Selasa, 14 Juni 2011

FARMAKOLOGI

PENDAHULUAN

Obat yang mempengaruhi sistem saraf sangat banyak. Berdasarkan cara kerja dan sifatnya obat yang mempengaruhi sistem saraf dapat dikelompokkkan menjadi

1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf parasimpatik yang terdiri atas obat-obat kolinergik, antikolinergik dan antikolinesterase
2. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik yang terdiri atas obat adrenergik dan antiadrenergik
3. Obat anastetik dan analgesik
4. obat antiansietas, sedatif dan hipnotik
5. obat antiepilepsi
6. obat psikotropik

Pada uraian dibawah ini akan dibahas secara singkat ke 6 kelompok obat tersebut.

Obat-obat Sistem Saraf Otonom

Secara anatomi sususnan saraf otonom terdiri atas saraf praganglion, gangl;ion dan pasca ganglion yang mempersarafi sel efektor. Serat eferen persarafan otonom terbagi atas (Gambar-1) sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis (Torakolumbal segmen susunan saraf otonom) disalurkan melalui serat torakolumbal 1 sampai lumbal 3. Serat saraf eferennya kemudian berjalan ke ganglion vertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem persarafan parasimpatis (segmen kraniosakral susunan saraf otonom) disalurkan melalui beberapa saraf kranial yaitu N III, N.VII, N.IX, N.X dan serat saraf yang berasal dari sakral 3 dan 4.

Gambar-1 Sistem Saraf Otonom

Impuls saraf dari serat saraf yang satu ke serat saraf lain, ganglion dan sel efektor dapat diteruskan dengan 2 cara yaitu

1. Secara listrik (electrical synapse).

Impuls saraf diteruskan dari neuron yang satu kelainnya melalui ion-ion yang melintas bebas melewati saluran-saluran pada gap junction guna meneruskan potensial aksi dari sel pra sinaps langsung menuju ke post sinaps. Penerusan impuls saraf secara listrik ini jarang terdapat di SSP mammalia tetapi ditemukan pada beberapa tempat di batang otak, retina dan korteks serebrum

2. Secara kimiawi (chemical synapse)

Impuls diteruskan dari satu saraf kelainnya melalui suatu subtansi kimiawi

(neurotransmitter atau neuromodulator) yang dilepaskan dari sel pra-sinaps

menuju ke pasca sinaps untuk menghasilkan suatu aksi potensial. Penerusan

impuls saraf dari satu neuron ke neuron lainnya atau ke suatu daerah target

dengan cara kimiawi merupakan cara yang paling umum digunakan.

Penerusan impuls saraf dari dendrit sel saraf ke otot juga hanya dilakukan

secara kimiawi.

Satu sinaps kimiawi terdiri atas (Gambar-2) unsur prasinaps (umumnya suatu bouton sinaps) dan unsur pasca sinaps (suatu dendrit) dengan suatu celah sinaps ekstrasel yang sempit di antara keduanya. Celah tersebut hanya selebar 20-30 nm dan dapat mengandung filamen-filamen halus yang menjembatani bagian luar membran pra-sinaps dan membran pasca sinaps.

Gambar-2. Komponen Sinaps

Gambar-2. Komponen Sinaps Pada bagian pra-sinaps terdapat kumpulan gelembung berukuran 40-60 nm yang berisi substansia neurotransmitter. Bila timbul aksi potensial pada ujung akson, gelembung sinaps menyatu dengan membran pra-sinaps pada tempat pelepasan yang khusus, mengeluarkan isinya ke dalam celah sinaps. Neurotransmiter kemudian melewati membran pasca sinaps untuk berinteraksi dengan molekul-molekul reseptor. Hal ini menyebabkan perubahan potensial membran dari neuron pasca sinaps sehingga terjadi pemindahan impuls.

Beberapa neurotransmitter adalah asetilkolin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, enkefalin, endorphin, gamma aminobutyric acid (GABA) dsbnya. Neurotransmiter ini disintesa dan dibungkus dalam vesikel-vesikel transpor di ujung akson/akson terminal, tetapi beberapa neurotransmiter misalnya neurotransmitter golongan peptida mungkin dihasilkan di badan sel saraf/soma. Neutransmiter yang diproduksi di soma (diduga sangat sedikit) dibungkus dalam gelembung sinaps, kemudian diangkut melalui mikrotubulus aksoplasma ke ujung akson.

Salah satu contoh sintesis dan pelepasan neurotransmitter yang akan di bahas di bawah ini adalah proses sintesis dan penglepasan neurotransmitter asetil kolin (Gambar-3).

Gambar -3. Proses sintesis dan penglepasan

neurotransmitter asetil kolin

Gambar -3. Proses sintesis dan penglepasan neurotransmitter asetil kolin Aksi potensial atau impuls listrik saraf yang berjalan sepanjang akson akan tiba di ujung akson (terminal akson atau boutons terminaux). Rangsang listrik saraf ini akan membuka kanal ion kalsium yang diikuti dengan masuknya kalsium ke dalam akson. Disamping itu pada saat yang bersamaan juga akan masuk kedalam akson ion natrium lewat pompa aktif natrium. Masuknya ion natrium ini akan membawa serta senyawaan kolin dan senyawaan asetat ke dalam akson lewat pompa natrium.

Senyawaan asetat yang masuk lewat pompa natrium dan yang masuk ke akson lewat transportasi aksonal anterograde tipe cepat akan diaktivasi (diubah menjadi bentuk aktif) di dalam mitokondria menjadi asetil ko-ensim A (Asetil KoA). Senyawaan kolin yang masuk lewat pompa natrium dan yang sampai ke akson lewat transportasi aksonal tipe cepat akan diubah menjadi asetilkolin dengan bantuan asetil ko-ensim A dan ensim kolin asetil transferase.

Asetilkolin yang sudah disintesa kemudian akan masuk ke dalam vesikel sinaps lewat proses endositosis. Neurotransmiter akhirnya akan dibungkus oleh membran vesikel sinaps. Membran vesikel sinaps ini dapat berasal dari membran vesikel sinaps yang dipakai ulang kembali setelah melepaskan neurotransmitter melalui proses internalisasi atau membran vesikel yang baru yang masuk ke ujung akson lewat transportasi aksonal anterograde tipe cepat. Kedalam vesikel ini juga akan dimasukkan ATP sebagai sumber energi dan zat-zat lain seperti proteoglikan.

Vesikel sinaps lalu bergerak ke membran terminal akson (bouton terminaux) dan kemudian menyatu dengan membran tersebut. Proses pergerakan vesikel dan penyatuan vesikel dengan membran terminal akson ini di fasilitasi oleh ion kalsium yang masuk lewat kanal kalsium. Pada proses ini, protein synapsin I diduga juga turut berperan.

Neurotransmiter akhirnya akan dilepaskan ke dalam celah sinaps lewat proses eksositosis. Asetilkolin kemudian akan berikatan dengan reseptor asetilkolin di membran postsinaps (umumnya di dendrit). Ikatan antara asetilkolin dengan reseptornya akan menimbulkan terjadinya depolarisasi (perubahan muatan listrik) dan akhirnya menimbulkan impuls listrik saraf yang akan berjalan merambat menuju ke badan sel saraf.

Perangsangan impuls listrik di postsinaps ini kemudian akan terhenti setelah ensim asetilkolin esterase memutuskan ikatan asetilkolin dengan reseptornya. Asetilkolin akan dihidrolisa menjadi senyawaan kolin dan asetat yang akan masuk kembali ke dalam akson lewat pompa natrium, untuk digunakan kembali dalam sintesa neurotransmitter. Membran vesikel sinaps juga akan dipergunakan kembali untuk membuat vesikel yang baru melalui proses internalisasi.

Sistem persarafan simpatis secara fisiologis bersifat fight or flight dan teraktivasi manakala ada stress atau siaga, misalnya dalam suasana ketakutan, ujian, berolahraga dan sebagainya. Sistem simpatis ditandai oleh detak jantung yang meningkat, nafas yang cepat, peningkatan tekana darah, pupil miosis dan sebagainya. Sistem persarafan simpatis secara fisiologis bersifat fight or flight dan teraktivasi manakala ada stress atau siaga, misalnya dalam suasana ketakutan, ujian, berolahraga dan sebagainya. Terdapat 2 macam ensim yang berperan dalam metabolisme (hidrolisis) noradrenalin yaitu COMT (Catechol-O-metiltransferase) yang terdapat di cairan ekstraselular diseluruh jaringan termasuk otak (kecuali otot rangka) dan MAO (monoaminooksidase) yang terdapat di sitoplasma sel saraf. Noradrenalin (norepinefrin) merupakan katekolamin yang menyebabkan eksitasi otot polos paling kuat sedangkan efek inhibisinya lemah sekali. Epinefrin memperlihatkan efek inhibisi dan eksitasi yang sama kuat. Berdasarkan hal ini Ahlquist (1948) mengemukakan teori reseptor a dan b untuk sel efektor adrenergik. Aktivasi alfa umumnya menimbulkan perangsangan dengan akibat terjadinya kontraksi, sedangkan aktivasi reseptor beta hanya dapat menimbulkan penghambatan, kecuali pada otot jantung yang mempunyai reseptor beta.

Sistem persarafan parasimpatis secara fisiologis bersifat relaks, misalnya dalam keadaan relaks. Sistem parasimpatis ditandai oleh detak jantung dan pernafasan yang normal, tekanan darah yang normal, pupil midriasis dan sebagainya. Sistem persarafan parasimpatis terjadi pada keadaan relaks, misalnya dalam suasana gembira, mengantuk, santai dan sebagainya.

Uraian tentang efek sistem saraf parasimpatis dan simpatis serta jenis reseptor adrenergik tercantum dalam tabel. Obat-obat yang bekerja pada persarafan otonom terbagi 2 yaitu obat-obat kolinergik dan adrenergik.

Obat-obat kolinergik dan antikolinesterase

Obat otonom yang merangsang sel efektor yang dipersarafi serat dapat dibagi menjadi 3 yaitu

1. Ester kolin dalam golongan ini termasuk asetilkolin, metakolin, karbakol, beta karbakol. Indikasi obat kolinergik adalah iskemik perifer (penyakit Reynauld, trombofleibitis), meteorismus, retensi urin, feokromositoma

2. antikolinesterase, dalam golongan ini termasuk fsostigmin (eserin), prostigmin (neostigmin) dan diisopropilfluorofosfat (DFP). Obat antikolinesterase bekerja dengan menghambat kerja kolinesterase dan mengakibatkan suatu keadaan yang mirip dengan perangsangan saraf kolinergik secara terus menerus. Fisostigmin, prostigmin, piridostigmin menghambat secara reversibel, sebaliknya DFP, gas perang (tabun, sarin) dan insektisida organofosfat (paration, malation, tetraetilpirofosfat dan oktametilpirofosfortetramid (OMPA) menghambat secara irreversibel. Indikasi penggunaan obat ini adalah penyakit mata (glaukoma) biasanya digunakan fisostigmin,penyakit saluran cerna (meningkatkanperistalsis usus) basanya digunakan prostigmin, penyakit miastenia gravis biasanya digunakan prostigmin.

3. Alkaloid termasuk didalamnya muskarin, pilokarpin dan arekolin. Golongan obat ini yang dipakai hanyalah pilokarpin sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan efek miosis.

Obat Antikolinergik

Obat antikolinergik (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik, parasimpatolitik, penghambat parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang digunakan untuk

(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik

(2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum

(3). Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit parkinson.

Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona, oksifenonium bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk merangsang susunan saraf pusat (merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis dan sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem kardiovaskular (meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah), saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan menghambat sekresi asam lambung)

Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan mengurangi efek sistemik yang tidak menyenangkan. Beberapa jenis obat antikolinergik misalnya homatropin metilbromida dipakai sebagai antispasmodik, propantelin bromida dipakai untuk menghambat ulkus peptikum, karamifen digunakan untuk penyakit parkinson.

Obat Adrenergik

Obat ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip efek neurotransmitter norepinefrin dan epinefrin (dikenal juga sebagai obat noradrenergik dan adrenergik atau simpatik atau simpatomimetik). Kerja obat adrenergik dibagi dalam 6 jenis yaitu:

1. perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darahn kulit dan mukosa, kelenjar liur dan keringat
2. penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka
3. perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi
4. perangsangan SSP seperti peningkatan pernafasan, kewaspadaan, dan pengurangan nafsu makan
5. efek metabolik mislnya peningkatan glikogenolisisdi hati dan otot, lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. efek endokrin misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis.

Mekanisme kerja obat adrenergik adalah merangsang reseptor alfa (a) dan beta (b) pada sel efektor. Efek obat adrenergik dapat dilihat pada tabel-1 dibawah ini

Penggunaan klinis epinefrin adalah pada

1. Sistem kardiovaskular: terjadinya vasokonstriksi (tekanan darah meningkat), meningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraksi jantung
2. Susunan Saraf Pusat: terjadinya kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor.
3. Otot polos : efeknya berbeda tergantung pada jenis reseptor yang terdapat pada organ tersebut. Pada saluran cerna terjadi relaksasi otot polos saluran cerna, pada uterus terjadi penghambatan tonus dan kontraksi uterus, pada kandung kemih terjadi relaksasi otot detrusor kandung kemih, pada pernafasan menimbulkan relaksasi otot polos bronkus.
4. Proses metabolik: menstimulasi glikogenolisis di sel-sel hati dan otot rangka, lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
5. lain-lain : menhambat sekresi kelenjar , menurunkan tekanan intraokular, mempercepat pembekuan darah

Efek samping epinefrin adalah perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, tremor, kepala berdenyut, palpitasi.

Obat-obat yang termasuk golongan adrenergik yaitu

1. Golongan katekolamin : epineprin, norepinefrin, isoproterenol, dopamin, dobutamin dan sebagainya
2. Golongan nonkatekolamin: amfetamin, metamfetamin, fenilpropanolamin, metaproterenol (orsiprenalin), terbutalin, efedrin dan sebagainya.

Tabel-1 Reseptor adrenergik dan Efeknya

Obat Antiadrenergik

Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi

1. penghambat adrenoseptor (adrenoseptor bloker) yaitu obat yang menduduki adrenoseptor baik alfa (a) maupun beta (b) sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik.

2. penghambat saraf adrenergik yaitu obat yang mengurangi respons sel efektor terhadap perangsangan saraf adrenergik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis, penyimpanan, dan pelepasan neurotransmitter. Obat yang termasuk penghambat saraf adrenergik adalah guanetidinbetanidin, guanadrel, bretilium, dan reserpin. Semua obat golongan ini umumnya dipakai sebagai antihipertensi.

3. penghambat adrenergik sentral atau adrenolitik sentral yaitu obat yang menghambat perangsangan adrenergik di SSP.

Obat yang termasuk alfa bloker adalah derivat haloalkilamin (dibenamid dan fenoksibenzamin), derivat imidazolin (tolazolin, fentolamin), prazosin dan alfa bloker lain misalnya derivat alkaloid ergot dan yohimbin. Indikasi alfabloker adalah hipertensi, feokromositoma, fenomen Raynaud dan syok.

Obat yang termasuk beta bloker adalah isoproterenol, propanolol, asetabutolol, timolol, atenolol, oksiprenolol dan sebagainya. Obat betabloker digunakan untuk mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard, antihipertensi, bronkodilator, menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot rangka, menhambat lipolisis menghambat sekresi renin. Efek samping betabloker adalah gagal jantung, bradiaritmia, bronkospasm, ekstremitas dingin, memperberat gejala penyakit Reynaud dan menyebabkan kambuhnya klaudikasio intermitten.

Obat penghambat saraf adrenergik bekerja dengan cara menghambat sintesis, penyimpanan, dan pelepasan neurotransmitter. Obat yang termasuk penghambat saraf adrenergik adalah guanetidinbetanidin, guanadrel, bretilium, dan reserpin. Semua obat golongan ini umumnya dipakai sebagai antihipertensi.

Obat penghambat adrenergik sentral atau adrenolitik sentral yaitu klonidin dan metildopa yang dipakai sebagai obat antihipertensi.

Obat Anestetik dan Analgesik

A. Obat Anestetik

Istilah anestetik dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestetik dibedkan menjadi 2 kelompok yaitu

1. Anestetik lokal yaitu penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran
2. Anestetik umum yaitu penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran.

Sejak dahulu sudah dikenal tindakan anestesi yang digunakan untuk mempermudah tindakan operasi. Orang Mesir dahulu menggunakan narkotik, sedangkan orang cina menggunakan Canabis indica dan pemukulan kepala dengan tongkat untuk menghilangkan kesadaran. Hal ini tidak memberikan keuntungan. Tahun 1776 ditemukan anestetik gas pertama yaitu N2O, tetapi anestetik gas ini kurang efektif sehingga diusahakan mencari zat lain.

Mekanisme kerja obat anestesi umum sampai sekarang belum jelas, meskipun mekanisme kerja susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer mengalami banyak kemajuan pesat, maka timbullah berbagai teori. Beberapa teori yang dikemukan adalah

1. teori koloid

zat anestesi akan menggumpalkan sel koloid yang menimbulkan anestesi yang bersifat reversibel diikuti dengan proses pemulihan. Christiansen (1965) membuktikan bahwa pemberian eter dan halotan akan menghambat gerakan dan aliran protoplasma dalam amuba

1. teori lipid

Ada hubungan kelarutan zat anestetik dalam lemak dan timbulnya anestesi. Makin tinggi klerutan dalam lemak makin kuat sifat anestestetiknya. Teori ini cocok untk obat anestetik yang larut dalam lemak

1. teori adsorpsi dan tegangan permukaan

Pengumpulan zat anestesi pada permukaan sel menyebabkan proses metabolisma

dan transmisi neural terganggu sehingga timbul anestesi.

1. teori biokimia

pemberiaan zat anestesi invitro menghambat pengambilan oksigen di otak dengan cara menghambat sistem fosforilasi oksidatif. Akan tetapi hal ini mungkin hanya menyertai anestesi bukan penyebab anestesi.

1. teori neurofisiologi

pemberian zat anestesi akan menurunkan transmisi sinaps di ganglion cervicalis superior dan menghambat formatio retikularis asenden untuk berfungsi mempertahankan kesadaran.

1. teori fisika

zat anestesi dengan air di dalam susunan saraf pusat dapat membentuk mikrokristal sehingga menggangu fungsi sel otak.

Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter menjadi 4 stadia:

1. Stadium I (analgesia) yaitu stadia mulai dari saat pemberian zat anestesi hingga hilangnya kesadaran. Pada stadia ini penderita masih bisa mengikuti perintah tetapi rasa sakit sudah hilang
2. Stadium II (delirium/eksitasi) yaitu hilangnya kesadaran hingga permulaan stadium pembedahan. Pada stadium ini terlihat jelas adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, seperti tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, gerakan pernafasan yang tak teratur, takikardia, hipertensi hingga terjadinya kematian, sehingga harus segera dilewati
3. Stadium III yaitu stadia sejak mulai teraturnya lagi pernafasan hingga hilangnya pernafasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernafasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadia ini dibagi lagi menjadi 4 tingkat yaitu
1. Tingkat I : pernafasn teratur, spontan, gerakan bola mata tak teratur, miosis, pernafasan dada dan perut seimbang. Belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
2. Tingkat II : pernafasan teratur tetapi kurang dalam dibandingkan tingkat I, bola mata tak bergerak, pupil melebar, relaksasi otot sedang, refleks laring hilang.
3. Tingkat III: pernafasan perut lebih nyata daripada pernafasan dada karena otot interkostal mulai mengalami paralisis, relaksasi otot lurik sempurna, pupil lebih lebar tetatpi belum maksimal
4. Tingkat IV: pernafasan perut sempurna karena kelumpuhan otot interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya menghilang.
4. Stadium IV (Paralisis mediula oblongata) yaitu stadium dimulai dengan melemahnya pernafasan perut dibanding stadoium III tingkat 4, tekanan darah tak terukur, jantung berhenti berdenyut dan akhirnya penderita meninggal.

Sebelum diberikan zat anestesi pada pasien diberikan medikasi preanestesi dengan tujuan untuk mengurangi kecemasan, memperlancar induksi, merngurangi keadaan gawat anestesi, mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardia dan muntah sesudah atau selama anestesia. Untuk tindakan ini dapat digunakan

1.
1. analgesia narkotik untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan, mengurangi rasa sakit dan menghindari takipneu. Misalnya morfin atau derivatnya misalnya oksimorfin dan fentanil
2. barbiturat biasanya diguankan untuk menimbulkan sedasi. Misalnya pentobarbital dan sekobarbital.
3. Antikolinergik untuk menghindari hipersekresi bronkus dan kelenjar liur terutama pada anestesi inhalasi. Obat yang dapat digunakan misalnya sulfas atropin dan skopolamin.
4. Obat penenang digunakan untuk efek sedasi, antiaritmia, antihistamin dan enti emetik. Misalnya prometazin, triflupromazin dan droperidol

Obat-obat anestesi umum yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi

1. kelompok inhalasi (gas) : Nitrous oksida (N2O), siklopropan, eter, enfluran, isofluran, halaotan, metoksifluran, trikoretilen, etil klorida, fluroksen

2. anestesi parenteral (injeksi) dibagi menjadi beberapa golongan yaitu

a. Barbiturat, bekerja dengan blokade sistem stimulus di formasio retikularis sehingga kesadaran akan hilang. Efek samping yang dapat terjadi adalah depresi pusat nafas dan menurunnya kontraktilitas otot jantung. Contoh obatnya adalah natrium tiopental, ketamin

b. Droperidol dan Fentanil digunakan untuk menimbulkan analgesia neuroleptik dan anestesia neuroleptik (bila digunakan bersama N2O)

c. Diazepam, obat ini menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesia sehingga harus dikombinasi dengan obat-obat analgesia.

d. Etomidat merupakan anestetik non barbiturat yang digunakan untuk induksi anestesi tetapi tidak berefek analgesia. Etomidat hanya menimbulkan efek minimal terhadap sistem kardiovaskular dan pernafasan. Efek anestesinya berlangsung segera, dalam waktu 1 menit pasien sudah tidak sadar.

Efek samping anestesi umum yang dapat terjadi adalah depresi miokardium dan hipotensi (anestesi inhalasi), depresi nafas (terutama anestesi inhalasi), gangguan fungsi hati ringan, gangguan fungsi ginjal, hipotermia dan menggigil pasca operasi, batuk dan spasme laring serta delirium selama masa pemulihan.

Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada setiap bagian saraf. Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi impuls sensorik, sebaliknya pemberian anestetik lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di daerah yang dipersarafinya. Mekanisme kerja anestetik lokla adalah mencegah konduksi dan timbulnya impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel. Obat anestetik lokal dikelompokkan menjadi

1. Kokain

2. Anestetik lokal sintetik seperti prokain, lidokain , butetamid, dibukain,

mepivakain, tetrakain dan sebagainya.

Tehnik pemberian anestetik lokal dapat berupa

1. anestetik permukaan yaitu penyuntikan obat anestetik secara permukaan misalnya pada kulit, selaput lendir mulut, faring dan esofagus
2. anestetik infiltrasi yaitu penyuntikan untuk menimbulkan anestesi pada ujung saraf melalui kontak langsung dengan obat. Cara anestesi infiltrasi yang sering digunakan adalah ring block.
3. anestetik blok yaitu anestesi bertujuan untuk mempengaruhi konduksi saraf otonom maupun somatis dengan anestesi lokal. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal misalnya saraf oksipital, pleksus brachialis, sampai ke anestesia epidural dan spinal.
4. anestetik spinal yaitu anestesi blok yang lebih luas.

B. Obat Analgesik

Obat analgesik antipiretik serta obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Mekanisme kerja obat analgesik adalah menghambat ensim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu dan reaksi inflamasi akan tertekan. Secara skematis mekanisme kerja obat AINS tercantum dalam gambar-4 di bawah ini

Gambar-4. Mekanisme Kerja Obat Analgesik

Obat-obat analgesik ini juga mempunyai sifat antipiretik dan antiinflamasi, tetapi ada perbedaan dari masing-masing obat, contohnya parasetamol bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat antiinflamasinya lemah sekali.

Efek samping obat-obat analgesik yang paling sering adalah iritasi pada lambung hingga tukak lambung, gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesa tromboksan A2 (TXA2) dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan, gangguan fungsi ginjal dan fungsi hati pada pemamakaian lama dan reaksi alergi.

Obat-obat yang tergolong analgesik adalah salisilat, paraaminofenol (fenasetin dan asetaminofen atau parasetamol), pirazolon (antipirin, aminopirin, dipiron), fenilbutazon dan oksifenbutazon. Obat AINS yang lainnya adalah asam mefenamat dan meklofenamat, diklofenak, fenbufen, ibuprofen, ketoprofen, nafroksen, indometasin, piroksikam.

Obat Antiepilepsi

Antiepilepsi atau antikonvulsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Epilepsi merupakan nama kolektif untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dengan episode singkat (disebut bangkitan atau seizure) dan gejala utama berupa penurunan kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai dengan terjadinya kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonom, gangguan sensorik atau psikis, dan selalu disertai gambaran letupan EEG (electroencephalogram) abnormal dan eksesif. Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal dan ksesif, terjadi disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Dalam fokus ini terdapat neuron epilepsi yang sensitif terhadap rangsangan. Neuron epileptik inilah yang menjadi pencetus bangkitan epilepsi. Epilepsi dikelompokkan menjadi 2 yaitu

1. Epilepsi fokal atau parsial, yaitu epilepsi yang ditandai oleh terjadinya kejang pada bagian tubuh tertentu misalnya tangan, muka dan sebagainya dan biasanya tanpa disertai dengan penurunan kesadaran.
2. Epilepsi umum yaitu epilepsi yang doitandai oleh terjadinya kejang menyeluruh (kejang umum) disemua bagian tubuh baik yang bersifat tonik, klonik ataupun tonik-klonik dan biasanya disertai dengan terjadinya penurunan kesadaran.

Obat antikonvulsi atau antiepilepsi berdasarkan cara kerjanya dibagi mnejadi 2 yaitu

1. dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi
2. dengan mencegah terjadnya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.

Obat epilepsi dibagi nejadi 8 kelompok yaitu

1. Golongan Hidantoin, terdiri atas fenitoin, mefenitoin, dan etotoin

Indikasi obat golongan ini adalah epilepsi umum tonik-klonik (grandmal epilepsi) dan bangkitan parsial atau fokal. Efek samping yang dapat terjadi adalah pada susunan saraf pusat (ataksia, nistagmus, sukar bicara, tremor dan ngantuk), saluran cerna dan gusi (nyeri ulu hati, anoreksia, mual dan muntah serta pembesaran gusi), Kulit (ruam morbiliform) dan hepatotoksik (ikterik) serta anemia megaloblastik.

1. Golongan barbiturat, misalnya fenobarbital dan primidon. Selain sebagai antikonvulsi, obat ini juga digunakan sebagai hipnotik-sedatif.

Fenobarbital digunakan untuk terapi bangkitan tonik-klonik atau berbagai bangkitan parsial atau fokal. Efek samping fenobarbital relatif kecil berupa ruam kulit. Primidon digunakan untuk semua bentuk bangkitan atau epilepsi, kecuali epilepsi jenis petit mal. Efek samping yang dapat terjadi berupa kantuk, ataksia, pusing, sakit kepala, mual, ruam kulit , anoreksia dan impotensi.

1. Golongan Oksazolidindion, misalnya trimetadion. Indikasi obat ini adalah epilepsi jenis petit mal (bangkitan lena). Disamping itu trimetadion juga bersifat hipnotik dan analgesik. Efek samping ringan berupa ngantuk, dan ruam kulit. Disamping itu dapat juga terjadi gangguan fungsi hati, darah dan ginjal.
2. Golongan Suksimid, misalnya etosuksimid, metsuksimid, dan fensuksimid. Efek antikonvulsi suksimid sama dengan trimetadion. Indiasi penggunaan obat ini adalah epilepsi tipe petit mal. Efek samping berupa mual, sakit kepala, kantuk, dan ruam kulit.
3. Golongan Karbamazepin, misalnya karbamazepin. Selain mempunyai efek antikonvulsif obat ini juga memperbaiki kewaspadaan dan perasaan. Selain itu juga mempunyai efek analgesia selektif dan digunakan pada pengobatan tabes dorsalis dan neuropati lainnya. Obat ini digunakan untuk mengatasi semua bangkitan epilepsi kecuali epilepsi tipe petit mal dan digunakan secara luas di Amerika Serikat. Efek samping yang dapat terjadi adalah pusing, vertigo, ataksia, penglihatan kabur, mual, muntah dan gangguan darah.
4. Golongan Benzodiazepin, misalnya diazepam, klonazepam, nitrazepam. Selain untuk antikonvulsi obat ini uga dipakai sebagai antiansietas. Diazepam intravena merupakan obat terpilih untuk status epileptikus dan merupakan obat antikonvulsi yang paling banyak dipakai. Obat ini digunakan untuk kejang umum maupun fokal. Efek samping yang dapat terjadi adalah obstruksi saluran nafas oleh lidah akibat relaksasi otot, depresi nafas hingga apneu, hipotensi, henti jantung dan ngantuk. Klonazepam dan nitrazepam digunakan untuk epilepsi tipe mioklonik, akinetik dan spasme. Efek samping berupa ngantuk, ataksia dan gangguan kepribadian.
5. Golongan Asam Valproat. Mekanisme kerja asam valproat didasarkan meningkatnya kadar asam gama aminobutirat (GABA) di otak. Indikasi pemberian obat ini adalah epilepsi petit mal, mioklonik dan tonik-klonik. Efek samping yang terjadi adalah gangguan saluran cerna, berupa mual dan muntah susunan saraf pusat (ngantuk, ataksia, tremor), gangguan fungsi hati, ruam kulit dan alopesia.
6. Antiepilepsi lain misalnya fenasemid dan asetazolamid.

Prinsip pengobatan epilepsi adalah (1) melakukan pengobatan kausal (penyebab) misalnya pembedahan pada tumor serebri, (2) menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, misalnya alkohol, emosi dan kelelahan fisik maupun mental, (3) penggunaan antikonvulsi. Kriteria obat epilepsi yang baik adalah (1) dapat menekan bangkitan, (2) memiliki batas keamanan yang lebar, (3) satu jenis obat yang dapat menekan semua jenis bangkitan dan bekerjalangsung pada fokus bangkitan, (4) diberikan peroral dan masa kerja panjang, tidak menimbulkan gejala putus obat, (5) harganya murah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar