengan pencangkokan sumsum tulang.
ATAKSIA-TELANGIEKTASIA
Ataksia-telangiektasia adalah suatu penyakit keturunan yang menyerang sistem kekebalan dan sistem saraf.
Kelainan pada serebelum (bagian otak yang mengendalikan koordinasi) menyebabkan pergerakan yang tidak terkoordinasi (ataksia).
Kelainan pergerakan biasanya timbul ketika anak sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru muncul pada usia 4 tahun.
Anak tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-ototnya lemah dan kadang terjadi keterbelakangan mental.
Telangiektasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler (pembuluh darah yang sangat kecil) di kulit dan mata.
Telangiektasi terjadi pada usia 1-6 tahun, biasanya paling jelas terlihat di mata, telinga, bagian pinggir hidung dan lengan.
Sering terjadi pneumonia, infeksi bronkus dan infeksi sinus yang bisa menyebakan kelainan paru-paru menahun.
Kelainan pada sistem endokrin bisa menyebabkan ukuran buah zakar yang kecil, kemandulan dan diabetes.
Banyak anak-anak yang menderita kanker, terutama leukemia, kanker otak dan kanker lambung.
Antibiotik dan suntikan atau infus immunoglobulin bisa membantu mencegah infeksi tetapi tidak dapat mengatasi kelaianan saraf.
Ataksia-telangiektasia biasanya berkembang menjadi kelemahan otot yang semakin memburuk, kelumpuhan, demensia dan kematian.
SINDROMA HIPER-IgE
Sindroma hiper-IgE (sindroma Job-Buckley) adalah suatu penyakit immunodefisiensi yang ditandai dengan sangat tingginya kadar antibodi IgE dan infeksi bakteri stafilokokus berulang.
Infeksi bisa menyerang kulit, paru-paru, sendi atau organ lainnya.
Banyak penderita yang memiliki tulang yang lemah sehingga sering mengalami patah tulang.
Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala alergi, seperti eksim, hidung tersumbat dan asma.
Antibiotik diberikan secara terus menerus atau ketika terjadi infeksi stafilokokus.
Sebagai tindakan pencegahan diberikan antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol.
PENYAKIT GRANULOMATOSA KRONIS
Penyakit granulomatosa kronis kebanyakan menyerang anak laki-laki dan terjadi akibat kelainan pada sel-sel darah putih yang menyebabkan terganggunya kemampuan mereka untuk membunuh bakteri dan jamur tertentu.
Sel darah putih tidak menghasilkan hidrogen peroksida, superoksida dan zat kimia lainnya yang membantu melawan infeksi.
Gejala biasanya muncul pada masa kanak-kanak awal, tetapi bisa juga baru timbul pada usia belasan tahun.
Infeksi kronis terjadi pada kulit, paru-paru, kelenjar getah bening, mulut, hidung dan usus.
Di sekitar anus, di dalam tulan dan otak bisa terjadi abses.
Kelenjar getah bening cenderung membesar dan mengering. Hati dan limpa membesar.
Pertumbuhan anak menjadi lambat.
Antibiotik bisa membantu mencegah terjadinya infeksi.
Suntikan gamma interferon setiap minggu bisa menurunkan kejadian infeksi.
Pada beberapa kasus, pencangkokan sumsum tulang berhasi menyembuhkan penyakit ini.
HIPOGAMMAGLOBULIN SEMENTARA PADA BAYI
Pada penyakit ini, bayi memiliki kadar antibodi yang rendah, yang mulai terjadi pada usia 3-6 bulan. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang lahir prematur karena selama dalam kandungan, mereka menerima antibodi ibunya dalam jumlah yang lebih sedikit.
Penyakit ini tidak diturunkan, dan menyerang anak laki-laki dan anak perempuan.
Biasanya hanya berlangsung selama 6-18 bulan.
Sebagian bayi mampu membuat antibodi dan tidak memiliki masalah dengan infeksi, sehingga tidak diperlukan pengobatan.
Beberapa bayi (terutama bayi prematur) sering mengalami infeksi.
Pemberian immunoglobulin sangat efektif untuk mencegah dan membantu mengobati infeksi. Biasanya diberikan selama 3-6 bulan.
Jika perlu, bisa diberikan antibiotik.
ANOMALI DiGEORGE
Anomali DiGeorge terjadi akibat adanya kelainan pada perkembangan janin.
Keadaan ini tidak diturunkan dan bisa menyerang anak laki-laki maupun anak perempuan.
Anak-anak tidak memiliki kelenjar thymus, yang merupakan kelenjar yang penting untuk perkembangan limfosit T yang normal. Tanpa limfosit T, penderita tidak dapat melawan infeksi dengan baik. Segera setelah lahir, akan terjadi infeksi berulang. Beratnya gangguan kekebalan sangat bervariasi. Kadang kelainannya bersifat parsial dan fungsi limfosit T akan membaik dengan sendirinya.
Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak biasa (telinganya lebih renadh, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta jarak antara kedua matanya lebih lebar). Penderita juga tidak memiliki kelenjar paratiroid, sehingga kadar kalium darahnya rendah dan segera setelah lahir seringkali mengalami kejang.
Jika keadaannya sangat berat, dilakukan pencangkokan sumsum tulang.
Bisa juga dilakukan pencangkokan kelenjar thymus dari janin atau bayi baru lahir (janin yang mengalami keguguran).
Kadang kelainan jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan sehingga perlu dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal jantung yang berat dan kematian. Juga dilakukan tindakan untuk mengatasi rendahnya kadar kalsium dalam darah.
KANDIDIASIS MUKOKUTANEUS KRONIS
Kandidiasi mukokutaneus kronis terjadi akibat buruknya fungsi sel darah putih, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur Candida yang menetap pada bayi atau dewasa muda. Jamur bisa menyebabkan infeksi mulut (thrush), infeksi pada kulit kepala, kulit dan kuku. Penyakit ini agak lebih sering ditemukan pada anak perempuan dan beratnya bervariasi.
Beberapa penderita mengalami hepatitis dan penyakit paru-paru menahun. Penderita lainnya memiliki kelainan endokrin (seperti hipoparatiroidisme).
Infeksi internal oleh Candida jarang terjadi.
Biasanya infeksi bisa diobati dengan obat anti-jamur nistatin atau klotrimazol.
Infeksi yang lebih berat memerlukan obat anti-jamur yang lebih kuat (misalnya ketokonazol per-oral atau amfoterisin B intravena).
Kadang dilakukan pencangkokan sumsum tulang.
PENYEBAB
Immunodefisiensi bisa timbul sejak seseorang dilahirkan (immunodefisiensi kongenital) atau bisa muncul di kemudian hari.
Immunodefisiensi kongenital biasanya diturunkan. Terdapat lebih dari 70 macam penyakit immunodefisiensi yang sifatnya diturunkan (herediter).
Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun; pada penyakit lainnya, jumlah sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan. Pada sebagian penyakit lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi komponen sistem kekebalan lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi yang didapat biasanya terjadi akibat suatu penyakit. Immunodefisiensi yang didapat lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan, sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur.
Berbagai keadaan bisa mempengaruhi sistem kekebalan.
Pada kenyataannya, hampir setiap penyakit serius menahun menyebabkan gangguan pada sistem kekebalan.
Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami immunodefisiensi. Limpa tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme infeksius lainnya yang masuk ke dalam peredaran darah, tetapi juga merupakan salah satu tempat pembentukan antibodi.
Jika limpa diangkat atau mengalami kerusakan akibat penyakit (misalnya penyakit sel sabit), maka bisa terjadi gangguan sistem kekebalan.
Jika tidak memiliki limpa, seseorang (terutama bayi) akan sangat peka terhadai infeksi bakteri tertentu (misalnya Haemophilus influenzae, Escherichia coli dan Streptococcus). Selain vaksin yang biasa diberikan kepada anak-anak, seorang anak yang tidak memiliki limpa harus mendapatkan vaksin pneumokokus dan meningokokus.
Anak kecil yang tidak memiliki limpa harus terus menerus mengkonsumsi antibiotik selama 5 tahun pertama. Semua orang yang tidak memiliki limpa, harus segera mengkonsumsi antibiotik begitu ada demam sebagai pertanda awal infeksi.
Malnutrisi (kurang gizi) juga bisa secara serius menyebabkan gangguan sistem kekebalan.
Jika malnutrisi menyebabkan berat badan kurang dari 80% berat badan ideal, maka biasanya akan terjadi gangguan sistem kekebalan yang ringan.
Jika berat badan turun sampai kurang dari 70% berat badan ideal, maka biasanya terjadi gangguan sistem kekebalan yang berat.
Infeksi (yang sering terjadi pada penderita kelainan sistem kekebalan) akan mengurangi nafsu makand an meningkatkan kebutuhan metabolisme tubuh, sehingga semakin memperburuk keadaan malnutrisi.
Beratnya gangguan sistem kekebalan tergantung kepada beratnya dan lamanya malnutrisi dan ada atau tidak adanya penyakit. Jika malnutrisi berhasil diatasi, maka sistem kekebalan segera akan kembali normal.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme
- Diabetes
- Sindroma Down
- Gagal ginjal
- Malnutrisi
- Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
- Kemoterapi kanker
- Kortikosteroid
- Obat immunosupresan
- Terapi penyinaran
3. Infeksi
- Cacar air
- Infeksi sitomegalovirus
- Campak Jerman (rubella kongenital)
- Infeksi HIV (AIDS)
- Mononukleosis infeksiosa
- Campak
- Infeksi bakteri yang berat
- Infeksi jamur yang berat
- Tuberkulosis yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
- Agranulositosis
- Semua jenis kanker
- Anemia aplastik
- Histiositosis
- Leukemia
- Limfoma
- Mielofibrosis
- Mieloma
5. Pembedahan dan trauma
- Luka bakar
- Pengangkatan limpa
6. Lain-lain
- Sirosis karena alkohol
- Hepatitis kronis
- Penuaan yang normal
- Sarkoidosis
- Lupus eritematosus sistemik.
GEJALA
Sebagian besar bayi yang sehat mengalami infeksi saluran pernafasan sebanyak 6 kali atau lebih dalam 1 tahun, terutama jika tertular oleh anak lain.
Sebaliknya, bayi dengan gangguan sistem kekebalan, biasanya menderita infeksi bakteri berat yang menetap, berulang atau menyebabkan komplikasi. Misalnya infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan bronkitis kronis yang biasanya terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan. Bronkitis bisa berkembang menjadi pneumonia
Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin sangat peka terhadap infeksi.
Thrush (suatu infeksi jamur di mulut) disertai luka di mulut dan peradangan gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya gangguan sistem kekebalan.
Peradangan mata (konjungtivitis), rambut rontok, eksim yang berat dan pelebaran kapiler dibawah kulit juga merupakan pertanda dari penyakit immunodefisiensi.
Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare, pembentukan gas yang berlebihan dan penurunan berat badan.
DIAGNOSA
Infeksi yang menetap atau berulang, atau infeksi berat oleh mikroorganisme yang biasanya tidak menyebabkan infeksi berat, bisa merupakan petunjuk adanya penyakit immunodefisiensi.
Petunjuk lainnya adalah:
• Respon yang buruk terhadap pengobatan
• Pemulihan yang tertunda atau pemulihan tidak sempurna
• Adanya jenis kanker tertentu
• Infeksi oportunistik (misalnya infeksi Pneumocystis carinii yang tersebar luas atau infeksi jamur berulang).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui:
- jumlah sel darah putih
- kadar antibodi/immunoglobulin
- jumlah limfosit T
- kadar komplemen.
PENGOBATAN
Jika ditemukan pertanda awal infeksi, segera diberikan antibiotik.
Kepada penderita sindroma Wiskott-Aldrich dan penderita yang tidak memiliki limpa diberikan antibiotik sebagai tindakan pencegahan sebelum terjadinya infeksi.
Untuk mencegah pneumonia seringkali digunakan trimetoprim-sulfametoksazol.
Obat-obat untuk meningkatkan sistem kekebalan (contohnya levamisol, inosipleks dan hormon thymus) belum berhasil mengobati penderita yang sel darah putihnya sedikit atau fungsinya tidak optimal.
Peningkatan kadar antibodi dapat dilakukan dengan suntikan atau infus immun globulin, yang biasanya dilakukan setiap bulan.
Untuk mengobati penyakit granulomatosa kronis diberikan suntikan gamma interferon.
Prosedur yang masih bersifat eksperimental, yaitu pencangkokan sel-sel thymus dan sel-sel lemak hati janin, kadang membantu penderita anomali DiGeorge.
Pada penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat yang disertai kekurangan adenosin deaminase, kadang dilakukan terapi sulih enzim.
Jika ditemukan kelainan genetik, maka terapi genetik memberikan hasil yang menjanjikan.
Pencangkokan sumsum tulan gkadang bisa mengatasi kelainan sistem kekebalan kongenital yang berat. Prosedur ini biasanya hanya dilakukan pada penyakit yang paling berat, seperti penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat.
Kepada penderita yang memiliki kelainan sel darah putih tidak dilakukan transfusi darah kecuali jika darah donor sebelumnya telah disinar, karena sel darah putih di dalam darah donor bisa menyerang darah penderita sehingga terjadi penyakit serius yang bisa berakibat fatal (penyakit graft-versus-host).
PENCEGAHAN
Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit immunodefisiensi:
• Mempertahankan gizi yang baik
• Memelihara kebersihan badan
• Menghindari makanan yang kurang matang
• Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
• Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
• Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
• Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.
Kepada penderita yang mengalami kekurangan limfosit B atau limfosit T hanya diberikan vaksin virus dan bakteri yang telah dimatikan (misalnya vaksin polio, MMR dan BCG).
Jika diketahui ada anggota keluarga yang membawa gen penyakit immunodefisiensi, sebaiknya melakukan konseling agar anaknya tidak menderita penyakit ini.
Beberapa penyakit immunodefisiensi yang bisa didiagnosis pda janin dengan melakukan pemeriksaaan pada contoh darah janin atau cairan ketuban:
- Agammaglobulinemia
- Sindroma Wiskott-Aldrich
- Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat
- Penyakit granulomatosa kronis.
Pada kebanyakan penyakit ini , orang tua atau saudara kandungnya dapat menjalani pemeriksaan untuk menentukan apakah mereka membawa gen dari penyakit ini.
Kesimpulan
Penurunan imunitas akibat defisiensi nutrisi berkaitan dengan in take protein yang tidak sesuai dengan kebutuha. Protei yang berguna untuk membantu penyembuhan luka / pembentukan limposit tidak mencukupi, sehingga kerja limposit itu sendiri tidak optimal
IMUNITAS adalah mengacu pada respons protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing atau mikroorganisme yang menginvasinya.
Imunopatologi berarti ilmu tentang penyakit yang terjadi akibat disfungsi dalam sistem imun.
struktur sistem imun
KONSEP UMUM SISTEM IMUNITAS
1. Struktur dan fungsi sistem imun
Pada hakekatnya sistem imunitas terbentuk dari :
Sel-sel darah putih
Sumsum tulang
Jaringan limfoid yang mencakup
kelenjar timus,
kelenjar limfe,
lien,
tonsil serta
adenoid,
Di antara sel2 darah putih yang terlibat dalam imunitas terdapat limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T). Kedua jenis sel ini berasal dari limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang.
Limfosit B mencapai maturitasnya dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah.
Limfosit T bergerak dari sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel2 tersebut mencapai maturitasnya menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi yang berbeda.
Struktur lainnya adalah kelenjar limfe, lien, tonsil, dan adenoid.
Kelenjar limfe yang tersebar di seluruh tubuh
menyingkirkan benda asing dari sistem limfe sebelum benda asing tersebut memasuki aliran darah dan
juga berfungsi sebagai pusat untuk proliferasi sel imun
Lien yang tersusun dari pulpa rubra dan alba bekerja seperti saringan
Tonsil dan adenoid serta jaringan limfatik mukoid lainnya, mempertahankan tubuh terhadap serangan mikroorganisme.
ISTILAH2 DALAM IMUNITAS
Kelainan yg b/d autoimunitas adl penyakit di mana respons imun protektif yang normal sec. paradoksal berbalik melawan atau menyerang tubuh sendiri sehingga terjadi kerusakan jaringan. Cthnya : penyakit SLE, Addison.
Kelainan yg b/d hipersensitivitas adl keadaan di mana tubuh mproduksi respons yg tdk tepat atau yg berlebihan thdp antigen spesifik. Cthnya : asma.
Kelainan yg b/d imunodefisiensi dpt dikategorikan sebagai kelainan primer dimana defisiensi terjadi akibat perkembangan jaringan atau sel2 imun yang tdk tepat & umumnya bersifat genetik atau kelainan sekunder di mana defisiensi terjadi akibat gangguan pada sistem imun yg sudah berkembang. Cthnya : AIDS.
Gambar Sistem Imun
2. TIPE / JENIS SISTEM IMUN
Ada 2 tipe umum imunitas, yaitu :
Imunitas alami (natural) → merupakan kekebalan non spesifik sudah ditemukan pada saat lahir.
Imunitas didapat (akuisita)→ terbentuk sesudah lahir.
Namun berbagai komponen biasanya bekerja dengan cara yang saling tergantung satu sama lain.
IMUNITAS ALAMI ( NON SPESIFIK)
Imunitas alami akan memberikan respon nonspesifik terhadap setiap penyerang asing tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut.
Mekanisme alami mencakup sawar (barier) fisik dan kimia, kerja sel2 darah putih dan respon inflamasi.
Sawar fisik mencakup kulit serta membran mukosa yang utuh sehingga mikroorganisme patogen dapat dicegah agar tidak masuk dalam tubuh.
Sambungan imunitas alami
Silia pada traktus respiratorius bersama respon batuk serta bersin yang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran napas atas dari mikroorganisme patogen sblm mikroorganisme dapat menginvasi tubuh lebih lanjut.
Sawar kimia seperti getah lambung yang asam, enzim, dalam air mata serta air liur (saliva) dan substansi dalam sekret kelenjar sebasea serta lakrimalis, bekerja dengan cara non spesifik untuk menghancurkan bakteri dan jamur.
Sambungan
Granulosit akan memerangi serbuan benda asing at toksin dgn melepaskan mediator sel, spt histamin, bradikinin serta prostaglandin.
IMUNITAS DIDAPAT ( SPESIFIK)
Imunitas yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respon imun yang tidak dijumpai pada saat lahir tetapi akan diperoleh kmdn dalam hidup seseorang.
Biasanya terjadi stlh seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat protektif.
Limfosit B berperan dlm sistem imun spesifik humoral. Bila sel B dirangsang benda asing, sel akan bproliferasi & bdeferensiasi mjd sel plasma yg dpt mbtk antibodi.
Sambungan Imunitas Didapat
Imunitas didapat ada 2 tipe yaitu aktif dan pasif.
Imunitas didapat yang aktif, pertahanan imunologi akan dibentuk oleh tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini umumnya berlangsung selama bertahun2 atau bahkan seumur hidup.
Imunitas didapat yang pasif, merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber lain yang sudah dimiliki kekebalan setelah menderita sakit atau menjalani imunisasi.
PERTAHANAN SISTEM IMUN
Ketika tubuh diserang atau diinvasi oleh bakteri atau virus atau mikroorganisme patogen lainnya.
Ada 3 macam cara yang dilakukan untuk mempertahankan dirinya sendiri yaitu :
Respon imun fagositik
Respon imun humoral atau antibodi
Dan respon imun seluler
a. Respon imun fagositik
Garis pertama pertahanan yang berupa respon imun fagositik meliputi sel2 darah putih (granulosit dan makrofag) yang dapat memakan partikel2 asing.
Sel-sel ini akan bergerak ke tempat serangan dan kemudian menelan serta menghancurkan mikroorganisme penyerang tersebut.
b. Respon imun humoral
Respon protektif yang kedua, yaitu respon imun humoral ( respon antibodi ), mulai bekerja dengan terbentuknya limfosit yang dapat mengubah dirinya menjadi sel2 plasma yang menghasilkan antibodi.
Antibodi ini merupakan protein yang sangat spesifik diangkut dalam aliran darah dan memiliki kemampuan untuk melumpuhkan penyerangnya.
c. Respon imun seluler
Mekanisme pertahanan yang ketiga, yaitu respon imun seluler, juga melibatkan limfosit yang di samping mengubah dirinya menjadi sel plasma, juga dapat berubah menjadi sel-sel T sitotoksik khususnya yang dapat menyerang mikroorganisme patogen itu sendiri.
Antigen adalah bagian dari mikroorganisme penyerang atau penginvasi yang menstimulasi pembentukan antibodi.
STADIUM RESPON IMUN
Ada 4 stadium yang batasnya jelas dalam suatu respon imun, yaitu :
Stadium pengenalan
Proliferasi
Respon
Efektor
1. Stadium pengenalan
Dasar setiap reaksi imun adalah pengenalan (recognition). Stadium ini merupakan kemampuan dari sistem imunitas untuk mengenali antigen sebagai unsur yang asing atau bukan bagian dari dirinya sendiri dgn dmkn merupakan kejadian pendahulu dalam setiap reaksi imun.
Pertama2 tubuh harus mengenali penyerang sebagai unsur asing sebelum dapat beraksi thdp penyerang tsbt.
Sambungan stadium pengenalan
Tubuh akan melaksanakan tugas pengenalan (recognition) dengan menggunakan nodus limfatikus dan limfosit sebagai pengawas (surveilans).
Secara terus menerus nodus limfatikus akan melepaskan limfosit berukuran kecil ke dalam aliran darah. Limfosit ini akan berpatroli untuk mengawasi jaringan dan pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe dari daerah2 yang dilayani oleh nodus limfatikus. Pada dasarnya nodus limfatikus dan limfosit membentuk sistem kekebalan.
2. Stadium proliferasi( memperbanyak diri)
Limfosit yang beredar dan mengandung pesan antigenik akan kembali ke nodus limfatikus terdekat. Begitu berada dalam nodus limfatikus, limfosit yang sudah disensitisasi akan menstimulasi sebagian limfosit non aktif (dormant) yang menghuni nodus tersebut untuk membesar, membelah diri, mengadakan proliferasi dan berdiferensiasi menjadi limfosit T atau B.
Pembesaran nodus limfatikus dalam leher yang menyertai sakit leher merupakan salah satu contoh dari respon imun.
3. Stadium respon
Limfosit yang sudah berubah akan berfungsi dengan cara humoral dan seluler.
Respon humoral inisial.
Produksi antibodi oleh limfosit B. Humoral mengacu kepada kenyataan bahwa antibodi dilepas ke dalam aliran darah dan dengan demikian akan berdiam di dalam plasma atau fraksi darah yang berupa cairan.
sambungan
Respon seluler inisial
Limfosit yang sudah disensitisasi dan kembali ke nodus limfatikus akan bermigrasi ke daerah nodus limfatikus, tempat sel2 tersebut menstimulasi limfosit yang berada dalam nodus ini untuk menjadi sel2 yang akan menyerang langsung mikroba dan bukan menyerangnya lewat kerja antibodi.
Limfosit yang sudah ditransformasikan ini dikenal sebagai sel2 T sitotoksik.
4. Stadium efektor
Dlm stadium efektor, antibodi dari respon humoral atau sel T sitotoksik dari respon seluler akan menjangkau antigen dan terangkai dengan antigen tersebut pada permukaan objek yang asing.
Perangkaian ini memulai st seri kejadian yg pada sebagian bsr kasus akan mengakibatkan penghancuran mikroba yang menginvasi tubuh atau netralisasi toksin secara total.
Kejadian tsbt meliputi interaksi antibodi (imunitas humoral), komplemen, dan kerja sel2 T sitotoksik (imunitas seluler).
ANTIGEN
ANTIGEN adl suatu substansi yg mempunyai kemampuan merangsang respon imun.
ANTIGEN ( Imunogen) adl bagian dr mikoorganisme penyerang at penginvasi yg mstimulasi pembentukan antibodi.
ANTIBODI
PRODUKSI
Limfosit B, yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi menjadi ribuan klon yang masing2 bersifat responsif terhadap suatu kelompok tunggal antigen dengan karakteristik yang hampir identik.
Pesan antigenik yang dibawa kembali ke nodus limfatikus akan menstimulasi klon spesifik limfosit B untuk membesar, membelah diri, memperbanyak diri (berproliferasi), dan berdeferensiasi menjadi sel2 plasma yang dapat memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut.
STRUKTUR ANTIBODI
Antibodi merupakan protein besar yg dinamakan imunoglobulin krn ditemukan dlm fraksi globulin pd protein plasma.
Setiap molekul antibodi terdiri atas 2 subunit yg masing2 mengandung rantai peptida ringan & berat.
Subunit tsbt disatukan oleh suatu hubungan kimia yg tersusun dari ikatan disulfida.
Tempat ini dinamakan fragmen Fab merupakan bagian "gembok"(lock)"yg sangat spesifik u/ suatu antigen.
Fragmen Fc memungkinkan molekul antibodi u/ mengambil bagian dalam sistem komplemen.
IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin secara umum beri simbol Ig.
Tubuh dapat memproduksi lima tipe imunoglobulin yang berbeda yaitu :
Ig A
Ig D
Ig E
Ig G
Dan Ig M
Ig G (75% dari Total Imunoglobulin)
Terdapat dalam serum dan jaringan (cairan interstisial).
Memiliki peranan utama dalam infeksi yang dibawa darah dan infeksi jaringan.
Mengaktifkan sistem komplemen (menetralisir toksin)
Menggalakkan fogositosis.
Memintas plasenta.
Ig A (15% dari Total Imunoglobuliun)
Terdapat dalam cairan tubuh (darah, saliva, air mata, air susu ibu, dan sekret paru, gastrointestinal prostat serta vagina).
Melindungi terhadap infeksi paru, gastrointestinal dan urogenital.
Mencegah absobsi antigen dari makanan.
Melintas ke dalam neonatus lewat air susu ibu untuk memberikan perlindungan.
Ig M (10% dari total Imunoglobulin)
Terutama terdapat dalam serum intravaskuler.
Imunoglobulin pertama yang dihasilkan sebagai reaksi terhadap infeksi bakteri dan virus.
Mengaktifkan sistem komplemen.
Ig D (0,2% dari Total Imunoglobulin)
Terdapat dengan jumlah yang kecil dalam serum.
Fungsinya bekerja sbgi reseptor antigen pd permukaan limfosit.
Ig E (0,004 dari Total Imunoglobulin)
Terdapat dalam serum
Mengambil bagian dalam reaksi alergi dan hipersensitifitas
Kemungkinan membantu pertahanan tubuh terhadap parasit.
FUNGSI ANTIBODI
Antibodi mempertahankan tubuh terhadap berbagai penyerang (invader) melalui beberapa cara.
Antibodi juga turut meningkatkan pelepasan substansi vasoaktif, seperti histamin dan slow-reacting substance(SRS). Kedua substansi ini merupakan mediator kimia dalam respons inflamasi.
Antibodi juga terlibat dalam proses pengaktifan sistem komplemen.
PENGIKATAN ANTIGEN-ANTIBODI
Bagian antigen yang terlibat dalam proses pengikatan dengan antibodi disebut determinan antigen.
Reaksi imunologi yg paling efisien akan terjadi bila antibodi dan antigen memiliki kecocokan yang tepat.
Ketidakcocokan antigen dan antibodi dikenal sebagai reaktivitas-silang.
Limfosit yang Terlibat dalam Respon Imun
Faktor2 yg mempengaruhi fungsi sistem imun
Usia
Jenis kelamin
Nutrisi
Penyakit Kanker
Kelainan organ lain
Faktor2 psikoneuro-imunologik
Obat2n
Radiasi
Penyakit Immunodefisiensi
DEFINISI
Penyakit Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak maupun dewasa), serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka kemungkinan masalahnya terletak pada sistem kekebalan.
Gangguan pada sistem kekebalan juga menyebabkan kanker atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang tidak biasa.
DEFISIENSI NUTRISI
Defisiensi nutrisi dapat terjadi karena :
1. Kurangnya asupan makanan.
2. Adanya kegagalan penyerapan dan metabolisme.
3. Makin banyaknya ekskresi.
Pasien yang rentan terhadap defisiensi nutrisi adalah orangtua yang menjalankan diet ketat dan pecandu alkohol yang menjalankan diet tidak berimbang, serta sindrom malabsorpsi.
DEFISIENSI VITAMIN A
Pada tikus defisiensi vitamin A menyebabkan sel-sel kolumnar menjadi tipe squamosa dan berkeratinisasi, sel-sel sekretori kelenjar saliva juga menjadi sel squamosa dan berkeratinisasi. Tapi tidak ada bukti bahwa defisiensi vitamin A pada manusia menyebabkan perubahan besar.
DEFISIENSI RIBOFLAVIN
Pada beberapa kasus terdapat stomatitis angularis berupa fissur merah pada sudut mulut, sakit, dan membran mukosa berwarna merah mengkilap. Lidah biasanya sakit. Pengobatan dengan pemberian riboflavin 5 mg 3 kali sehari
DEFISIENSI NICOTINAMIDE (PELLAGRA)
Penderita akan kehilangan nafsu makan diikuti oleh glossitis atau stomatitis dan dermatitis. Bagian ujung dan lateral margin lidah menjadi merah. Bagian dorsum lidah dilapisi bulu keabu-abuan. Gingival margin menjadi merah, bengkak dan memborok.
DEFISIENSI VITAMIN C
Penyakit yang terjadi adalah Scurvy. Dampak utama adalah dermatitis dan purpura, pada kasus berat anemia penyembuhan yang lambat pada luka dn gusi yng bengkak berdarah juga dapat terjadi.
DEFISIENSI VITAMIN D
Pada masa pertumbuhan tulang akan menyebabkan penyakit ricket. Faktor penyebab adalah kurangnya cahaya matahari, makanan berkabohidrat tinggi dan kemungkinan penggunaan tepung yang terlalu banyak menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium.
ANOREXIA NERVOSA DAN BULLIMIA
Anorexia nervosa adalah penolakan terhadap makanan secara tegas dan terus menerus yang berakibat pada tubuh kurus bahkan kematian. Bullimia adalah keadaan dimana seseorang setelah makan dimuntahkan kembali. Akibatnya adalah terjadinya sialadenitis dn erosi gig akibat muntah yang dipaksakan.
Penyakit imunodefisiensi kongenital
1. Penyakit dimana terdapat kadar antibodi yang rendah
- Common variable immunodeficiency
- Kekurangan antibodi selektif (misalnya kekurangan IgA)
- Hipogammaglobulinemia sementara pada bayi
- Agammaglobulinemia X-linked
2. Penyakit dimana terjadi gangguan fungsi sel darah putih
* Kelainan pada limfosit T
- Kandidiasis mukokutaneus kronis
- Anomali DiGeorge
* Kelainan pada limfosit T dan limfosit B
- Ataksia-teleangiektasia
- Penyakit imunodefisiensi gabungan yang berat
- Sindroma Wiskott-Aldrich
- Sindroma limfoproliferatif X-linked
3. Penyakit dimana terjadi kelainan pada fungsi pembunuh dari sel darah putih
- Sindroma Chediak-Higashi
- Penyakit granulomatosa kronis
- Kekurangan leukosit glukosa-6-fosfatas dehidrogenasi
- Kekurangan mieloperoksidase
4. Penyakit dimana terdapat kelainan pergerakan sel darah putih
- Hiperimmunoglobulinemia E
- Kelainan perlekatan leukosit
5. Penyakit dimana terdapat kelainan pada sistem komplemen
- Kekurangan komplemen komponen 3 (C3)
- Kekurangan komplemen komponen 6 (C6)
- Kekurangan komplemen komponen 7 (C7)
- Kekurangan kompleman komponen 8 (C8)
AGAMMAGLOBULINEMIA X-LINKED
Agammaglobulinemia X-linked (agammaglobulinemia Bruton) hanya menyerang anak laki-laki dan merupakan akibat dari penurunan jumlah atau tidak adanya limfosit B serta sangat rendahnya kadar antibodi karena terdapat kelainan pada kromosom X.
Bayi akan menderita infeksi paru-paru, sinus dan tulang, biasanya karena bakteri (misalnya Hemophilus dan Streptococcus) dan bisa terjadi infeksi virus yang tidak biasa di otak.
Tetapi infeksi biasanya baru terjadi setelah usia 6 bulan karena sebelumnya bayi memiliki antibodi perlindungan di dalam darahnya yang berasal dari ibunya.
Jika tidak mendapatkan vaksinasi polio, anak-anak bisa menderita polio. Mereka juga bisa menderita artritis.
Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita agar penderita memiliki antibodi sehingga bisa membantu mencegah infeksi.
Jika terjadi infeksi bakteri diberikan antibiotik.
Anak laki-laki penderita agammaglobulinemia X-linked banyak yang menderita infeksi sinus dan paru-paru menahun dan cenderung menderita kanker.
COMMON VARIABLE IMMUNODEFICIENCY
Immunodefisiensi yang berubah-ubah terjadi pada pria dan wanita pada usia berapapun, tetapi biasanya baru muncul pada usia 10-20 tahun.
Penyakit ini terjadi akibat sangat rendahnya kadar antibodi meskipun jumlah limfosit Bnya normal. Pada beberapa penderita limfosit T berfungsi secara normal, sedangkan pada penderita lainnya tidak.
Sering terjadi penyakit autoimun, seperti penyakit Addison, tiroiditis dan artritis rematoid.
Biasanya terjadi diare dan makanan pada saluran pencernaan tidak diserap dengan baik.
Suntikan atau infus immunoglobulin diberikan selama hidup penderita.
Jika terjadi infeksi diberikan antibiotik.
KEKURANGAN ANTIBODI SELEKTIF
Pada penyakit ini, kadar antibodi total adalah normal, tetapi terdapat kekurangan antibodi jenis tertentu.
Yang paling sering terjadi adalah kekurangan IgA. Kadang kekurangan IgA sifatnya diturunkan, tetapi penyakit ini lebih sering terjadi tanpa penyebab yang jelas.
Penyakit ini juga bisa timbul akibat pemakaian fenitoin (obat anti kejang).
Sebagian besar penderita kekurangan IgA tidak mengalami gangguan atau hanya mengalami gangguan ringan, tetapi penderita lainnya bisa mengalami infeksi pernafasan menahun dan alergi.
Jika diberikan transfusi darah, plasma atau immunoglobulin yang mengandung IgA, beberapa penderita menghasilkan antibodi anti-IgA, yang bisa menyebabkan reaksi alergi yang hebat ketika mereka menerima plasma atau immunoglobulin berikutnya.
Biasanya tidak ada pengobatan untuk kekurangan IgA.
Antibiotik diberikan pada mereka yang mengalami infeksi berulang.
PENYAKIT IMMUNODEFISIENSI GABUNGAN YANG BERAT
Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat merupakan penyakit immunodefisiensi yang paling serius.
Terjadi kekurangan limfosit B dan antibodi, disertai kekurangan atau tidak berfungsinya limfosit T, sehingga penderita tidak mampu melawan infeksi secara adekuat.
Sebagian besar bayi akan mengalami pneumonia dan thrush (infeksi jamur di mulut); diare biasanya baru muncul pada usia 3 bulan.
Bisa juga terjadi infeksi yang lebih serius, seperti pneumonia pneumokistik.
Jika tidak diobati, biasanya anak akan meninggal pada usia 2 tahun. Antibiotik dan immunoglobulin bisa membantu, tetapi tidak menyembuhkan.
Pengobatan terbaik adalah pencangkokan sumsum tulang atau darah dari tali pusar.
SINDROMA WISKOTT-ALDRICH
Sindroma Wiskott-Aldrich hanya menyerang anak laki-laki dan menyebabkan eksim, penurunan jumlah trombosit serta kekurangan limfosit T dan limfosit B yang menyebabkan terjadinya infeksi berulang.
Akibat rendahnya jumlah trombosit, maka gejala pertamanya bisa berupa kelainan perdarahan (misalnya diare berdarah).
Kekurangan limfosit T dan limfosit B menyebabkan anak rentan terhadap infeksi bakteri, virus dan jamur. Sering terjadi infeksi saluran pernafasan.
Anak yang bertahan sampai usia 10 tahun, kemungkinan akan menderita kanker (misalnya limfoma dan leukemia).
Pengangkatan limpa seringkali bisa mengatasi masalah perdarahan, karena penderita memiliki jumlah trombosit yang sedikit dan trombosit dihancurkan di dalam limpa.
Antibiotik dan infus immunoglobulin bisa membantu penderita, tetapi pengobatan terbaik adalah dengan pencangkokan sumsum tulang.
ATAKSIA-TELANGIEKTASIA
Ataksia-telangiektasia adalah suatu penyakit keturunan yang menyerang sistem kekebalan dan sistem saraf.
Kelainan pada serebelum (bagian otak yang mengendalikan koordinasi) menyebabkan pergerakan yang tidak terkoordinasi (ataksia).
Kelainan pergerakan biasanya timbul ketika anak sudah mulai berjalan, tetapi bisa juga baru muncul pada usia 4 tahun.
Anak tidak dapat berbicara dengan jelas, otot-ototnya lemah dan kadang terjadi keterbelakangan mental.
Telangiektasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pelebaran kapiler (pembuluh darah yang sangat kecil) di kulit dan mata.
Telangiektasi terjadi pada usia 1-6 tahun, biasanya paling jelas terlihat di mata, telinga, bagian pinggir hidung dan lengan.
Sering terjadi pneumonia, infeksi bronkus dan infeksi sinus yang bisa menyebakan kelainan paru-paru menahun.
Kelainan pada sistem endokrin bisa menyebabkan ukuran buah zakar yang kecil, kemandulan dan diabetes.
Banyak anak-anak yang menderita kanker, terutama leukemia, kanker otak dan kanker lambung.
Antibiotik dan suntikan atau infus immunoglobulin bisa membantu mencegah infeksi tetapi tidak dapat mengatasi kelaianan saraf.
Ataksia-telangiektasia biasanya berkembang menjadi kelemahan otot yang semakin memburuk, kelumpuhan, demensia dan kematian.
SINDROMA HIPER-IgE
Sindroma hiper-IgE (sindroma Job-Buckley) adalah suatu penyakit immunodefisiensi yang ditandai dengan sangat tingginya kadar antibodi IgE dan infeksi bakteri stafilokokus berulang.
Infeksi bisa menyerang kulit, paru-paru, sendi atau organ lainnya.
Banyak penderita yang memiliki tulang yang lemah sehingga sering mengalami patah tulang.
Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala alergi, seperti eksim, hidung tersumbat dan asma.
Antibiotik diberikan secara terus menerus atau ketika terjadi infeksi stafilokokus.
Sebagai tindakan pencegahan diberikan antibiotik trimetoprim-sulfametoksazol.
PENYAKIT GRANULOMATOSA KRONIS
Penyakit granulomatosa kronis kebanyakan menyerang anak laki-laki dan terjadi akibat kelainan pada sel-sel darah putih yang menyebabkan terganggunya kemampuan mereka untuk membunuh bakteri dan jamur tertentu.
Sel darah putih tidak menghasilkan hidrogen peroksida, superoksida dan zat kimia lainnya yang membantu melawan infeksi.
Gejala biasanya muncul pada masa kanak-kanak awal, tetapi bisa juga baru timbul pada usia belasan tahun.
Infeksi kronis terjadi pada kulit, paru-paru, kelenjar getah bening, mulut, hidung dan usus.
Di sekitar anus, di dalam tulan dan otak bisa terjadi abses.
Kelenjar getah bening cenderung membesar dan mengering. Hati dan limpa membesar.
Pertumbuhan anak menjadi lambat.
Antibiotik bisa membantu mencegah terjadinya infeksi.
Suntikan gamma interferon setiap minggu bisa menurunkan kejadian infeksi.
Pada beberapa kasus, pencangkokan sumsum tulang berhasi menyembuhkan penyakit ini.
HIPOGAMMAGLOBULIN SEMENTARA PADA BAYI
Pada penyakit ini, bayi memiliki kadar antibodi yang rendah, yang mulai terjadi pada usia 3-6 bulan. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang lahir prematur karena selama dalam kandungan, mereka menerima antibodi ibunya dalam jumlah yang lebih sedikit.
Penyakit ini tidak diturunkan, dan menyerang anak laki-laki dan anak perempuan.
Biasanya hanya berlangsung selama 6-18 bulan.
Sebagian bayi mampu membuat antibodi dan tidak memiliki masalah dengan infeksi, sehingga tidak diperlukan pengobatan.
Beberapa bayi (terutama bayi prematur) sering mengalami infeksi.
Pemberian immunoglobulin sangat efektif untuk mencegah dan membantu mengobati infeksi. Biasanya diberikan selama 3-6 bulan.
Jika perlu, bisa diberikan antibiotik.
ANOMALI DiGEORGE
Anomali DiGeorge terjadi akibat adanya kelainan pada perkembangan janin.
Keadaan ini tidak diturunkan dan bisa menyerang anak laki-laki maupun anak perempuan.
Anak-anak tidak memiliki kelenjar thymus, yang merupakan kelenjar yang penting untuk perkembangan limfosit T yang normal. Tanpa limfosit T, penderita tidak dapat melawan infeksi dengan baik. Segera setelah lahir, akan terjadi infeksi berulang. Beratnya gangguan kekebalan sangat bervariasi. Kadang kelainannya bersifat parsial dan fungsi limfosit T akan membaik dengan sendirinya.
Anak-anak memiliki kelainan jantung dan gambaran wajah yang tidak biasa (telinganya lebih renadh, tulang rahangnya kecil dan menonjol serta jarak antara kedua matanya lebih lebar). Penderita juga tidak memiliki kelenjar paratiroid, sehingga kadar kalium darahnya rendah dan segera setelah lahir seringkali mengalami kejang.
Jika keadaannya sangat berat, dilakukan pencangkokan sumsum tulang.
Bisa juga dilakukan pencangkokan kelenjar thymus dari janin atau bayi baru lahir (janin yang mengalami keguguran).
Kadang kelainan jantungnya lebih berat daripada kelainan kekebalan sehingga perlu dilakukan pembedahan jantung untuk mencegah gagal jantung yang berat dan kematian. Juga dilakukan tindakan untuk mengatasi rendahnya kadar kalsium dalam darah.
KANDIDIASIS MUKOKUTANEUS KRONIS
Kandidiasi mukokutaneus kronis terjadi akibat buruknya fungsi sel darah putih, yang menyebabkan terjadinya infeksi jamur Candida yang menetap pada bayi atau dewasa muda. Jamur bisa menyebabkan infeksi mulut (thrush), infeksi pada kulit kepala, kulit dan kuku. Penyakit ini agak lebih sering ditemukan pada anak perempuan dan beratnya bervariasi.
Beberapa penderita mengalami hepatitis dan penyakit paru-paru menahun. Penderita lainnya memiliki kelainan endokrin (seperti hipoparatiroidisme).
Infeksi internal oleh Candida jarang terjadi.
Biasanya infeksi bisa diobati dengan obat anti-jamur nistatin atau klotrimazol.
Infeksi yang lebih berat memerlukan obat anti-jamur yang lebih kuat (misalnya ketokonazol per-oral atau amfoterisin B intravena).
Kadang dilakukan pencangkokan sumsum tulang.
PENYEBAB
Immunodefisiensi bisa timbul sejak seseorang dilahirkan (immunodefisiensi kongenital) atau bisa muncul di kemudian hari.
Immunodefisiensi kongenital biasanya diturunkan. Terdapat lebih dari 70 macam penyakit immunodefisiensi yang sifatnya diturunkan (herediter).
Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun; pada penyakit lainnya, jumlah sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan. Pada sebagian penyakit lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi komponen sistem kekebalan lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi yang didapat biasanya terjadi akibat suatu penyakit. Immunodefisiensi yang didapat lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan, sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur.
Berbagai keadaan bisa mempengaruhi sistem kekebalan.
Pada kenyataannya, hampir setiap penyakit serius menahun menyebabkan gangguan pada sistem kekebalan.
Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami immunodefisiensi. Limpa tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme infeksius lainnya yang masuk ke dalam peredaran darah, tetapi juga merupakan salah satu tempat pembentukan antibodi.
Jika limpa diangkat atau mengalami kerusakan akibat penyakit (misalnya penyakit sel sabit), maka bisa terjadi gangguan sistem kekebalan.
Jika tidak memiliki limpa, seseorang (terutama bayi) akan sangat peka terhadai infeksi bakteri tertentu (misalnya Haemophilus influenzae, Escherichia coli dan Streptococcus). Selain vaksin yang biasa diberikan kepada anak-anak, seorang anak yang tidak memiliki limpa harus mendapatkan vaksin pneumokokus dan meningokokus.
Anak kecil yang tidak memiliki limpa harus terus menerus mengkonsumsi antibiotik selama 5 tahun pertama. Semua orang yang tidak memiliki limpa, harus segera mengkonsumsi antibiotik begitu ada demam sebagai pertanda awal infeksi.
Malnutrisi (kurang gizi) juga bisa secara serius menyebabkan gangguan sistem kekebalan.
Jika malnutrisi menyebabkan berat badan kurang dari 80% berat badan ideal, maka biasanya akan terjadi gangguan sistem kekebalan yang ringan.
Jika berat badan turun sampai kurang dari 70% berat badan ideal, maka biasanya terjadi gangguan sistem kekebalan yang berat.
Infeksi (yang sering terjadi pada penderita kelainan sistem kekebalan) akan mengurangi nafsu makand an meningkatkan kebutuhan metabolisme tubuh, sehingga semakin memperburuk keadaan malnutrisi.
Beratnya gangguan sistem kekebalan tergantung kepada beratnya dan lamanya malnutrisi dan ada atau tidak adanya penyakit. Jika malnutrisi berhasil diatasi, maka sistem kekebalan segera akan kembali normal.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1. Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme
- Diabetes
- Sindroma Down
- Gagal ginjal
- Malnutrisi
- Penyakit sel sabit
2. Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
- Kemoterapi kanker
- Kortikosteroid
- Obat immunosupresan
- Terapi penyinaran
3. Infeksi
- Cacar air
- Infeksi sitomegalovirus
- Campak Jerman (rubella kongenital)
- Infeksi HIV (AIDS)
- Mononukleosis infeksiosa
- Campak
- Infeksi bakteri yang berat
- Infeksi jamur yang berat
- Tuberkulosis yang berat
4. Penyakit darah dan kanker
- Agranulositosis
- Semua jenis kanker
- Anemia aplastik
- Histiositosis
- Leukemia
- Limfoma
- Mielofibrosis
- Mieloma
5. Pembedahan dan trauma
- Luka bakar
- Pengangkatan limpa
6. Lain-lain
- Sirosis karena alkohol
- Hepatitis kronis
- Penuaan yang normal
- Sarkoidosis
- Lupus eritematosus sistemik.
GEJALA
Sebagian besar bayi yang sehat mengalami infeksi saluran pernafasan sebanyak 6 kali atau lebih dalam 1 tahun, terutama jika tertular oleh anak lain.
Sebaliknya, bayi dengan gangguan sistem kekebalan, biasanya menderita infeksi bakteri berat yang menetap, berulang atau menyebabkan komplikasi. Misalnya infeksi sinus, infeksi telinga menahun dan bronkitis kronis yang biasanya terjadi setelah demam dan sakit tenggorokan. Bronkitis bisa berkembang menjadi pneumonia
Kulit dan selaput lendir yang melapisi mulut, mata dan alat kelamin sangat peka terhadap infeksi.
Thrush (suatu infeksi jamur di mulut) disertai luka di mulut dan peradangan gusi, bisa merupakan pertanda awal dari adanya gangguan sistem kekebalan.
Peradangan mata (konjungtivitis), rambut rontok, eksim yang berat dan pelebaran kapiler dibawah kulit juga merupakan pertanda dari penyakit immunodefisiensi.
Infeksi pada saluran pencernaan bisa menyebabkan diare, pembentukan gas yang berlebihan dan penurunan berat badan.
DIAGNOSA
Infeksi yang menetap atau berulang, atau infeksi berat oleh mikroorganisme yang biasanya tidak menyebabkan infeksi berat, bisa merupakan petunjuk adanya penyakit immunodefisiensi.
Petunjuk lainnya adalah:
• Respon yang buruk terhadap pengobatan
• Pemulihan yang tertunda atau pemulihan tidak sempurna
• Adanya jenis kanker tertentu
• Infeksi oportunistik (misalnya infeksi Pneumocystis carinii yang tersebar luas atau infeksi jamur berulang).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui:
- jumlah sel darah putih
- kadar antibodi/immunoglobulin
- jumlah limfosit T
- kadar komplemen.
PENGOBATAN
Jika ditemukan pertanda awal infeksi, segera diberikan antibiotik.
Kepada penderita sindroma Wiskott-Aldrich dan penderita yang tidak memiliki limpa diberikan antibiotik sebagai tindakan pencegahan sebelum terjadinya infeksi.
Untuk mencegah pneumonia seringkali digunakan trimetoprim-sulfametoksazol.
Obat-obat untuk meningkatkan sistem kekebalan (contohnya levamisol, inosipleks dan hormon thymus) belum berhasil mengobati penderita yang sel darah putihnya sedikit atau fungsinya tidak optimal.
Peningkatan kadar antibodi dapat dilakukan dengan suntikan atau infus immun globulin, yang biasanya dilakukan setiap bulan.
Untuk mengobati penyakit granulomatosa kronis diberikan suntikan gamma interferon.
Prosedur yang masih bersifat eksperimental, yaitu pencangkokan sel-sel thymus dan sel-sel lemak hati janin, kadang membantu penderita anomali DiGeorge.
Pada penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat yang disertai kekurangan adenosin deaminase, kadang dilakukan terapi sulih enzim.
Jika ditemukan kelainan genetik, maka terapi genetik memberikan hasil yang menjanjikan.
Pencangkokan sumsum tulan gkadang bisa mengatasi kelainan sistem kekebalan kongenital yang berat. Prosedur ini biasanya hanya dilakukan pada penyakit yang paling berat, seperti penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat.
Kepada penderita yang memiliki kelainan sel darah putih tidak dilakukan transfusi darah kecuali jika darah donor sebelumnya telah disinar, karena sel darah putih di dalam darah donor bisa menyerang darah penderita sehingga terjadi penyakit serius yang bisa berakibat fatal (penyakit graft-versus-host).
PENCEGAHAN
Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit immunodefisiensi:
• Mempertahankan gizi yang baik
• Memelihara kebersihan badan
• Menghindari makanan yang kurang matang
• Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
• Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
• Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
• Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.
Kepada penderita yang mengalami kekurangan limfosit B atau limfosit T hanya diberikan vaksin virus dan bakteri yang telah dimatikan (misalnya vaksin polio, MMR dan BCG).
Jika diketahui ada anggota keluarga yang membawa gen penyakit immunodefisiensi, sebaiknya melakukan konseling agar anaknya tidak menderita penyakit ini.
Beberapa penyakit immunodefisiensi yang bisa didiagnosis pda janin dengan melakukan pemeriksaaan pada contoh darah janin atau cairan ketuban:
- Agammaglobulinemia
- Sindroma Wiskott-Aldrich
- Penyakit immunodefisiensi gabungan yang berat
- Penyakit granulomatosa kronis.
Pada kebanyakan penyakit ini , orang tua atau saudara kandungnya dapat menjalani pemeriksaan untuk menentukan apakah mereka membawa gen dari penyakit ini.
Kesimpulan
Penurunan imunitas akibat defisiensi nutrisi berkaitan dengan in take protein yang tidak sesuai dengan kebutuha. Protei yang berguna untuk membantu penyembuhan luka / pembentukan limposit tidak mencukupi, sehingga kerja limposit itu sendiri tidak optimal
ASKEP SINUSITIS
1 DEFINISI SINUSITIS
Sinusitis adalah suatu keradangan yang terjadi pada sinus. Sinus sendiri adalah rongga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus adalah untuk menjaga kelembapan hidung & menjaga pertukaran udara di daerah hidung. Rongga sinus sendiri terdiri dari 4 jenis, yaitu
a. Sinus Frontal, terletak di atas mata dibagian tengah dari masing-masing alis
b. Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat disamping hidung
c. Sinus Ethmoid, terletak diantara mata, tepat di belakang tulang hidung
d. Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid & dibelakang mata
Didalam rongga sinus terdapat lapisan yang terdiri dari bulu-bulu halus yang disebut dengan cilia. Fungsi dari cilia ini adalah untuk mendorong lendir yang di produksi didalam sinus menuju ke saluran pernafasan. Gerakan cilia mendorong lendir ini berguna untuk membersihkan saluran nafas dari kotoran ataupun organisme yang mungkin ada. Ketika lapisan rongga sinus ini membengkak maka cairan lendir yang ada tidak dapat bergerak keluar & terperangkap di dalam rongga sinus. Jadi sinusitis terjadi karena peradangan didaerah lapisan rongga sinus yang menyebabkan lendir terperangkap di rongga sinus & menjadi tempat tumbuhnya bakteri.
Sinusitis paling sering mngenai sinus maksila (Antrum Highmore), karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
2.2 KLASIFIKASI SINUSITIS
Sinusitis sendiri dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
1. Sinusitis akut : Suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3 minggu.
Macam-macam sinusitis akut : sinusitis maksila akut, sinusitis emtmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut.
2. Sinusitis kronis : Suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3-8 minggu tetapi dapat juga berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
2.3 ETIOLOGI SINUSITIS
Pada Sinusitis Akut, yaitu:
1. Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan Parainfluenza virus).
2. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
3. Infeksi jamur
Infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut pada penderita gangguan sistem kekebalan, contohnya jamur Aspergillus.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung
Pada penderita rhinitis alergi dan juga penderita rhinitis vasomotor.
5. Septum nasi yang bengkok
6. Tonsilitis yg kronik
Pada Sinusitis Kronik, yaitu:
1. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh.
2. Alergi
3. Karies dentis ( gigi geraham atas )
4. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa.
5. Benda asing di hidung dan sinus paranasal
6. Tumor di hidung dan sinus paranasal.
2.4 MANIFESTASI KLINIK
2.4.1 Sinusitis maksila akut
Gejala : Demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung tersumbat, nyeri pada pipi terutama sore hari, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadang-kadang berbau dan bercampur darah.
2.4.2 Sinusitis etmoid akut
Gejala : ingus kental di hidung dan nasafaring, nyeri di antara dua mata, dan pusing.
2.4.3 Sinusitis frontal akut
Gejala : demam,sakit kepala yang hebat pada siang hari,tetapi berkurang setelah sore hari, ingus kental dan penciuman berkurang.
2.4.4 Sinusitis sphenoid akut
Gejala : nyeri di bola mata, sakit kepala, ingus di nasofaring
2.4.5 Sinusitis Kronis
Gejala : pilek yang sering kambuh, ingus kental dan kadang-kadang berbau,selalu terdapat ingus di tenggorok, terdapat gejala di organ lain misalnya rematik, nefritis, bronchitis, bronkiektasis, batuk kering, dan sering demam.
2.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
2.5.1 Rinoskopi anterior
Tampak mukosa konka hiperemis, kavum nasi sempit, dan edema.Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior.
2.5.2 Rinoskopi posterior : Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
2.5.3 Dentogen : Caries gigi (PM1,PM2,M1)
2.5.4 Transiluminasi (diaphanoscopia)
Sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
2.5.5 X Foto sinus paranasalis:
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah Posisi Water’s, Posteroanterior dan Lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
Posisi Water’s adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan Posisi Lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid
2.5.6 Pemeriksaan CT -Scan
Pemeriksaan CT-Scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
2.5.7 Pemeriksaan di setiap sinus
a. Sinusitis maksila akut
Pemeriksaan rongga hidung akan tampak ingus kental yang kadang-kadang dapat terlihat berasal dari meatus medius mukosa hidung. Mukosa hidung tampak membengkak (edema) dan merah (hiperemis). Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat ingus kental di nasofaring.
Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan memasukkan lampu kedalam mulut dan ditekankan ke langit-langit, akan tampak pada sinus maksila yang normal gambar bulan sabit di bawah mata. Pada kelainan sinus maksila gambar bulan sabit itu kurang terang atau tidak tampak. Untuk diagnosis diperlukan foto rontgen. Akan terlihat perselubungan di sinus maksila, dapat sebelah (unilateral), dapat juga kedua belah (bilateral ).
b. Sinusitis etmoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, terdapat ingus kental, mukosa hidung edema dan hiperemis. Foto roentgen, akan terdapat perselubungan di sinus etmoid.
c. Sinusitis frontal akut
Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut mata bagian dalam, akan tampak bentuk sinus frontal di dahi yang terang pada orang normal, dan kurang terang atau gelap pada sinusitis akut atau kronis. Pemeriksaan radiologik, tampak pada foto roentgen daerah sinus frontal berselubung.
d. Sinusitis sfenoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, tampak ingus atau krusta serta foto rontgen.
2.6 PENATALAKSANAAN
2.6.1 Penatalaksanaan Medis
1. Drainage
a. Dengan pemberian obat, yaitu
Dekongestan local : efedrin 1%(dewasa) ½%(anak).
Dekongestan oral sedo efedrin 3 X 60 mg.
b. Surgikal dengan irigasi sinus maksilaris.
2. Pemberian antibiotik dalam 5-7 hari (untuk Sinusitis akut) yaitu :
a. Ampisilin 4 X 500 mg
b. Amoksilin 3 x 500 mg
c. Sulfametaksol=TMP (800/60) 2 x 1tablet
d. Diksisiklin 100 mg/hari.
3. Pemberian obat simtomatik
Contohnya parasetamol., metampiron 3 x 500 mg.
4. Untuk Sinusitis kromis bisa dengan
a. Cabut geraham atas bila penyebab dentogen
b. Irigasi 1 x setiap minggu ( 10-20)
c. Operasi Cadwell Luc bila degenerasi mukosa ireversibel (biopsi).
2.6.2 Penatalaksanaan Pembedahan
Pencucian sinus paranasal :
a. Pada sinus maksila
Dilakukan fungsi sinus maksila, dan dicuci 2 kali seminggu dengan larutan garam fisiologis. Caranya ialah, dengan sebelumnya memasukkan kapas yang telah diteteskan xilokain dan adrenalin ke daerah meatus inferior. Setelah 5 menit, kapas dikeluarkan, lalu dengan trokar ditusuk di bawah konka inferior, ujung trokar diarahkan ke batas luar mata. Setelah tulang dinding sinus maksila bagian medial tembus, maka jarum trokar dicabut, sehingga tinggal pipa selubungnya berada di dalam sinus maksila. Pipa itu dihubungkan dengan semprit yang berisi larutan garam fisiologis, atau dengan balon yang khusus untuk pencucian sinus itu.
Pasien yang telah ditataki plastik di dadanya, diminta untuk membuka mulut. Air cucian sinus akan keluar dari mulut, dan ditampung di tempat bengkok.
Tindakan ini diulang 3 hari kemudian. Karena sudah ada lubang fungsi, maka untuk memasukkan pipa dipakai trokar yang tumpul. Tapi tindakan seperti ini dapat menimbulkan kemungkinan trokar menembus melewati sinus ke jaringan lunak pipi,dasar mata tertusuk karena arah penusukan salah, emboli udara karena setelah menyemprot dengan air disemprotkan udara dengan maksud mengeluarkan seluruh cairn yang telah dimasukkan serta perdarahan karena konka inferior tertusuk. Lubang fungsi ini dapat diperbesar, dengan memotong dinding lateral hidung, atau dengan memakai alat, yaitu busi. Tindakan ini disebut antrostomi, dan dilakukan di kamar bedah, dengan pasien yang diberi anastesi.
b. Pada sinus frontal, etmoid dan sfenoid
Pencucian sinus dilakukan dengan pencucian Proetz. Caranya ialah dengan pasien ditidurkan dengan kepala lebih rendah dari badan. Kedalam hidung diteteskan HCL efedrin 0,5-1,5 %. Pasien harus menyebut “kek-kek” supaya HCL efedrin yang diteteskan tidak masuk ke dalam mulut, tetapi ke dalam rongga yang terletak dibawah ( yaitu sinus paranasal, oleh karena kepala diletakkan ebih rendah dari badan). Ke dalam lubang hidung dimasukkan pipa gelas yang dihubungkan dengan alat pengisap untuk menampung ingus yang terisap dari sinus. Pada pipa gelas itu dibuat lubang yang dapat ditutup dan dibuka dengan ujung jari jempol. Pada waktu lubang ditutup maka akan terisap ingus dari sinus. Pada waktu meneteskan HCL ini, lubang di pipa tidak ditutup. Tindakan pencucian menurut cara ini dilakukan 2 kali seminggu.
Pembedahan, dilakukan :
a. bila setelah dilakukan pencucian sinus 6 kali ingus masih tetap kental.
b. bila foto rontgen sudah tampak penebalan dinding sinus paranasal.
Persiapan sebelum pembedahan perlu dibuat foto ( pemeriksaan) dengan CT scan.
Macam pembedahan sinus paranasal
1. Sinus maksila
a. Antrostomi, yaitu membuat saluran antara rongga hidung dengan sinus maksila di bagian lateral konka inferior. Gunanya ialah untuk mengalirkan nanah dan ingus yang terkumpul di sinus maksila.
Alat yang perlu disiapkan ialah :
- alat fungsi sinus maksila
- semprit untuk mencuci
- pahat untuk memotong dinding lateral hidung
- alat pengisap
- tampon kapas atau kain kasa panjang yang diberi salep
Tindakan dilakukan di kamar besdah, dengan pembiusan ( anastesia ), dan pasien dirawat selama 2 hari.
Perawatan pasca tindakan :
- beri antrostomi dilakukan pada kedua belah sinus maksila, maka kedua belah hidung tersumbat oleh tampon. Olehkarena itu pasien harus bernafas melalui mulut, dan makanan yang diberikan harus lunak.
- tampon diangkat pada hari ketiga, setelah itu, bila tidak terdapat perdarahan, pasien boleh pulang.
b. Operasi Caldwell-Luc
Operasi ini ialah membuka sinus maksila, dengan menembus tulang pipi. Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisis dilakukan di bawah bibir, di bagian superior ( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan diatas tulang pipi diangkat kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di atas cuping hidung, yang disebut fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu dibuka, dengan demikian rongga sinus maksila kelihatan. Dengan cunam pemotong tulang lubang itu diperbesar. Isi sinus maksila dibersihkan. Seringkali akan terdapat jaringan granulasi atau polip di dalam sinus maksila. Setelah sinus bersih dan dicuci dengan larutan bethadine, maka dibuat anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari sinus maksila, maka dimasukkan tampon panjang serta pipa dari plastik, yang ujungnya disalurkan melalui antrostomi ke luar rongga hidung. Kemudian luka insisi dijahit.
Perawatan pasca bedah :
- beri kompres es di pipi, untuk mencegah pembengkakan di pipi pasca-bedah.
- perhatikan keadaan umum : nadi, tensi,suhu
- perhatikan apakah ada perdarahan mengalir ke hidung atau melalui mulut. Apabila terdapat perdarahan, maka dokter harus diberitahu.
- makanan lunak
-tampon dicabut pada hari ketiga.
2. Sinus etmoid
Pembedahan untuk membersihkan sinus etmoid, dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dengan membuat insisi di batas hidung dengan pipi (ekstranasal).
a. Etmoidektomi intranasal
Alat yang diperlukan ialah :
a. spekulum hidung
b. cunam pengangkat polip
c. kuret ( alat pengerok )
d. alat pengisap
e. tampon
Tindakan dilakukan dengan pasien dibius umum ( anastesia). Dapat juga dengan bius lokal (analgesia). Setelah konka media di dorong ke tengah, maka dengan cunam sel etmoid yang terbesar ( bula etmoid ) dibuka. Polip yang ditemukan dikeluarkan sampai bersih. Sekarang tindakan ini dilakukan dengan menggunakan endoskop, seh igga apa yang akan dikerjakan dapat dilihat dengan baik.
Perawatan pasca-bedah yang terpenting ialah memperhatikan kemungkinan perdarahan.
b. Etmoidektomi ekstranasal
Insisi dibuat di sudut mata, pada batas hidung dan mata. Di daerah itu sinus etmoid dibuka, kemudian dibersihkan.
3. Sinus frontal
Pembedahan untuk membuka sinus frontal disebut operasi Killian. Insisi dibuat seperti pada insisi etmoidektomi ekstranasal, tetapi kemudian diteruskan ke atas alis.Tulang frontal dibuka dengan pahat atau bor, kemudian dibersihkan. Salurannya ke hidung diperikasa, dan bila tersumbat, dibersihkan. Setelah rongga sinus frontal bersih, luka insisi dijahit, dan diberi perban-tekan. Perban dibuka setelah seminggu.
Seringkali pembedahan untuk membuka sinus frontal dilakukan bersama dengan sinus etmoid, yang disebut fronto-etmoidektomi.
4. Sinus sfenoid
Pembedahan untuk sinus sfenoid yang aman sekarang ini ialah dengan memakai endoskop. Biasanya bersama dengan pembersihan sinus etmoid dan muara sinus maksila serta muara sinus frontal, yang disebut Bedah Endoskopi Sinus Fungsional.
Bedah endoskopi sinus fungsional ( FESS=functional endoscopic sinus surgery)
Cara pemeriksaan ini ialah dengan mempergunakan endoskop, tanpa melakukan insisis di kulit muka.
Endoskop dimasukkan ke dalam rongga hidung. Karena endoskop ini dihubungkan dengan monitor (seperti televisi), maka dokter juga melakukan pembedahan tidak perlu melihat kedalam endoskop, tetapi cukup dengan melihat monitor.
Dengan bantuan endoskop dapat dibersihkan daerah muara sinus, seperti daerah meatus medius untuk sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal.
Endoskop juga dapat dimasukkan kedalam sinus etmoid anterior dan posterior untuk membuka sel-sel sinus etmoid. Kemudian dapat diteruskan kedalam sinus sfenoid yang terletak dibelakang sinus etmoid apabila di CT scan terdapat kelainan di sinus sfenoid.
Sekitar sinus yang sakit dibersihakan, dilihat juga muara sinus-sinus yang lain. Setelah selesai, rongga hidung di tampoan untuk mencegah perdarahan. Tampon dicabut pada hari ketiga.
2.7 KOMPLIKASI
2.7.1 Kelainan pada Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga.
Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan.
Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita
Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal
Pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita
Pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Thrombosis sinus kavemosus
Akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
2.7.2 Kelainan intracranial
a. Meningitis akut
Salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura
Kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
c. Abses subdural
Kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak
Setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
2.7.3 Osteitis dan Osteomylitis.
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.
2.7.4 Mukokel
Suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
2.7.5 Pyokokel.
Mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
3.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala sinus dan tenggorokan
2. Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh hidung tersumbat, pilek yang sering kambuh, demam, pusing, ingus kental di hidung, nyeri di antara dua mata, penciuman berkurang.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Klien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma.
b. Klien pernah mempunyai riwayat penyakit THT.
c. Klien pernah menderita sakit gigi geraham.
4. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
5. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
a. Intrapersonal : Perasaan yang dirasakan klien ( cemas atau sedih )
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain
6. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup
Contohnya untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung.
c. Pola istirahat dan tidur
Adakah indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena sering flu.
d. Pola persepsi dan konsep diri
Klien sering flu terus menerus dan berbau yang menyebabakan konsep diri menurun.
e. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu kaena hidung buntu akibat flu terus menerus ( baik purulen, serous maupun mukopurulen ).
3.1.3 Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan sinusitis meliputi pemeriksaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
1. Pernafasan B1 (breath)
a. Bentuk dada : normal
b. Pola napas : tidak teratur
c. Suara napas : ronkhi
d. Sesak napas : ya
e. Batuk : tidak
f. Retraksi otot bantu napas ; ya
g. Alat bantu pernapasan : ya (O2 2 lpm)
2. Kardiovaskular B2 (blood)
a. Irama jantung : regular
b. Nyeri dada : tidak
c. Bunyi jantung ; normal
d. Akral : hangat
3. Persyarafan B3 (brain)
a. Penglihatan (mata) : normal
b. Pendengaran (telinga) : tidak ada gangguan
c. Penciuman (hidung) : ada gangguan
d. Kesadaran: gelisah
e. Reflek: normal
4. Perkemihan B4 (bladder)
a. Kebersihan : bersih
b. Bentuk alat kelamin : normal
c. Uretra : normal
d. Produksi urin: normal
5. Pencernaan B5 (bowel)
a. Nafsu makan : menurun
b. Porsi makan : setengah
c. Mulut : bersih
d. Mukosa : lembap
6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
a. Kemampuan pergerakan sendi : bebas
b. Kondisi tubuh: kelelahan
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efetif berhubungan dengan obstruksi / adanya secret yang mengental.
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung.
3. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun sekunder dari peradangan dengan sinus.
5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung tersumbat, nyeri sekunder akibat peradangan hidung.
6. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis ( irigasi sinus / operasi )
3.3 INTERVENSI
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi / adanya secret yang mengental.
Tujuan : bersihan jalan nafas menjadi efektif setelah secret dikeluarkan.
Kriteria hasil :
- Respiratory Rate 16-20x/menit
- Suara napas tambahan tidak ada
- Ronkhi (-)
- Dapat melakukan batuk efektif
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji penumpukan secret yang ada
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Ajarkan batuk efektif
d. Koaborasi nebulizing dengan tim medis untuk pembersihan secret
e. Evaluasi suara napas, karakteristik sekret, kemampuan batuk efektif
a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi.
c. Mengeluarkan sekret di jalan napas
d. Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret.
e. Ronkhi (-) mengindikasikan tidak ada cairan/sekret pada paru, jumlah, konsistensi, warna sekret dikaji untuk tindakan selanjutnya
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung.
Tujuan : Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
- Klien tidak merasa kesakitan.
- Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-4
b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman.
c. Mengajarkan tehnik relaksasi dan metode distraksi
d. Kolaborasi analgesic
e. Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian analgesik untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.
a. Nyeri merupakan respon subjektif yang bisa dikaji menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
b. Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
c. Akan melancarkan peredaran darah, dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan
d. Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang
e. Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun sekunder akibat peradangan dengan sinus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria hasil :
- Antropometri: berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan, lingkar lengan
- Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
- Clinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah
- Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien
b. Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan.
c. Mencatat intake dan output makanan klien.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
e. Manganjurkn makan sedikit- sedikit tapi sering.
f. Menyarankan kebiasaan untuk oral hygine sebelum dan sesudah makan
a. Mengetahui kekurangan nutrisi klien.
b. Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi untuk meningkatkan pemenuhan nutrisi.
c. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien.
d. Ahli gizi adalah spesialisasi dalam ilmu gizi yang membantu klien memilih makanan sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi, berat badannya.
e. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung.
f. Meningkatkan selera makan klien.
4. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
Tujuan : suhu tubuh kembali dalam keadaan normal
Kriteria hasil :
- suhu tubuh 36,5-37,5 C
- kulit hangat dan lembab, membran mukosa lembab
INTERVENSI RASIONAL
a. Monitoring perubahan suhu tubuh
b. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus
c. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan (inflamasi)
d. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar a. Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien.
b. Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
c. Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)
d. Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.
5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung tersumbat, nyeri sekunder akibat peradangan hidung.
Tujuan : Klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman.
Kriteria hasil :
- Klien tidur 6 – 8 jam sehari.
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji kebutuhan tidur klien.
b. Menciptakan suasana yang nyaman.
c. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat atau tidur.
b. Supaya klien dapat tidur dengan nyaman dan tenang.
c. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung
6. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis ( irigasi sinus / operasi ).
Tujuan : Perasaan cemas klien berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien dapat menggambarkan tingkat keemasa dan pola kopingnya.
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang di deritanya serta pengobatannya.
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji tingkat kecemasan klien
b. Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien dengan,
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati ( datang dengan menyentuh klien )
c. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya secara perlahan dan tenang serta menggunakan kalimat yang jelas, singkat dan mudah dimengerti
d. Menjauhkan stimulasi yang berlebihan misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang.
- Batasi kontak dengan orang lain atau klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan
e. Observasi tanda-tanda vital.
f. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis. a. Menentukan tindakan selanjutnya.
b. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan.
c. Meingkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif.
d. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
e. Mengetahui perkembangan klien secara dini.
f. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien.
Sinusitis adalah suatu keradangan yang terjadi pada sinus. Sinus sendiri adalah rongga udara yang terdapat di area wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi dari rongga sinus adalah untuk menjaga kelembapan hidung & menjaga pertukaran udara di daerah hidung. Rongga sinus sendiri terdiri dari 4 jenis, yaitu
a. Sinus Frontal, terletak di atas mata dibagian tengah dari masing-masing alis
b. Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat disamping hidung
c. Sinus Ethmoid, terletak diantara mata, tepat di belakang tulang hidung
d. Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid & dibelakang mata
Didalam rongga sinus terdapat lapisan yang terdiri dari bulu-bulu halus yang disebut dengan cilia. Fungsi dari cilia ini adalah untuk mendorong lendir yang di produksi didalam sinus menuju ke saluran pernafasan. Gerakan cilia mendorong lendir ini berguna untuk membersihkan saluran nafas dari kotoran ataupun organisme yang mungkin ada. Ketika lapisan rongga sinus ini membengkak maka cairan lendir yang ada tidak dapat bergerak keluar & terperangkap di dalam rongga sinus. Jadi sinusitis terjadi karena peradangan didaerah lapisan rongga sinus yang menyebabkan lendir terperangkap di rongga sinus & menjadi tempat tumbuhnya bakteri.
Sinusitis paling sering mngenai sinus maksila (Antrum Highmore), karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.
2.2 KLASIFIKASI SINUSITIS
Sinusitis sendiri dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
1. Sinusitis akut : Suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3 minggu.
Macam-macam sinusitis akut : sinusitis maksila akut, sinusitis emtmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut.
2. Sinusitis kronis : Suatu proses infeksi di dalam sinus yang berlansung selama 3-8 minggu tetapi dapat juga berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
2.3 ETIOLOGI SINUSITIS
Pada Sinusitis Akut, yaitu:
1. Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah adanya infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya Rhinovirus, Influenza virus, dan Parainfluenza virus).
2. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
3. Infeksi jamur
Infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut pada penderita gangguan sistem kekebalan, contohnya jamur Aspergillus.
4. Peradangan menahun pada saluran hidung
Pada penderita rhinitis alergi dan juga penderita rhinitis vasomotor.
5. Septum nasi yang bengkok
6. Tonsilitis yg kronik
Pada Sinusitis Kronik, yaitu:
1. Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh.
2. Alergi
3. Karies dentis ( gigi geraham atas )
4. Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa.
5. Benda asing di hidung dan sinus paranasal
6. Tumor di hidung dan sinus paranasal.
2.4 MANIFESTASI KLINIK
2.4.1 Sinusitis maksila akut
Gejala : Demam, pusing, ingus kental di hidung, hidung tersumbat, nyeri pada pipi terutama sore hari, ingus mengalir ke nasofaring, kental kadang-kadang berbau dan bercampur darah.
2.4.2 Sinusitis etmoid akut
Gejala : ingus kental di hidung dan nasafaring, nyeri di antara dua mata, dan pusing.
2.4.3 Sinusitis frontal akut
Gejala : demam,sakit kepala yang hebat pada siang hari,tetapi berkurang setelah sore hari, ingus kental dan penciuman berkurang.
2.4.4 Sinusitis sphenoid akut
Gejala : nyeri di bola mata, sakit kepala, ingus di nasofaring
2.4.5 Sinusitis Kronis
Gejala : pilek yang sering kambuh, ingus kental dan kadang-kadang berbau,selalu terdapat ingus di tenggorok, terdapat gejala di organ lain misalnya rematik, nefritis, bronchitis, bronkiektasis, batuk kering, dan sering demam.
2.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
2.5.1 Rinoskopi anterior
Tampak mukosa konka hiperemis, kavum nasi sempit, dan edema.Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior.
2.5.2 Rinoskopi posterior : Tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
2.5.3 Dentogen : Caries gigi (PM1,PM2,M1)
2.5.4 Transiluminasi (diaphanoscopia)
Sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal.
2.5.5 X Foto sinus paranasalis:
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah Posisi Water’s, Posteroanterior dan Lateral. Akan tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.
Posisi Water’s adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan Posisi Lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid
2.5.6 Pemeriksaan CT -Scan
Pemeriksaan CT-Scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a. Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid level.
b. Polip yang mengisi ruang sinus
c. Polip antrokoanal
d. Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e. Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
2.5.7 Pemeriksaan di setiap sinus
a. Sinusitis maksila akut
Pemeriksaan rongga hidung akan tampak ingus kental yang kadang-kadang dapat terlihat berasal dari meatus medius mukosa hidung. Mukosa hidung tampak membengkak (edema) dan merah (hiperemis). Pada pemeriksaan tenggorok, terdapat ingus kental di nasofaring.
Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan memasukkan lampu kedalam mulut dan ditekankan ke langit-langit, akan tampak pada sinus maksila yang normal gambar bulan sabit di bawah mata. Pada kelainan sinus maksila gambar bulan sabit itu kurang terang atau tidak tampak. Untuk diagnosis diperlukan foto rontgen. Akan terlihat perselubungan di sinus maksila, dapat sebelah (unilateral), dapat juga kedua belah (bilateral ).
b. Sinusitis etmoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, terdapat ingus kental, mukosa hidung edema dan hiperemis. Foto roentgen, akan terdapat perselubungan di sinus etmoid.
c. Sinusitis frontal akut
Pemeriksaan rongga hidung, ingus di meatus medius. Pada pemeriksaan di kamar gelap, dengan meletakkan lampu di sudut mata bagian dalam, akan tampak bentuk sinus frontal di dahi yang terang pada orang normal, dan kurang terang atau gelap pada sinusitis akut atau kronis. Pemeriksaan radiologik, tampak pada foto roentgen daerah sinus frontal berselubung.
d. Sinusitis sfenoid akut
Pemeriksaan rongga hidung, tampak ingus atau krusta serta foto rontgen.
2.6 PENATALAKSANAAN
2.6.1 Penatalaksanaan Medis
1. Drainage
a. Dengan pemberian obat, yaitu
Dekongestan local : efedrin 1%(dewasa) ½%(anak).
Dekongestan oral sedo efedrin 3 X 60 mg.
b. Surgikal dengan irigasi sinus maksilaris.
2. Pemberian antibiotik dalam 5-7 hari (untuk Sinusitis akut) yaitu :
a. Ampisilin 4 X 500 mg
b. Amoksilin 3 x 500 mg
c. Sulfametaksol=TMP (800/60) 2 x 1tablet
d. Diksisiklin 100 mg/hari.
3. Pemberian obat simtomatik
Contohnya parasetamol., metampiron 3 x 500 mg.
4. Untuk Sinusitis kromis bisa dengan
a. Cabut geraham atas bila penyebab dentogen
b. Irigasi 1 x setiap minggu ( 10-20)
c. Operasi Cadwell Luc bila degenerasi mukosa ireversibel (biopsi).
2.6.2 Penatalaksanaan Pembedahan
Pencucian sinus paranasal :
a. Pada sinus maksila
Dilakukan fungsi sinus maksila, dan dicuci 2 kali seminggu dengan larutan garam fisiologis. Caranya ialah, dengan sebelumnya memasukkan kapas yang telah diteteskan xilokain dan adrenalin ke daerah meatus inferior. Setelah 5 menit, kapas dikeluarkan, lalu dengan trokar ditusuk di bawah konka inferior, ujung trokar diarahkan ke batas luar mata. Setelah tulang dinding sinus maksila bagian medial tembus, maka jarum trokar dicabut, sehingga tinggal pipa selubungnya berada di dalam sinus maksila. Pipa itu dihubungkan dengan semprit yang berisi larutan garam fisiologis, atau dengan balon yang khusus untuk pencucian sinus itu.
Pasien yang telah ditataki plastik di dadanya, diminta untuk membuka mulut. Air cucian sinus akan keluar dari mulut, dan ditampung di tempat bengkok.
Tindakan ini diulang 3 hari kemudian. Karena sudah ada lubang fungsi, maka untuk memasukkan pipa dipakai trokar yang tumpul. Tapi tindakan seperti ini dapat menimbulkan kemungkinan trokar menembus melewati sinus ke jaringan lunak pipi,dasar mata tertusuk karena arah penusukan salah, emboli udara karena setelah menyemprot dengan air disemprotkan udara dengan maksud mengeluarkan seluruh cairn yang telah dimasukkan serta perdarahan karena konka inferior tertusuk. Lubang fungsi ini dapat diperbesar, dengan memotong dinding lateral hidung, atau dengan memakai alat, yaitu busi. Tindakan ini disebut antrostomi, dan dilakukan di kamar bedah, dengan pasien yang diberi anastesi.
b. Pada sinus frontal, etmoid dan sfenoid
Pencucian sinus dilakukan dengan pencucian Proetz. Caranya ialah dengan pasien ditidurkan dengan kepala lebih rendah dari badan. Kedalam hidung diteteskan HCL efedrin 0,5-1,5 %. Pasien harus menyebut “kek-kek” supaya HCL efedrin yang diteteskan tidak masuk ke dalam mulut, tetapi ke dalam rongga yang terletak dibawah ( yaitu sinus paranasal, oleh karena kepala diletakkan ebih rendah dari badan). Ke dalam lubang hidung dimasukkan pipa gelas yang dihubungkan dengan alat pengisap untuk menampung ingus yang terisap dari sinus. Pada pipa gelas itu dibuat lubang yang dapat ditutup dan dibuka dengan ujung jari jempol. Pada waktu lubang ditutup maka akan terisap ingus dari sinus. Pada waktu meneteskan HCL ini, lubang di pipa tidak ditutup. Tindakan pencucian menurut cara ini dilakukan 2 kali seminggu.
Pembedahan, dilakukan :
a. bila setelah dilakukan pencucian sinus 6 kali ingus masih tetap kental.
b. bila foto rontgen sudah tampak penebalan dinding sinus paranasal.
Persiapan sebelum pembedahan perlu dibuat foto ( pemeriksaan) dengan CT scan.
Macam pembedahan sinus paranasal
1. Sinus maksila
a. Antrostomi, yaitu membuat saluran antara rongga hidung dengan sinus maksila di bagian lateral konka inferior. Gunanya ialah untuk mengalirkan nanah dan ingus yang terkumpul di sinus maksila.
Alat yang perlu disiapkan ialah :
- alat fungsi sinus maksila
- semprit untuk mencuci
- pahat untuk memotong dinding lateral hidung
- alat pengisap
- tampon kapas atau kain kasa panjang yang diberi salep
Tindakan dilakukan di kamar besdah, dengan pembiusan ( anastesia ), dan pasien dirawat selama 2 hari.
Perawatan pasca tindakan :
- beri antrostomi dilakukan pada kedua belah sinus maksila, maka kedua belah hidung tersumbat oleh tampon. Olehkarena itu pasien harus bernafas melalui mulut, dan makanan yang diberikan harus lunak.
- tampon diangkat pada hari ketiga, setelah itu, bila tidak terdapat perdarahan, pasien boleh pulang.
b. Operasi Caldwell-Luc
Operasi ini ialah membuka sinus maksila, dengan menembus tulang pipi. Supaya tidak terdapat cacat di muka, maka insisis dilakukan di bawah bibir, di bagian superior ( atas ) akar gigi geraham 1 dan 2. Kemudian jaringan diatas tulang pipi diangkat kearah superior, sehingga tampak tulang sedikit di atas cuping hidung, yang disebut fosa kanina. Dengan pahat atau bor tulang itu dibuka, dengan demikian rongga sinus maksila kelihatan. Dengan cunam pemotong tulang lubang itu diperbesar. Isi sinus maksila dibersihkan. Seringkali akan terdapat jaringan granulasi atau polip di dalam sinus maksila. Setelah sinus bersih dan dicuci dengan larutan bethadine, maka dibuat anthrostom. Bila terdapat banyak perdarahan dari sinus maksila, maka dimasukkan tampon panjang serta pipa dari plastik, yang ujungnya disalurkan melalui antrostomi ke luar rongga hidung. Kemudian luka insisi dijahit.
Perawatan pasca bedah :
- beri kompres es di pipi, untuk mencegah pembengkakan di pipi pasca-bedah.
- perhatikan keadaan umum : nadi, tensi,suhu
- perhatikan apakah ada perdarahan mengalir ke hidung atau melalui mulut. Apabila terdapat perdarahan, maka dokter harus diberitahu.
- makanan lunak
-tampon dicabut pada hari ketiga.
2. Sinus etmoid
Pembedahan untuk membersihkan sinus etmoid, dapat dilakukan dari dalam hidung (intranasal) atau dengan membuat insisi di batas hidung dengan pipi (ekstranasal).
a. Etmoidektomi intranasal
Alat yang diperlukan ialah :
a. spekulum hidung
b. cunam pengangkat polip
c. kuret ( alat pengerok )
d. alat pengisap
e. tampon
Tindakan dilakukan dengan pasien dibius umum ( anastesia). Dapat juga dengan bius lokal (analgesia). Setelah konka media di dorong ke tengah, maka dengan cunam sel etmoid yang terbesar ( bula etmoid ) dibuka. Polip yang ditemukan dikeluarkan sampai bersih. Sekarang tindakan ini dilakukan dengan menggunakan endoskop, seh igga apa yang akan dikerjakan dapat dilihat dengan baik.
Perawatan pasca-bedah yang terpenting ialah memperhatikan kemungkinan perdarahan.
b. Etmoidektomi ekstranasal
Insisi dibuat di sudut mata, pada batas hidung dan mata. Di daerah itu sinus etmoid dibuka, kemudian dibersihkan.
3. Sinus frontal
Pembedahan untuk membuka sinus frontal disebut operasi Killian. Insisi dibuat seperti pada insisi etmoidektomi ekstranasal, tetapi kemudian diteruskan ke atas alis.Tulang frontal dibuka dengan pahat atau bor, kemudian dibersihkan. Salurannya ke hidung diperikasa, dan bila tersumbat, dibersihkan. Setelah rongga sinus frontal bersih, luka insisi dijahit, dan diberi perban-tekan. Perban dibuka setelah seminggu.
Seringkali pembedahan untuk membuka sinus frontal dilakukan bersama dengan sinus etmoid, yang disebut fronto-etmoidektomi.
4. Sinus sfenoid
Pembedahan untuk sinus sfenoid yang aman sekarang ini ialah dengan memakai endoskop. Biasanya bersama dengan pembersihan sinus etmoid dan muara sinus maksila serta muara sinus frontal, yang disebut Bedah Endoskopi Sinus Fungsional.
Bedah endoskopi sinus fungsional ( FESS=functional endoscopic sinus surgery)
Cara pemeriksaan ini ialah dengan mempergunakan endoskop, tanpa melakukan insisis di kulit muka.
Endoskop dimasukkan ke dalam rongga hidung. Karena endoskop ini dihubungkan dengan monitor (seperti televisi), maka dokter juga melakukan pembedahan tidak perlu melihat kedalam endoskop, tetapi cukup dengan melihat monitor.
Dengan bantuan endoskop dapat dibersihkan daerah muara sinus, seperti daerah meatus medius untuk sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal.
Endoskop juga dapat dimasukkan kedalam sinus etmoid anterior dan posterior untuk membuka sel-sel sinus etmoid. Kemudian dapat diteruskan kedalam sinus sfenoid yang terletak dibelakang sinus etmoid apabila di CT scan terdapat kelainan di sinus sfenoid.
Sekitar sinus yang sakit dibersihakan, dilihat juga muara sinus-sinus yang lain. Setelah selesai, rongga hidung di tampoan untuk mencegah perdarahan. Tampon dicabut pada hari ketiga.
2.7 KOMPLIKASI
2.7.1 Kelainan pada Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga.
Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan.
Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita
Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal
Pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita
Pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Thrombosis sinus kavemosus
Akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
2.7.2 Kelainan intracranial
a. Meningitis akut
Salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dura
Kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
c. Abses subdural
Kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak
Setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
2.7.3 Osteitis dan Osteomylitis.
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam dan menggigil.
2.7.4 Mukokel
Suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
2.7.5 Pyokokel.
Mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
3.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala sinus dan tenggorokan
2. Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh hidung tersumbat, pilek yang sering kambuh, demam, pusing, ingus kental di hidung, nyeri di antara dua mata, penciuman berkurang.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Klien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma.
b. Klien pernah mempunyai riwayat penyakit THT.
c. Klien pernah menderita sakit gigi geraham.
4. Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
5. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
a. Intrapersonal : Perasaan yang dirasakan klien ( cemas atau sedih )
b. Interpersonal : hubungan dengan orang lain
6. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup
Contohnya untuk mengurangi flu biasanya klien mengkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping
b. Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung.
c. Pola istirahat dan tidur
Adakah indikasi klien merasa tidak dapat istirahat karena sering flu.
d. Pola persepsi dan konsep diri
Klien sering flu terus menerus dan berbau yang menyebabakan konsep diri menurun.
e. Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu kaena hidung buntu akibat flu terus menerus ( baik purulen, serous maupun mukopurulen ).
3.1.3 Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan sinusitis meliputi pemeriksaan fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
1. Pernafasan B1 (breath)
a. Bentuk dada : normal
b. Pola napas : tidak teratur
c. Suara napas : ronkhi
d. Sesak napas : ya
e. Batuk : tidak
f. Retraksi otot bantu napas ; ya
g. Alat bantu pernapasan : ya (O2 2 lpm)
2. Kardiovaskular B2 (blood)
a. Irama jantung : regular
b. Nyeri dada : tidak
c. Bunyi jantung ; normal
d. Akral : hangat
3. Persyarafan B3 (brain)
a. Penglihatan (mata) : normal
b. Pendengaran (telinga) : tidak ada gangguan
c. Penciuman (hidung) : ada gangguan
d. Kesadaran: gelisah
e. Reflek: normal
4. Perkemihan B4 (bladder)
a. Kebersihan : bersih
b. Bentuk alat kelamin : normal
c. Uretra : normal
d. Produksi urin: normal
5. Pencernaan B5 (bowel)
a. Nafsu makan : menurun
b. Porsi makan : setengah
c. Mulut : bersih
d. Mukosa : lembap
6. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
a. Kemampuan pergerakan sendi : bebas
b. Kondisi tubuh: kelelahan
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efetif berhubungan dengan obstruksi / adanya secret yang mengental.
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung.
3. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun sekunder dari peradangan dengan sinus.
5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung tersumbat, nyeri sekunder akibat peradangan hidung.
6. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis ( irigasi sinus / operasi )
3.3 INTERVENSI
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi / adanya secret yang mengental.
Tujuan : bersihan jalan nafas menjadi efektif setelah secret dikeluarkan.
Kriteria hasil :
- Respiratory Rate 16-20x/menit
- Suara napas tambahan tidak ada
- Ronkhi (-)
- Dapat melakukan batuk efektif
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji penumpukan secret yang ada
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Ajarkan batuk efektif
d. Koaborasi nebulizing dengan tim medis untuk pembersihan secret
e. Evaluasi suara napas, karakteristik sekret, kemampuan batuk efektif
a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi.
c. Mengeluarkan sekret di jalan napas
d. Kerjasama untuk menghilangkan penumpukan secret.
e. Ronkhi (-) mengindikasikan tidak ada cairan/sekret pada paru, jumlah, konsistensi, warna sekret dikaji untuk tindakan selanjutnya
2. Nyeri berhubungan dengan peradangan pada hidung.
Tujuan : Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
- Klien tidak merasa kesakitan.
- Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-4
b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman.
c. Mengajarkan tehnik relaksasi dan metode distraksi
d. Kolaborasi analgesic
e. Observasi tingkat nyeri dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian analgesik untuk mengkaji efektivitasnya dan setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.
a. Nyeri merupakan respon subjektif yang bisa dikaji menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
b. Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
c. Akan melancarkan peredaran darah, dan dapat mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan
d. Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang
e. Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan manurun sekunder akibat peradangan dengan sinus.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria hasil :
- Antropometri: berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan, lingkar lengan
- Biokimia: albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
Hb normal (laki-laki 13,5-18 g/dl, perempuan 12-16 g/dl)
- Clinis: tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah
- Diet: klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien
b. Jelaskan pentingnya makanan bagi proses penyembuhan.
c. Mencatat intake dan output makanan klien.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
e. Manganjurkn makan sedikit- sedikit tapi sering.
f. Menyarankan kebiasaan untuk oral hygine sebelum dan sesudah makan
a. Mengetahui kekurangan nutrisi klien.
b. Dengan pengetahuan yang baik tentang nutrisi akan memotivasi untuk meningkatkan pemenuhan nutrisi.
c. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien.
d. Ahli gizi adalah spesialisasi dalam ilmu gizi yang membantu klien memilih makanan sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi, berat badannya.
e. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung.
f. Meningkatkan selera makan klien.
4. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
Tujuan : suhu tubuh kembali dalam keadaan normal
Kriteria hasil :
- suhu tubuh 36,5-37,5 C
- kulit hangat dan lembab, membran mukosa lembab
INTERVENSI RASIONAL
a. Monitoring perubahan suhu tubuh
b. Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus
c. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan (inflamasi)
d. Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam tubuh dapat berjalan lancar a. Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien.
b. Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.
c. Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)
d. Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan semua benda asing (antigen) yang masuk.
5. Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung tersumbat, nyeri sekunder akibat peradangan hidung.
Tujuan : Klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman.
Kriteria hasil :
- Klien tidur 6 – 8 jam sehari.
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji kebutuhan tidur klien.
b. Menciptakan suasana yang nyaman.
c. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat atau tidur.
b. Supaya klien dapat tidur dengan nyaman dan tenang.
c. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung
6. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur tindakan medis ( irigasi sinus / operasi ).
Tujuan : Perasaan cemas klien berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien dapat menggambarkan tingkat keemasa dan pola kopingnya.
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang di deritanya serta pengobatannya.
INTERVENSI RASIONAL
a. Kaji tingkat kecemasan klien
b. Berikan kenyamanan dan ketentraman pada klien dengan,
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati ( datang dengan menyentuh klien )
c. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya secara perlahan dan tenang serta menggunakan kalimat yang jelas, singkat dan mudah dimengerti
d. Menjauhkan stimulasi yang berlebihan misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang.
- Batasi kontak dengan orang lain atau klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan
e. Observasi tanda-tanda vital.
f. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis. a. Menentukan tindakan selanjutnya.
b. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan.
c. Meingkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif.
d. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
e. Mengetahui perkembangan klien secara dini.
f. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien.
Langganan:
Postingan (Atom)