Jumat, 18 November 2011

Askep GNA & GNK k

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus.
Glomerulonefritis ditandai dengan reaksi radang pada glomerulus dengan adanya leukosit dan proliferasi sel, serta eksudasi eritrosit, loukosit dan protein plasma dalam ruang Bowman. Selain itu tampak pula kelainan sekunder pada tubulus, interstitium dan pembuluh darah.
Glomerulonefritis bukan merupakan infeksi ginjal oleh jasad renik, bukan pula suatu penyakit tersendiri oleh etiologi tertentu, melainkan sebiknya dianggap sebagai suatu pola reaksi ginjal terhadap berbagai factor yang belum seluruhnya jelas. Glomerulonefritis (juga disebut sindrom nefrotik), mungkin akut, dimana pada kasus seseorang dapat meliputi seluruh fungsi ginjal atau kronis ditandai oleh penurunan fungsi ginjal lambat, tersembunyi, dan progresif yang akhirnya menimbulkan penyakit ginjal tahap akhir. Ini memerlukan waktu 30 tahun untuk merusak ginjal sampai pada tahap akhir.
Glomerulonefritis adalah suatu sindrom yang ditandai oleh peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen yang mungkin endogenus (seperti sirkulasi tiroglobulin) atau eksogenus (agen infeksius atau proses penyakit sistemik yang menyertai). Hospes (ginjal) mengenal antigen sebagai suatu benda asing dan mulai membentuk antibody untuk menyerangnya. Respon peradangan ini menimbulkan penyebaran perubahan patofisiologi, termasuk menurunnya perubahan laju filtrasi glomerulus (LFG), peningkatan permiabilitas dari dinding kapiler glomerulus terhadap protein plasma (terutama albumin) dan SDM, dan retensi abnormal Na dan H2O yang menekan produksi rennin dan aldosteron.
Berbgai macam glomerulofati dapat terjadi, masing-masing dengan penampilan klinis yang berbeda. Jadi penyakit diklasifikasikan menurut morfologi, etiologi, patogenesis, sindrom klinis, atau kombinasi dari semuanya. Masing-masing tipe dari glomerulopati akan menunjukan manifestasi dari gagal ginjal dalam tiga bulan awitan. Ini kemudian disebut glomerulonefritis yang berkembang dengan cepat, memerlukan intervensi medis awal yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. GLOMERULONEFRITIS AKUT

I. Defenisi

GNA adalah inflamasi glomeruli yang terjadi ketika kompleks antigen-antibodi terjebak dalam membran kapiler glomerular.

II. Etiologi
Penyakit ini ditemukan pada semua usia, tetapi sering terjadi pada usia awal sekolah dan jarang pada anak yang lebih muda dari 2 tahun, lebih banyak pria dari pada wanita (2:1).
Timbulnya GNA didahului oleh infeksi ekstra renal, terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptokokkus beta hemolitikus gol A. Faktor lain yang dapat menyebabkan adalah factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi.
III. Gambaran Klinik
Hasil penyelidikan klinis immunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses immunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membran basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses autoimmune kuman streptokokkus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimmune yang merusak glomerulus.
3. Streptokokkus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran basalis ginjal.
IV. Gejala Klinik
Gejala yang sering ditemukan :
1. Hematuri
2. Edema
3. Hipertensi
4. Peningkatan suhu badan
5. Mual, tidak ada nafsu makan
6. Ureum dan kreatinin meningkat
7. oliguri dan anuria
V. Komplikasi
1. Oliguri sampai anuria sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus.
2. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
3. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah, pembesaran jantung dan meningkatnya TD yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi Gagal Jantung akibat HT yang menetap dan kelainan di miocardium.
4. Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis eritropoetik yang menurun.
VI. Evaluasi Diagnostik
1. Urinalisis :
a. Hematuria (mikroskopis atau makroskopis)
b. Proteinuria (3 + sampai 4+)
c. Sedimen : silinder sel merah, SDP, sel epitel ginjal
d. BJ : peningkatan sedang
2. Pemeriksaan darah :
a. Komplemen serum dan C3 menurun
b. BUN dan kreatinin meningkat
c. Titer DNA – ase antigen B meningkat
d. LED meningkat
e. Albumin menurun
f. Titer anti streptolisin – O (ASO) meningkat
3. Biopsi ginjal untuk menunjukkan obstruksi kapiler glomerular dan memastikan diagnosis.


VII. Manajemen Kolaboratif
1. Intervensi Terapeutik
a. Batasi masukan cairan, kalium dan natrium
b. Pembatasan protein sedang dengan oliguri dan peningkatan BUN; pembatasan lebih drastis bila terjadi gagal ginjal akut.
c. Peningkatan karbohidrat untuk memberikan energi dan menurunkan katabolisme protein.
2. Intervensi Farmakologis
a. Anti HT dan diuretic untuk mengontrol HT dan edema.
b. Penyekat H2 untuk mencegah ulkus stress pada penyakit akut.
c. Agens ikatan fosfat untuk mengurangi kadar fosfat dan meningkatkan kalsium.
d. AB bila infeksi masih ada.

B. Glomerulonefritis Kronik

I. Defenisi

Adalah glomerulonefritis tingkat akhir (“and stage”) dengan kerusakan jaringan ginjal akibat proses nefrotik dan hipertensi sehingga menimbulkan gangguan fungsi ginjal yang irreversible.

II. Etiologi

1. Lanjutan GNA, seringkali tanpa riwayat infeksi.
2. Dibatas mellitus
3. Hipertensi kronik
4. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut.
III. Gambaran Klinik
5. Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal.
6. Lemah, nyeri kepala, gelisah, mula, coma dan kejang pada stadium akhir.
7. Edema sedikit bertambah jelas jika memasuki fase nefrotik.
8. Suhu subfebril.
9. Kolestrol darah naik.
10. Penurunan kadar albumin.
11. Fungsi ginjal menurun.
12. Ureum meningkat + kreatinin serum.
13. Anemia.
14. Tekanan darah meningkat mendadak meninggi.
15. Kadang-kadang ada serangan ensefalopatihipertensi.
16. Gagal jantung kematian.
17. Berat badan menurun.
18. Selalu merasa haus dan miksi pada malam hari (nokturia)
19. Hematuria.
IV. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pada urine ditemukan :
a) Albumin (+)
b) Silinder
c) Eritrosit
d) Lekosit hilang timbul
e) BJ urine 1,008 – 1,012 (menetap)
2. Pada darah ditemukan :
a) LED tetap meninggi
b) Ureum meningkat
c) Fosfor serum meningkat
d) Kalsium serum menurun
3. Pada stadium akhir :
a) Serum natrium dan klorida menurun
b) Kalium meningkat
c) Anemia tetap
4. Pada uji fugsional ginjal menunjukan kelainan ginjal yang progresif.
V. Penatalaksanaan
1. Medik :
a) Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.
b) Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.
c) Pengawasan hipertenasi antihipertensi.
d) Pemberian antibiotik untuk infeksi.
e) Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.
2. Keperawatan :
a) Disesuaikan dengan keadaan pasien.
b) Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.
c) Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.
d) Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.
e) Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom nefrotik atau GGK.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GLOMERULONEFRITIS

A. Pengkajian
1. Genitourinaria
a) Urine keruh
b) Proteinuria
c) Penurunan urine output
d) Hematuri
2. Kardiovaskuler
a) Hipertensi
3. Neurologis
a) Letargi
b) Iritabilitas
c) Kejang
4. Gastrointestinal
a) Anorexia
b) Vomitus
c) Diare
5. Hematologi
a) Anemia
b) Azotemia
c) Hiperkalemia
6. Integumen
a) Pucat
b) Edema

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Gangguan perfusi jaringan b/d retensi air dan hipernatremia
KE : Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal ditandai dengan tekanan darah dalam batas normal, penurunan retensi air, tidak ada tanda-tanda hipernatremia.
Intervensi :
a) Monitor dan catat TD setiap 1 – 2 jam perhari selama fase akut.
R/ untuk mendeteksi gejala dini perubahan TD dan menentukan intervensi selanjutnya.
b) Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction
R/ serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke otak
c) Atur pemberian anti HT, monitor reaksi klien.
R/ Anti HT dapat diberikan karena tidak terkontrolnya HT yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal
d) Monitor status volume cairan setiap 1 – 2 jam, monitor urine output (N : 1 – 2 ml/kgBB/jam).
R/ monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat menyebabkan tekanan darah.
e) Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap 8 jam.
R/ Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada status neurologis, memudahkan intervensi selanjutnya.
f) Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.
R/ diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.
2. Peningkatan volume cairan b/d oliguri
KE : Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas normal ditandai dengan urine output 1 - 2 ml/kg BB/jam.
Intervensi :
a) Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.
R/ : Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan , penurunan output urine merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.
b) Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak laki-laki cek adanya pembengkakan pada skrotum
R/ : Peningkatan lingkar perut danPembengkakan pada skrotum merupakan indikasi adanya ascites.
c) Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila menggunakan tiazid/furosemide.
R/ : Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang membutuhkan penanganan pemberia potassium.
d) Monitor dan catat intake cairan.
R/ : Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan dan penurunan laju filtrasi glomerulus, dan juga membutuhkan pembatasan intake sodium.
e) Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.
R/ : Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan protein sebagai indikasi adanya penurunan perfusi ginjal.
f) Monitor hasil tes laboratorium
R/ : Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar kreatinin indikasi adanya gangguan fungsi ginjal.
3. Perubahan status nutrisi (kurang dari kebutuhan) b/d anorexia.
KE : Klien akan menunjukan peningkatan intake ditandai dengan porsi akan dihabiskan minimal 80%.
Intervensi :
a) Sediakan makan dan karbohidrat yang tinggi.
R/ : Diet tinggi karbohodrat biasanya lebih cocok dan menyediakan kalori essensial.
b) Sajikan makan sedikit-sedikit tapi sering, termasuk makanan kesukaan klien.
R/ : Menyajikan makan sedikit-sedikt tapi sering, memberikan kesempatan bagi klien untuk menikmati makanannya, dengan menyajikan makanan kesukaannya dapat menigkatkan nafsu makan.
c) Batasi masukan sodium dan protein sesuai order.
R/ : Sodium dapat menyebabkan retensi cairan, pada beberapa kasus ginjal tidak dapat memetabolisme protein, sehingga perlu untuk membatasi pemasukan cairan.

4. Intolerance aktiviti b/d fatigue.
KE : Klien akan menunjukan adanya peningkatan aktivitas ditandai dengan adanya kemampuan untuk aktivitas atau meningkatnya waktu beraktivitas.
Intervensi :
a) Buat jadwal/periode istirahat setelah aktivitas.
R/ : Dengan periode istirahat yang terjadual menyediakan energi untuk menurunkan produksi dari sisa metabolisme yang dapat meningkatkan stress pada ginjal.
b) Sediakan/ciptakan lingkungan yang tenang, aktivitas yang menantang sesuai dengan perkembangan klien.
R/ : Jenis aktivitas tersebut akan menghemat penggunaan energi dan mencegah kebosanan.
c) Buat rencana/tingkatan dalam keperawatan klien agar tidak dilakukan pada saat klien sementara dalam keadaan istirahat pada malam hari.
R/ : Tingkatan dalam perawatan/pengelompokan dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.
5. Gangguan istirahat tidur b/d immobilisasi dan edema.
KE : Klien dapat mempertahankan integritas kulit ditandai dengan kulit tidak pucat, tidak ada kemerahan, tidak ada edema dan keretakan pada kulit/bersisik.
Intervensi :
a) Sediakan kasur busa pada tempat tidur klien
R/ : Menurunkan resiko terjadinya kerusakan kulit.
b) Bantu merubah posisi tiap 2 jam.
R/ : Dapat mengurangi tekanan dan memperbaiki sirkulasi, penurunan resiko terjadi kerusakan kulit.
c) Mandikan klien tiap hari dengan sabun yang mengandung pelembab.
R/ : Deodoran/sabun berparfum dapat menyebabkan kulit kering, menyebabkan kerusakan kulit.
d) Dukung/beri sokongan dan elevasikan ekstremitas yang mengalami edema.
R/ : Meningkatkan sirkulasi balik dari pembuluh darah vena untuk mengurangi pembengkakan.


DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer and Brenda. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Brunner and Suddarth edisi 8 volume 2, Jakarta: EGC
Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit buku 2 edisi 4, Penerbit EGC, Jakarta 1995.
Buku saku Keperawatan Pediatri, Cecily L.Betz dan Linda A. Sowden, Edisi 3, Penerbit EGC Jakarta 2002.
Pedoman Praktek Keperawatan, Sandra M.Nettina, Penerbit EGC, Jakarta.
Perawatan Anak Sakit, Ngastiyah, Penerbit EGC, Jakarta 1997.
Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Barbara Engram, Volume I, Penerbit EGC, Jakarta 1998.
Perawatan Medikal Bedah, Volume 3, Barbara C. Long, Bandung 1996.

2 komentar: