Senin, 13 Februari 2012

Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis



Disusun Oleh :

Nama :

Kelas : B/KP/VI

NIM : 04081968



KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah – Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul asuhan keperawatan pada pasien “ Gagal Ginjal Kronik “.
Dalam menyusun makalah ini penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Makalah ini tentu masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah ini sehingga dapat penulis selesaikan dengan baik dan tepat waktu.


Yogyakarta, Maret 2011


Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronik terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia. Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.

B. RUMUSAN MASALAH

Masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah :
1. Apa definisi dari GGK?
2. Bagaimana etiologi, patofisiologi, dan pathway dari GGK?
3. Bagaimana perjalanan klinis dan manifestasi dari GGK?
4. Apa saja pengobatannya dan komplikasi yang terjadi?
5. Bagaimana penatalaksanaan dari pasien GGK?

C. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui definisi dari GGK.
2. Mengetahui penyebab etiologi, patofisiologi, dan pathway dari GGK.
3. Mengetahui perjalanan klinis dan manifestasi dari GGK.
4. Mengetahui cara pengobatannya dan komplikasi yang terjadi.
5. Mengetahui penatalaksanaan untuk pasien GGK.


BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan irreversible. Gangguan funsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang, berat. Azotemia adalah peningkatan BUN dan ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal ginjal yang berat. Gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialysis atau transplantasi). (Kapita Selekta, Jilid 1 Edisi Ketiga).

Gambar Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Batasan penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebig tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada table 2.2 berikut :

Tabel 2.2 Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal kronik
Stadium Sddtadium
Deskripsi
LFG (mL/menit/1.73 m2 )
0
Resiko meningkat
≥ 90 dengan factor resiko
1
Kerusakan ginjal disertai LFG normal atau meninggi
≥ 90
2
Penurunan ringan LFG
60-89
3
Penurunan moderat LFG
30-59
4
Penurunan berat LFG
15-29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
(Sumber: Clarkson, 2005)
Fungsi Ginjal
Tugas yang diemban ginjal sangat banyak, kompleks dan saling mempengaruhi (berpengaruh) terhadap organ-organ tubuh lainnya. Bila dikelompokkan, terdapat 3 fungsi utama ginjal yaitu:
· Pengaturan lingkungan dalam (internal environment) adalah upaya ginjal untuk mempertahankan keadaan lingkungan dalam agar kondisinya selalu stabil (disebut juga extracellular homeostasis). Dalam hal ini ginjal bertanggung jawab dalam pengaturan keseimbangan kebanyakan ion/elektrolit dalam cairan tubuh/extracellular fluid (misal Natrium, Kalium, dll), mengatur keseimbangan volume cairan dengan cara mengatur masuk-keluarnya (input dan output) cairan dalam tubuh, menjaga keseimbangan asam-basa (pH) darah, dst.
· Membuang kelebihan air dan produk akhir dari hasil metabolisme protein seperti: ureum, kalium, fosfat, sulfat anorganik dan asam urat.
Menjalankan fungsi endokrin yaitu fungsi ginjal sebagai organ pembentuk (sekresi) berbagai substansi dan hormon diantaranya: erythropoietin (suatu hormon yang mengatur pembentukan sel darah merah); renin (suatu hormon yang menjadi bagian dari Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron atau Renin-Angiotensi-Aldosterone system = RAAS yang mengatur tekanan darah dan keseimbangan cairan); bentuk aktif Vitamin D (Kalsitriol) yang mengatur penyerapan kalsium dari makanan untuk pembentukan tulang dan metabolisme tubuh lainnya; serta prostaglandin (suatu hormon yang mempunyai banyak peran antara lain untuk: pengaturan pengerutan dan pelebaran pembuluh darah, pembekuan darah, pengaturan pergerakan kalsium, pengaturan pertumbuhan sel, pengaturan rasa sakit, menurunkan tekanan bola mata, dll).
B. ETIOLOGI

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagi berikut glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%). (Roesli, 2008)
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbsgsi penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopalogi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes mellitus, lupus eritematosus sistemik (LES), myeloma multiple, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefrits mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urine rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medic yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialysis (Sukandar, 2006)
b. Diabetes mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua – duanya.
Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator,karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan mengakibatkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan – lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).


c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak dapat diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertnsi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista – kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medulla. Selain oleh karena kelainan genetic, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjalpolkistik merupakan kelainan genetic yang paling sering didapatkan. Nama lain yanh lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia diatas 30 tahun.ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayidan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).

Adapun penyebab lain dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih) (Price & Wilson, 1994)

C. PATOFISIOLOGI & PATHWAYS

1. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal; Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi ginjal.
b. Insufisiensi ginjal; Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.
c. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin, 1994)

2. Pathways (terlampir)
PATHWAYS Gagal Ginjal



D. PERJALANAN KLINIS

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium :
· Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
· Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat - obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah - langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % – 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.
· Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat melakukan tugas sehari - hari sebagaimana mestinya. Gejala - gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang - kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan biokimia dan gejala - gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

E. MANIFESTASI KLINIK

1. Kardiovaskuler : Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), Edema periorbital, Friction rub pericardial, Pembesaran vena leher.
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, Kulit kering bersisik, Pruritus, Ekimosis, Kuku tipis dan rapuh, Rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner : Krekels, Sputum kental dan liat, Nafas dangkal, Pernafasan kussmaul.
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, Nafas berbau ammonia, Ulserasi dan perdarahan mulut, Konstipasi dan diare, Perdarahan saluran cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, Kelemahan dan keletihan, Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran, Disorientasi, Kejang, Rasa panas pada telapak kaki, Perubahan perilaku.
6. Muskuloskeletal : Kram otot, Kekuatan otot hilang, Kelemahan pada tungkai, Fraktur tulang, Foot drop.
7. Reproduktif : Amenore, Atrofi testekuler. (Smeltzer & Bare, 2001)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
· Laboratorium darah : BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin).
· Pemeriksaan Urin : Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT.
2. Pemeriksaan EKG : Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
3. Pemeriksaan USG : Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate.
4. Pemeriksaan Radiologi : Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
5. Pielografi intravena : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
6. Pielografi retrograde : Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible.
7. Arteriogram ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
8. Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
9. Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
10. Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist.
11. Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif


D. PENGOBATAN

Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala, meminimalkan komplikasi dan memperlambat perkembangan penyakit. Penyebab dan berbagai keadaan yang memperburuk gagal ginjal harus segera dikoreksi. Diet rendah protein (0,4-0,8 gram/kg BB) bisa memperlambat perkembangan gagal ginjal kronis. Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani diet ketat atau menjalani dialisa.
Pada penderita gagal ginjal kronis biasanya kadar trigliserida dalam darah tinggi. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi, seperti stroke dan serangan jantung.
Untuk menurunkan kadar trigliserida, diberikan gemfibrozil.
Kadang asupan cairan dibatasi untuk mencegah terlalu rendahnya kadar garam (natrium) dalam darah. Asupan garam biasanya tidak dibatasi kecuali jika terjadi edema (penimbunan cairan di dalam jaringan) atau hipertensi.
Makanan kaya kalium harus dihindari. Hiperkalemia (tingginya kadar kalium dalam darah) sangat berbahaya karena meningkatkan resiko terjadinya gangguan irama jantung dan cardiac arrest. Jika kadar kalium terlalu tinggi, maka diberikan natrium polisteren sulfonat untuk mengikat kalium, sehingga kalium dapat dibuang bersama tinja.
Kadar fosfat dalam darah dikendalikan dengan membatasi asupan makanan kaya fosfat (misalnya produk olahan susu, hati, polong, kacang-kacangan dan minuman ringan). Bisa diberikan obat-obatan yang bisa mengikat fosfat, seperti kalsium karbonat, kalsium asetat dan alumunium hidroksida.
Anemia terjadi karena ginjal gagal menghasilkan eritropoeitin dalam jumlah yang mencukupi. Eritropoietin adalah hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah. Respon terhadap penyuntikan poietin sangat lambat. Transfusi darah hanya diberikan jika anemianya berat atau menimbulkan gejala.
Kecenderungan mudahnya terjadi perdarahan untuk sementara waktu bisa diatasi dengan transfusi sel darah merah atau platelet atau dengan obat-obatan (misalnya desmopresin atau estrogen).mTindakan tersebut mungkin perlu dilakukan setelah penderita mengalami cedera atau sebelum menjalani prosedur pembedahan maupun pencabutan gigi.
Gejala gagal jantung biasanya terjadi akibat penimbunan cairan dan natrium.
Pada keadaan ini dilakukan pembatasan asupan natrium atau diberikan diuretik (misalnya furosemid, bumetanid dan torsemid). Hipertensi sedang maupun hipertensi berat diatasi dengan obat hipertensi standar. Jika pengobatan awal untuk gagal ginjal tersebut tidak lagi efektif, maka dilakukan dialisa jangka panjang atau pencangkokan ginjal.

G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pada berat badan harian, pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan.

b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L. Hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

H. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang. (Smeltzer & Bare, 2001)



BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIS

A. PENGKAJIAN

1. Aktifitas dan Istirahat : Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur, Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM.
2. Sirkulasi : Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada, Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub.
3. Integritas Ego : Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan, Menolak, cemas, takut, marah, irritable.
4. Eliminasi : Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung.
5. Makanan/Cairan : Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah, rasa logam pada mulut, asites, Penurunan otot, penurunan lemak subkutan.
6. Neurosensori : Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7. Nyeri/Kenyamanan : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, Distraksi, gelisah.
8. Pernafasan : Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal, Dyspnea (+), Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9. Keamanan : Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis, fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas.
10. Seksualitas : Penurunan libido, amenore, infertilitas
11. Interaksi Sosial : Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya. (Doengoes, 2000)


B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal.
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah.
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase diuretik).
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit.
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialisa.
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering, pruritus.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi.

C. INTERVENSI

1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal.
Tujuan : pasien menunjukkan pengeluaran urin tepat seimbang dengan pemasukan.
Kriteria Hasil :
· Hasil laboratorium mendekati normal
· BB stabil
· Tanda vital dalam batas normal
· Tidak ada edema
Intervensi :
a. Monitor denyut jantung, tekanan darah, CVP
b. Catat intake & output cairan, termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotic, ukur IWL
c. Awasi BJ urin
d. Batasi masukan cairan
e. Monitor rehidasi cairan dan berikan minuman bervariasi
f. Timbang BB tiap hari dengan alat dan pakaian yang sama
g. Kaji kulit,wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (skala +1 sampai +4).
h. Auskultasi paru dan bunyi jantung
i. Kaji tingkat kesadaran : selidiki perubahan mental, adanya gelisah
Kolaborasi :
i. Perbaiki penyebab, misalnya perbaiki perfusi ginjal, me ↑ COP
ii. Awasi Na dan Kreatinin Urine Na serum, Kalium serumHb/ Ht
iii. Rongent Dada
iv. Berikan Obat sesuai indikasi : Diuretik : Furosemid, Manitol; Antihipertensi : Klonidin, Metildopa
v. Masukkan/pertahankan kateter tak menetap sesuai indikasi
vi. Siapkan untuk dialisa sesuai indikasi

2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein, pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah.
Tujuan : mempertahankan status nutrisi adekuat.
Kriteria hasil :
· berat badan stabil
· tidak ditemukan edema
· albumin dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi
b. Kaji/catat pola dan pemasukan diet
c. Kaji factor yang berperan merubah masukan nutrisi : mual, anoreksia
d. Berikan makanan sedikit tapi sering, sajikan makanan kesukaan kecuali kontra indikasi
e. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut
f. Timbang BB tiap hari
Kolaborasi ;
i. Awasi hasil laboratorium : BUN, Albumin serum, transferin, Na, K
ii. Konsul ahli gizi untuk mengatur diet
iii. Berikan diet ↑ kalori, ↓ protein, hindari sumber gula pekat
iv. Batasi K, Na, dan Phospat
v. Berikan obat sesuai indikasi : sediaan besi; Kalsium; Vitamin D dan B kompleks
vi. Antiemetik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar