KATA PENGANTAR
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat, yang merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi
pada balita (22,8%) dan penyebab kematian bayi kedua setelah gangguan
perinatal. Hal ini diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan
kualitas penatalaksanaannya belum memadai.
Di dalam penatalaksanaan pengobatan penyakit infeksi sudah tentu diperlukan
suatu pelayanan kesehatan yang terpadu. Dalam hal ini Apoteker sebagai salah
satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan dari aspek pelayanan
kefarmasiannya dalam rangka menerapkan “Pharmaceutical Care“ sebagaimana
mestinya.
Buku saku tentang “Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Pernapasan” ini
disusun dengan tujuan untuk dapat membantu para apoteker di dalam
menjalankan profesinya terutama yang bekerja di farmasi komunitas dan farmasi
rumah sakit. Mudah-mudahan dengan adanya buku saku yang bersifat praktis ini
akan ada manfaatnya bagi para apoteker.
Akhirnya kepada Tim penyusun dan semua pihak yang telah ikut membantu dan
berkontribusi di dalam penyusunan buku saku ini kami ucapkan banyak
terimakasih. Dan saran-saran serta kritik membangun tentunya sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan di masa datang.
Direktur Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Drs. Abdul Muchid, Apt
NIP. 140 088 411
TIM PENYUSUN
1. Departemen Kesehatan RI
Dra. Fatimah Umar, Apt, MM
Dra. Elly Zardania, Apt, Msi
Dra. Ratna Nirwani, Apt, MM
Dra. Nur Ratih Purnama, Apt, Msi
Dra. Siti Nurul Istiqomah, Apt
Drs. Masrul, Apt
Dra. Rostilawati Rahim, Apt
Sri Bintang Lestari, SSi, Apt
Dra. Retno Gitawati, M.S, Apt
Fachriah Syamsuddin, SSi, Apt
Fitra Budi Astuti, Ssi, Apt
Dwi Retnohidayanti, AMF
Yeni, AMF
2. Profesi
Drs. Arel St. Iskandar, Apt, MM
Drs. Fauzi Kasim, Apt, Mkes
3. Praktisi Rumah Sakit
Dra. Widyati, MClin Pharm, Apt
Dr. Sulantari, Sp, THT
Dra. Harlina Kisdarjono, Apt, MM
Dra. Leiza Bakhtiar, MPharm
Dra. Louisa Endang Budiarti, MPharm, Apt
Dra. Farida Indyastuti, Apt, S.E, MM
Drs. Efly Rasyidin, Apt, M.Epid
Dra. Sri Sulistyati, Apt
Dr. Adria Rusli, Sp.P
4. Universitas
Prof. Dr. Soewaldi. M,MSc, Apt
Fauna Herawati, Ssi, Apt
DR. Ernawati Sinaga, MS, Apt
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL
BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
Dengan mengucapkan puji syukur dan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
mana atas rahmat dan hidayah-Nya telah dapat diselesaikan penyusunan buku
saku untuk apoteker tentang ”Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan”.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting di samping
karena penyebarannya sangat luas yaitu melanda bayi, anak-anak dan dewasa,
komplikasinya yang membahayakan serta menyebabkan hilangnya hari kerja
ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya pneumonia).
Kita mengetahui dan menyadari bahwa setiap penyakit tentu saja memerlukan
penanganan atau penatalaksanaan dengan cara atau metode yang berbeda satu
sama lainnya. Akan tetapi secara umum di dalam penatalaksanaan suatu
penyakit idealnya mutlak diperlukan suatu kerja sama antara profesi kesehatan,
sehingga pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif
meliputi 3 (tiga) aspek yakni: Pelayanan Medik (Medical Care), Pelayanan
Kefarmasian (Pharmaceutical Care) dan Pelayanan Keperawatan (Nursing
Care).
Aspek pelayanan kefarmasian sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan dua
aspek lainnya. Keadaan ini tentu saja sebenarnya merupakan suatu kerugian
bagi pelayanan pasien. Dengan adanya pergeseran paradigma dibidang
kefarmasian dari ”drug oriented” ke ”patient oriented” yang berazaskan
”pharmaceutical care”, tentu saja kita para apoteker mutlak pula harus
melakukan perubahan. Kalau selama ini profesi farmasi itu imagenya ”hanya”
sebagai ”pengelola obat”, maka mulai saat ini diharapkan dalam realitas image
tersebut sudah mengalami perubahan. Kita diharapkan mampu berkontribusi
secara nyata di dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
sehingga eksistensi kita sebagai farmasis akan diakui oleh semua pihak.
Dalam hubungan ini saya sangat berharap, buku saku tentang ”Pharmaceutical
Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan” merupakan salah satu upaya
di dalam membantu meningkatkan pengetahuan dan wawasan para
apoteker terutama yang bekerja di front line (sarana pelayan kefarmasian, baik di
rumah sakit maupun di farmasi komunitas).
Untuk masa mendatang, mudah-mudahan pelayanan kefarmasian akan dapat
sejajar dengan dua aspek pelayanan kesehatan lainnya, sehingga dengan
demikian kualitas hidup pasien diharapkan akan semakin meningkat.
Terima Kasih
Direktur Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan
Drs, H.M. Krissna Tirtawidjaja, Apt
NIP. 140 073 794
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Sambutan Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II OTITIS MEDIA
BAB III SINUSITIS
BAB IV FARINGITIS
BAB V BRONKHITIS
BAB VI PNEUMONIA
BAB VII. TINJAUAN FARMAKOLOGI OBAT INFEKSI
SALURAN NAPAS
7.1. Pengantar
7.2. Antibiotika
7.3. Obat Terapi Suportif
7.4. Profil Obat
BAB VIII PELAYANAN KEFARMASIAN PADA INFEKSI
SALURAN NAPAS
BAB IX PERAN FARMASIS
GLOSSARY
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Formulir Pelayanan Kefarmasian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi
menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi
saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis,
tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada
bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran
napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan
infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak
terjadi serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya
yang membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih
mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang
kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi. Faktor
lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban,
pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan
udara.17 Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya
cuci tangan, membuang sampah dan meludah di sembarang tempat. Kesadaran
untuk mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin
ataupun menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari
orang lain masih rendah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang infeksi ini menjadi penting di
samping karena penyebarannya sangat luas yaitu melanda bayi, anak-anak dan
dewasa, komplikasinya yang membahayakan serta menyebabkan hilangnya hari
kerja ataupun hari sekolah, bahkan berakibat kematian (khususnya pneumonia).
Ditinjau dari prevalensinya, infeksi ini menempati urutan pertama pada
tahun 1999 dan menjadi kedua pada tahun 2000 dari 10 Penyakit Terbanyak
Rawat Jalan.17 Sedangkan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Nasional tahun
2001 diketahui bahwa Infeksi Pernapasan (pneumonia) menjadi penyebab
kematian Balita tertinggi (22,8%) dan penyebab kematian Bayi kedua setelah
gangguan perinatal. Prevalensi tertinggi dijumpai pada bayi usia 6-11 bulan.
Tidak hanya pada balita, infeksi pernapasan menjadi penyebab kematian umum
terbanyak kedua dengan proporsi 12,7%.17
Tingginya prevalensi infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) serta
dampak yang ditimbulkannya membawa akibat pada tingginya konsumsi obat
bebas (seperti anti influenza, obat batuk, multivitamin) dan antibiotika. Dalam
kenyataan antibiotika banyak diresepkan untuk mengatasi infeksi ini. Peresepan
antibiotika yang berlebihan tersebut terdapat pada infeksi saluran napas
khususnya infeksi saluran napas atas akut, meskipun sebagian besar penyebab
dari penyakit ini adalah virus. Salah satu penyebabnya adalah ekspektasi yang
berlebihan para klinisi terhadap antibiotika terutama untuk mencegah infeksi
sekunder yang disebabkan oleh bakteri, yang sebetulnya tidak bisa dicegah22,49.
Dampak dari semua ini adalah meningkatnya resistensi bakteri maupun
peningkatan efek samping yang tidak diinginkan.
Permasalahan-permasalahan di atas membutuhkan keterpaduan semua
profesi kesehatan untuk mengatasinya. Apoteker dengan pelayanan
kefarmasiannya dapat berperan serta mengatasi permasalahan tersebut antara
lain dengan mengidentifikasi, memecahkan Problem Terapi Obat (PTO),
memberikan konseling obat, promosi penggunaan obat yang rasional baik
tentang obat bebas maupun antibiotika.
Dengan memahami lebih baik tentang patofisiologi, farmakoterapi infeksi saluran
napas, diharapkan peran Apoteker dapat dilaksanakan lebih baik lagi.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan buku saku ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
Apoteker terhadap infeksi saluran napas dan penatalaksanaannya. Lebih jauh
lagi buku ini diharapkan dapat memandu Apoteker dalam menjalankan
pelayanan kefarmasiannya baik di apotek maupun rumah sakit.
1.3. Sistematika
Buku ini ditulis dengan memadukan unsur pengetahuan praktis yang
tertuang pada Bab II-VII dengan panduan praktek pada Bab VIII disertai contoh
kasus.
Bab I Pendahuluan
Bab II Otitis Media
Bab III Sinusitis
Bab IV Faringitis
Bab V Bronkhitis
Bab VI Pneumonia
Bab VII Tinjauan Farmakologi Obat Infeksi Saluran Napas
Bab VIII Pelayanan Kefarmasian Pada Infeksi Saluran Napas
Bab IX Peran Apoteker
BAB II
OTITIS MEDIA
Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan terbagi
menjadi Otitis Media Akut, Otitis Media Efusi, dan Otitis Media Kronik. Infeksi ini
banyak menjadi problem pada bayi dan anak-anak. Otitis media mempunyai
puncak insiden pada anak usia 6 bulan-3 tahun dan diduga penyebabnya
adalah obstruksi tuba Eustachius dan sebab sekunder yaitu menurunnya
imunokompetensi pada anak.10 Disfungsi tuba Eustachius berkaitan dengan
adanya infeksi saluran napas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki
kecenderungan otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis
media yang terus menerus selama > 3 bulan (Otitis media kronik). 38-50
2.1. ETIOLOGI & PATOGENESIS
2.1.1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, otalgia,
otorrhea, iritabilitas, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitis
media akut dapat menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam,
leukositosis. Manifestasi otitis media pada anak-anak kurang dari 3 tahun
seringkali bersifat non-spesifik seperti iritabilitas, demam, terbangun pada malam
hari, nafsu makan turun, pilek dan tanda rhinitis, konjungtivitis.8 Otitis media
efusi ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga bagian tengah tanpa
disertai tanda peradangan akut. Manifestasi klinis otitis media kronik adalah
dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase.
Otorrhea semakin meningkat pada saat infeksi saluran pernapasan atau setelah
terekspose air. Nyeri jarang dijumpai pada otitis kronik, kecuali pada eksaserbasi
akut. Hilangnya pendengaran disebabkan oleh karena destruksi membrana
timpani dan tulang rawan.
Otitis media didiagnosis dengan melihat membrana timpani menggunakan
otoscope. Tes diagnostik lain adalah dengan mengukur kelenturan membrana
timpani dengan Tympanometer. Dari tes ini akan tergambarkan ada tidaknya
akumulasi cairan di telinga bagian tengah. Pemeriksaan lain menggunakan X-ray
dan CT-scan ditujukan untuk mengkonfirmasi adanya mastoiditis dan nekrosis
tulang pada otitis maligna ataupun kronik.31
Pada kebanyakan kasus, otitis media disebabkan oleh virus, namun sulit
dibedakan etiologi antara virus atau bakteri berdasarkan presentasi klinik
maupun pemeriksaan menggunakan otoskop saja. Otitis media akut biasanya
diperparah oleh infeksi pernapasan atas yang disebabkan oleh virus yang
menyebabkan oedema pada tuba eustachius. Hal ini berakibat pada akumulasi
cairan dan mukus yang kemudian terinfeksi oleh bakteri. Patogen yang paling
umum menginfeksi pada anak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis 9.
Otitis media kronik terbentuk sebagai konsekuensi dari otitis media akut
yang berulang, meskipun hal ini dapat pula terjadi paska trauma atau penyakit
lain. Perforasi membrana timpani, diikuti dengan perubahan mukosa (seperti
degenerasi polipoid dan granulasi jaringan) dan tulang rawan (osteitis dan
sclerosis). Bakteri yang terlibat pada infeksi kronik berbeda dengan otitis media
akut, dimana P. aeruginosa, Proteus species, Staphylococcus aureus, dan
gabungan anaerob menjadi nyata.
2.1.2. PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO
Oleh karena sebagian besar otitis media didahului oleh infeksi
pernapasan atas, maka metode penularan adalah sama seperti pada infeksi
pernapasan tersebut. Faktor risiko untuk mengalami otitis media semakin tinggi
pada anak dengan “otitis-prone” yang mengalami infeksi pernapasan atas.
2.1.3. KOMPLIKASI
Komplikasi otitis media meliputi:
• Mastoiditis
• Paralisis syaraf ke-7
• Thrombosis sinus lateral
• Meningitis
• Abses otak
• Labyrinthitis.
2.2. RESISTENSI
Pola resistensi terhadap H. influenzae dan M. catarrhalis dijumpai di
berbagai belahan dunia. Organisme ini memproduksi enzim β-laktamase yang
menginaktifasi antibiotika β-laktam, sehingga terapi menggunakan amoksisilin
seringkali gagal. Namun dengan penambahan inhibitor β-laktamase ke dalam
formula amoksisilin dapat mengatasi permasalahan ini.23,46
2.3. TERAPI
2.3.1.OUTCOME
Tujuan yang ingin dicapai adalah mengurangi nyeri, eradikasi infeksi, dan
mencegah komplikasi.
2.3.2.TERAPI POKOK
Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila
disertai pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko
rendah (yaitu usia > 2 th serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan
ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien risiko tinggi. Rejimen
antibiotika yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini pertama
dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila:
- antibiotika pilihan pertama gagal
- riwayat respon yang kurang terhadap antibiotika pilihan pertama
- hipersensitivitas
- Organisme resisten terhadap antibiotika pilihan pertama yang
dibuktikan dengan tes sensitifitas
- adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan antibiotika
pilihan kedua.
Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk
menambahkan terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin.
Pilihan terapi untuk otitis media akut yang persisten yaitu otitis yang menetap 6
hari setelah menggunakan antibiotika, adalah memulai kembali antibiotika
dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan terapi pertama.
Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan
amoksisilin 20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangi
insiden otitis media sebesar 40-50%. 15
Tabel 2.1. Antibiotika pada Terapi pokok Otitis Media8,15,23,31
Antibiotika Dosis Keterangan
Lini Pertama
Amoksisilin Anak: 20-40mg/kg/hari
terbagi dalam 3 dosis
Dewasa:40mg/kg/hari
terbagi dalam 3 dosis
Untuk pasien risiko
rendah yaitu: Usia>2th,
tidak mendapat
antibiotika selama 3
bulan terakhir
Anak 80mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Untuk pasien risiko
tinggi
Dewasa:80mg/kg/hari
terbagi dlm 2 dosis
Lini Kedua
Amoksisilinklavulanat
Anak:25-45mg/kg/hari
terbagi dlm 2 dosis
Dewasa:2x875mg
Kotrimoksazol Anak: 6-12mg TMP/30-
60mg SMX/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 1-2 tab
Cefuroksim Anak: 40mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa:2 x 250-500 mg
Ceftriaxone Anak: 50mg/kg; max 1 g;
i.m.
1 dosis untuk otitis
media yang baru
3 hari terapi untuk otitis
yang resisten
Cefprozil Anak: 30mg/kg/hari terbagi
dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250-500mg
Cefixime Anak:8mg/kg/hari terbagi
dlm 1-2 dosis
Dewasa: 2 x 200mg
2.3.3. TERAPI PENUNJANG
Terapi penunjang dengan analgesik dan antipiretik memberikan
kenyamanan khususnya pada anak. Terapi penunjang lain dengan
menggunakan dekongestan, antihistamin, dan kortikosteroid pada otitis media
akut tidak direkomendasikan, mengingat tidak memberikan keuntungan namun
justeru meningkatkan risiko efek samping . 21
Dekongestan dan antihistamin hanya direkomendasikan bila ada peran alergi
yang dapat berakibat kongesti pada saluran napas atas. Sedangkan
kortikosteroid oral mampu mengurangi efusi pada otitis media kronik lebih baik
daripada antibiotika tunggal. Penggunaan Prednisone 2x5mg selama 7 hari
bersama-sama antibiotika efektif menghentikan efusi.11,12
BAB III
SINUSITIS
Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal.
Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului
oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu
infeksi pada sinus paranasal sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala
yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang dimaksud adalah
gejala seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan
bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang
dimaksud dengan gejala yang berat adalah di samping adanya sekret yang
purulen juga disertai demam (bisa sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis
berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala yang menetap selama 30-90
hari. Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal sebanyak 3 episode
dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan2. Sinusitis kronik
didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu.55
Sinusitis bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena sebab
selain virus, yaitu adanya obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing,
tumor dan infeksi gigi. Sebab lain adalah immunodefisiensi, abnormalitas sel
darah putih dan bibir sumbing.
3.1. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
3.1.1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang
kental berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau,
nyeri tekan pada wajah di area pipi, di antara kedua mata dan di dahi.
Tanda umum terdiri dari batuk, demam tinggi, sakit kepala/migraine, serta
menurunnya nafsu makan, malaise.47
Penegakan diagnosis adalah melalui pemeriksaan klinis THT,
aspirasi sinus yang dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai lebih dari
104/ml koloni bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (untuk kasus
kompleks). Sinusitis viral dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala
menetap lebih dari 10 hari atau gejala memburuk setelah 5-7 hari. Selain
itu sinusitis virus menghasilkan demam menyerupai sinusitis bakteri
namun kualitas dan warna sekret hidung jernih dan cair.24
Sinusitis bakteri akut umumnya berkembang sebagai komplikasi dari
infeksi virus saluran napas atas.25 Bakteri yang paling umum menjadi
penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada
sinusitis kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya
keterlibatan bakteri anaerob dan S. aureus.
3.1.2. PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO
Penularan sinusitis adalah melalui kontak langsung dengan
penderita melalui udara. Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran
sinusitis, dianjurkan untuk memakai masker (penutup hidung), cuci tangan
sebelum dan sesudah kontak dengan penderita. Faktor predisposisi
sinusitis adalah sebagai berikut 2 :
• ISPA yang disebabkan oleh virus
• Rhinitis oleh karena alergi maupun non-alergi
• Obstruksi nasal
• Pemakaian “nasogastric tube”
3.1.3. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul akibat sinusitis yang tidak tertangani
dengan baik adalah :
• Meningitis
• Septikemia
Sedangkan pada sinusitis kronik dapat terjadi kerusakan mukosa sinus,
sehingga memerlukan tindakan operatif untuk menumbuhkan kembali
mukosa yang sehat.2
3.2. RESISTENSI
Resistensi yang terjadi pada sinusitis umumnya disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae yang menghasilkan enzim beta-laktamase, sehingga
resisten terhadap penicillin, amoksisilin, maupun kotrimoksazol. Hal ini diatasi
dengan memilih preparat amoksisilin-klavulanat atau fluoroquinolon.
3.3. TERAPI
3.3.1. OUTCOME
Membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret, dan
mengeradikasi kuman.
Tabel 3.1 Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi sinusitis2,47
Agen Antibiotika Dosis
SINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin/Amoksisilin-clav Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosis /25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa: 3 x 500mg/ 2 x 875 mg
Kotrimoxazol Anak: 6-12mg TMP/30-60mg
SMX/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 2tab dewasa
Eritromisin Anak: 30—50mg/kg/hari terbagi setiap
6 jam
Dewasa: 4 x 250-500mg
Doksisiklin Dewasa: 2 x 100mg
Lini kedua
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa:2 x 875mg
Cefuroksim 2 x 500mg
Klaritromisin Anak:15mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 250mg
Azitromisin 1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama
4 hari berikutnya.
Levofloxacin Dewasa:1 x 250-500mg
SINUSITIS KRONIK
Amoksi-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
Dewasa:2 x 875mg
Azitromisin Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti
5mg/kg selama 4 hari berikutnya
Dewasa: 1x500mg, kemudian
1x250mg selama 4 hari
Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
3.3.2. TERAPI POKOK
Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi
10-14 hari, kecuali bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika
yang dapat dipilih tertera pada tabel 3.1. Untuk gejala yang menetap
setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat diperpanjang hingga 10-14 hari
lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi.
3.3.3. TERAPI PENDUKUNG
Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan
dekongestan. Penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang
disebabkan oleh alergi 47, namun perlu diwaspadai bahwa antihistamin
akan mengentalkan sekret. Pemakaian dekongestan topikal dapat
mempermudah pengeluaran sekret, namun perlu diwaspadai bahwa
pemakaian lebih dari lima hari dapat menyebabkan penyumbatan
berulang.
BAB IV
FARINGITIS
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke
jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis,
rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah
dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki
anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.13
4.1. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
4.1.1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Faringitis mempunyai karakteristik yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri
tenggorokan, nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faring,
palatum, tonsil berwarna kemerahan dan tampak adanya pembengkakan.
Eksudat yang purulen mungkin menyertai peradangan. Gambaran
leukositosis dengan dominasi neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk
faringitis oleh streptococcus gejala yang menyertai biasanya berupa demam
tiba-tiba yang disertai nyeri tenggorokan, tonsillitis eksudatif, adenopati
servikal anterior, sakit kepala, nyeri abdomen, muntah, malaise, anoreksia,
dan rash atau urtikaria.32
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan, kultur
swab tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90-95% dari
diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis
yang diandalkan.27
Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri Streptococcus
pyogenes yang merupakan Streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang
mungkin terlibat adalah Streptocci Grup C, Corynebacterium diphteriae,
Neisseria Gonorrhoeae. Streptococcus Hemolitik Grup A hanya dijumpai
pada 15-30% dari kasus faringitis pada anak-anak dan 5-10% pada
faringitis dewasa. Penyebab lain yang banyak dijumpai adalah nonbakteri,
yaitu virus-virus saluran napas seperti adenovirus, influenza, parainfluenza,
rhinovirus dan respiratory syncytial virus (RSV). Virus lain yang juga
berpotensi menyebabkan faringitis adalah echovirus, coxsackievirus, herpes
simplex virus (HSV). Epstein barr virus (EBV) seringkali menjadi penyebab
faringitis akut yang menyertai penyakit infeksi lain. Faringitis oleh karena
virus dapat merupakan bagian dari influenza. 13,26
4.1.2. FAKTOR RISIKO
• Riwayat demam rematik
• HIV positif, pasien dengan kemoterapi, immunosuppressed
• Diabetes Mellitus
• Kehamilan
• Pasien yang sudah memulai antibiotik sebelum didiagnosis
• Nyeri tenggorokan untuk selama lebih dari 5 hari
4.1.3. KOMPLIKASI
• Sinusitis
• Otitis media
• Mastoiditis
• Abses peritonsillar
• Demam rematik
• Glomerulonefritis.
4.2. RESISTENSI
Resistensi terhadap Streptococcus Grup A dijumpai di beberapa negara
terhadap golongan makrolida dan azalida, namun tidak terhadap Penicillin13
4.3. TERAPI
4.3.1. OUTCOME
Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi
serta membatasi komplikasi.51
4.3.2. TERAPI POKOK
Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh
Streptococcus Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab
faringitis sebelum terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika dapat dimulai
lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi terhadap bakteri sebagai
penyebab, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan
antibiotika menyebabkan resolusi dari tanda dan gejala yang cepat.13
Namun perlu diingat adanya 2 fakta berikut:
- Faringitis oleh Streptococcus grup A biasanya sembuh dengan
sendirinya, demam dan gejala lain biasanya menghilang setelah
3-4 hari meskipun tanpa antibiotika.
- Terapi dapat ditunda sampai dengan 9 hari sejak tanda pertama
kali muncul dan tetap dapat mencegah komplikasi.13
Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh
Streptococcus grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya,
cefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena
efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga
yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan
penicilin, khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara.
Lama terapi dengan antibiotika oral rata-rata selama 10 hari untuk
memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada azitromisin hanya 5 hari.
Berikut ini adalah panduan pemilihan antibiotika yang dapat digunakan. 13,32
Tabel 4.1 Antibiotika pada terapi Faringitis oleh karena Streptococcus
Grup A
Lini
pertama :
Penicilin G (untuk
pasien yang tidak
dapat
menyelesaikan terapi
oral selama 10 hari)
1 x 1,2 juta U
i.m.
1 dosis
Penicilin VK Anak: 2-3 x
250mg
Dewasa 2-3 x
500mg
10 hari
Amoksisilin
(Klavulanat) 3 x 500mg
selama 10 hari
Anak: 3 x
250mg
Dewasa:3x
500mg
10 hari
Lini
kedua :
Eritromisin (untuk
pasien alergi Penicilin)
Anak: 4 x
250mg
Dewasa:4x
500mg
10 hari
Azitromisin atau
Klaritromisin (lihat
dosis pada Sinusitis)
5 hari
Cefalosporin generasi
satu atau dua
Bervariasi
sesuai agen
10 hari
Levofloksasin (hindari
untuk anak maupun
wanita hamil)
Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotika yang
tersedia adalah eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilinklavulanat.
Tabel 4.2. Pilihan antibiotika pada terapi faringitis yang gagal
Rute Pemberian,
Anbiotika
Dosis Lama terapi
Oral
Klindamycin
Anak: 20-30 mg/kg /hari terbagi dlm 3
dosis
Dewasa: 600 mg/hari terbagi dlm 2-4
dosis
10 hari
10 hari
Amoksisilinclavulanat
acid
Anak: 40 mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosis
Dewasa: 3 x500 mg/2 kali sehari
10 hari
10 hari
Parenteral
dengan atau
tanpa oral
Benzathine
penicillin G
Benzathine
penicillin G with
rifampin
1 x 1,2 juta U i.m.
Rifampicin: 20 mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis
1 dosis
4 hari
Terapi faringitis non-streptococcus meliputi terapi suportif dengan
menggunakan parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan
larutan garam hangat atau gargarisma khan. Jangan menggunakan aspirin
pada anak-anak karena dapat meningkatkan risiko Reye’s Syndrome.
Tablet hisap yang mengandung antiseptik untuk tenggorokan dapat pula
disarankan.
4.3.3. TERAPI PENDUKUNG
• Analgesik seperti ibuprofen
• Antipiretik
• Kumur dengan larutan garam, gargarisma khan
• Lozenges/ Tablet hisap untuk nyeri tenggorokan.
BAB V
BRONKHITIS
Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial.
Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan
sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia,
namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi
penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi
pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi
udara, dan rokok 20,53
5.1. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
5.1.1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Bronkhitis memiliki manifestasi klinik sebagai berikut 33:
• Batuk yang menetap yang bertambah parah pada malam
hari serta biasanya disertai sputum. Rhinorrhea sering pula
menyertai batuk dan ini biasanya disebabkan oleh
rhinovirus.
• Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik
tangga, mengangkat beban berat)
• Lemah, lelah, lesu
• Nyeri telan (faringitis)
• Laringitis, biasanya bila penyebab adalah chlamydia
• Nyeri kepala
• Demam pada suhu tubuh yang rendah yang dapat
disebabkan oleh virus influenza, adenovirus ataupun infeksi
bakteri.
• Adanya ronchii
• Skin rash dijumpai pada sekitar 25% kasus
Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C- reactive protein
(CRP) dengan sensitifitas sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan
60-70% spesifisitas dalam mengidentifikasi infeksi bakteri. Metode
diagnosis lainnya adalah pemeriksaan sel darah putih, dimana dijumpai
peningkatan pada sekitar 25% kasus. Pulse oksimetri, gas darah arteri dan
tes fungsi paru digunakan untuk mengevaluasi saturasi oksigen di udara
kamar. Pewarnaan Gram pada sputum tidak efektif dalam menentukan
etiologi maupun respon terhadap terapi antibiotika.33
Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza
A dan B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory synctial virus (RSV).
Ada pula bakteri atypical yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia
pneumoniae ataupun Mycoplasma pneumoniae yang sering dijumpai pada
anak-anak, remaja dan dewasa. Bakteri atypical sulit terdiagnosis, tetapi
mungkin menginvasi pada sindroma yang lama yaitu lebih dari 10 hari.
Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif,
merokok, paparan terhadap debu,polusi udara, infeksi bakteri.
5.1.2. FAKTOR RISIKO
Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya
bronkhitis adalah sebagai berikut:
• Merokok
• Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran
pernapasan atas dan menimbulkan batuk kronik
• Bronkhiektasi
• Anomali saluran pernapasan
• Foreign bodies
• Aspirasi berulang
5.1.3. KOMPLIKASI
Komplikasi jarang terjadi kecuali pada anak yang tidak sehat.
Komplikasi meliputi antara lain PPOK, bronkhiektasis, dilatasi yang bersifat
irreversible dan destruksi dinding bronkhial.
5.2. RESISTENSI
Resistensi dijumpai pada bakteri-bakteri yang terlibat infeksi nosokomial
yaitu dengan dimilikinya enzim β-laktamase. Hal ini dijumpai pada H.influenzae,
M. catarrhalis, serta S. Pneumoniae.41,30 Untuk mengatasi hal ini, maka
hendaknya antibiotika dialihkan kepada amoksisilin-klavulanat, golongan
makrolida atau fluoroquinolon.
5.3. TERAPI
5.3.1. OUTCOME
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri,
bronkhitis akut akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tujuan
penatalaksanaan hanya memberikan kenyamanan pasien, terapi
dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Namun pada
bronkhitis kronik ada dua tujuan terapi yaitu: pertama, mengurangi
keganasan gejala kemudian yang kedua menghilangkan eksaserbasi dan
untuk mencapai interval bebas infeksi yang panjang.28
5.3.2. TERAPI POKOK
Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila
disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai
adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae,
H. Influenzae.42,44 Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya
keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika
disarankan. Untuk anak dengan batuk > 4 minggu harus menjalani
pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan TBC, pertusis atau
sinusitis.
Tabel 5.1. Terapi awal pada Bronkhitis 28
Kondisi Klinik Patogen Terapi Awal
Bronkhitis akut Biasanya virus Lini I: Tanpa antibiotika
Lini II:Amoksisilin,amoksi-klav,
makrolida
Bronkhitis Kronik H.influenzae,
Moraxella catarrhalis,
S. pneumoniae
Lini I: Amoksisilin, quinolon
Lini II: Quinolon, amoksi-klav,
azitromisin, kotrimoksazol
Bronkhitis Kronik dg
komplikasi
s.d.a,K. Pneumoniae,
P. aeruginosa, Gram
(-) batang lain
Lini I: Quinolon
Lini II: Ceftazidime, Cefepime
Bronkhitis Kronik dg
infeksi bakteri
s.d.a. Lini I: Quinolon oral atau
parenteral, Meropenem atau
Ceftazidime/Cefepime+Ciprofloks
asin oral.
Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel 5.1, dengan lama terapi 5-
14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hari
Pemberian antiviral amantadine dapat berdampak memperpendek
lama sakit bila diberikan dalam 48 jam setelah terinfeksi virus influenza A.
5.3.3. TERAPI PENDUKUNG
• Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme
pertahanan tubuh
• Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.
• Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol,
NSAID.
• Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.
• Vaporizer
BAB VI
PNEUMONIA
Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang
dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan
parasit.
Pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan
bayi serta menjadi penyebab penyakit umum terbanyak17. Pneumonia
dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia.
Manifestasi klinik menjadi sangat berat pada pasien dengan usia sangat
muda, manula serta pada pasien dengan kondisi kritis.
6.1. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
6.1.1. TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah
demam, tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan
sputum baik dari jumlah maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan
merasa nyeri dada seperti ditusuk pisau, inspirasi yang tertinggal pada
pengamatan naik-turunnya dada sebelah kanan pada saat bernafas.
Mikroorganisme penyebab pneumonia meliputi: bakteri, virus,
mycoplasma, chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh karena virus banyak
dijumpai pada pasien immunocompromised, bayi dan anak. Virus-virus
yang menginfeksi adalah virus saluran napas seperti RSV, Influenza type A,
parainfluenza, adenovirus 28.
Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga
macam yang berbeda penatalaksanaannya.
1. Community acquired pneumonia (CAP)
Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau
panti jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah
Streptococcus pneumonia, H. influenzae, bakteri atypical, virus
influenza, respiratory syncytial virus (RSV). Pada anak-anak patogen
yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri
pada pasien dewasa.
2. Nosokomial Pneumonia
Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di
rumah sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosokomial
yang resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit.
Biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti
E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu
mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai
bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp.,
Enterobacter sp.. Pseudomonas aeruginosa merupakan pathogen
yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia
yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten
terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat
di ICU.
3. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi sekret
oropharyngeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat
pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan
gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada
Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari
flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci
anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri
yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S. aureus
+ anaerob 35
Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil
pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada.
Gambaran adanya infiltrate dari foto x-ray merupakan standar yang
memastikan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
adanya leukositosis dengan “shift to the left”. Sedangkan evaluasi
mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa kultur sputum (hati-hati
menginterpretasikan hasil kultur, karena ada kemungkinan terkontaminasi
dengan koloni saluran pernapasan bagian atas). Pemeriksaan mikrobiologis
lainnya yang lazim dipakai adalah kultur darah, khususnya pada pasien
dengan pneumonia yang fulminan, serta pemeriksaan Gas Darah Arteri
(Blood Gas Arterial) yang akan menentukan keparahan dari pneumonia dan
apakah perlu-tidaknya dirawat di ICU.
6.1.2. FAKTOR RISIKO
• Usia tua atau anak-anak
• Merokok
• Adanya penyakit paru yang menyertai
• Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus
• Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)
• Obstruksi Bronkhial
• Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive
seperti - kortikosteroid
• Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia
aspirasi)
6.1.3. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dihasilkan dari pneumonia antara lain atelektasis
yang dapat terjadi selama fase akut maupun resolusi (penyembuhan).
Area yang terinfeksi biasanya bersih dengan batuk dan nafas dalam,
namun akan berubah menjadi fibrotik bila atelektasi menetap untuk jangka
waktu yang panjang. Abses paru juga merupakan salah satu komplikasi
pneumonia khususnya pada pneumonia aspirasi. Selain itu efusi pleura
juga dapat terjadi akibat perubahan permeabilitas selaput paru tersebut
(pleura). Infiltrasi bakteri ke dalam pleura menyebabkan infeksi sulit
diatasi, sehingga memerlukan bantuan aspirasi. Komplikasi berikutnya
adalah bakterimia akibat tidak teratasinya infeksi. Hal ini dapat terjadi
pada 20-30% dari kasus.29
6.2. RESISTENSI
Resistensi dijumpai pada pneumococcal semakin meningkat
sepuluh tahun terakhir, khususnya terhadap penicillin. Meningkatnya
resistensi terhadap penicillin juga diramalkan akan berdampak terhadap
meningkatnya resistensi terhadap beberapa kelas antibiotika seperti
cefalosporin, makrolida, tetrasiklin serta kotrimoksazol. Antibiotika yang
kurang terpengaruh terhadap resistensi tersebut adalah vankomisin,
fluoroquinolon, klindamisin, kloramfenikol dan rifampisin.54
6.3. TERAPI
6.3.1. OUTCOME
Eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia, penyembuhan
klinis yang paripurna.
6.3.2. TERAPI POKOK
Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama
seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang
dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil
menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika
diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen.
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada
kasus yang berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika
parenteral.
Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah
golongan makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru.1,19 Namun
untuk dewasa muda yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin
lebih dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical yang mungkin
menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten
terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat
fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh
aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat.
Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin,
claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling
ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi
dengan baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari,
memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan
alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan eritromisin, namun
harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.
Tabel 6.1. Antibiotika pada terapi Pneumonia 3,28,34,43
Kondisi
Klinik
Patogen Terapi Dosis Ped
(mg/kg/hari)
Dosis
Dws
(dosis
total/hari)
Sebelumnya
sehat
Pneumococcus,
Mycoplasma
Pneumoniae
Eritromisin
Klaritromisin
Azitromisin
30-50
15
10 pada
hari 1,diikuti
5mg
selama 4
hari
1-2g
0,5-1g
Komorbiditas
(manula,
DM, gagal
ginjal, gagal
S. pneumoniae,
Hemophilus
influenzae,
Moraxella
Cefuroksim
Cefotaksim
Ceftriakson
50-75
1-2g
jantung,
keganasan)
catarrhalis,
Mycoplasma,
Chlamydia
pneumoniae dan
Legionella
Aspirasi
Community
Hospital
Anaerob mulut
Anaerob mulut, S.
aureus, gram(-)
enterik
Ampi/Amox
Klindamisin
Klindamisin
+aminoglikosida
100-200
8-20
s.d.a.
2-6g
1,2-1,8g
s.d.a.
Nosokomial
Pneumonia
Ringan,
Onset <5
hari, Risiko
rendah
K. pneumoniae, P.
aeruginosa,
Enterobacter spp.
S. aureus,
Cefuroksim
Cefotaksim
Ceftriakson
Ampicilin-Sulbaktam
Tikarcilin-klav
Gatifloksasin
Levofloksasin
Klinda+azitro
s.d.a.
s.d.a.
s.d.a.
100-200
200-300
-
-
s.d.a.
s.d.a.
s.d.a.
4-8g
12g
0,4g
0,5-0,75g
Pneumonia
berat**,
Onset > 5
hari, Risiko
Tinggi
K. pneumoniae, P.
aeruginosa,
Enterobacter spp.
S. aureus,
(Gentamicin/Tobramicin
atau Ciprofloksasin )* +
Ceftazidime atau
Cefepime atau
Tikarcilinklav/
Meronem/Aztreona
m
7,5
-
150
100-150
4-6
mg/kg
0,5-1,5g
2-6g
2-4g
Ket :
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu
antibiotika yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis
berat, gagal ginjal
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan
pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang
lebih luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten
khususnya terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri
penyebab pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan
Mycoplasma pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin.
Beberapa pneumonia masih menunjukkan demam dan konsistensi
gambaran x-ray dada karena telah terkomplikasi oleh adanya efusi pleura,
empyema ataupun abses paru yang kesemuanya memerlukan penanganan
infasif yaitu dengan aspirasi.
Pneumonia Nosokomial
Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan
kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro
maupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan
tidak heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain.
Namun secara umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel 6.1.
6.3.3. TERAPI PENDUKUNG
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi 28:
• Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang
menunjukkan tanda sesak, hipoksemia.
• Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
• Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
• Nutrisi
• Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
• Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
• Nutrisi yang memadai.
BAB VII
TINJAUAN FARMAKOLOGI
OBAT INFEKSI SALURAN NAPAS
7.1. PENGANTAR
Terapi infeksi saluran napas memang tidak hanya tergantung pada
antibiotika. Beberapa kasus infeksi saluran napas atas akut disebabkan oleh
virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif.
Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika,
karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan performa pasien.
Obat yang digunakan dalam terapi suportif sebagian besar merupakan
obat bebas yang dapat dijumpai dengan mudah, dengan pilihan bervariasi.
Apoteker dapat pula berperan dalam pemilihan obat suportif tersebut. Berikut ini
akan ditinjau obat-obat yang digunakan dalam terapi pokok maupun terapi
suportif.
7.2. ANTIBIOTIKA
Antibiotika digunakan dalam terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri dengan tujuan sbb:
• Terapi empirik infeksi
• Terapi definitif infeksi
• Profilaksis non-Bedah
• Profilaksis Bedah
Sebelum memulai terapi dengan antibiotika sangat penting untuk dipastikan
apakah infeksi benar-benar ada. Hal ini disebabkan ada beberapa kondisi
penyakit maupun obat yang dapat memberikan gejala/ tanda yang mirip dengan
infeksi. Selain itu pemakaian antibiotika tanpa didasari bukti infeksi dapat
menyebabkan meningkatnya insiden resistensi maupun potensi Reaksi Obat
Berlawanan (ROB) yang dialami pasien. Bukti infeksi dapat berupa adanya tanda
infeksi seperti demam, leukositosis, inflamasi di tempat infeksi, produksi infiltrat
dari tempat infeksi, maupun hasil kultur. Kultur perlu dilaksanakan pada infeksi
berat, infeksi kronik yang tidak memberikan respon terhadap terapi sebelumnya,
pasien immunocompromised, infeksi yang menghasilkan komplikasi yang
mengancam nyawa.
Jumlah antibiotika yang beredar di pasaran terus bertambah seiring
dengan maraknya temuan antibiotika baru. Hal ini di samping menambah opsi
bagi pemilihan antibiotika juga menambah kebingungan dalam pemilihan, karena
banyak antibiotika baru yang memiliki spektrum bergeser dari antibiotika
induknya. Contoh yang jelas adalah munculnya generasi fluoroquinolon baru
yang spektrumnya mencakup bakteri gram positif yang tidak dicakup oleh
ciprofloksasin. Panduan dalam memilih antibiotika di samping
mempertimbangkan spektrum, penetrasi ke tempat infeksi, juga penting untuk
melihat ada-tidaknya gagal organ eliminasi.
Berkembangnya prinsip farmakodinamika yang fokus membahas aksi
bakterisidal antimikroba membantu pemilihan antibiotika. Prinsip ini mengenal
adanya konsep:
Aksi antimikroba yang time-dependent. Makna dari konsep ini adalah bahwa
kadar antibiotika bebas yang ada dalam plasma harus di atas minimum inhibitory
concentration (MIC) sebanyak 25-50% pada interval dosis untuk bisa
menghambat maupun membunuh patogen. Proporsi interval dosis bervariasi
tergantung spesien patogen yang terlibat. Sebagai contoh staphylococci
memerlukan waktu yang pendek sedangkan untuk menghambat streptococci dan
bakteri Gram negatif diperlukan waktu yang panjang. Antibiotika yang memiliki
sifat ini adalah derivat β-laktam. Sehingga frekuensi pemberian β-laktam adalah
2-3 kali tergantung spesien bakteri yang menjadi target.
Aksi antimikroba yang concentration-dependent. Aksi dijumpai pada
antibiotika derivat quinolon, aminoglikosida. Daya bunuh preparat ini dicapai
dengan semakin tingginya konsentrasi plasma melampaui MIC. Namun tetap
sebaiknya memperhatikan batas konsentrasi yang akan berakibat pada
toksisitas.
Post-antibiotic Effect (PAE). Sifat ini dimiliki oleh aminoglikosida, dimana daya
bunuh terhadap Gram negatif batang masih dimiliki 1-2 jam setelah antibiotika
dihentikan.
Berikut ini rangkuman tentang mekanisme kerja, spektrum aktivitas,
prinsip dasar farmakokinetik pada beberapa antibiotika yang banyak digunakan
dalam terapi infeksi saluran pernapasan. Monografi yang lebih lengkap tentang
antibiotika tertera pada Lampiran 1.
7.2.1. PENICILIN
Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidal
dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah
resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan
ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang
dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap
Pseudomonas sp. Namun hanya Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di
Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Penicilin V.
Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang
kuat terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif
sama sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini diabsorbsi sekitar 60-73%,
didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga waspada pemberian pada ibu
menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu paruh 30 menit, namun memanjang
pada pasien dengan gagal ginjal berat maupun terminal, sehingga interval
pemberian 250 mg setiap 6 jam.40
Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat penicilin
yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang
mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus
β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga
Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis. Sehingga saat ini amoksisilinklavulanat
merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi
alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin.
Profil farmakokinetik dari amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa
absorpsi hampir komplit tidak dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi baik ke
seluruh cairan tubuh dan tulang bahkan dapat menembus blood brain barrier,
namun penetrasinya ke dalam sel mata sangat kurang. Metabolisme obat ini
terjadi di liver secara parsial. Waktu paruh sangat bervariasi antara lain pada
bayi normal 3,7 jam, pada anak 1-2 jam, sedangkan pada dewasa dengan ginjal
normal 07-1,4 jam. Pada pasien dengan gagal ginjal berat waktu paruh
memanjang hingga 21 jam. Untuk itu perlu penyesuaian dosis, khususnya pada
pasien dengan klirens kreatinin < 10 ml/menit menjadi 1 x 24 jam.40
7.2.2. CEFALOSPORIN
Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi
tergantung generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin, seperti tertera
pada tabel berikut:
Generasi Rute Pemberian
Peroral Parenteral
Spektrum aktivitas
Pertama Cefaleksin Cefaleksin
Cefradin Cefazolin
Cefadroksil
Stapylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, E. Coli,
Klebsiella spp.
Kedua Cefaklor Cefamandole
Cefprozil Cefmetazole
Cefuroksim Cefuroksim
Cefonicid
s.d.a. kecuali Cefuroksim memiliki
aktivitas tambahan terhadap
Neisseria gonorrhoeae
Ketiga Cefiksim Cefiksim
Cefpodoksim Cefotaksim
Cefditoren Ceftriakson
Ceftazidime
Cefoperazone
Ceftizoxime
Stapylococcus aureus (paling kuat
pada cefotaksim bila dibanding
preparat lain pada generasi ini),
Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, E. Coli,
Klebsiella spp.Enterobacter spp,
Serratia marcescens.
Keempat Cefepime
Cefpirome
Cefclidin
Stapylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, E. Coli,
Klebsiella spp.Enterobacter spp,
Serratia marcescens.
Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas yang paling luas di antara
generasinya yaitu mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis
meskipun lemah. Cefalosporin yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap
Pseudominas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan cefalosporin
generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri Gram positif lemah,
sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial yang
melibatkan pseudomonas. Spektrum aktivitas generasi keempat sangat kuat
terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas
aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B. fragilis.
Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu
berikatan dengan penicilin protein binding (PBP) yang terletak di dalam maupun
permukaan membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang
berdampak pada kematian bakteri.
7.2.3. MAKROLIDA
Eritromisina merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan pertama kali
th 1952. Komponen lain golongan makrolida merupakan derivat sintetik dari
eritromisin yang struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin lakton.
Derivat makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin, roksitromisin,
azitromisin dan klaritromisin.
Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi Gram
positif coccus seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif staphylococci,
streptococci β-hemolitik dan Streptococcus spp. lain,enterococci, H. Influenzae,
Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma,
Rickettsia dan Legionella spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten
terhadap Gram negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang
lebih panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang meningkat (waktu
paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar) serta peningkatan
aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella pneumophila.36 Sedangkan
roksitromisin memiliki aktivitas setara dengan eritromisin, namun profil
farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi
saluran pernapasan.
Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki tolerabilitas,
profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih jauh lagi
derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali sehari, sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan pasien.
7.2.4. TETRASIKLIN
Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki
spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam
amino ke ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah
bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia,
mycoplasma, bahkan rickettsia.
Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin.
Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari
doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang
lebih baik yaitu antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil
lipofiliknya. Selain itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh
eliminasi lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap
stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob
seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap Vankomisin
sekalipun tetap efektif.
7.2.5. QUINOLON
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh
yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat
berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin.
Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran
kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin,
enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan
spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired
maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin
tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan penggunaannya
secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain.
Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan
menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi,
Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, srtaphylococci, enterococci, streptococci.
Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian
pula dengan generasi ketiga quinolon seperti levofloksasin,gatifloksasin,
moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis, anaerob lain dan
Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin. Modifikasi
struktur quinolon menghasilkan aktivitas terhadap mycobacteria sehingga
digunakan untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksi
kutaneus kronik pada pasien diabetes.
Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama
bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai contoh
ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh 3-4 jam,
serta konsentrasi puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis
500mg. Sedangkan Ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100%, dengan waktu
paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L paska pemberian dosis 400mg.
Perbedaan di antara quinolon di samping pada spektrum aktivitasnya, juga pada
profil tolerabilitas, interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-Bloker,
antikolinergik, serta profil keamanan secara umum.
Resistensi merupakan masalah yang menghadang golongan quinolon di
seluruh dunia karena penggunaan yang luas. Spesies yang dilaporkan banyak
yang resisten adalah P. aeruginosa, beberapa streptococci, Acinetobacter spp,
Proteus vulgaris, Serratia spp.
7.2.6. SULFONAMIDA
Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih
digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah
Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal
dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan
menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi
asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada
alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan
pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired seperti sinusitis,
otitis media akut, infeksi saluran kencing.
Aktivitas antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gramnegatif
seperti e. coli, klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P.
vulgaris, H. Influenza, salmonella serta gram-positif seperti S. Pneumoniae,
Pneumocystis carinii., serta parasit seperti Nocardia sp.
7.3. TERAPI SUPORTIF
7.3.1. ANALGESIK-ANTIPIRETIK
Obat ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise,
demam terkait infeksi pernapasan.
7.3.2. ANTIHISTAMIN
Selama beberapa tahun antihistamin digunakan dalam terapi rhinitis
alergi. Ada dua kelompok antihistamin yaitu: generasi pertama yang terdiri dari
chlorpheniramine, diphenhydramine, hydroxyzine dan generasi kedua yang
terdiri dari astemizole, cetirizine, loratadine, terfenadine, acrivastine. Antihistamin
generasi pertama mempunyai profil efek samping yaitu sedasi yang dipengaruhi
dosis, merangsang SSP menimbulkan mulut kering. Antihistamin generasi kedua
tidak atau kurang menyebabkan sedasi dan merangsang SSP, serta tidak
bereaksi sinergis dengan alkohol dan obat-obat yang menekan SSP.
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi
seperti histamine serta memblok migrasi sel. Sedasi yang ditimbulkan oleh
generasi pertama disebabkan oleh blokade neuron histaminergik sentral yang
mengontrol kantuk. Hal ini tidak terjadi pada generasi kedua, karena tidak dapat
menembus blood-brain barrier.37 Oleh karena itu dalam memilih antihistamin
hendaknya perlu dipertimbangkan pekerjaan pasien, yaitu pekerjaan yang
memerlukan koordinasi seperti yang berkaitan dengan pengoperasian mesin,
motor hendaknya menghindari antihistamin generasi I, karena dapat
menggagalkan koordinasi dan bisa berakibat fatal.
Antihistamin generasi kedua tampaknya ditolerir dengan baik bila
diberikan dalam dosis standar. Kecuali pada terfenadine dan astemizol dijumpai
beberapa kasus reaksi kardiovaskuler yang tidak dikehendaki seperti Torsades
de pointes dan aritmia ventrikuler ketika dikombinasi dengan ketokonazol,
itrakonazol maupun eritromisin. Efek samping tersebut juga potensial akan
muncul pada pasien dengan disfungsi hepar atau yang mendapat terapi
quinidine, prokainamida.
7.3.3. KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi oedema subglotis dengan
cara menekan proses inflamasi lokal. Sampai saat ini efektivitas kortikosteroid
masih diperdebatkan, namun hasil suatu studi meta-analisis menunjukkan bahwa
steroid mampu mengurangi gejala dalam 24 jam serta mengurangi kebutuhan
untuk intubasi endotrakeal.45 Kortikosteroid mengatur mekanisme humoral
maupun seluler dari respon inflamasi dengan cara menghambat aktivasi dan
infiltrasi eosinofil, basofil dan mast cell ke tempat inflamasi serta mengurangi
produksi dan pelepasan faktor-faktor inflamasi (prostaglandin, leukotrien). Selain
itu kortikosteroid juga bersifat sebagai vasokonstriktor kuat.
7.3.4. DEKONGESTAN
Dekongestan nasal digunakan sebagai terapi simtomatik pada beberapa
kasus infeksi saluran nafas karena efeknya terhadap nasal yang meradang,
sinus serta mukosa tuba eustachius. Ada beberapa agen yang digunakan untuk
tujuan tersebut yang memiliki stimulasi terhadap kardiovaskuler serta SSP
minimal yaitu: pseudoefedrin, fenilpropanolamin yang digunakan secara oral
serta oxymetazolin, fenilefrin, xylometazolin yang digunakan secara topikal.
Dekongestan oral bekerja dengan cara meningkatkan pelepasan
noradrenalin dari ujung neuron. Preparat ini mempunyai efek samping sistemik
berupa takikardia, palpitasi, gelisah, tremor, insomnia, serta hipertensi pada
pasien yang memiliki faktor predisposisi.18
Agen topikal bekerja pada reseptor α pada permukaan otot polos
pembuluh darah dengan menyebabkan vasokonstriksi, sehingga mengurangi
oedema mukosa hidung. Dekongestan topikal efektif, namun pemakaiannya
hendaknya dibatasi maksimum 7 hari karena kemampuannya untuk
menimbulkan kongesti berulang. Kongesti berulang disebabkan oleh vasodilasi
sekunder dari pembuluh darah di mukosa hidung yang berdampak pada
kongesti. Hal ini menggoda untuk menggunakan kembali dekongestan nasal,
sehingga akan mengulang siklus kongesti. Tetes hidung efedrin merupakan
preparat simpatomimetik yang paling aman dan dapat memberikan dekongesti
selama beberapa jam. Semakin kuat efek simpatomimetik, seperti yang dijumpai
pada oxymetazolin dan xylometazolin, maka semakin besar potensi untuk
menyebabkan kongesti berulang. Semua preparat topikal dapat menyebabkan
“hypertensive crisis” bila digunakan bersama obat penghambat monoamineoksidase
termasuk moklobemide.
Penggunaan uap air hangat dengan ataupun tanpa penambahan zat-zat
aromatik yang mudah menguap seperti eukaliptus dapat membantu mengatasi
kongesti. Terapi ini juga diterapkan pada terapi simtomatik bronchitis.
7.3.5. BRONKHODILATOR
Penggunaan klinik bronkhodilator pada infeksi pernapasan bawah adalah
pada kasus bronkhitis kronik yang disertai obstruksi pernapasan. Agen yang
dapat dipilih adalah:
ß-Adrenoceptor Agonist
ß-Adrenoceptor Agonist memberikan onset kerja 10 menit serta lama
kerja bervariasi dari 3-6 jam, dan >12 jam untuk agen yang long acting seperti
bambuterol, salmeterol, formoterol. ß-Adrenoceptor Agonist diberikan secara
inhalasi baik dalam bentuk uap maupun serbuk kering. Dari dosis yang
disemprotkan hanya 10% saja yang terdeposit di sepanjang bronchi hingga paru.
Tehnik penyemprotan yang salah sangat berpengaruh terhadap jumlah obat
yang akan terdeposit. Upaya untuk meningkatkan kadar obat yang mencapai
paru adalah dengan memilih bentuk sediaan serbuk yang disemprotkan yang
dapat mencapai 30% terdeposit di saluran bronkhus-paru. ß-Adrenoceptor
Agonist yang memilki aksi intermediate seperti Fenoterol, Salbutamol,
Terbutaline terdapat pula dalam bentuk larutan yang akan diuapkan dengan
bantuan nebuliser.
Metilxantine
Derivat metilxantine meliputi teofilin dan derivatnya seperti aminofilin
merupakan bronchodilator yang baik, namun memilki beberapa kekurangan.
Kekurangan tersebut di antaranya tidak dapat diberikan secara inhalasi,
sehingga efek samping lebih nyata dibandingkan ß-Adrenoceptor Agonist.
Selain itu dengan indeks keamanan yang sempit teofilin perlu dimonitor kadar
plasmanya.
Derivat metilxantin bekerja dengan menghambat enzim fosfodiesterase
intrasel yang akan memecah cyclic-AMP (yang diasumsikan berguna untuk
bronkhodilatasi).
7.3.6. MUKOLITIK
Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mukus yang
kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Perannya sebagai terapi tambahan pada
bronkhitis, pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi dengan mukolitik hanya
berdampak kecil terhadap reduksi dari eksaserbasi akut, namun berdampak
reduksi yang signifikan terhadap jumlah hari sakit pasien.48
Agen yang banyak dipakai adalah Acetylcystein yang dapat diberikan
melalui nebulisasi maupun oral. Mekanisme kerja adalah dengan cara membuka
ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga menurunkan viskositas mukus.
7. 4. PROFIL OBAT 6,14,40
7.4.1. ANTIBIOTIKA
Nama Obat Penicilin V
Dosis Dewasa 3-4 x 125-500mg
Dosis Anak <5th: 2x125mg
5-12th: 25-50mg/kg/hari
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap penicilin
ROB >10%:diare, mual,muntah, kandidiasis oral
Interaksi Tetrasiklin mungkin mengurangi efektivitas penicillin.
Kehamilan -
Monitoring Monitor tanda anafilaksis pada dosis pertama. Monitor
fungsi renal dan hematologi pada pemakaian jangka
panjang
Perhatian Modifikasi dosis bila digunakan pada pasien dengan
gagal ginjal berat. Gunakan hati-hati pada pasien
dengan riwayat alergi cefalosporin, riwayat kejang.
Informasi untuk pasien Diminum pada lambung kosong 1 jam atau 2 jam
sesudah makan
Nama Obat Amoksisilin/Koamoksiklav
Dosis Dewasa 3x250-500mg/2x1000mg
Dosis Anak 25-50mg/kg/hari dlm 3 dosis terbagi
Kontraindikasi Alergi terhadap penicillin, amoksisilin. Pasien dengan
riwayat jaundice paska pemakaian amoksisilin
klavulanat
ROB Rash, mual, muntah,diare, anemia hemolitik,
thrombocytopenia
Interaksi Tetrasiklin dan Kloramfenikol mengurangi efektivitas
amoksisilin
Kehamilan -
Monitoring Tanda-tanda infeksi, tanda anafilaksis pada dosis
pertama. Pada pemakaian jangka panjang monitor
fungsi liver.
Perhatian Penggunaan jangka panjang dapat memicu
superinfeksi.
Informasi untuk pasien Obat diminum sampai seluruh obat habis, meskipun
kondisi klinik membaik sebelum obat habis.
Nama Obat Cefadroksil
Dosis Dewasa 2x500-1000mg
Dosis Anak 30mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
ROB 1-10%: Diare
Interaksi Perdarahan mungkin terjadi bi;la diberikan bersamaan
dg antikoagulan
Kehamilan B
Monitoring Tanda-tanda anafilaksis pada dosis pertama
Perhatian Modifikasi dosis pada gagal ginjal berat, penggunaan
lama dapat menyebabkan superinfeksi, dapat
menyebabkan colitis oleh karena C difficile, gunakan
hati-hati pada pasien alergi terhadap penicillin.
Informasi untuk pasien Laporkan bila diare menetap, obat diminum selama 10-
14 hari untuk memastikan kuman terbasmi
Nama Obat Cefuroksim
Dosis Dewasa 2x250-500 mg selama 10 hari
Dosis Anak 3bln-12th
Faringitis,tonsillitis:20mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
selama 10 hari
Otitis media akut,sinusitis:
30mg/kg/hari dlm 2 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
ROB 1-10%:Eosinofilia, anemia,peningkatan
SGOT/SGPT/ALP
<1%:anafilaksis,angiooedema, cholestasis,diare
Interaksi Kombinasi dg aminoglikosida meningkatkan
nefrotoksisitas
Kehamilan B
Monitoring Observasi tanda anafilaksis pada dosis pertama,
monitor fungsi ginjal, liver dan hematology pada
pemakaian jangka panjang
Perhatian Modifikasi dosis pada gagal ginjal berat, penggunaan
lama dapat menyebabkan superinfeksi, dapat
menyebabkan colitis oleh karena C. difficile, gunakan
hati-hati pada pasien alergi terhadap penicillin.
Informasi untuk pasien Diminum bersama makanan, Laporkan bila diare
menetap, obat diminum selama 10-14 hari untuk
memastikan kuman terbasmi
Nama Obat Cefiksim
Dosis Dewasa 2x100-200mg
Dosis Anak 8mg/kg/hari terbagi dlm 1-2 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
ROB >10%: Diare
1-10% Nyeri perut, mual,dispepsia
Interaksi -
Kehamilan B
Monitoring Observasi tanda anafilaksis pada dosis pertama,
monitor fungsi ginjal, liver dan hematology pada
pemakaian jangka panjang
Perhatian Modifikasi dosis pada gagal ginjal berat, penggunaan
lama dapat menyebabkan superinfeksi, dapat
menyebabkan colitis oleh karena C. difficile, gunakan
hati-hati pada pasien alergi terhadap penicillin.
Informasi untuk pasien Diminum dengan atau tanpa makanan
Nama Obat Eritromisin
Dosis Dewasa 2-4x250-500 mg (base)
Dosis Anak Bayi&anak:30-50mg/kg terbagi 3-4 dosis. Dosis dapat
dilipat gandakan pada infeksi berat
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap eritromisin, pasien dengan
riwayat penyakit hati (khusus bagi eritromisin estolat),
gagal hati, penggunaan bersama preparat ergotamine,
cisapride, astemizol
ROB 10-15%: mual, muntah, rasa terbakar pada lambung:
bersifat reversibel, biasanya terjadi setelah 5-7 hari
terapi, insiden
Ototoksisitas: terjadi pada dosis tinggi disertai gagal hati
ataupun ginjal
Cholestatic Jaundice: Umum terjadi pada garam estolat
dari eritromisin.
Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine.
Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine, alfentanil,
carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskulerbloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin
Kehamilan B
Monitoring -
Perhatian -
Informasi untuk pasien Diberikan 2 jam sebelum makan atau sesudah makan,
untuk sirup kering simpan di refrigerator setelah
dicampur, buang sisa sirup bila lebih dari 10 hari.
Nama Obat Azitromisin
Dosis Dewasa ISPA: 1x500mg hari I, diikuti 1x250mg pada hari keduakelima
Dosis Anak Anak> 6 bln:
CAP: 10mg/kg pada hari I diikuti 5mg/kg/hari sekali
sehari sampai hari kelima
Otitis media: 1x30mg/kg;
10mg/kg sekali sehari selama 3 hari
Anak>2th :
Faringitis,Tonsilitis: 12mg/kg/hari selama 5 hari
Kontraindikasi
ROB 1-10%: sakit kepala, rash, diare, mual,muntah
Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine.
Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine, alfentanil,
carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskulerbloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin
Kehamilan B
Monitoring Tanda infeksi, fungsi liver
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan riwayat
hepatitis,disfungsi hepar, disfungsi ginjal. Uji efektivitas
dan keamanan belum pernah dilakukan pada bayi < 6
bulan dengan otitis media, CAP atau pada anak < 2
tahun dengan faringitis/tonsillitis.
Informasi untuk pasien Obat diminum bersama makanan untuk mengatasi efek
samping terhadap saluran cerna. Jangan minum
antasida bersama obat ini.
Nama Obat Klaritromisin
Dosis Dewasa 2x250-500mg selama 10 -14 hari (ISPA atas)
2x250-500mg selama 7-14 hari (ISPA bawah)
Dosis Anak Anak>6 bln: 15mg/kg/hari dlm 2 dosis terbagi selama 10
hari
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap eritromisin maupun makrolida
yang lain
ROB 1-10%: sakit kepala, rash, diare,
mual,muntah,meningkatkan BUN, meningkatkan
prothrombin time diare,
Interaksi Meningkatkan aritmia bila diberikan dg astemizole,
cisapride, gatifloksasin, moksifloksasin,sparfloksasin,
thioridazine.
Meningkatkan kadar plasma benzodiazepine, alfentanil,
carbamazepin, CCB, clozapin, cilostazol, digoksin,
bromokriptin, statin, teofilin,warfarin,neuromuskulerbloking
Flukonazol meningkatkan kadar plasma klaritromisin
Kehamilan Ekskresi ke ASI tidak diketahui, gunakan dg hati-hati
Monitoring Tanda infeksi, diare, gangguan sluran cerna.
Perhatian Perlu dilakukan penyesuaian dosis pada pasien gagal
ginjal. Uji efektivitas dan keamanan belum pernah
dilakukan pada bayi< 6 bulan.
Informasi untuk pasien Diminum bersama makanan
Nama Obat Doksisiklin
Dosis Dewasa 2 x 100mg
Dosis Anak >8th CAP:2x100mg
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap semua golongan tetrasisklin,
anak < 8th, disfungsi hepar berat, kehamilan
ROB Alergi: rash, anafilaksis, urtikaria, demam
Fotosensitivitas
Diskolorisasi tulang dan gigi: hindari pemakaian pada
anak-anak, kehamilan, laktasi.
Interaksi Meningkatkan toksisitas digoksin, protrobin time bila
diberikan bersama warfarin
Mengurangi kadar plasma doksisiklin bila diberikan
bersamaan dg antasida, barbiturate,
fenitoinsukralfat,carbamazepin
Kehamilan D
Monitoring -
Perhatian Jangan digunakan selama kehamilan atau selama
pertumbuhan gigi karena dapat menyebabkan
diskolorisasi gigi dan hipoplasia enamel. Hindari
terpapar sinar matahari
Informasi untuk pasien Diminum dengan segelas air untuk menghindari iritasi
lambung
Nama Obat Ciprofloksasin
Dosis Dewasa ISPA bawah: 2 x500-750 mg selama 7-14 hari
Sinusitis akut: 2x500 mg selama 10 hari
Dosis Anak -
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap ciprofloksasin atau terhadap
quinolon lain
ROB Alergi: rash
Nefrotoksisitas: Acute Interstitial Nephritis, insiden < 1%
Interaksi Meningkatkan kadar ciklosporin, teofilin, warfarin.
Mengurangi kadar ciprofloksasin bila diberikan bersama
dengan antasida, sukralfat,antineoplastik
Kehamilan C
Monitoring Kadar teofilin, cyclosporine dalam plasma bila
ciprofloksasin dikombinasi kan dengan obat tersebut.
Perhatian Tidak direkomendasikan pada anak<18th karena dapat
menyebabkan atropati pada anak , stimulasi SSP
berupa tremor, konfusi; penggunaan lama dapat
menyebabkan superinfeksi, inflamasi dan atau rupture
tendon. Bila muncul tanda alergi termasuk anafilaksis
segera stop terapi.
Informasi untuk pasien Diberikan bersama makanan untuk menghindari nyeri
lambung
Nama Obat Ofloksasin
Dosis Dewasa ISPA bawah 2 x400mg selama 10 hari
Dosis Anak 1-12th: Otitis Media Akut: 6x1-2 tetes selama 10 hari
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap ofloksasin maupun quinolon
lain
ROB 1-9%: Sakit kepala , insomnia
!-3% : Rash, pruritus
1-4%: Diare, muntah
Interaksi Meningkatkan kadar ciklosporin, teofilin, warfarin.
Mengurangi kadar ciprofloksasin bila diberikan bersama
dengan antasida, sukralfat,antineoplastik
Kehamilan C
Monitoring -
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan epilepsi,
karena dapat memperparah kejang; gunakan hati-hati
pada pasien dengan gagal ginjal.
Informasi untuk pasien Diminum 2 jam sebelum makan atau minum antasida.
Gunakan hati-hati pada pasien dengan epilepsi
Nama Obat Levofloksasin
Dosis Dewasa Eksaserbasi Bronkhitis kronik: 1x500mg selama 5 hari
Sinusitis akut: 1 x500mg selama 10 hari
CAP: 1x500mg selama 7-14 hari
Dosis Anak -
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap levofloksasin maupun
quinolon lain
ROB 3-10%: sakit kepala, pusing,mual, diare, reaksi alergi,
reaksi anafilaktik,angioneurotik oedema,
bronkhospasme, nyeri dada
Interaksi Hindari pemberian bersamaan dg eritromisin,cisapride,
antipsikotik,antidepressant karena akan
memperpanjang kurva QT pada rekaman
EKG.Demikian pula hindari pemberian bersama betabloker,
amiodarone karena menyebabkan
bradikardi.Hindari pemberian bersama insulin, karena
akan merubah kadar glukosa.Meningkatkan perdarahan
bila diberikan bersama warfarin.Meningkatkan kadar
digoksin. Mengurang kadar plasma gatifloksasin bila
Kehamilan C
Monitoring Evaluasi lekosist & tanda infeksi lainnya, kemungkinan
kristaluria, fungsi organ (ginjal, liver, mata) secara
periodik.
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan epilepsi,
karena dapat memperparah kejang; gunakan hati-hati
pada pasien dengan gagal ginjal.
Informasi untuk pasien Obat diminum 1-2 jam sebelum makan. Jangan
diminum bersamaan dengan antasida. Anda dapat
mengalami fotosensitifitas oleh karena itu gunakan
sunscreen, pakaian protektif untuk menghindarinya.
Laporkan bila ada diare, palpitasi, nyeri dada, gangguan
saluran cerna, mata atau kulit menjadi kuning, tremor.
Nama Obat Gatifloksasin
Dosis Dewasa Eksaserbasi Bronkhitis kronik: 1x400mg selama 5 hari
Sinusitis akut: 1 x400mg selama 10 hari
CAP: 1x400mg selama 7-14 hari
Dosis Anak -
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap levofloksasin ataupun
quinolon lainnya
ROB 3-10%: sakit kepala, pusing,mual, diare,reaksi alergi,
reaksi anafilaktik,angioneurotik oedema,
bronkhospasme, nyeri dada
Interaksi Hindari pemberian bersamaan dg eritromisin,cisapride,
antipsikotik,antidepressant karena akan
memperpanjang kurva QT pada rekaman
EKG.Demikian pula hindari pemberian bersama betabloker,
amiodarone karena menyebabkan
bradikardi.Hindari pemberian bersama insulin, karena
akan merubah kadar glukosa.Meningkatkan perdarahan
bila diberikan bersama warfarin.Meningkatkan kadar
digoksin. Mengurang kadar plasma gatifloksasin bila
diberikan bersama dengan antasida,
sukralfat,antineoplastik
Kehamilan C
Monitoring Tanda infeksi
Perhatian Tidak direkomendasikan bagi anak < 18th. Gunakan
hati-hati pada pasien dengan gangguan SSP atau
disfungsi renal. Hindari terekspos matahari selama
menggunakan levofloksasin
Informasi untuk pasien Lebih baik diminum pada perut kosong yaitu 1-2 jam
sesudah makan. Jangan diminum bersama antasida
pisahkan minimal 2 jam.
Nama Obat Moksifloksasin
Dosis Dewasa Sinusitis akut 1 x400 mg selama 10 hari
Eksaserbasi Bronkhitis kronik: 1x400 mg selama 5 hari
CAP: 1 x 400 selama 7-14 hari
Dosis Anak -
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap moksifloksasin ataupun
quinolon lainnya
ROB 3-10%: pusing, mual, diare
<3%: anafilaksis, rash, reaksi alergi, konvulsi, anxiety,
hiperglikemi
Interaksi Hindari pemberian bersamaan dg eritromisin,cisapride,
antipsikotik,antidepresant karena akan memperpanjang
kurva QT pada rekaman EKG.Demikian pula hindari
pemberian bersama beta-bloker,amiodarone karena
menyebabkan bradikardi.Hindari pemberian bersama
insulin, karena akan merubah kadar
glukosa.Meningkatkan perdarahan bila diberikan
bersama warfarin.Meningkatkan kadar digoksin.
Mengurang kadar plasma gatifloksasin bila diberikan
bersama dengan antasida, sukralfat,antineoplastik
Kehamilan C
Monitoring Lekosit, tanda infeksi
Perhatian Gunakan hati-hati pada pasien dengan bradikardia atau
infark jantung akut karena dapat menyebabkan
perpanjangan kurva QT pada ECG
Informasi untuk pasien Jangan minum antasida 4 jam sebelum atau 8 jam
sesudah makan.
Nama Obat Kotrimoksazol
Dosis Dewasa 2 x 2 tab dewasa.
Dosis Anak > 2bln: 8 mg Trimetoprim/kg/hari dlm 2 dosis terbagi
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap sulfonamide, kotrimoksazol.
ROB Mual, muntah,anoreksia
Confusion, depresi, halusinasi
Rash, pruritus, urtikaria, fotosensitivitas, Steven-
Johnson
Thrombocytopenia, anemia megaloblastik, anemia
aplastik
Hepatotoksisitas
Nefritis Interstitial
Interaksi Dapat meningkatkan efek sulfonylurea dan warfarin.
Meningkatkan toksisitas fenitoin, siklosporin,
metotreksat. Meningkatkan toksisitas renal dari
siklosporin.
Meningkatkan kadar digoksin
Kehamilan C. Jangan digunakan pada pasien hamil tua karena
dapat menyebabkan kekuningan pada bayi.
Monitoring -
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada disfungsi hepar, ginjal;
fatalitas berkaitan dengan Steven-Johnson syndrome,
nekrose liver, agranulositosis, anemia aplastik, terutama
pada pasien manula.
Informasi untuk pasien Obat diminum 1 jam sebelum makan atau 2 jam
sesudah makan. Obat diminum bersama 1 gelas air.
Stop terapi bila muncul tanda hipersensitivitas.
7.4.2. OBAT TERAPI SUPORTIF
7.4.2.1. Analgesik-Anti Inflamasi
Nama Obat Acetaminofen/Parasetamol
Mengurangi demam karena aksinya yang langsung ke
pusat pangatur panas di hipotalamus yang berdampak
vasodilatasi serta pengeluaran keringat.
Dosis Dewasa 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 3-4 x 1000 mg, tidak
melebihi 4g/hari
Dosis Anak < 12 th: 10-15mg/kg setiap 4-6jam, max 2,6g/hari
>12 th: seperti dosis dewasa.
Kontraindikasi Hipersensitivitas yang terdokumentasi, Defisiensi
Glukosa-6-fosfat.
ROB Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen,
pemberian bersama dengan barbiturate, karbamazepin,
hydantoin INH dapat meningkatkan hepatotoksisitas.
Interaksi Rifampicin dapat mengurangi efek acetaminophen,
pemberian bersama dengan barbiturate, karbamazepin,
hydantoin INH dapat meningkatkan hepatotoksisitas.
Kehamilan Klasifikasi B: Biasanya aman, namun tetap
dipertimbangkan keuntungan terhadap risikonya.
Monitoring
Perhatian Hepatotoksisitas pada pasien alkoholik dapat terjadi
setelah terpapar dosis yang bervariasi. Nyeri yang
sangat, berulang atau demam mengindikasikan sakit
yang serius.
Nama Obat Ibuprofen
Menghambat reaksi inflamasi dengan cara mengurangi
aktivitas enzim cyclooxigenase yang menghasilkan
penghambatan sintesis prostaglandin. Merupakan salah
satu NSAID yang diindikasikan untuk mengurangi
demam
Dosis Dewasa 4-6 x 200-400 mg, max 3,2g/hari
Dosis Anak 6 bulan – 12 th: 10mg/kg/dosis setiap 6-8 jam, max
40mg/kg/hari
>12 th: 200-400 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam, max 3,2
g/hari
Kontraindikasi Hipersensitivitas yang terdokumentasi, tukak lambung,
insufisiensi renal, risiko perdarahan yang itnggi
ROB
Interaksi Pemberian sesama NSAID meningkatkan risiko efek
obat berlawanan. Dapat mengurangi efek hydralazin,
captopril, beta-bloker, diuretik, dapat meningkatkan
Prothrombin Time pada pasien yang sedang meminum
antikoagulan, dapat meningkatkan risiko toksisitas
metrotreksat, dapat meningkatkan kadar fenitoin
Kehamilan Klasifikasi B: Biasanya aman, namun tetap
dipertimbangkan keuntungan terhadap risikonya.
Monitoring Perdarahan lambung khususnya pada pasien yang
sensitive terhadap NSAID
Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gagal
jantung, hipertensi, gagal ginjal, maupun penurunan
fungsi liver.
Informasi untuk
pasien
Dapat menyebabkan tukak lambung, perdarahan
lambung khususnya pada pemakaian kronik. Stop terapi
bila nyeri, demam, inflamasi hilang.
7.4.2.2. Antihistamin
Nama Obat CTM
Dosis Dewasa 4mg setiap 4-6 jam, max 24mg/hari
Dosis Anak <1th tidak direkomendasikan
1-2th: 2x1mg
2-5th: 1mg setiap 4-6jam, max 6mg/hari
6-12th: 2mg setiap 4-6jam, max 12 mg/hari
Kontraindikasi Hati-hati pada pasien dengan hyperplasia prostate,
retensi urin, glaucoma dan penyakit liver, epilepsy
ROB Sedasi, menurunnya kemampuan psikomotor, retensi
urin, mulut kering, pandangan kabur serta gangguan
saluran cerna.
Interaksi Meningkatkan sedasi bila diberikan bersama alkohol.
Meningkatkan efek anti muskarinik bila diberikan
bersama obat anti muskarinik.
Kehamilan Tidak ada bukti teratogenitas
Informasi untuk pasien
Menyebabkan kantuk, hati-hati jangan mengendarai
motor,mobil atau mengoperasikan mesin.
Monitoring Sedasi
Nama Obat Cetirizine
Dosis Dewasa 1x 5-10mg
Dosis Anak 6-12 bln: 1 x 2,5 mg
12 bln-<2th 1 x 2,4 mg
2-5th 2 x 2,5 mg atau 1 x5 mg
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap cetirizine, hydroxyzine
ROB >10%: sakit kepala, somnolence
2-10% insomnia, fatigue, pusing
Nyeri abdomen (4-6% pada anak), mulut kering (5%),
diare, mual & muntah
Interaksi Meningkatkan toksisitas depressan SSP dan
antikolinergik
Kehamilan Faktor risiko : B
Monitoring Menghilangnya gejala, sedasi dan antikolinergik.
Perhatian Diminum dengan atau tanpa makanan
Informasi untuk
pasien
Diberikan bersama atau tanpa makanan
Nama Obat Loratadine
Dosis Dewasa 1 x 10mg
Dosis Anak 2-5th: 1 x 5mg
> 6th 1 x 10mg
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap loratadine
ROB Sakit kepala (12%), somnolence (8%), fatigue (4%),
Xerostomia (3%)
Anak-Anak: gelisah (4%), fatigue(3%), rash (2-3%),
nyeri abdomen (2%), stomatitis (2-3%)
Interaksi Ketoconazole, eritromisin meningkatkan kadar plasma
loratadine. Meninngkatkan efek samping bila
dikombinasi dengan antihistamin lain.
Kehamilan Faktor risiko: B
Tidak dijumpai teratogenitas pada hewan percobaan
Monitoring -
Perhatian Dapat menyebabkan mulut kering serta menggagalkan
koordinasi
Informasi untuk
pasien
Minum banyak air karena dapat menyebabkan mulut
kering, mungkin menimbulkan kantuk maupun
menggagalkan koordinasi.
7.4.2.3. Kortikosteroid
Nama Obat Deksametason
Dosis Dewasa Anti inflamasi: 0,75-9 mg/kg/hari
Dosis Anak Anti inflamasi: 0.08-0.3mg/kg/hari dalam 2 -4 dosis
terbagi diberikan secara p.o./i.m./i.v
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap deksametason,
tuberculosis, penyakit jamur sistemik, penyakit virus.
ROB >10%
SSP: insomnia, gelisah
GI: meningkatkan nafsu makan, indigesti
1-10%
SSP: pusing, nyeri kepala
Dermatologi: hirsutisme, hipopigmentasi
Endokrin: diabetes, glukosa intoleran
Pernapasan: epistaksis
<1%
Cushing syndrome, acne, distensi abdominal,
osteoporosis
Interaksi Barbiturat, fenitoin dan rifampicin dapat menurunkan
efek deksametason. Sebaliknya deksametason
menurunkan efek farmakologi dari salisilat, vaksin dan
toxoid.
Kehamilan Faktor risiko : C
Monitoring Hb, kadar glukosa, kadar kalium
Perhatian Gunakan hati-hati pada pasien dengan hipotiroid,
cirrhosis hepar, gagal jantung, colitis, gangguan
thromboembolik, diabetes, osteoporosis.
Informasi untuk pasien Hindari penghentian secara mendadak. Obat ini dapat
menyebabkan nyeri lambung, diberikan bersama
makanan
Nama Obat Prednison
Dosis Dewasa 1-4 x 1 tab
Dosis Anak 0,05-2 mg/kg/hari terbagi dalam 1-4 dosis
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap prednison, infeksi jamur sistemik,
varicella
ROB >10%
SSP: insomnia, gelisah
GI: meningkatkan nafsu makan, indigesti
1-10%
SSP: pusing, nyeri kepala
Dermatologi: hirsutisme, hipopigmentasi
Endokrin: diabetes, glukosa intoleran
Pernapasan: epistaksis
<1%
Cushing syndrome, oedema, hipertensi, osteoporosis
Interaksi Penggunaan bersama NSAID dapat meningkatkan risiko
tukak lambung
Kehamilan Faktor risiko C
Terdistribusi menembus plasenta sehingga kemungkinan
dapat menyebabkan imunosupresi.
Monitoring Tekanan darah, kadar gula, elektrolit
Perhatian Penghentian terapi harus secara perlahan. Gunakan hati-hati
pada pasien dengan hipotiroid, Cirrhosi hepatic, gagal
jantung, gangguan thromboembolik, diabetes.
Informasi untuk
pasien
Hindari penghentian secara mendadak. Obat ini dapat
menyebabkan nyeri lambung, diberikan bersama makanan.
7.2.4. Dekongestan
Nama Obat Pseudoefedrin
Dosis Dewasa 30-60mg setiap 4-6jam
Dosis Anak < 2th:4mg/kg/hari terbagi setiap 6 jam
2-5th:15mg setiap 6 jam
6-12th:30mg setiap6 jam
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap pseudoefedrin, pasien yang
mendapat terapi dengan penghambat MAO
ROB Frekuensi tidak disebutkan:
Kardiovaskuler: takikardia, palpitasi, aritmia
SSP: gelisah, insomnia, pusing, mengantuk, halusinasi
GI: mual, muntah
Pernapasan: sesak
Interaksi Obat penghambat MAO dapat meningkatkan efek
hipertensif dari pseudoefedrin. Obat simpatomimetik dapat
meningkatkan toksisitas pseudoefedrin.
Kehamilan Faktor risiko C
Monitoring Rhinorrhea
Perhatian -
Informasi untuk
pasien
Jangan melebihi dosis rekomendasi serta lama pakai
maksimum 6 hari. Obat ini dapat menyebabkan insomnia
ataupun gelisah. Minum obat ini 4-6 jam sebelum tidur.
Nama Obat Nafazolin
Dosis Dewasa 1-2 tetes atau semprotkan setiap 6 jam
Dosis Anak < 6th: tidak direkomendasikan
6-12th: 1-2 tetes atau semprotkan setiap 6 jam
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap nafazolin, glaucoma sudut sempit
ROB Frekuensi tidak disebutkan:
Kardiovaskuler: merangsang sistem kardiovaskuler
SSP: pusing, sakit kepala, gelisah
GI: mual
Lokal: iritasi mukosa, kering, kongesti berulang, rasa
menyengat
Interaksi -
Kehamilan Faktor risiko C
Monitoring Rhinorhea
Perhatian Kongesti berulang dapat terjadi pada pemakaian > 6 hari.
Gunakan hati-hati pada pasien dengan hipertensi, hipertiroid,
diabetes, PJK, asma bronchial
Informasi untuk
pasien
Jangan gunakan bila terjadi perubahan warna larutan.
Laporkan dan stop terapi bila ada insomnia, tremor, palpitasi,
mukosa hidung kering, nyeri menyengat.
7.2.5. Bronkhodilator
Nama Obat Aminofilin
Dosis Dewasa 3-4 x 100 mg
Dosis Anak -
Kontraindikasi Aritmia yang tidak terkontrol, hipertiroid, tukak lambung,
hipersensitivitas terhadap metil xantin.
ROB Tremor ringan pada tangan, sakit kepala, dilatasi perifer,
palpitasi,takikardia, aritmia, gangguan tidur. Hipokalemia
setelah pemberian dosis tinggi.
Interaksi Meningkatkan risiko hipokalemia bila diberikan bersama ß2-
agonist.
Kehamilan Faktor risiko C
Menembus plasenta menyebabkan takikardia, iritabilitas
Monitoring Nadi, laju pernapasan.
Perhatian Gunakan hati-hati pada pasien dengan tukak lambung,
hipertiroid, hipertensi, takiaritmia.
Informasi untuk
pasien
Minum dengan segelas air, hindari minuman/makanan yang
mengandung kopi, coklat.
Nama Obat Salbutamol
Dosis Dewasa 3-4 x 4mg
Dosis Anak <2th: 4 x 100μg/k g
2-6th: 3-4 x 1-2mg
6-12th:3-4x 2mg
Kontraindikasi -
ROB Tremor ringan pada tangan, sakit kepala, dilatasi perifer,
palpitasi,takikardia, aritmia, gangguan tidur. Hipokalemia
setelah pemberian dosis tinggi.
Interaksi Mengurangi kadar plasma digoksin, meningkatkan risiko
hipokalemia bila diberikan bersama kortikosteroid.
Kehamilan -
Monitoring Sesak, takikardia, palpitasi
Perhatian Hati-hati pada pasien hipertiroid, penyakit kardiovaskuler
Informasi untuk
pasien
Ditelan secara utuh, jangan dikunyah.
Nama Obat Efedrin
Dosis Dewasa Oral: 25-50 setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan
i.m., s.c.: 25-50 mg, maks 150mg/hari
i.v. : 5-25 mg/dosis disuntikkan perlahan, diulang setiap 5-10
menit
Nasal spray: 2-3 semprot pada setiap lubang hidung, tidak
lebih sering dari 4 jam
Dosis Anak Oral,s.c.:3mg/kg/hari atau 25-100mg/m²/hari dalam 4-6 dosis
terbagi
i.m., iv lambat: 0,2-0,3 mg/kg/dosis setiap 4-6jam
Nasal spray: 6-12th:1-2 semprot pada setiap lubang hidung,
tidak lebih sering dari 4 jam
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap efedrin, aritmia jantung, glaukoma
sudut tertutup
ROB Kardiovaskuler: hipertensi, takikardia,palpitasi, aritmia, nyeri
dada
SSP: stimulasi SSP, gelisah, cemas,agitasi,eksitasi
GI: mual, muntah
Pernapasan: sesak
Genitourinari: nyeri pada saat urinasi
Interaksi Meningkatnya efek stimulasi kardiovaskuler bila dikombinasi
dg simpatomimetik seperti teofilin,digoksin,atropine, anestesi
general
Agen pemblok reseptor ά,ß mengurangi efek efedrin
Kehamilan Faktor risiko C
Monitoring Tekanan darah, volume urin, kondisi mental
Perhatian Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan diabetes
mellitus, hipertiroid, hyperplasia prostate, gangguan jantung,
manula
Informasi untuk
pasien
Dapat menyebabkan hilangnya rasa kantuk, minum obat ini
4-6 jam sebelum tidur.
7.4.2.6. Mukolitik
Nama Obat Acetylcystein (Fluimucil®)
Dosis Dewasa Akut: 3 x 200mg selama 5-10 hari
Kronik 3 x 200mg selama 1-2 bulan
Dosis Anak 3 x 1 sachet
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap acetylcystein
ROB 1-10% SSP: demam, mengantuk, menggigil
GI: mual, muntah
Interaksi -
Kehamilan Didistribusikan ke placenta. Belum diketahui keamanannya.
Faktor risiko : B
Monitoring Kemampuan ekspektorasi
Perhatian Diberikan dengan dilarutkan dalam air
Informasi untuk
pasien
-
Keterangan:
*) Profil efek samping yang dimuat adalah yang memiliki signifikansi secara klinik
atau bersifat mengancam nyawa.
**) Kategori Penggunaan Obat Pada Masa Kehamilan berdasarkan FDA adalah
sbb:
A: Control-studies gagal menunjukkan adanya risiko terhadap fetus pada
trimester pertama-ketiga.
B: Studi pada binatang gagal menunjukkan risiko bagi fetal, namun tidak ada
control studies pada manusia.
C : Studi pada binatang menunjukkan efek teratogen, namun belum ada studi
pada manusia
D: Ada bukti positif tentang adanya risiko terhadap fetus, namun
penggunaannya pada manusia memberikan keuntungan yang dapat diterima.
X: Studi pada binatang maupun manusia menunjukkan adanya abnormalitas
fetal. Obat dikontraindikasikan secar mutlak pada kehamilan.
BAB VIII
PELAYANAN KEFARMASIAN
PADA PENYAKIT INFEKSI SALURAN NAPAS
8.1. PRINSIP PELAYANAN KEFARMASIAN
Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan untuk bisa
mengkuantifikasi pelayanan farmasi klinik yang diberikan, sehingga peran
Apoteker dalam pelayanan kepada pasien dapat terukur.16
Penekanan Pelayanan Kefarmasian terletak pada:
1. Apoteker menentukan kebutuhan pasien sesuai kondisi penyakit
2. Apoteker membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai
secara berkesinambungan
Prinsip-prinsip Pelayanan Kefarmasian terdiri dari beberapa tahap berikut
yang harus dilaksanakan secara berurutan 4,5
PENYUSUNAN DATABASE
Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur, berat
badan pasien serta riwayat obat, riwayat penyakit serta terapi yang diberikan
saat ini. Selain itu dalam penyusunan database harus pula diketahui problem
medik yang dialami pasien. Problem medik yang dimaksud meliputi diagnosis,
simtom. Untuk pelayanan di komunitas problem medik disusun dengan
memperkirakan problem medik yang dimiliki pasien dari terapi yang tertera pada
resep. Selanjutnya dikonfirmasikan ulang kepada pasien bila perlu.
Riwayat alergi perlu ditanyakan khususnya pada pasien yang mendapat
antibiotika yang banyak menyebabkan alergi seperti kotrimoksazol, penicillin V,
tetrasiklin. Riwayat obat yang perlu ditanyakan adalah riwayat penggunaan
antibiotika satu bulan terakhir. Hal ini diperlukan untuk memprediksikan
antibiotika yang masih sensitif.
• ASSESSMEN/EVALUASI
Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi problem yang
berkaitan dengan terapi obat. Secara umum problem tersebut meliputi 39 :
Obat Diperlukan
o Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan
o Obat diresepkan namun tidak diminum (noncompliance)
Obat Tidak Sesuai
o Tidak ada problem medik yang membenarkan pemakaian obat
o Obat tidak diindikasikan bagi problem medik yang ada
o Problem medik sudah tidak ada, namun obat masih diresepkan
o Duplikasi terapi
o Tersedia alternatif yang tidak mahal
o Obat tidak tercantum dalam formularium
o Gagal memperhitungkan status kehamilan, usia dan kontraindikasi
lainnya
o Obat bebas yang dibeli pasien sendiri tidak tepat
o Penggunaan obat untuk tujuan rekreasional.
Dosis Salah
o Overdosis atau underdosis
o Dosis benar , namun pasien meminum terlalu banyak
(overcompliance)
o Dosis benar, namun pasien meminum terlalu sedikit
(undercompliance)
o Interval pemberian yang tidak benar, tidak nyaman, kurang optimal
Efek Obat Berlawanan
o Efek samping
o Alergi
o Drug-induced disease
o Drug-induced lab change
Pelaksanaan assessmen adalah dengan membandingkan antara problem
medik-terapi-database yang disusun, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan
tentang farmakoterapi, farmakologi.
Untuk lingkungan praktek yang minim data pasien seperti di apotek, maka
perlu penyesuaian pelayanan kefarmasian. Tahap assessmen dengan cara
interview menjadi tumpuan untuk menentukan tahap selanjutnya dalam
pelayanan kefarmasian di komunitas.
• PENYUSUNAN RENCANA PELAYANAN KEFARMASIAN (RPK)
Rencana Pelayanan Kefarmasian memuat beberapa hal berikut:
1. Rekomendasi terapi
Dalam rekomendasi terapi diajukan saran tentang pemilihan/penggantian
obat, perubahan dosis, interval dan bentuk sediaan.
2. Rencana Monitoring
Rencana monitoring terapi obat meliputi:
a. Monitoring efektivitas terapi.
Monitoring terapi obat pada kasus infeksi saluran pernapasan,
dilakukan dengan memantau tanda vital seperti temperatur khususnya pada
infeksi yang disertai kenaikan temperatur. Terapi yang efektif tentunya akan
menurunkan temperatur. Selain itu parameter klinik dapat dijadikan tanda
kesuksesan terapi seperti frekuensi batuk dan sesak pada bronchitis dan
pneumonia yang menurun; produksi sputum pada bronchitis, pneumonia,
faringitis yang berkurang; produksi sekret hidung berkurang dan nyeri muka
pada kasus sinusitis menghilang; nyeri tenggorokan pada faringitis
menghilang.
b. Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB) meliputi efek samping
obat, alergi, interaksi obat. ROB yang banyak dijumpai pada penanganan
infeksi saluran napas adalah:
• Alergi akibat pemakaian kotrimoksazol, ciprofloxacin, dan penicillin
V.
• Gangguan saluran cerna seperti mual, diare pada pemakaian
eritromisin, klindamisin, tetrasiklin.
• Efek samping pemakaian antihistamin derivat H1- Bloker seperti
kantuk, mulut kering.
Pelaksanaan monitoring terapi obat bagi pasien di apotek memiliki
keterbatasan bila dibandingkan dengan di rumah sakit, antara lain kesulitan
untuk mengikuti perkembangan pasien setelah keluar dari apotek. Metode
yang paling tepat digunakan adalah monitoring melalui telpon baik Apoteker
telpon kepada pasien maupun sebaliknya pasien melaporkan pertelpon
tentang kejadian yang tidak diharapkan kepada Apoteker. Khususnya dalam
memonitor terjadinya ROB, perlu disampaikan ROB yang potensial akan
terjadi serta memiliki signifikansi secara klinik dalam konseling kepada
pasien. Selain itu pasien dihimbau untuk melaporkan kejadian yang dicurigai
ROB kepada Apoteker. Selanjutnya Apoteker dapat menyusun rekomendasi
terkait ROB tersebut.
3. Rencana Konseling
Rencana konseling memuat pokok-pokok materi konseling yang akan
disampaikan. Pada kasus infeksi saluran pernapasan, pokok-pokok materi
konseling meliputi:
• Tanda-tanda alergi/hipersensitivitas, Steven-Johnson pada antibiotika
yang dicurigai berpotensi besar, contoh: kotrimoksazol.
• Penghentian terapi bila dijumpai tanda hipersensitivitas
• Kontinuitas terapi sampai dengan antibiotika habis untuk
meminimalkan risiko resistensi.
• Langkah-langkah penanganan ROB, agar pasien tidak begitu saja
menyetop terapi setelah mengalami ROB.
• Perhatian (caution) yang harus disampaikan pada saat meminum
antibiotika seperti cara minum ( sebelum atau sesudah makan), harus
diminum dengan air minum yang banyak untuk preparat sulfonamida
untuk menghindari kristaluria.
• Terapi suportif pada faringitis, bronkhitis
• IMPLEMENTASI RPK
Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan RPK yang sudah disusun.
Rekomendasi terapi yang sudah disusun dalam RPK, selanjutnya
dikomunikasikan kepada dokter penulis resep. Metode penyampaian dapat
dipilih antara berbicara langsung (pada apotek di poliklinik atau apotek pada
praktek dokter bersama) atau melalui telpon. Komunikasi antar profesi yang
sukses memerlukan tehnik dan cara tersendiri.
Implementasi rencana monitoring adalah dengan melaksanakan
monitoring terapi obat dengan metode seperti yang sudah disebutkan di atas.
Demikian pula implementasi Rencana Konseling dilaksanakan dengan
konseling kepada pasien.
• FOLLOW-UP
Follow-up merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan pelayanan
kefarmasian sampai pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana dengan baik.
Kegiatan yang dilakukan dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik
perkembangan kondisi klinik maupun perkembangan terapi obat dalam rangka
mengidentifikasi ada-tidaknya PTO yang baru. Bila ditemukan PTO baru, maka
selanjutnya Apoteker menyusun atau memodifikasi RPK.
Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up adalah memantau hasil atau
outcome yang dihasilkan dari rekomendasi yang diberikan. Hal ini sangat penting
bagi Apoteker dalam menilai ketepatan rekomendasi yang diberikan.
Kegiatan follow-up memang sulit dilaksanakan di lingkup farmasi
komunitas, kecuali pasien kembali ke apotek yang sama, Apoteker menghubungi
pasien atau pasien menghubungi Apoteker melalui telpon.
8.2. PELAYANAN KEFARMASIAN PADA INFEKSI SALURAN NAPAS
8.2.1. Infeksi Saluran Napas Atas
Assessmen:
Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan
Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien
Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
antasida
Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi
Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi
Rekomendasi
Pemilihan antibiotika dan terapi pendukung seperti pada uraian Bab II-Bab V.
Efek samping obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta
penanganannya.
Monitor
Efektivitas antibiotika dengan memantau tanda dan gejala infeksi saluran napas
atas
Menanyakan efek samping obat yang potensial seperti diare, mual , rash
Konseling
Kontinuitas terapi hingga seluruh antibiotika diminum.
Lama terapi yang tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun
penyembuhan yang tidak tuntas.
Tanda efek samping obat yang potensial dan cara mengatasinya.
Cara pakai obat, khususnya tetes telinga, tetes hidung, obat kumur.
STUDI KASUS
Tn AS, 40 th datang ke apotek G membawa resep dari dokter THT yang berisi
R/Avelox No V dengan signa 1x1.
Database:
Nama : AS
Umur : 40th
Dari soal di atas belum ada gambaran problem medik, riwayat alergi maupun
riwayat obat, oleh karena itu dalam interview ditanyakan pertanyaan-pertanyaan
sbb:
Infeksi apa? Sinusitis
Apakah disertai nyeri wajah? Tidak, hanya isteri mengeluh bau pada saat
berdekatan maupun bicara dan ternyata betul tercium bau yang tidak sedap
ketika tn AS berbicara dengan Apoteker.
Apakah Bapak memiliki riwayat alergi dengan obat? Tidak pernah.
Apakah Bapak memiliki riwayat sakit kronik seperti kencing manis, sakit liver ?
Tidak
Apakah Bapak sudah minum obat lain sebelum ke dokter THT? Belum.
Assessmen
Data Problem Medik Terapi PTO
Subyektif:
-Bau dari mulut.
-Riwayat Obat
-Riwayat Penyakit :
gastritis (-);DM (-)
Obyektif:
-Bau pada saat
berbicara
Sinusitis Avelox No V
Signa 1x 1
-Lama terapi
kurang
-Tersedia
alternatif
antibiotika yang
lebih murah
Rencana Pelayanan Kefarmasian (Care Plan)
Rekomendasi: Lama terapi ditambah menjadi 10 hari untuk terapi sinusitis
Rencana monitoring: Kondisi klinik pasien dengan memantau bau, pilek.
Rencana Konseling: Cara minum Avelox .
Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian
Mengkomunikasikan dengan dokter penulis resep tentang lama terapi yang
adekuat. Hasil : Dokter menolak rekomendasi Apoteker, merasa aneh dengan
perubahan pelayanan farmasi.
Monitoring Terapi: dilaksanakan melalui telpon pada hari kelima dengan
menanyakan apakah masih bau, pilek. Hasil bau sudah berkurang, pilek masih
ada sedikit.
Follow-up
Saran kepada pasien untuk kembali ke dokter THT. Hasil: Pasien menolak
karena merasa sudah jauh lebih baik, barangkali dalam waktu beberapa hari,
bau akan hilang sama sekali.
Dua minggu kemudian pasien kembali ke apotek, dan melaporkan intensitas bau
seperti yang semula. Apa saran Apoteker?
Assessmen
PTO baru: kegagalan terapi antibiotika karena lama terapi yang tidak adekuat.
Rencana Pelayanan Kefarmasian
Rekomendasi : Ganti antibiotika dengan azithromycin 1x 500mg, kemudian
1x250mg sampai hari kelima.
Rencana Monitoring: Bau, pilek
Rencana Konseling: Cara minum azithromycin
Implementasi
Memberikan saran kepada pasien untuk kembali ke dokter THT semula untuk
menyampaikan keluhan.
Apoteker menunggu resep selanjutnya dari dokter THT tersebut. Hasil: Dokter
THT kembali meresepkan Avelox untuk selama lima hari. Apoteker meneruskan
rekomendasi dan disetujui perubahan antibiotika menjadi azithromycin.
8.2.2. Infeksi Saluran Napas Bawah
Assessmen
Menilai perlu-tidaknya terapi antibiotika
Menilai ada-tidaknya alergi terhadap antibiotika yang diresepkan
Mengkaji ketepatan antibiotika, lama terapi yang digunakan
Mengkaji kesesuaian dosis,bentuk obat terkait kondisi pasien
Mengkaji ada-tidaknya efek samping ataupun ROB yang potensial akan terjadi.
Mengkaji ada-tidaknya interaksi obat, khususnya bila dijumpai peresepan
antasida
Mengkaji respon terapi, resistensi maupun kegagalan terapi
Menilai kepatuhan dan faktor yang menyebabkan kegagalan terapi
Rekomendasi
Pemilihan antibiotika dan terapi pendukung seperti pada uraian BabVI, BabVII.
Efek samping obat ataupun ROB, interaksi obat yang potensial serta
penanganannya.
Monitor
Bronkhitis
• Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum
• Efek samping obat potensial:
o Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator
o Sedasi, konstipasi akibat pemakaian dekstrometorphan, codein
• Interaksi Obat (lihat monografi obat)
Pneumonia
• Efektivitas terapi: Frekuensi batuk, volume dan warna sputum, sesak
napas, nyeri dada, suhu badan, nadi, leukosit, fungsi paru pada
pneumonia berat. Kegagalan antibiotika dalam menurunkan tanda-tanda
infeksi dinilai dalam 48-72 jam setelah dosis pertama diberikan.
• Efek samping obat potensial:
o Rash, urtikaria setelah pemberian antibiotika baik pada dosis
pertama atau dosis selanjutnya. Antibiotika selain penicillin yang
perlu diawasi karena mempunyai insiden alergi yang cukup besar
adalah cefalosporin, quinolon, kotrimoksazol.
o Takikardia, palpitasi akibat bronkhodilator
• Interaksi Obat (lihat monografi obat)
Konseling
Hidrasi secara oral pada pasien rawat jalan untuk mempermudah ekskresi
sputum secara spontan.
Kontinuitas terapi hingga seluruh antibiotika diminum, bila pasien mendapat
antibiotika.
Lama terapi yang tepat untuk mencegah resistensi, infeksi ulangan, maupun
penyembuhan yang tidak tuntas.
STUDI KASUS
Tn KS 42th, mendatangi Apotik P dengan resep Levocin 2x 1, Fluimucil 3
x100mg, Lasal 3x1 tab. Pada interview pasien mengaku sakit batuk disertai
sesak napas dan didiagnosis radang paru ringan oleh dokter. Ketika diberitahu
harga yang harus dibayar, pasien terkejut dan mengajukan keberatan. Pasien
meminta penggantian ke obat lain yang lebih terjangkau. Apa yang dapat
dilakukan Apoteker?
Jawab:
Database: Tn KS 42 th, diagnosis : Community Acquired Pneumonia
Asesmen:
Untuk dapat memilihkan alternatif antibiotika pengganti, perlu ditanyakan hal-hal
berikut:
Apakah Bapak pernah sakit yang sama sebelumnya? Tidak pernah
Apakah Bapak punya penyakit kencing manis, sakit lain? Tidak ada, pasien
mengaku tidak pernah sakit
PTO: pasien tidak mendapat obat karena tidak mampu membeli
Rencana Pelayanan Kefarmasian:
Rekomendasi: Antibiotika yang dapat dipilih selain fluoroquinolon seperti
tercantum pada resep adalah derivat makrolida, dalam hal ini eritromisin.
Rencana Monitoring: Frekuensi batuk, sesak napas, demam untuk melihat
efektivitas eritromisin. Mual, sakit perut, diare untuk melihat efek samping
eritromisin. Takikardia dan palpitasi untuk melihat efek samping salbutamol.
Rencana Konseling: kontinuitas terapi sampai seluruh antibiotika diminum
meskipun kondisi klinis membaik sebelum antibiotika habis, efek samping
potensial dari eritromisin dan salbutamol disertai penjelasan cara mencegah dan
mengatasinya.
Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian
Menghubungi dokter penulis resep dan menyampaikan PTO yang ada serta
rekomendasi dari Apoteker.
8.3. Tata Cara Pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian
8.3.1. Etika Pelayanan
• Menghormati hak-hak pasien
• Menghormati pilihan pasien
• Saling menghormati antar profesi kesehatan yang terkait pelayanan.
• Tidak menjelekkan profesi lain, apalagi di depan pasien.
• Tidak menyampaikan rekomendasi pelayanan di depan pasien.
• Menyimpan data pasien yang digunakan dalam pelayanan sebagai
rahasia profesi
8.3.2. Pelaksanaan Monitoring dan Penyampaian Rekomendasi Pelayanan
Monitoring terapi obat di rumah sakit dilaksanakan dengan pemantauan
kondisi klinik pasien secara langsung, tanda vital, maupun parameter lab.
Sedangkan di apotek, monitoring dilaksanakan dengan cara memantau kondisi
klinik, tanda vital atau parameter lab yang mungkin melalui telpon. Untuk efek
samping obat potensial, pasien dapat diminta untuk melaporkan kepada apotek
bila terjadi.
Rekomendasi pelayanan dapat disampaikan secara berhadapan langsung,
tulisan, presentasi atau melalui telpon.
BAB IX
PERAN APOTEKER
9.1. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER
Apoteker mempunyai tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam program
pengawasan infeksi pada sistem kesehatan. Tanggung jawab ini muncul dari
pengetahuan yang dimiliki Apoteker tentang infeksi dan antibiotika serta
perannya dalam mempengaruhi penulisan resep antibiotika.
Tanggung jawab ini dijabarkan lebih lanjut meliputi 7:
1. Mengurangi penyebaran infeksi
Tanggung jawab ini dilaksanakan antara lain dengan:
• Berpartisipasi dalam Komite Pengendali Infeksi di rumah sakit
• Memberikan saran tentang pemilihan antiseptik, desinfektan.
• Menyusun prosedur, kebijakan untuk mencegah
terkontaminasinya produk obat yang diracik di instalasi
farmasi/apotek.
• Menyusun rekomendasi tentang penggantian, pemilihan alat-alat
kesehatan injeksi,infus alat kesehatan yang digunakan untuk
tujuan baik invasive maupun non-invasif, serta alat kesehatan
balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang tindakan, ICU.
2. Promosi penggunaan antibiotika secara rasional
Merupakan tanggung jawab yang penting dalam memastikan
penggunaan antibiotika secara rasional dalam sistem kesehatan.
Tanggung jawab ini dilaksanakan tidak hanya bagi Apoteker yang bekerja
di rumah sakit juga bagi Apoteker yang bekerja di apotek. Tanggung jawab
dilaksanakan antara lain dengan:
• Bekerja dalam struktur Komite Farmasi dan Terapi menentukan
jumlah dan tipe antibiotika yang beredar cukup untuk mengatasi
infeksi sesuai dengan populasi pasien yang dilayani. Prioritas
diberikan untuk menyusun kebijakan tentang penggunaan
antibiotika yang akan berdampak pada outcome terapi yang
optimal di samping meminimalkan penyebaran strain
mikroorganisme yang resisten.
• Menghimbau kerjasama multidisiplin dalam sistem kesehatan
untuk memastikan bahwa penggunaan antibiotika untuk tujuan
profilaksis, terapi empirik, maupun terapi definitif menghasilkan
outcome yang optimal.
3. Mendidik tenaga professional, pasien maupun masyarakat tentang
infeksi dan antibiotika.
Tanggung jawab ini dilaksanakan dengan antara lain:
• Menyiapkan bulletin, newsletter, presentasi tentang seputar
antibiotika dan penggunaannya yang rasional bagi petugas
kesehatan.
• Memberikan edukasi, konseling kepada pasien tentang
penggunaan antibiotika.
• Berpartisipasi dalam program pendidikan kesehatan masyarakat
yang bertujuan membatasi penyebaran penyakit infeksi.
9.2. KOMPETENSI APOTEKER
Kompetensi yang diperlukan untuk dapat melaksanakan pelayanan
kefarmasian di bidang infeksi pernapasan meliputi:
• Pemahaman patofisiologi penyakit infeksi saluran pernapasan
• Penguasaan farmakoterapi penyakit infeksi pernapasan
• Penguasaan farmakologi obat-obat yang digunakan pada infeksi
pernapasan
• Memiliki ketrampilan untuk melaksanakan interview, konseling dengan
pasien maupun berkomunikasi dengan profesi kesehatan lain.
• Memiliki ketrampilan untuk mencari sumber-sumber informasi bagi
pelayanan informasi obat.
9.3. PROMOSI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA RASIONAL
Promosi di apotek dapat dilakukan dengan cara pembuatan leaflet maupun
poster. Pada apotek dengan praktek bersama/Poliklinik leaflet maupun poster
dapat dibuat bersama dengan dokter. Selain itu upaya lain dapat dilaksanakan
dengan senantiasa mempromosikan penggunaan antibiotika secara benar dalam
praktek sehari-hari baik kepada klinisi, pasien.
9.4. DOKUMENTASI
Dalam menjalankan tugasnya, Apoteker hendaknya mendokumentasikan
segala kegiatannya ke dalam bentuk dokumentasi yang sewaktu-waktu dapat
diakses ataupun ditinjau ulang. Hal ini sebagai bukti otentik pelaksanaan
pelayanan kefarmasian yang dapat digunakan untuk tujuan penelitian maupun
verifikasi pelayanan.
Mengingat dokumentasi ini sebagai bukti otentik pelayanan kefarmasian,
maka dalam penyusunannya perlu ada bukti dari pasien atau keluarga pasien
berupa tanda tangan. Contoh formulir Pelayanan Kefarmasian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
GLOSSARY
• Prevalensi: angka kejadian
• Common cold: batuk-pilek karena selesma/influenza
• Pharmaceutical Care: dalam buku ini disebut dengan pelayanan
kefarmasian merupakan bentuk pelayanan farmasi yang berorientasi
kepada pasien yang terdiri dari beberapa aktivitas farmasi klinik yang
telah diatur ke dalam bentuk pelayanan sehingga dapat diukur peran
dan tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan kepada pasien.
• PTO: Problem-problem yang muncul yang terkait dengan terapi obat.
• ROB: segala efek obat yang tidak dikehendaki yang muncul pada
dosis terapi.
• Outcome: hasil/keluaran dari penatalaksanaan penyakit.
• Otitis-prone: Kecenderungan seseorang untuk mengalami otitis yang
ditandai adanya kelainan anatomis dari telinga tengah yang
merupakan bawaan sejak lahir.
• Hypertensive crisis: peningkatan tekanan darah hingga tekanan
diastolik lebih dari 120 mmHg
DAFTAR PUSTAKA
1. Abramowicz Mark.Handbook of Antimicrobial Therapy.16th ed. The
Medical Letter.New York.2002: 34-35.
2. Academy of American Physician. Clinical practice guidelines:
management of sinusitis. Pediatrics 2001 Sep;108 (3):798-808.
3. American Thoracic Society. Hospital Acquired pneumonia in adults;
diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy, and
preventatitive strategies. A consensus statement. Am Rev Respir Crit
Care Med 1995;153:1711.
4. American Pharmaceutical Association. Principles of Practice for
Pharmaceutical Care. 1997
5. AmericanSociety of Hospital Pharmacists. ASHP statement on
pharmaceutical care. Am J Hosp Pharm. 1993; 50:1720.3.
6. American Society of Health System Pharmacist.AHFS Drug Information
2001.ASHP.
7. American Society of Health-System Pharmacists. ASHP Statement on the
pharmacist’s role in infection control. Am J. Health-Syst Pharm
1998;55:1724-6.
8. Blanchard Nicholas. Pediatric Infectious Diseases. Applied Therapeutics
The Clinical Use of Drugs.Lippincot William&Wilkins.Philadelphia.
2001;94-1 - 94-23.
9. Bluestone CD et al. Ten-years review of otitis media pathogens. Pediatric
Infectious Disease Journal 1992;11:S7.
10. Bluestone CD, Klein JO. Otitis Media in Infants and Children.
Philadelphia:WB Saunders, 1988:15. BAB II
11. Berman S et al.Theoritical Cost-effectiveness of management option for
children with persisting middle ear effusions. Pediatrics 1994;93:353.
12. Butler CC, van der Voort JH. Oral or topical nasal steroids for hearing loss
associated with otitis media with effusion in children. The Cochrane
Database of Systematic Reviews 2005 Issue 4.
13. Bisno Alan et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management
of Group A Streptococcal Pharyngitis. Clin Infect Dis;2002;35:113-125.
14. British Medical Association-Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
British National Formulary 48. September 2004.
15. Cincinnati Children’s Hospital Medical Centre. Evidence based clinical
practice guideline for medical management of otitis media with effusion in
children 2 months to 13 years of age. Cincinnati (OH). Children’s Hospital
Medical Centre; 2004 Oct. 11p BAB II
16. Cipolle Robert, Strand Linda, Morley Peter. Pharmaceutical Care
Practice.Mc Graw Hill. New York 1998:1-26.
17. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2001.
18. Dushay ME. Johnson CE. Management of Allergic Rhinitis: focus on
intranasal agents. Pharmacotherapy 1989; 9: 338-50.
19. Douglas JG et al. Respiratory Disease. Avery’s Drug Treatment. 4th ed.
Auckland;1997:1039.
20. Everard ML. Bronkhiolitis: Origins and optimal management. Drugs
1995;49:885-96.
21. Flynn CA, Griffin GH, Schultz JK. Decongestants and antihistamines for
acute otitis media in children. Cochrane Database Syst Rev.
2004;(3):CD001727.
22. Gonzales R et al. Antibiotics prescribing for adults with colds, upper
respiratory tract infections, and bronchitis by ambulatory care
physicians.JAMA 1997;278:901.
23. Green SM, Rothrock SG. Single-dose intramuscular ceftriaxone for acute
otitis media in children. Pediatrics 1993;91:23.
24. Gwaltney JM Jr, Hendley JO, Simon G, Jordan WS Jr. Rhinovirus
infections in an industrial Population. II. Characteristics of illness and
antibody response. JAMA 1967;202:494-500
25. Gwaltney JM Jr. Acute community-acquired sinusitis. Clin Infect Dis
1996;23:1209-23.
26. Gurnee Mary C, Sylvestri Mario F. Upper Respiratory Infection. US
Pharmacist 23;7:
27. Gerber MA. Comparison of Throat Cultures and Rapid Strep tests for
Diagnosis of Streptococcal Pharyngitis. Pediatr Infect Dis J 1989;8:820-4.
28. Glover Mark, Reed Michael. Lower Respiratory Tract Infections.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.5th ed. 2001:1849-67.
29. Gelone & Jaresko. Respiratory Tract Infections. Applied
Therapeutics.Lippincot Williams. Philadelphia, 2001. 58-1 – 58-24.
30. Harwell JL, Brown RB. The drug resistant pneumococcus: Clinical
relevance, therapy, and prevention. Chest 2000;117:530-541.
31. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Diagnosis and treatment
of otitis media in children. Bloomington (MN): Institute for Clinical Systems
Improvement (ICSI); 2004 May. 27.
32. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Acute Pharyngitis.
Bloomington (MN): Institute for Clinical Systems Improvement
(ICSI);2003.27)
33. Intracorp. Bronchitis. Philadelphia (PA): Intracorp; 2005.
34. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Community-acquired
pneumonia in adults. Bloomington (MN): Institute for Clinical Systems
Improvement (ICSI); 2005 May. 40 p.
35. John Flaherty, Respiratory Tract Infection. Therapeutics. University of
California San Francisco 2002: 61-86.
36. Jones RN et al. Infectious Diseases (Bacterial and Fungal):Principles and
Practice of Antimicrobial Therapy. Avery’s Drug Treatment. Adis
International. Auckland.1997: 1466
37. Jackson RT et al. Ear, Nose and Throat Diseases. Avery’s Drug
Treatment. Adis International. Auckland.1997: 554.
38. Korzyrskyj AL et al. Treatment of acute otitis media with a shortened
course of antibiotics.JAMA 1998;279:1736.
39. Kradjan Wayne, Koda-Kimble Mary Anne, Young Lloyd. Assessment
Therapy and Pharmaceutical Care. Applied Therapeutics. Lippincott
Williams. Philadelphia. 2001: 1-7 – 1-8.
40. Lacy Charles F et al. Drug Information Handbook.Lexi-Comp.
41. Lund BC, Erns EJ, Klepser ME. Strategies in the treatment of penicillinresistance
Streptococcus pneumoniae. Am J Health Syst Pharm 1998;
55:1987-94.
42. Mac Kay DN. Treatment of acute bronchitis in adults without underlying
lung disease. J Gen Intern Med 1996;11:557-62
43. Mandell LA, Bartlett JG, Dowell SF, File TM Jr, Musher DM, Whitney C.
Update of practice guidelines for the management of community-acquired
pneumonia in immunocompetent adults. Clin Infect Dis 2003 Dec
1;37(11):1405-33.
44. O’Brien KL, Dowell SF, Schwartz B, et al. Cough illness/bronchitis-
Principles of judicious use of antimicrobial agents. Pediatrics
1998;101:178-81.
45. Ozkan Metin. Upper Respiratory Infection.e-medicine.
46. Pichichero ME. Assessing the treatment alternatives for acute otitis media.
Peditr Infect Dis J 1994;13:S27.
47. Piccirillo Jay. Acute Bacterial Sinusitis. N Engl J Med 2004;351;9:902-909
48. Poole PJ, Black PN. Oral Mucolytic drugs for exacerbation of chronic
obstructive pulmonary disease: systematic review.BMJ 2001 May 26;322
(7297):1271-4
49. Reese Richard E, et al. Handbook of Antibiotics.3rd ed. Lippincott
Williams&Wilkins, Philadelphia 2000: 3-5.
50. Ruuskanen O, Heikkinen T. Otitis media: etiology and diagnosis. Pediatric
Infectious Disease Journal 1994;13:S23.
51. Richer Monique, Deschenes Michel. Upper respiratory Tract
Infection.Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.5th ed.2001:
1869-83.
52. Shulman ST. Evaluation of penicillins, cephaloposrins, and macrolides for
therapy streptococcal pharyngitis. Pediatrics 1996; 97(6Pt2):955-9.
53. Stark JM. Lung infections in children. Curr Opin Pediatr 1993;5:273-80.
54. Thornsberry C et al. International surveillance of resistance among
pathogens in the United States, 1997-1998.38th Interscience Conference
on Antimicrobial Agents and Chemotherapy, San Diego, September 24,
1998. Abstract E-22.
55. Young LY, Koda-Kimble, MA. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of
Drugs,6th ed. Vancouver,WA:Applied Therapeutics,Inc.;1995:21:4-6,97:15-
17.
LAMPIRAN 1
FORMULIR PELAYANAN KEFARMASIAN
I. DATA BASE
Nama : Umur,BB,TB :
Alamat : Alergi :
Riwayat
Penyakit
Riwayat
Obat
:
II. ASSESSMEN/EVALUASI/PENGKAJIAN
Database Problem Medik Terapi DRP
III. PELAYANAN KEFARMASIAN
Uraian Materi Respon
Rekomendasi
Monitoring
Konseling
Ttd
,
……………………...
Farmasis
___________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar