Jumat, 08 April 2011

ASUHAN PADA KEHAMILAN DAN PERSALINAN YANG DISERTAI PENYAKIT/INFEKSI SISTEM PERNAPASAN : ASTHMA, BRONCHITIS, INFLUENZA, TBC, PNEUMONIA

A.ASTHMA

1.Definisi
Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap stimuli. (Varney, Helen. 2003)
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990).

Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. (Sylvia Anderson (1995 : 149)

Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994)

Asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil. (Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994)

Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang ditandai dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama pada jalan nafas) (Joyce M. Black,1996).

Asma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dengan gejala bronkospasme yang reversibel. (Crocket (1997)

2.Etiologi
Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam reaksi alergi. Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap allergen, yakni zat-zat yang tidak berbahaya bagi kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang yang peka. Allergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir menjadi menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi membengkok. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila penderita mengalami stres dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik, sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang menurun akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat kambuh. (Ilmu Penyakit Dalam)

Berdasarkan etiologinya, asma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma intrinsik dan asthma ektrinsik.
a.Asma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain.
b.Asma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).

Klasifikasi Asma Berdasarkan Etiologi

1.Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkhus
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.

2.Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messengner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).

3.Asma Bronkiale Campuran (Mixed)
Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.


3.Faktor Predisposisi
Faktor Pencetus Serangan Asma Bronkiale

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :
a.Alergen
Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.

b.Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asthma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita asthma dewasa serangan asthmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 1991).

c.Stress
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.

d.Olah raga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asthma bronkiale akan mendapatkan serangan asthma bila melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asthma. Serangan asthma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga.

e.Obat-obatan
Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.

f.Polusi udara
Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.

g.Lingkungan kerja
Diperkirakan 2 – 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja (Sundaru, 1991).

4.Tanda dan Gejala
Keluhan yang biasanya dirasakan saat terjadi asma, yaitu :
a.Nafas pendek
b.Nafas terasa sesak dan yang paling khas pada penderita asma adalah terdengar bunyi wising yang timbul saat menghembuskan nafas.
c.Kadang-kadang batuk kering menjadi salah satu penyebabnya
d.Pada kehamilan, biasanya serangan asma akan timbul pasa usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu dan pada akhir kehamilan seranga jarang terjadi.


5.Komplikasi
Pengaruh asma dalam kehamilan terhadap ibu

Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan :
•Abortus
•Perdarahan vagina
•Persalinan premature
•Solusio plasenta 2,5%
•Korioamnionitis 10,4%
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.
Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal.

Pengaruh asma dalam kehamilan terhadap janin

Efek yang dirasakan tidak hanya dirasakan oleh ibu tapi juga dirasakan oleh janin
a.Asama yang tidak ditangani dapat menyebabkan BBLR
b.Jika ibu sering mengalami serangan asama selama hamil, maka dapat menyebabkan suplai oksigen ke janin yang sangat diperlukan sel darah merah untuk mengangkut nutrisi ke janin menjadi teganggu sehingga janin dapat mengalami hipoksia dan pertumbuhannya menjadi terhambat (IUGR).
c.Batuk-batuk yang hebat dapat menimbulkan asma, pada saat batuk diafragma menekan rahim. Rahim yang dalam keadaan itu sifatnya sensitive sehingga rahim akan mudah terangsang sehingga dapat menyebabkan bayi lahir perematur atau lepasnya plasenta (solusio placenta)

6.Patofisiologi

I.Patofisiologi. Pada asma akut, obstruksi akut disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus, meningkatnya sekresi lender, dan radang saluran nafas serangan ini dipicu oleh stimulasi yang beragam misalnya infeksi saluran nafas menghirup tepung sari atau bahan kimia, udara dingin atau kelembapan. Penyempitan bronkus terjadi sebagai respon terhadap infeksi yang diperantai saraf vagus atau akibat dari kerja zat-zat yang dilepaskan oleh sel mast terhadap otot polos, atau sebagai akibat kedua dari mekanisme itu penyempitan bronkiolus meningjkatkan resistensi saluran nafas, menurunkan kecepatan aliran gas, dan menyebabkan terperangkapnya udara. Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi yang diakibatkannya menimbulkan hipoksemia, yang mula-mula merangsang pernafasan, mengakibatkan hiperventilasi yang ditunjukan oleh suatu PaCO2 yang rendah dan alkalosis pernafasan akut.
II.Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )

7.Penatalaksanaan

a.Mencegah timbulnya stress
b.Mencegah penggunaan obat seperti aspirin semacamnya yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan
c.Pada penderita asma ringan dapat digunakan obat local yang berbentuk inhalasi atau peroral seperti isoproterenol
d.Serangan asma yang ringan diatasi dengan pemberian bronkodilator hirup misalnya isoproterenol yang akan memperlebar penyempitan saluran udara pada paru-paru. Tetapi obat ini tidak boleh terlalu sering digunakan.
e.Serangan asma yang lebih berat biasanya diatasi dengan infus aminofilin.
Serangan asma yang sangat berat (status asmatikus) diatasi dengan pemberian infus kortikosteroid.
Jika terdapat infeksi, diberikan antibiotik.
f.Setelah suatu serangan, bisa diberikan tablet yang mengandung teofilin untuk mencegah serangan lanjutan. Bronkodilator dan kortikosteroid banyak digunakan oleh ibu hamil dan tidak menimbulkan masalah yang berat.

Obat asma dibedakan menurut fungsinya, yaitu obat untuk melebarkan saluran nafas (bronkodilator) mengurangi bengkak saluran nafas (anti inflamasi), dan untuk memudahkan pengeluaran lender. Selain itu obat dapat diberiakan melalui peroral, inhaler, infuse, suntikan dan melalui rectal. Namun bagi ibu hamil yang paling aman digunakan adalah melalui inhaler (Alupen efeknya paling keras, Ventolin, Bereotech, Inflamide efeknya paling lembut ), karena efeknya tidak terlalu berdampak dan langsung focus pada saluran nafas, selain itu dosisnya lebih kecil, sehingga relative tidak akan mempengaruhi janin dalam kandungan.
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik
1.Pengobatan non farmakologik
•Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
•Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
•Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.

2.Pengobatan farmakologik
•Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
•Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
•Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
•Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
•Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
•Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.
(Evelin dan joyce L. kee, 1994 ; Karnen baratawijaja, 1994 )

Pengobatan selama serangan status asthmatikus
•Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
•Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
•Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
•Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
•Antibiotik spektrum luas.
(Pedoman penatalaksanaan status asthmatikus UPF paru RSUD Dr Soetomo Surabaya ).

Penanganan Asma Selama Proses Melahirkan
Penanganan asma yang baik bagi penderita asma selama kehamilan membuat tidak adanya gejala asma selama melahirkan. Pada suatu penelitian oleh ahli asma Kalifornia pada 120 kasus wanita asma yang hamil dan terkontrol baik, terdapat 90% wanita asma yang hamil menunjukan tidak adanya gejala selama melahirkan, 2,2% mengalami serangan ringan dan 0,2% mengalami serangan asma berat.
Mereka yang memperlihatkan gejala biasanya hanya memerlukan inhalasi bronkodilator. Jika respon jelek maka diberikan metil prednisolon intravena. Untuk penderita yang mendapat kortikosteroid secara reguler atau yang sering mendapatkannya selama kehamilan, penambahan kortikosteroid parenteral direkomendasikan untuk stres selama persalinan dan kelahiran yaitu 100 mg hidrokortison intravena sewaktu mulai persalinan dan diteruskan dengan 100 mg intravena setiap 8 jam selama 24 jam atau sampai tidak ditemukan komplikasi.
Dianjurkan untuk melanjutkan terapi profilaksis yang biasanya didapat (kromolin, inhalasi kortikosteroid atau teofilin) selama persalinan. Prostaglandin E2 aman digunakan untuk induksi persalinan dan kontraksi uterus. Penggunaan prostglandin F2α didindikasikan untuk perdarahan postpartum tetapi dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Penggunaannya untuk induksi persalinan dan menstimulasi kontraksi uterus postpartum harus di hindarkan. Sebagai alternatif, oksitosin dapat diberikan karena tidak menyebabkan bronkokonstriksi
Apabila ibu masih kuat untuk mengejan maka dilakukan tindakan forceps ataupun dengan vakum maupun induksi persalinan. Hal tersebut dilakukan bertujuan :
•Kepentingan bagi janin : keberadaan janin di dalam rahim yang terlalu lama (postmaturitas) akan membahayakan kondisinya. Hal ini antara lain karena fungsi plasenta akan menurun sehingga meracuni janin.
•Kepentingan bagi ibu : terhindar dari masalah yang dapat membahayakan nyawa ibu, seperti kematian janin dalam rahim.

Induksi dapat dilakukan dengan cara pemberian obat-obatan, atau dengan memecahkan kantung ketuban. Biasanya, setelah induksi dilaksanakan, maka proses persalinan akan mulai. Pasien akan merasakan kontraksi rahim, sampai bayi lahir dengan lancar.
Namun, ada kalanya setelah diinduksi pun proses persalinan belum berjalan lancar. Dokter biasanya akan menentukan kapan induksi harus diulang, yang berarti proses persalinan melalui vagina diteruskan. Atau, proses persalinan perlu dilakukan dengan operasi.
Yang jelas, selama diinduksi, pasien harus selalu dipantau, baik untuk mengawasi kondisi janin maupun ibunya.
Tak selalu perlu operasi. Pasien berhak memilih apa tindakan yang diinginkannya, sepanjang tidak membahayakan dirinya. Namun, dokter juga wajib memberitahu risiko yang mungkin dialami pasiennya. Pada kehamilan normal, di mana janin dan ibu dalam kondisi baik, maka operasi biasanya tidak dianjurkan dokter. operasi caesar sebenarnya hanya membantu mengeluarkan bayi tidak melalui jalan lahir. Bahkan, proses pemulihan pada operasi caesar relatif lebih lama dari proses persalinan biasa. Itu sebabnya, biasanya operasi baru akan dilakukan bila proses persalinan mengancam jiwa ibu dan/atau janinnya.


B.BRONCHITIS

1.Definisi
Infeksi saluran pernafasan bawah yang dibatasi sampai trachea dan bronkus disebut Bronchitis . (Varney, Helen. 2003)
Bronkhitis adalah hipersekresi mukus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut pada pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain (Perawatan Medikal Bedah 2, 1998, hal : 490).
2.Etiologi:
1.Umum : virus (adenovirus, influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, rhinovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus.)
2.Infeksi bakteri : S pneumonia, M catarrhalis, H influenza, Chlamydia pneumoniae (Taiwan acute respiratory [TWAR] agent), Mycoplasma species.
3.Spesifik : Influenza, Pertusis, Campak (morbilli), Salmonella, Difteria, Scarlet fever
4.Polusi udara, seperti merokok
5.Faktor keturunan dan status sosial.

a.Rokok
Menurut buku Report of the WHO Expert Comite on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernafasan juga dapat menyebabkan bronkostriksi akut.
b.Infeksi
Eksaserbasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Hemophilus influenza dan streptococcus pneumonie.
c.Polusi
Pulusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab, tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat – zat kimia dapat juga menyebabkan bronchitis adalah zat – zat pereduksi seperti O2, zat – zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
d.Keturunan
Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak, kecuali pada penderita defisiensi alfa – 1 – antitripsin yang merupakan suatu problem, dimana kelainan ini diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru.
e.Faktor sosial ekonomi
Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

3.Predisposisi dan faktor yang berpengaruh adalah:
•Asap rokok
•Alergi
•Cuaca
•Keadaan umum yang jelek (Poor health)
•Infeksi kronik alat napas atas
Bronkhitis infeksiosa disebabkan oleh virus, bakteri dan (terutama) organisme yang menyerupai bakteri (Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia).

4.Gejala dan tanda lain bronkitis akut :
•Berupa batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan), Pada awalnya batuk tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.
•Sesak napas ketika melakukan olah raga atau aktivitas ringan
•Sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu)
•Lelah
•Pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan.
•Demam tinggi selama 3-5 hari
•Rasa tidak enak di bawah tulang dada : Seperti terbakar dan sakit
•Muntah
Sedangkan gejala yang timbul pada Bronkhitis infeksiosa :
•Pilek, yaitu hidung meler
•Lelah
•Menggigil
•Sakit punggung
•Sakit otot
•Demam ringan
•Nyeri tenggorokan.

5.Komplikasi bronkitis akut :
•Otitis
•Sinusitis
•Pneumonia
•Terutama kalau gizi buruk
•Bronkiektasis
•Bronkopneumonia
•Gagal nafas akut

6.Patofisiologi
Penemuan patologis dari bronchitis adalah hipertropi dari kelenjar mukosa bronchus dan peningkatan sejumlah sel goblet disertai dengan infiltrasi sel radang dan ini mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronchiolus yang kecil – kecil sedemikian rupa sampai bronchiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara lain yang biasa terdapat pada daerah industri. Polusi tersebut dapat memperlambat aktifitas silia dan pagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah.
Mukus yang berlebihan terjadi akibat displasia. Sel – sel penghasil mukus di bronkhus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan – perubahan pada sel – sel penghasil mukus dan sel – sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus dalam jumlah besar yang sulit dikeluarkan dari saluran nafas.

7.Penanganan
a.Tindakan suportif
•Pendidikan bagi pasien dan keluarganya tentang
•Menghindari merokok
•Menghindari iritan lainnya yang dapat terhirup.
•Mengontrol suhu dan kelembaban lingkungan.
•Nutrisi yang baik.
•Hidrasi yang adekuat.

b.Terapi khusus (pengobatan).
•Bronchodilator
•Antimikroba
•Kortikosteroid
•Terapi pernafasan
•Terapi aerosol
•Terapi oksigen
•Penyesuaian fisik
•Latihan relaksasi
•Meditasi
•Menahan nafas
•Rehabilitasi

C.INFLUENZA

1.Definisi
Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorokan dan batuk non produktif. (Ilmu Penyakit Dalam)
Infeksi ini disebabkan oleh anggota dari famili Ortomiksoviride meliputi influenza tipe A dan tipe B.

2.Etiologi
Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B, dan C. ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang bersifat epidemia. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan daripada tipe A dan Madang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe yang diragukan patogenitasnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja.
Faktor risiko pada influenza terutama jika itu terjadi dalam suatu komunitas (kantor, asrama, sekolahan). Ini bisa terjadi karena penyebaran virus melalui cairan yang keluar sewaktu penderita bersin, berbicara, dll. Apalagi jika kita berada dengan penderita dalam ruangan yang ber-AC (tertutup) dan tidak mendapat sinar matahari.
Namun demikian ada kelompok orang yang disebut berisiko tinggi, yaitu mereka yang menderita :
a.penyakit paru menahun, seperti asma, emfisema, bronkitis kronik, bronkiektasi, tbc, atau fibrosis kistik
b.penyakit jantung
c.penyakit ginjal kronik
d.penyakit kencing manis maupun gangguan metabolik menahun lainnya
e.anemia berat
f.mempunyai penyakit atau sedang menjalani terapi untuk menekan kekebalan tubuh
g.berusia lebih dari 50 tahun

3.Patofisiologi
Transmisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya di traktus respiratatorius. Penularan bergantung pada usuran partikel (droplet) yang membawa virus tersebut masuk ke dalam saluran napas. Pada dosis infeksius 10 virrus/droplet, 50 % orarng-oang yang terserang dosis ini akan tenderita influenza. Virus akan melekat pada epitel sel di hidung dan bronkus. Estela virus berhasil menerobos masuk ke dalam sel, dalam beberapa jam sudah mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah ke sel lain

4.Tanda dan Gejala
Meskipun influenza sering disebut penyakit pernapasan, namun penyakit ini bisa memberi pengaruh ke seluruh tubuh. Penderita secara tiba-tiba menjadi demam, letih, lesu, kehilangan selera makan, dan sakit kepala, belakang tangan dan kaki. Juga menderita sakit tenggorokan dan batuk kering, mual dan mata seperti terbakar. Panas bisa meningkat hingga 104 derajat Fahrenheit, tapi akan menurun setelah 2 hingga 3 hari. Gejala saluran nafasnya sendiri bisa berupa pilek dan batuk.

5.Komplikasi
Komplikasi yang dapat tejadi diantaranya otitis media, sinusitis, myositis, bonchitis, pneumonia primer, enchephalitis, pericarditis, myocarditis, dan thromboplebitis (Maureen, 2001).
Efek Pada Janin
Belum ada bukti kuat bahwa virus influenza A menyebabkan malformasi kongenital (Korones, 1988). Saxen dkk. (1990) tidak dapat mengidentifikasi adanya kaitan antara peningkatan influenza trimester petama pada 248 ibu dan anak anensefalus. Sebaliknya, Lynberg dkk. (1994) melaporkan peningkatan defek tabung saraf pada anak yang lahir dari wanita dengan influenza pada awal kehamilan. Hal ini mungkin berkaitan dengan terjadinya hipertermia (Kashyap dan Gruslin, 2000). McGregor dkk. (1984) secara meyakinkan memperlihatkan bahwa virus dapat menginfeksi janin, paling tidak pada akhir kehamilan. Terdapat bukti yang kontroversial bahwa terpajannya janin ke influenza A dapat menyebabkan skizofrenia di kemudian hari (Kunugi dkk., 1995; McGrath dan Castle, 1995).

6.Penatalaksanaan
Deteksi Dini
a.Subjektif
Ibu biasanya mengeluhkan satu atau lebih gejala yang mengarah kepada influenza (Amstey, 1996; LaForce et al., 1994; Nicholson, 1992; Shannon, 1995).
b.Objektif
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan hal sebagai berikut (Amstey, 1996; LaForce, Nichol, & Cox, 1994; Nicholson, 1992; Shannon, 1995):
•Temperatur suhu meningkat (biasanya diantara 38° dan 40° C [100.4°-104° F])
•Berat badan menurun (jika disertai mual dan muntah)
•Takipnea (jika disertai pneumonia)
•Takikardi (jika terdapat demam yang signifikan, dehidrasi, atau disertai pneumonia atau perikarditis)
•Hiperemia pada hidung
•Hiperemia pada Pharing
•Eritema konjungtiva

Penanganan Awal
•Terapi symptomatic seperti beristirahat, meningkatkan asupan cairan dan memberikan acetaminophen 650 mg per oral setiap 4 jam untuk menurunkan demam. Ibu hamil dilarang untuk menggunakan aspirin karena berhubungan dengan masalah hemostasis pada ibu dan janin.
•Rujuk ibu, khususnya jika terdapat dehidrasi atau terdapat komplikasi lain

Penanganan Lanjut
Pada beberapa wanita dengan komplikasi, pertimbangkan untuk menggnakan amantadin. Amantadin adalah salah satu obat antivirus dengan aktivitas spesifik terhadap virus-virus influenza A. apabila diberikan secara profilaxis saat epidemi, obat ini 70 sampai 90 persen efektif untuk mencegah influenza. Apabila terapi mulai dalam 48 jam setelah awitan gejala, amantadin mengurangi durasi demam dan gejala sistemik. Adapun data yang menyebutkan terdapat efek yang disebabkan oleh amantadin pada kehamilan. Pada percobaan (binatang) menunjukkan adanya embiotoksik dan teratogenik ketika diberikan pada dosis yang tinggi. Juga disebutkan jika diberikan pada awal trimester akan meningkatkan defek kongenital. Dan juga menyebabkan berkurangnya produksi ASI.

7.Pencegahan
Centers for Disease Control dan Prevention (1998b) menganjurkan vaksinasi terhadap influenza bagi semua wanita hamil setelah trimester pertama. Diberikan 0.5 ml IM dan akan memberikan ketahanan sekitar 1 tahun. Tidak terdapat bukti teratogenisitas.

D.TBC

1.Definisi
TBC merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (Varney, Helen. 2003).

2.Etiologi dan Faktor Resiko
Infeksi ini disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Kuman tuberkulosis berbentuk batang panjangnya 1 sampai 5 µm, tebal 0.3-0.6 µm. Sebagian besar terdiri dari asam lemak (lipid), sehingga lebih tahan asam. Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat bersifat Dormant (tahan terhadap dingin dan kering, kemudian aktif kembali) dan bersifat aerob.
Kelompok risiko tinggi yang dianjurkan mejalani penapisan Tuberkulosis (Centers for Disease Control, 1990):
•Orang yang terinfeksi oleh virus imunodefisiensi manusia
•Kontak erat dengan orang yan diketahui atau dicurigai mengidap tuberkulosis, tinggal di rumah yang sama atau lingkungan erat lainnya
•Orang dengan faktor risiko medis yang diketahui meningkatkan risiko penyakit apabila telah terjadi infeksi
•Orang asing yang lahir di negeri dengan pravelansi tuberculosis yang tinggi
•Populasi berpenghasian rendah yang kurang mendapat perlindungan medis, termasuk populasi minoritas etnik atau ras berisiko tinggi-misalnya, keturunan Afrika, Spanyol, dan Indian
•Pecandu alcohol dan obat terlarang intravena
•Penghuni panti asuhan, penjara, rumah sakit jiwa, panti jompo, dan fasilitas rawat inap jangka panjang lainnya.

3.Patofisiologi
Sumber penularan penyakit tuberculosis adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi bila droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

4.Tanda dan Gejala
Pada stadium dini penyakit tuberkulosis biasanya tidak tampak adanya tanda atau gejala yang khas. Gejala-gejala yang perlu diwaspasai terkait dengan TB adalah: penurunan berat badan, fatique, batuk produktif, demam, dan night sweats (keringat pada malam hari). Gejala ini dapat muncul secara bertahap. Peningkatan keparahan dari TB sangat bergantung pada: jumlah bakteri yang menginfeksi, kemampuan bakteri dalam menginfeksi, serta sistem imun tubuh pasien (Dipiro, et al., 2005).

5.Komplikasi
Komplikasi pada penderita tuberkulosis antara lain hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial, bronkiectasis dan fibrosis pada paru, pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya, insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency). Penderita yang mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit. Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai menjadi kronik yang tetap menular (WHO 1996). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

6.Penatalaksanaan
a. Deteksi Dini
1) Subjektif
Ibu dengan infeksi Tuberkulosis latent mungkin tidak menimbulkan gejala. Namun ibu dengan infeksi Tuberkulosis aktif dapat mengeluh beberapa gejala (American Thoracic Society, 1990; Miller& Miler Jr., 1996; Shannon, 1995; Stauffer, 1996).
Anamnesis :
-pernah kontak dengan pasien TBC
-batuk kronis, batuk darah
-nyeri dada
-keringat malam
-berat badan menurun
-demam

2) Objektif
Pemeriksaan fisik untuk ibu dengan infeksi latent mungkin tidak ditemukan gejala apapun. Atau akan ditemukan gejala satu atau lebih tergantung luasnya infeksi dan daya tahan tubuh ibu (Miller & Miller, Jr., 1996; Sekowitz et al., 1995):
1. Tanda-tanda Vital
•Dalam batas normal atau
•Dengan temperatur yang tinggi (>37.7°C)
•Berat badan turun hingga 10% (berat badan saat hamil kurang dari normal)
2. Kulit
•Dalam batas normal atau
•Kulit pucat
3. Mata :konjunctivitis atau keratitis
4. Adanya luka (ulcerasi) pada mulut
5. Lymphadenopathy
6. Dullness di dinding dada (jika tedapat sakit paru-paru aktif)
7. Palpasi dinding dada mungkin akan teraba fremitus jika pleura penuh cairan
8. Auskultasi: suara napas bronkial, hipersonor/timpani
9. Pemeriksaan abdomen : Splenomegaly, tinggi fundus uteri kurang dari normal

Pemeriksaan Penunjang
•Laboratorium
Pemeriksaan BTA
Pemeriksaan bakteriologik yang paling penting untuk diagnosis tuberculosis adalah pemeriksaan sputum. Pewarnaan cara Ziehl-Neelsen dapat dipakai. Sediaan apus yang akan diwarnai mula-mula digenangi dengan zat carbol-fuksin yang dipanaskan, lalu dilakukan dekolorisasi dengan asam alcohol. Sesudah itu diwarnai lagi dengan mutilen biru atau “briliant green.” Cara pewarnaan yang paling banyak digunakan adalah teknik pewarnaan fluorasen dengan memakai larutan auramin-rodamin. Estela larutan itu melekat pada mikobakteria maka tidak dapat didekolorisasi lagi dengan asam alcohol.
Cara diagnosis yang paling tepat adalah dengan memakai biakan. Mikobakteria tumbuh lambat dan membutuhkan statu media yang kompleks untuk dapat tumbuh. Untuk tumbuh mikroorganisme ini membutuhkan sekitar 2 minggu atau lebih pada suhu antara 36-37OC. Koloni yang sudah dewasa, akan berwarna krem dan bentuknya seperti kembang kol. Jumlah sekecil 10 bakteri/milimeter media konsentrat yang telah diolah dapat dideteksi oleh media biakan ini. Pertumbuhan mikobakteria yang diamati pada media biakan ini sebaiknya dihitung sesuai dengan jumlah koloni yang timbul.
•Tes tuberkulin intradermal (Mantoux)
Teknik standar (tes Mantoux) adalah dengan menyuntikkan tuberkulin (PPD) sebanyak 0.1 ml yang mengandung 5 unit tuberkulin secara intrakutan, pada seperiga atas permukaan volar lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alcohol. Sebaiknya kita memakai jarum suntik sekali pakai khusus untuk tuberkulin dengan ukuran 26-27 G. Jarak yang pendek dan tumpul ini diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Bila dosis 0.1 ml disuntikkan dengan tepat dan cermat maka terbentuk suatu gelembung berdiameter 6-10 m yang menyerupai digitan nyamuk.
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 8 sampai 72 jam sesudah penyuntikkan. Reaksi harus dibaca pada periode tersebut yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang dicatat dari reaksi ini adalah diameter indurasi dalam satuan milimeter. Pengukuran harus dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah. Hanya indurasi dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi (dengan meraba daerah tersebut dengan jari tangan).
Interpretasi tes kulit menunjukkan adanya berbagai tipe reaksi. Daerah indurasi sebesar 10 mm atau lebih dianggap bermakna dan mencerminkan adanya sensitivitas yang beasal dari infeksi dengan basil. Daeah yang diameternya kurang ari 10 mm dianggap tidak bermakna pada orang yang tidak dicurigai penderita tuberculosis, penderita seropositif HIV, atau orang yang kontak dekat dengan penderita dengan sputum positif, atau belum lama positif terhadap M. tuberculosis.
•Foto thorax
Tidak rutin dikerjakan pada kehamilan. Jika diperlukan bila usia kehamilan < 7 bulan harus menggunakan pelindung perut.

c.Penanganan
Penanganan Awal
•Terapi yang diberikan untuk perawatan wanita hamil dengan TBC ditetapkan oleh dokter
•Wanita hamil dengan infeksi TBC aktif dianjurkan untuk istirahat total dan menerima nutrisi dan hidrasi yang adekuat

Penanganan Lanjut

Untuk pasien tidak hamil yang positif tuberkulin dan berusia kurang dari 35 tahun serta tidak memperlihatkan penyakit aktif, diberikan isoniazid 300 mg per hari selama 1 tahun. Isoniazid adalah obat kategori C yang dianggap aman bagi wanita hamil. Namun, pada wanita hamil yang negatif HIV, sebagian besar penulis menganjurkan bahwa terapi difunda sampai setelah melahirkan. Karena mungkin terjadi peningkatan hepatitis akibat isoniazid pada wanita pascapartum, sebagian penulis menganjurkan bahwa terapi ditunda sampai 3-6 bulan pascapartum.
Karena munculnya resistensi obat, Centers for Disease Control (1993) sekarang menganjurkan regimen empat obat untuk terapi empiris awal pada pasien tidak hamil dengan tuberculosis simptomatik. Oba-obat tersebut adalah isonoazid, rifampin, dan pirazinamid disertai etambutol atau streptomisin yang diberikan sampai pemeriksaan sensitivitas selesai. Sebagian besar obat tuberkulostatik lini-pertama tampaknya tidak mengganggu janin. Salah satu pengecualiannya adalah streptomisin, yang dapat mengakibatkan tuli kongenital. Selain itu, keamanan pirazinamid yang diberikan pada kehamilan muda belum diketahui pasti.
Rekomendasi Centre for Disease Control (1993) adalah sebagai berikut:
1.Isoniazid 5mg/kg/hari, maksimal 300 mg/hari bersama piridoksin 50 mg/hari
2.Rifampisin 10 mg/kg/hari, maksimal 600 mg/hari
3.Etambutol 5-25 mg/kg/hari, maksimal 2,5 gram/hari (biasanya 25 mg/kg/hari selama 6 minggu kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kg/hari).
Terapi diberikan minimum 9 bulan. Jika resisten terhadap obat ini dapat dipertimbangkan pengobatan dengan pyrazinamide. Selain itu pyrazinamide 50 mg/hari harus diberikan untuk mencegah neuritis perifer yang disebabkan oleh isoniazid

Catatan :
Terapi pada trimester pertama harus mempertimbangkan tingkat keparahan penyakitnya. Pasien yang tidak sakit berat dianjurkan untuk terapi dengan INH dan Etambutol saja hingga selesai trimester I, kemudian mulai terapi 6 bulan penuh dengan pirazinamid, rifampisin, dan INH.

Penanganan TBC selama Persalinan
Beberapa hal di bawah ini dapat menjadi pertimbangan ketika melakukan asuhan intrapartum diantaranya :
•Masker yang dipakai oleh pehadap penolong persalinan kurang efektif dibandingkan jika masker dipakai oleh pasien.
•Droplet nuklei tidak menentu tetapi berada di udara dalam waktu yang cukup lama.
Ibu dengan TBC tanpa gejala dan dalam terapi pengobatan yang tepat tidak memberikan risiko terhadap petugas kesehatan. Namun, pada pasien yang tidak mendapat terapi memerlukan perawatan yang serius. Pada saat persalinan, jika terdapat pasien yang mengalami batuk, petugas kesehatan harus segera menyediakan masker atau tissue.

Tuberkulosis Neonatus
Tubekulosis selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi pada plasenta. Janin juga dapat terinfeksi, dan walaupun jarang, tuberkulosis kongenital dapat mematikan. Insiden kelainan ini mungkin meningkat karena adanya infeksi HIV (Pillay dan Jeena, 1999). Pada separuh kasus, infeksi ditularkan secara hematogen di hati atau paru melalui vena umbilicalis. Pada separuh yang lain, bayi terinfeksi akibat aspirasi sekresi yang terinfeksi saat pelahiran.
Infeksi neonatus kecil kemungkinannya terjadi apabila ibu dengan penyakit aktif telah mendapat terapi sebelum melahirkan, atau apabila biakan sputumnya negatif.

E.PNEUMONIA

1.DEFINISI
Pneumonia merupakan suatu infeksi paru-paru yang disebabkan oleh bermacam-macam patogen, termasuk bakteri, virus, dan jamur. Individu mungkin terinfeksi organisme tersebut melalui transmisi dari penyebaran daerah pernapasan atas, melalui peredaran darah, atau melalui dahak yang terinfeksi (Mays & Leiner, 1996)
Pnemonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli).

2.ETIOLOGI
Patogen penyebab utama pneumonia seringnya tidak dapat teridentifikasi pada kasus perorang. Namun, ketika identifikasi pathogen pneumonia telah dilaksanakan, yang terjadi pada ibu hamil sama dengan identifikasi populasi pneumonia pada wanita tidak hamil.
Bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada wanita hamil diantaranya :
a.Streptococcus pneumonia (S. pneumoniae)
b.Haemohilus influenza (H. influenzae)
c.Mycoplasma pneumonia (M. pneumoniae)
d.Legionella pneumophila (L. pneumophila)
e.Chlamydia pneumonia (C. pneumonia [TWAR])
f.Moraxella catarrhalis (M. catarrhalis)
(Rigby & Pastroek, 1996; Rodrigues & Niederman, 1992)
Virus pathogen yang berhubungan dengan pneumonia selama kehamilan diantaranya :
a.Influenza A.
b.Varicella virus
c.Para-influenza virus
d.Adenovirus
e.Virus lainnya
Pneumonia yang disebabkan jamur seperti Pneumocystis carinii dan Aspergillus fumigates jarang terjadi pada individu dengan system imun yang baik tapi terjadi pada wanita dengan system imun yang terganggu (pada wanita yang terinfeksi HIV).
Infeksi Nosokomial organisme pneumonia juga dapat terjadi. Patogen seringkali berhubungan dengan infeksi nosokomial termasuk :
a.Staphylococcus aureus (S. aureus)
b.Klebsiella pneumonia (K. pneumonia)
c.Eschericia coli (E. coli)
d.Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa)
e.Virus Influenza tipe A dan B


3.FAKTOR PREDISPOSISI
Wanita yang mengalami satu atau lebih dari beberapa hal dibawah ini yaitu (Rigby & Pastroek, 1996 ; Shannon, 1995) :
a.Penggunaan rokok
b.Riwayat penyakit jantung ataupun paru-paru
c.Riwayat splenektomi
d.Riwayat Penyakit kronis (seperti penyakit ginjal)
e.Riwayat penggunaan alcohol narkoba suntik.
f.Riwayat penurunan imun (seperti infeksi HIV, pemberian obat immunosuppressive)
g.Riwayat Anemia
h.Riwayat infeksi pernapasan atas yang baru terjadi, influenza, serangan virus (seperti rubella, varisela)
i.Riwayat hospitalisasi
j.Baru saja Imgrasi

4.TANDA DAN GEJALA
a.Pneumonia Bakteri
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua, atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan.
Ibu tiba-tiba akan mengalami beberapa gejala dari gejala yang ada di bawah ini (Mays & Leiner, 1996; Rigby & Pastroek, 1996 Rodrigues & Niederman, 1992; Shannon, 1995) :
1)Demam, biasanya lebih tinggi dari 380 C (khususnya pasa ibu dengan pneumococcal pneumonia)
2)Batuk dengan suara yang berat, mengeluarkan nanah dan atau lendir yang sedikit berdarah.
3)Menggigil
4)Sakit dada
5)Dyspneu
6)Malaise
7)Sakit kepala (jarang)
8)Myalgia (Nyeri otot)
9)Perubahan pada status mental (sering terjadi pada L.Pneumonia)
10)Nausea, Vomiting, diare, (biasanya berhubungan dengan L.Pneumonia)

b.Pneumonia Virus
Gejala yang berhubungan dengan pneumonia yang disebabkan virus hamper sama dengan gejala yang terjadi pada Pneumonia yang disebabkan bakteri. Namun, lebih lanjut lagi akan ada laporan mengenai hasil pemeriksaan yang utama pada ibu dengan pneumonia ini adalah adanya infeksi karena virus.
1)Riwayat exanthema virus yang mengindikasikan infeksi virus rubella atau varisela yang baru terjadi.
2)Riwayat gejala yang mengindikasikan influenza yang baru terjadi.

c.Pneumonia Tipikal atau Mikoplasma
Pneumonia jenis ini berbeda gejala dan tanda-tanda fisiknya bila dibandingkan dengan pneumonia pada umumnya. Karena itu, pneumonia yang diduga disebabkan oleh virus yang belum ditemukan ini sering juga disebut pneumonia yang tidak tipikal ( Atypical Penumonia ).
Pneumonia mikoplasma mulai diidentifikasi dalam perang dnia II. Mikoplasma adalah agen terkecil dialam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya.
Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas.
Pneumonia yang terjadi yaitu dengan adanya serangan berangsur-angsur pada beberapa gejala di bawah ini yaitu (Mays & Leiner, 1996; Shannon, 1995) :
1)Sakit kepala
2)Malaise
3)Demam dengan tingkat rendah
4)Sakit Tenggorokan
5)Pembesaran kelenjar getah bening
6)Batuk tidak berdahak yang terus menerus (khususnya bila M.Pneumonia)
7)Rasa tidak nyaman pada otot dada (buka sakit pleura)
8)Gejala yang berhubungan dengan sinusitis
•Sakit Kepala
•Cairan hidung bernanah
•Demam
•Sakit pada tepi kelopak mata
9)Gejala pada Sistem Saraf Pusat, termasuk leher kaku, masalah koordinasi, kurang pendengaran (terjadi lebih dari 7 persen dari pasien pneumonia yang disebabkan M. Pneumonia)

5.KOMPLIKASI

Peningkatan resiko komplikasi pneumonia selama kehamilan ditemukan berhubungan dengan beberapa factor maternal diantaranya :
a.Ibu menderita penyakit terutama yang berhubungan dengan pneumonia ( seperti penyakit paru-paru dan infeksi HIV).
b.Status kesehatan ibu saat terjadi manifestasi klinis.
c.Seberapa cepat intervensi therapeutic terhadap penyakit dilakukan. (Berkowitz & SaLala, 1990; Rigby & PAstroek, 1996; Rodrigues & Niederman, 1992)

Komplikasi yang mungkin terjadi diantaranya :
1.Bacteremia
2.Meningitis
3.Penyakit jantung
4.Infeksi influenza
5.TBC
6.Syndrom gangguan pernapasan lanjut
7.Emboli paru dan infark
8.Neoplasma
9.Penurunan system imun
10.Pertussis
11.IUGR

Berikut tabel hasil penelitian mengenai komplikasi yang terjadi pada ibu hamil dengan pneumonia

Peneliti Hopwood Benedetti Madinger Berkowitz

Tahun 1965 1982 1989 1990
Prematuritas N/A N/A 36% 0%
Kematian janin 4.3% 5.2% 12% 0%
Kematian ibu 8.6% 8.6% 4% 0%
Bacteremia N/A 0% 16% 15%
Mech. Vent 8.6% 0% 20% 8%
Others SLE flare n=1
Shock n=1 Anemia 49% Empyema 8% Tidak ada

6.PATOFISIOLOGI

a.Perubahan Anatomi
Sejumlah perubahan anatomi terjadi pada dada selama kehamilan, termasuk peningkatan sudut subcostal dan peningkatan diameter melintang dari dada. Diafragma juga bertambah 4cm. Secara bersamaan, perubahan ini mengurangi kemampuan wanita hamil untuk dalam proses respirasi. Dengan ketinggian dari diafragma yang mengarah pada penurunan kapasitas fungsional sisa yang berhubungan pula dengan peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi selama kehamilan, sehingga mengurangi kemampuan ibu hamil untuk mentolerir Hypoxia, terutama pada trimester ketiga. Peningkatan progesteron selama kehamilan merangsang pusat pernafasan di otak sehingga terjadi hyperventiasi dan menjadi sulit bernafas yang umumnya terjadi selama kehamilan normal. Penilaian pernapasan harus tetap normal, jika adanya takipneu merupakan suatu keadaan patologis. Terjadinya tachypneu itu akan digunakan untuk mengevaluasi kerasnya sakit ketika adanya pneumonia.

b.Perubahan Sistem Imun
Faktor predisposisi utama ibu hamil dengan pneumonia akut adalah perubahan system imun atau kekebalan. Perubahan ini terutama terjadi pada sel-mediated system imun. Menurut hasil penelitian beberapa ahli, sejumlah kehamilan mengalami perubahan system imun ibu seperti penurunan respon proliferative limfosit, penurunan aktivitas sel pembunuh alami dan penurunan absolute sel penolong T4. Serum ibu juga dapat memblokir pengeluaran lymphokine dan lymphoproliferatif.
Adaptasi imunologis yang terjadi pada tempat janin hidup itu dapat melindungi janin dari antigen yang berbeda dari ibu namun dapat meningkatkan kerentanan ibu terhadap infeksi.

c.Perubahan Hormonal
Perubahan aktivitas hormonalyang terjadi saat kehamilan tentunya berpengaruh pada infeksi yang terjadi. Progesteron, HCG, alpha-fetoprotein dan cortisol menghambat sel-mediated imunitas. Selain itu, estrogen (17-estradiols), progesterone dan testosterone telah terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan pathogen in vitro tertentu, seperti Coccidioides immits. Oleh karena adaptasi fisiologi selama kehamilan ini, perubahan keseimbangan cairan paru-paru dapat terjadi. Kehamilan telah dikaitkan dengan kecenderungan untuk meningkatkan cairan interstitial paru-paru, yang kemungkinan akan meningkatkan cedera paru-paru.

7.PENATALAKSANAAN/MANAJEMEN
a.Deteksi Dini
1)Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada kehamilan dengan pneumonia (Rigby & Pastroek, 1996; Rodrigues & Niederman, 1992) diantaranya :
a)Keadaan Umum
Mungkin tampak cemas, khawatir, risau atau bingung, tergantung pada tingkat hipoksia dan/ atau kesakitan yang bersamaan (seperti meningitis)
b)Tanda-tanda Vital
•Suhu mungkin meningkat ataupun normal
•Tekanan Darah mungkin normal atau menurun (jika syok atau dehidrasi berat)
•Nadi mungkin meningkat
•Pernapasan mungkin normal atau meningkat; ortophnea mungkin terjadi.
c)Kulit
•Warna kulit mungkin normal atau keabu-abuan menuju sianosis tergantung pada perfusi oksigen ibu.
•Jaringan turgor yang kurang baik dapat terjadi pada ibu dengan dehidrasi.
•Bintik-bintik merah dapat terjadi pada ibu yang terinfeksi virus dan jamur (seperti Coccidioides immits) secara serentak bersamaan.
d)Dada
•Pada pemeriksaan,
•Palpasi dinding dada
- Tenderness palpasi otot interkosta
- Peningkatan getaran yang terasa dapat terjadi pada daerah konsolidasi.
•Pada perkusi dada dapat menunjukkan
-Penurunan ekskursi diafragma pada bagian yang terserang, jika terjadi penumpukan cairan pleura pada pangkal paru.
-Bunyi Dullnes pada daerah konsolidasi.
•Pada auskultasi paru dapat menunjukkan
-Bunyi berderak
-Bunyi napas bronchi atau tubular (jika ada konsolidasi)
-Bunyi gesekan pleura (jika ada efusi pleura)
-Adanya penurunan atau tidak ada bunyi napas vesicular (jika ada efusi pleura)
-Peningkatan bronchophonia, egophonia, bising paru (jika ada efusi pleura)
-Pada auskultasi dapat terdengan bunyi murmur sistolik. (jika ada efusi pleura)
e)Abdomen
•Palpasi menyeluruh
Selama kehamilan, wanita dengan pneumonia mungkin mengalami masalah pernapasan yang minimal, namun akan mengemukakan bahwa mereka mengalami sakit atau ketidaknyamanan pada daerah abdomennya.
•TFU lebih kecil daripada normalnya usia kehamilan dapat terjadi. (jika IUGR)
f)Pada pemeriksaan saraf dapat menunjukkan kaku kuduk (jika Sistem Saraf Pusat terlibat)

2)Pemeriksaan Penunjang
a)Tes Darah lengkap (Complete Blood Count)
oPneumonia bakteri (khususnya S.pneumonia) biasanya menunjukkan leukositosis.
oHemoglobin/Hematokrit mengalami peningkatan pada ibu dengan dehidrasi atau mengalami penurunan bila ibu menderita anemia pula.
b)Tes serum kimia
c)Gas darah dapat menunjukkan adanya hipoksia
d)Tes radiografi dada
e)Titer serum antibodi

b.Penanganan Awal
•Manajemen pengobatan ibu hamil dengan pneumonia harus kolaborasi dengan dokter.
•Ibu hamil yang sedang mengalami gejala yang parah, terdapat tanda hipoksia, riwayat menjalani pengobatan yang dapat melemahkan respon imun, atau yang telah didiagnosa terinfeksi organisme berbahaya maka harus dirawat di rumah sakit.
•Untuk kelompok tanpa komplikasi, rawat jalan memungkinkan untuk dilakukan. Pengobatan empiris antibiotic untuk suspek pneumonia bakteri sebaiknya dilakukan sesuai dengan pathogen penyebab penyakit tersebut. (seperti S.pneumoniae, H.influenzae). Antibiotik yang dapat diberikan diantaranya :
-Amoxicillin dan clavulanate
-Cefuroxime
-Trimethoprim/sulfamethoxazole
•Ibu dengan pneumonia virus dan jamur harus dikonsultasikan dengan dokter.
•Segera lakukan pemeriksaan kehamilan (seperti NST, Index cairan amnion) antara usia kehamilan 32-36 minggu pada ibu dengan IUGR atau yang memiliki riwayat mengalami pneumonia selama kehamilannya.
•Anjurkan ibu melakukan pemeriksaan USG setiap 3-4 minggu sekali pada ibu dengan IUGR untuk menilai perkembangan janin.
•Vaksin Pneumococcal direkomendasikan untuk ibu dengan :
-Sistem imun yang baik tapi memiliki penyakit kronis (seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit paru-paru, pengguna alcohol)
-Kerusakan imun (seperti kerusakan ginjal kronik, lymphoma, myeloma multiple, atau dengan keadaan transplantasi organ)
-Terinfeksi HIV (Asymtomatik maupun Simptomatik)
-Tinggal di lingkungan atau keadaan social yang teridentifikasi dapat meningkatkan resiko penyakit pneumonia dan komplikasinya.
•Vaksin pneumococcal polyvalent 0,5 mL IM dapat melindungi dari 23 jenis S. Pneumonia pada ibu dengan system imun yang baik.
Catatan : Durasi imunisasi tidak diketahui, namun diperkirakan dapat melindungi untuk jangka waktu 5 sampai 10 tahun. Pneumococcal merupakan vaksin dari bakteri yang telah mati, dengan dampak pada janin yang tidak diketahui. Idealnya, vaksin ini seharusnya diberi terlebih dahulu sebelum kehamilan atau setelah trimester pertama kehamilan.
•Vaksin Influenza seharusnya diberi setahun sekali pada ibu yang akan mengalami hal yang sama atau dengan usia kehamilan lebih dari 14 minggu selama musim influenza.
Catatan : Vaksin Pneumococcal dan Influenza dapat diberikan pada waktu yang sama di tempat penyuntikan yang berbeda tanpa meningkatkan terjadinya efek samping.
•Konseling yang dapat dilakukan diantaranya :
-Memberitahu ibu mengenai pneumonia termasuk penyebabnya, gejala klinis, indikasi diagnose tes, pilihan pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin serta perlunya penanganan lanjut.
-Memberitahu ibu untuk memeprhatikan tanda dan gejala dari kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan pneumonia dan perlunya evaluasi segera jika hal itu terjadi.
-Jika ibu dianjurkan untuk menjalani pengobatan di rumah sakit, dokter yang bertanggungjawab atas perawatannya harus mendiskusikan mengenai pilihan pengobatandan perlunya perawatan rumah sakit untuk ibu.
-Jika ibu merokok, anjurkan ibu untuk berhenti agar mencegah adanya eksaserbasi gejala, lebih jauh lagi merusak jaringan paru-parunya serta menyebabkan efek merugikan pada janin. Jika ibu tidak merokok namun tinggal di lingkungan yang membuatnya dikategorikan perokok pasif, anjurkan ibu untuk menghindarinya sebisa yang ibu lakukan.


c.Penanganan Lanjut
•Jika ibu di rawat di rumah sakit, jadwal kunjungan lanjutan seperti yang direkomendasikan dokteryang bertanggungjawab untuk perawatannya.
•Evaluasi lanjutan dilakukan pada beberapa ibu yang gejalanya tetap ada setelah terapi yang tepat dan sesuai, yang mungkin saja tidak menurut pada sejumlah perawatan atau yang mengalami komplikasi dari gejala yang ada.
•Ibu yang menjalani rawat jalan dan tanpa tanda adanya masalah kehamilan sebaiknya harus kembali untuk melakukan pemeriksaan kehamilan rutin sesuai perjanjian khusus dengan institusi perawatan.
•Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan (seperti IUGR) harus melanjutkan pemeriksaan klinis dan pengawasan janin (seperti NST dan ultrasound).
•Dokumentasikan diagnosis pneumonia dan pengobatannya pada catatan perkembangan serta daftar masalah.


DAFTAR PUSTAKA

Niederman MS, Ahmed QA. Pneumonia in the Pregnant Patient: A Synopsis. MedGenMed 1(3), 1999 [formerly published in Medscape Pulmonary Medicine eJournal 3(3), 1999]. Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/408745

R. H. H Nelwan. 1995. Ilmu Penyakit dalam jilid 1 edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Price, Sylivia A, dkk. Patofisiologi konsep klinis proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC

Varney, Hellen dkk. 2003. Asuhan Kebidanan Volume 1. Jakarta: EGC

Star, Winifred L. dkk. 2001. Ambulatory Obstetrics. San Fransisco: UCSF Nursing Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar