Jumat, 08 April 2011

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Poliomielitis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan biasanya menyerang anak-anak dengan gejala lumpuh layuh akut (AFP=Acute Flaccid Paralysis).

Program eradikasi polio global telah dicanangkan oleh WHO dengan target dunia bebas polio tahun 2008, sedangkan Indonesia bebas polio ditargetkan pada tahun 2005. Saat ini Indonesia sebenarnya sudah dapat dikatakan bebas polio karena sejak tahun 1996 tidak diketemukan lagi virus polio liar dari kasus kasus AFP yang diambil spesimen fesesnya. Akan tetapi mengingat kinerja surveilans AFP yang jelek pada tahun 2000

dan 2001 (AFP rate <1/10.000) (1)dan cakupan imunisasi polio yang juga rendah (<80%) di beberapa daerah seperti Gorontalo, Maluku, Maluku Utara dan Papua, WHO menyatakan bahwa Indonesia harus melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) yang ke IV. Oleh karena itu Indonesia melaksanakan PIN IV pada bulan September dan Oktober 2002 (2). PIN dimaksudkan untuk meningkatkan status antibodi anak balita sehingga dapat memutus sirkulasi virus polio liar di masyarakat. Dengan status antibodi anak yang tinggi maka herd immunity akan tinggi sehingga sirkulasi virus polio liar akan terhenti. Masalahnya adalah apakah dengan PIN IV dengan dua kali pemberian dosis vaksin polio sudah cukup untuk meningkatkan status antibodi anak pada taraf yang baik? Banyak faktor yang dapat menghambat pembentukan antibodi anak antara lain : potensi vaksin, cold-chain, lingkungan tempat tinggal anak dan respon imun anak sendiri; oleh karena itu perlu diteliti apakah dengan PIN IV status antibodi anak sudah cukup tinggi untuk menghambat sirkulasi virus polio liar. Hasil penelitian serologi balita pasca PIN II pada tahun 1998 menunjukkan hasil yang baik yaitu 99% anak mempunyai antibodi terhadap ketiga tipe virus polio. Penelitian tersebut dilakukan di kota Jayapura Papua dan Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah dan cakupan PIN II 100%. Cakupan nasional PIN I,II dan III >95 %.(3)

Penelitian ini dilaksanakan di daerah yang belum pernah melakukan penelitian serologis dan jauh dijangkau yaitu di Makassar dengan cakupan imunisasi 80 %. Dengan dipilihnya daerah tersebut diharapkan dapat diketahui status antibodi anak menurut lingkungan hidup anak, pengaruh transportasi terhadap cold-chain dan potensi

vaksin. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi data serologis, di samping data surveilans AFP dan cakupan imunisasi, untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan PIN V.

2. TUJUAN

Menilai hasil program eradikasi polio dari segi status kekebalan anak terhadap virus polio untuk menentukan perlu tidaknya PIN dilaksanakan lagi untuk mencapai bebas polio.

3. MANFAAT

1.Mengetahui status antibodi anak balita terhadap virus polio

2.Mengetahui proporsi anak yang mempunyai antibodi

menurut lingkungan tempat tinggal anak dan golongan

umurnya

BAB II

TINJAUAN TEORI

1. KONSEP DASAR TEORI

1. DEFINISI

Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi kelumpuhan serta autropi otot.
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir kesistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralysis).

Klasifikasi virus
Golongan: Golongan IV ((+)ssRNA)
Familia: Picornaviridae
Genus: Enterovirus
Spesies: Poliovirus

b.anatomi fisiologi

Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral). Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna. (Wilson. 2005, Budianto. 2005, Guyton. 1997)
Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat (keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar. Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell. 2007)
Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan polaritas disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial aksi ini sangat singkat karena hanya berlangsung selama sekitar 5msec. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel dan mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat. Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf. Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial aksi lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl- melalui membran plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel.

c. ETIOLOGI

Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus dan Genus virus, dibagi 3 yaitu :

1. Brunhilde
2. Lansing
3. Leon ; Dapat hidup berbulan-bulan didalam air, mati dengan pengeringan /oksidan. Masa inkubasi : 7-10-35 hari

d. GEJALA KLINIS
Poliomielitis terbagi menjadi empat bagian yaitu :

Poliomielitis asimtomatis : Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama sekali.

1. Poliomielitis abortif : Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai beberapa hari. Gejala berupa infeksi virus seperti malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri abdomen.
2. Poliomielitis non paralitik : Gejala klinik hamper sama dengan poliomyelitis abortif , hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam atau masuk kedalam fase ke2 dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.
3. Poliomielitis paralitik : Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut pada bayi ditemukan paralysis fesika urinaria dan antonia usus. Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :

* Bentuk spinal. Gejala kelemahan / paralysis atau paresis otot leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak ekstremitas.
* Bentuk bulbar. Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan dan sirkulasi.
* Bentuk bulbospinal. Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar.
* Kadang ensepalitik. Dapat disertai gejala delirium, kesadaran menurun, tremor dan kadang kejang.

E. Patofisiologi
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu. Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang biasanya terkena poliomyelitis ialah :

1. Medula spinalis terutama kornu anterior,
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio retikularis yang mengandung pusat vital,
3. Sereblum terutama inti-inti virmis,
4. Otak tengah “midbrain” terutama masa kelabu substansia nigra dan kadang-kadang nucleus rubra,
5. Talamus dan hipotalamus,
6. Palidum dan
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik.

Virus

Sel daerah susunan saraf tertentu

Sebagian saraf rusak

Kerusakan ringan menimbulkan gejala

Penyembuhan fungsi neuron 3-4 minggu


Mengenai daerah

Medspin batang inti saraf serebelum hipotalamus korteks serebri

otak

1.Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan muntah
2. Hipertermi b/d proses infeksi
3. resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan jalan nafas b/d paralysis otot
4. Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf
5. Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis
6. Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

F. Penatalaksanaan Medis

1. Poliomielitis aboratif
• Diberikan analgetk dan sedative
• Diet adekuat
• Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya dicegah aktifitas yang berlebihan selama 2 bulan kemudian diperiksa neurskeletal secara teliti.

2. Poliomielitis non paralitik
• Sama seperti aborif
• Selain diberi analgetika dan sedative dapat dikombinasikan dengan kompres hangat selama 15 – 30 menit,setiap 2 – 4 jam.

3. Poliomielitis paralitik
• Perawatan dirumah sakit
• Istirahat total
• Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
• Fisioterafi
• Akupuntur
• Interferon

Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan.Poliomielitis abortif diatasi dengan istirahat 7 hari jika tidak terdapat gejala kelainan aktifitas dapat dimulai lagi.Poliomielitis paralitik/non paralitik diatasi dengan istirahat mutlak paling sedikit 2 minggu perlu pemgawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis pernapasan.
Fase akut :
Analgetik untuk rasa nyeri otot.Lokal diberi pembalut hangat sebaiknya dipasang footboard (papan penahan pada telapak kaki) agar kaki terletak pada sudut yang sesuai terhadap tungkai..Pada poliomielitis tipe bulbar kadang-kadang reflek menelan tergaggu sehingga dapat timbul bahaya pneumonia aspirasi dalam hal ini kepala anak harus ditekan lebih rendah dan dimiringkan kesalah satu sisi.
Sesudah fase akut :
Kontraktur.atropi,dan attoni otot dikurangi dengan fisioterafy. Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang.

1. KONSEP DASAR ASKEP
A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas
2. pemeriksaan fisik
a. Nyeri kepala
b. Paralisis
c. Refleks tendon berkurang
d. Kaku kuduk
e. Brudzinky

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan muntah
2. Hipertermi b/d proses infeksi
3. resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan jalan nafas b/d paralysis otot
4. Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf
5. Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis
6. Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

C. Intervensi

Dx 1 :
1.1. Pantau pola makan anak
R/Mengetahui intake dan output anak
1.2. Berikan makanan secara adekuat
R/Untuk mencakupi masukan sehingga output dan intake seimbang
1.3. Timbang berat badan
R/Mengetahui perkembangan anak
1.4. Berikan makanan kesukaan anak
R/Menambah masukan dan merangsang anak untuk makan lebih banyak
1.5. Berikan makanan tapi sering
R/Mempermudah proses pencernaan

Dx 2 :
2.1. Pantau suhu tubuh
R/Untuk mencegah kedinginan tubuh yang berlebih
2.2. jangan pernah menggunakan usapan alcohol saat mandi/kompres
R/Dapat menyebabkan efek neurotoksi
2.3. hindari mengigil
2.4. Kompres mandi hangat durasi 20-30 menit
R/Dapat membantu mengurangi demam

Dx 3 :
3.1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman
R/Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi dapat mencegah komplikasi.
3.2. Auskultasi bunyi nafas
R/Mengetahui adanya bunyi tambahan
3.3. Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi duduk tinggi atau semi fowler
R/Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru
3.4. Berikan tambahan oksigen
R/Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru

Dx 4 :
4.1. Lakukan strategi non farmakologis untuk membantu anak mengatasi nyeri
R/Theknik-theknik seperti relaksasi, pernafasan berirama, dan distraksi dapat membuat nyeri dan dapat lebih di toleransi
4.2. Ajarkan anak untuk menggunakan strategi non farmakologis khusus sebelum nyeri.
R/Pendekatan ini tampak paling efektif pada nyeri ringan
4.3. Minta orang tua membantu anak dengan menggunakan srtategi selama nyeri
Latihan ini mungkin diperlukan untuk membantu anak berfokus pada tindakan yang diperlukan
4.4. Berikan analgesic sesuai indikasi.

Dx 5 :
5.1. Tentukan aktivitas atau keadaan fisik anak
R/Memberikan informasi untuk mengembangkan rencana perawatan bagi program rehabilitasi.
5.2. Catat dan terima keadaan kelemahan (kelelahan yang ada)
R/Kelelahan yang dialami dapat mengindikasikan keadaan anak
5.3. Indetifikasi factor-faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk aktif seperti
pemasukan makanan yang tidak adekuat.
R/Memberikan kesempatan untuk memecahkan masalah untuk mempertahankan atau meningkatkan mobilitas
5.4. Evaluasi kemampuan untuk melakukan mobilisasi secara aman
R/Latihan berjalan dapat meningkatkan keamanan dan efektifan anak untuk berjalan.

Dx 6 :
6.1 Pantau tingkat realita bahaya bagi anak dan keluarga tingkat ansietas(mis.renda,sedang,
parah).
R/Respon keluarga bervariasi tergantung pada pola kultural yang dipelajari.
6.2 Nyatakan retalita dan situasi seperti apa yang dilihat keluarga tanpa menayakan apa
yang dipercaya.
R/Pasien mugkin perlu menolak realita sampai siap menghadapinya.
6.3. Sediakan informasi yang akurat sesuai kebutuhan jika diminta oleh keluarga.
R/Informasi yang menimbulkan ansietas dapat diberikan dalam jumlah yang dapat
dibatasi setelah periode yang diperpanjang.
6.4. Hidari harapan –harapan kosong mis ; pertanyaan seperti “ semua akan berjalan
lancar”.
R/Harapan –harapan palsu akan diintervesikan sebagai kurangnya pemahaman atau
kejujuran.

d. IMPLEMENTASI

1.Memantau pola makan anak untuk mengetahui intake dan output anak
2.Memberikan makanan secara adekuat Untuk mencakupi masukan sehingga output dan intake seimbang
3.Berikan nutrisi kalori, protein, vitamin dan mineral.
4.Menimbang berat badan mengetahui perkembangan anak
5.Memberikan makanan kesukaan anak menambah masukan dan merangsang anak untuk makan lebih banyak
6.Memberikan makanan tapi sering mempermudah proses pencernaan

e.EVALUASI

Masalah dikatakan teratasi apabila kebutuhan nutrisi dari kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik/terkontrol.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

1) Status antibodi anak setelah PIN IV sudah cukup tinggi (92%) meskipun masih lebih rendah dari status antibodi anak setelah PIN II.

2) Tidak ada perbedaan antara status antibodi anak yang tinggal di perkotaan dan pedesaan di Makasar.

3) Makin tua umur anak, antibodinya terhadap ketiga tipe virus polio makin rendah, dan pada golongan umur 0-1 tahun prosentase anak yang mempunyai antibodi antara

100%.

DAFTAR PUSTAKA

WHO-SEARO. Poliomyelitis surveillance : weekly report 2001. SEAR

Polio Bulletin.

Dit.Jen P2M & PLP, Dep.Kes. RI. Pekan Imunisasi Nasional 2002.

Materi Informasi dan Advokasi.Dep.Kes.R.I.2002.

Gendrowahyuhono dkk.

Laporan akhir peneltian serologis poliomyelitis

setelah PIN II di daerah terpencil. 1998.

WHO-SEARO. Polio Laboratory Manual. Department of Vaccines and

Biologicals.2001.

Gendrowahyuhono. Pengaruh sanitasi lingkungan terhadap pembentukan

antibody anak setelah pemberian vaksinasi oral. Maj. Kes. Masy. Indon.

No.4/2000: 214- 8.

An alliance with a powerful man is never safe

Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005

by:defka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar