Selasa, 31 Januari 2012

ASKEP KATARAK


2.1. Definisi Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya yang biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progesif. (Mansjoer,2000;62)
Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak mengakibatkan pengurangan visus oleh suatu tabir/layar yang diturunkan di dalam mata, seperti melihat air terjun. Penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.
2.2. Etiologi
1. Ketuaan ( Katarak Senilis )
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada usia 60 tahun keatas.
2. Trauma
Cedera mata dapat mengenai semua umur seperti pukulan keras, tusukan benda, terpotong, panas yang tinggi, dan bahan kimia dapat merusak lensa mata dan keadaan ini disebut katarak traumatik.
3. Penyakit mata lain ( Uveitis )
4. Penyakit sistemik ( Diabetes Mellitus )
5. Defek kongenital
Salah satu kelainan herediter sebagai akibat dari infeksi virus prenatal seperti German measles atau rubella. Katarak kongenitalis bisa merupakan penyakit keturunan ( diwariskan secara autosomal domonan ) atau bisa disebabkan oleh :
 Infeksi congenital, seperti campak jerman ( german measles )
 Berhubungan dengan penyakit metabolik, seperti galaktosemia (kadar gula yang meningkat).
Factor resiko terjadinya katarak kongenitalis adalah :
 Penyakit metabolik yang diturunkan
 Riwayat katarak dalam keluarga
 Infeksi virus pada ibu ketika bayi masih dalam kandungan.
Penyebab katarak lainnya meliputi :

  • Faktor keturunan.
  • Cacat bawaan sejak lahir.
  • Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
  • Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
  • gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)
  • gangguan pertumbuhan,
  • Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama.
  • Rokok dan Alkohol
  • Operasi mata sebelumnya.
  • Faktor-faktor lainnya yang belum diketahui.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya katarak adalah:
 Kadar kalsium yang rendah
 Diabetes mellitus
 Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
 Berbagai penyakit peradangan dan penyakit metabolik
 Faktor lingkungan ( trauma, penyinaran, sinar ultraviolet )
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan garis besar katarak dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut :
1) Katarak perkembangan ( developmental ) dan degenerative.
2) Katarak trauma : katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata.
3) Katarak komplikata (sekunder) : penyakit infeksi tertentu dan penyakit seperti DM dapat mengakibatkan timbulnya kekeruhan pada lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata.
4) Berdasarkan usia pasien, katarak dapat di bagi dalam :
a. Katarak kongeniatal : katarak yang di temukan pada bayi ketika lahir (sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun)
b. Katarak juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan di bawah usia 40 tahun
c. Katarak presenil, yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun
d. Katarak senilis : katarak yang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Jenis katarak ini merupakan proses degeneratif ( kemunduran ) dan yang paling sering ditemukan.
Adapun tahapan katarak senilis adalah :
a) Katarak insipien : pada stadium insipien (awal) kekeruhan lensa mata masih sangat minimal, bahkan tidak terlihat tanpa menggunakan alat periksa. Kekeruhan lensa berbentuk bercak-bercak kekeruhan yang tidak teratur.penderita pada stadium ini seringkali tidak merasakan keluhan atau gangguan pada penglihatanya sehingga cenderung diabaikan.
b) Katarak immataur : lensa masih memiliki bagian yang jernih
c) Katarak matur : Pada stadium ini proses kekeruhan lensa terus berlangsung dan bertambah sampai menyeluruh pada bagian lensa sehingga keluhan yang sering disampaikan oleh penderita katarak pada saat ini adalah kesulitan saat membaca, penglihatan menjadi kabur, dan kesulitan melakukan aktifitas sehari-hari. Selain keluhan tesebut ada beberapa gejala yang dialami oleh penderita katarak, seperti :
1) Penglihatan berkabut atau justru terlalu silau saat melihat cahaya.
2) Warna terlihat pudar.
3) Sulit melihat saat malam hari.
4) Penglihatan ganda saat melihat satu benda dengan satu mata. Gejala ini terjadi saat katarak bertambah luas.
d) Katarak hipermatur : terdapat bagian permukaan lensa yang sudah merembes melalui kapsul lensa dan bisa menyebabkan perdangan pada struktur mata yang lainya.

2.4 Manifestasi Klinis
Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif biasanya meliputi pengembunann seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan menjadi kabur atau redup, menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun dan ketika katarak sudah sangat memburuk lensa yang lebih kuat pun tidak akan mampu memperbaiki penglihatan. Orang dengan katarak secara khas selalu mencari cara untuk menghindari silau yang berasal dari cahaya yang salah arah. Misalnya dengan mengenkan topi berkelapak lebar atau kaca mata hitam dan menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari.
Gejala umum gangguan katarak meliputi :

  • Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
  • Peka terhadap sinar atau cahaya.
  • Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
  • Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
  • Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

Gangguan penglihatan bisa berupa :
 Kesulitan melihat pada malam hari
 Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan mata
 Penurunan ketajaman penglihatan ( bahkan pada siang hari )
Gejala lainya adalah :
 Sering berganti kaca mata
 Penglihatan sering pada salah satu mata.
Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan tekanan di dalam mata ( glukoma ) yang bisa menimbulkan rasa nyeri.
2.5. Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambah usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi, perubahan pada serabut halus multiple (zunula) yang memanjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan Kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai kecepatan yang berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistematis, seperti DM, namun sebenarnya merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik dan matang ketika orang memasuki dekade ke tujuh. Katarak dapat bersifat kongenital dan harus diidentifikasi awal karena bila tidak didiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering yang berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alcohol, merokok, DM, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu lama.
2.6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita katarak adalah sebagai berikut :
1) Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
2) Lapang Penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor, karotis, glukoma.
3) Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
4) Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.
5) Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
6) Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
7) Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
8) EKG, kolesterol serum, lipid
9) Tes toleransi glukosa : kontrol DM
10) Keratometri.
11) Pemeriksaan lampu slit.
12) A-scan ultrasound (echography).
13) Penghitungan sel endotel penting u/ fakoemulsifikasi & implantasi.
14) USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1 Pencegahan
Disarankan agar banyak mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung vit.C ,vit.A dan vit E.
2.7.2 Penatalaksanaan medis
Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator pupil dan refraksi kuat sampai ke titik di mana pasien melakukan aktivitas sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.
Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan yang terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih buruk lagi bila ketajaman pandang mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup, atau bila visualisasi segmen posterior sangat perlu untuk mengevaluasi perkembangan berbagai penyakit retina atau saraf optikus, seperti diabetes dan glaukoma.
Pembedahan katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan.
1) Pengangkatan lensa
Ada dua macam teknik pembedahan ynag bias digunakan untuk mengangkat lensa:
 Pembedahan ekstrakapsuler : lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya.
 Pembedahan intrakapsuler : pengangkatan lensa beserta kapsulnya. Namun, saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan.

2) Penggantian lensa
Penderita yang telah menjalani pembedahan katrak biasanya akan mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang teleh diangkat. Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokuler dan biasanya lensa intraokuler dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata.
Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan, dan mempercepat penyembuhan selama beberapa minggu setelah pembedahan di berikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan benar-benar sembuh. Adapaun penatalaksanaan pada saat post operasi antara lain :
1. Pembatasan aktivitas, pasien yang telah melaksanakan pembedahan diperbolehkan :
 Menonton televisi; membaca bila perlu, tapi jangan terlalu lama
 Mengerjakan aktivitas biasa tapi dikurangi
 Pada awal mandi waslap selanjutnya menggunakan bak mandi atau pancuran
 Tidak boleh membungkuk pada wastafel atau bak mandi; condongkan sedikit kepala kebelakang saat mencuci rambut
2. Tidur dengan perisai pelindung mata logam pada malam hari; mengenakan kacamata pada siang hari
3. Ketika tidur, berbaring terlentang atau miring pada posisi mata yang tidak dioperasi, dan tidak boleh telengkup
4. Aktivitas dengan duduk
5. Mengenakan kacamata hitam untuk kenyamanan
6. Berlutut atau jongkok saat mengambil sesuatu dari lantai
7. Dihindari (paling tidak selama 1 minggu)
 Tidur pada sisi yang sakit
 Menggosok mata, menekan kelopak untuk menutup
 Mengejan saat defekasi
 Memakai sabun mendekati mata
 Mengangkat benda yang lebih dari 7 Kg
 Berhubungan seks
 Mengendarai kendaraan
 Batuk, bersin, dan muntah
 Menundukkan kepala sampai bawah pinggang, melipat lutut saja dan punggung tetap lurus untuk mengambil sesuatu dari lantai.
2.8. Komplikasi
Penyulit yg terjadi berupa visus tdk akan mencapai 5/5 à ambliopia sensori.
Komplikasi yang terjadi nistagmus dan strabismus dan bila katarak dibiarkan maka akan mengganggu penglihatan dan akan dapat menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan Uveitis.
2.9. Prognosis
Penderita penyakit katarak memiliki prognosis untuk menjadi lebih baik setelah dilakukan pembedahan dan disiplin dalam mematuhi penatalaksanaan.
2.10. Web of caution

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian
Pengkajian yang dapat dilakukan pada klien dengan katarak adalah :
1) Identitas
Berisi nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan keterangan lain mengenai identitas pasien. Pada pasien dengan katarak konginetal biasanya sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun, sedangakan pasien dengan katarak juvenile terjadi pada usia < 40 tahun, pasien dengan katarak presenil terjadi pada usia sesudah 30-40 tahun, dan pasien dengan katark senilis terjadi pada usia > 40 tahun.
2) Riwayat penyakit sekarang
Merupakan penjelasan dari keluhan utama. Misalnya yang sering terjadi pada pasien dengan katarak adalah penurunan ketajaman penglihatan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti DM, hipertensi, pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolic lainnya memicu resiko katarak.
4) Aktifitas istirahat
Gejala yang terjadi pada aktifitas istirahat yakni perubahan aktifitas biasanya atau hobi yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.
5) Neurosensori
Gejala yamg terjadi pada neurosensori adalah gamgguam penglihatan kabur / tidak jelas, sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat atau merasa di runag gelap. Penglihatan berawan / kabur, tampak lingkaran cahaya / pelangi di sekitar sinar, perubahan kaca mata, pengobatan tidak memperbaikipenglihatan, fotophobia ( glukoma akut ).
Gejala tersebut ditandai dengan mata tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil ( katarak ), pupil menyempit dan merah atau mata keras dan kornea berawan ( glukoma berat dan peningkatan air mata ).
6) Nyeri / kenyamanan
Gejalanya yaitu ketidaknyamanan ringan / atau mata berair. Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan pada atau sekitar mata, dan sakit kepala.
7) Pembelajaran / pengajaran
Pada pengkajian klien dengan gangguan mata ( katarak ) kaji riwayat keluarga apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena, ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.

3.2. Analisa Data
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH KEPERAWATAN
1). DS : – Mata silau,penglihatan seperti terhalang asap yang makin lama makin tebal.
- Mata kabur, kesulitan membaca, pandangan ganda
- Kesulitan melihat ( focus ) pada jarak jauh atau dekat.
DO : – Pupil dilatasi, pupil berwarna putih.
- Pengembunan pada pupil, retina tidak nampak.
Ketuaan

H2O dlm lensa

O2

K, protein, ascorbic acid

Na dan Ca

Nukleus pada lensa menjadi coklat kekuningan

Lensa menjadi opak
Cahaya dipendarkan, tidak pada retina

Pandangan kabur / redup, menyilaukan susah melihat pada malam hari.

  • Gangguan persepsa sensori-perseptual penglihatan.

2). DS : – Riwayat trauma pada mata karena benda tajam / tumpul
- Mata kabur, pandangan ganda, mata silau.
DO : – Pupil dilatasi
- Pupil berwarna putih Trauma

Trauma benda tumpul / tajam menembus kapsul anterior

  • Resiko terhadap cedera

3). DS : – Riwayat operasi mata.
- Mata sensitive terhadap cahaya, gatal, air mata atau krusta yang berlebih, mata basah.
DO : – Kehilangan vitreus, bercak di belakang mata. Operasi mata sebelumnya

Reaksi radang

Terbentuk jaringan fibrosis sisa lensa yang tertinggal

  • Defisit perawatan diri

4). DS : – Riwayat penyakit DM
- Mata silau, ketajaman penglihatan berkurang, penglihatan kabur / tidak jelas
DO : – Pupil berwarna putih, retina sulit di lihat Penyakit sitemik : DM

Gangguan keseimbangan susunan sel lensa oleh faktor fisik atau kimiawi

gangguan kejernihan lensa

  • Kurang pengetahuan tentang kondisi

5). DS : -
DO: – Bercak putih di depan pupil
( leukokoria )
- Katarak terlihat segera setelah bayi lahir – 1 thn Defek kongenital

Infeksi virus prenatal

Gg metabolisme
serat lensa

Gg perkembangan embrio intraurine

Kekeruhan lensa pada neonatus

Rencana piñatalaksanaan pembedahan

  • Ansietas pre operasi-keluarga

6). DS : – Riwayat penggunaan obat- obatan dalam jangka waktu lama
- Riwayat terpapar zat-zat kimia ; rokok, alkohol.
- Mata silau, ketajaman penglihatan menurun, mata kabur
DO : – Pupil dilatasi, pupil berwarna putih, retina tidak Nampak. Rokok, alkohol, dan obat-obatan

Perubahan kimia dalam protein lensa

Koagulasi

Pembedahan lensa

  • Nyeri

7). DS : – Riwayat penggunaan obat- obatan dalam jangka waktu lama
- Riwayat terpapar zat-zat kimia ; rokok, alkohol.
- Mata silau, ketajaman penglihatan menurun, mata kabur
DO : – Pupil dilatasi, pupil berwarna putih, retina tidak Nampak Rokok, alkohol, dan obat-obatan

Perubahan kimia dalam protein lensa

Koagulasi

Pembedahan lensa

Lukas insisi pembedahan

  • Resiko infeksi

3.3. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi
1) Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.
2) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan – kehilangan vitreus, pandangan kabur, perdarahan intraokuler.
3) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.
4) Ansietas berhubungan prosedur penatalaksanaan / tindakan pembedahan
5) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan gangguan penglihatan.
Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan trauma insisi.
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasif insisi jaringan tubuh
3) Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.
4) Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan – kehilangan vitreus, pandangan kabur, perdarahan intraokuler
3.4. Intervensi dan rasional
1) Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.

  • Tujuan :

Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu, mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.

  • Kriteria Hasil :

- Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.
- Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.

INTERVENSI RASIONAL
ii. Tentukan ketajaman penglihatan, kemudian catat apakah satu atau dua mata terlibat.
Observasi tanda-tanda disorientasi.
iii. Orientasikan klien tehadap lingkungan.

iv. Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dengan menyentuh.
v. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.
vi. Ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang tujuannya memperbesar kurang lebih 25 persen, pelihatan perifer hilang dan buta titik mungkin ada.
vii. Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dalam jangkauan/posisi yang tidak dioperasi. viii. Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

ix. Meningkatkan keamanan mobilitas dalam lingkungan.
x. Komunikasi yang disampaikan dapat lebih mudah diterima dengan jelas.
xi. Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.

xii. Membantu penglihatan pasien.

xiii. Memudahkan pasien untuk berkomunikasi

2) Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan – kehilangan vitreus,pandangan kabur, perdarahan intraokuler.

  • Tujuan:

Menyatakan pemahaman terhadap factor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.

  • Kriteria hasil :

 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan.

INTERVENSI RASIONAL
 Diskusikan apa yang terjadi tentang kondisi paska operasi, nyeri, pembatasan aktifitas, penampilan, balutan mata.
 Beri klien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi yang tak sakit sesuai keinginan.
 Batasi aktifitas seperti menggerakan kepala tiba-tiba, menggaruk mata, membongkok.
 Ambulasi dengan bantuan : berikan kamar mandi khusus bila sembuh dari anestesi.
 Minta klien membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri tajam tiba-tiba, Selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan balutan.
Observasi hifema dengan senter sesuai indikasi. xiv. Kondisi mata post operasi mempengaruhi visus pasien

xv. Posisi menentukan tingkat kenyamanan pasien.

xvi. Aktivitas berlebih mampu meningkatkan tekanan intra okuler mata.

xvii. Visus mulai berkurang, resiko cedera semakin tinggi.

xviii. Pengumpulan Informasi dalam pencegahan komplikasi

3) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.

  • Tujuan :

Klien menunjukkan pemahaman tentang kondisi, proses penyakit dan pengobatan.

  • Kriteria Hasil :

Melakukan dengan prosedur benar dan menjelaskan alasan tindakan.

INTERVENSI RASIONAL
xix. Pantau informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe prosedur, lensa.
Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin, beritahu untuk melaporkan penglihatan berawan.
Identifikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis, misal : nyeri tiba-tiba.
xx. Informasikan klien untuk menghindari tetes mata yang dijual bebas.

xxi. Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antar obat mata dan masalah medis klien.
xxii. Anjurkan klien menghindari membaca, berkedip, mengangkat berat, mengejan saat defekasi, membongkok pada panggul, dll.
xxiii. Anjurkan klien tidur terlentang. xxiv. Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

xxv. Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.

xxvi. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat meningkatkan tekanan intra okuler.
xxvii. Tidur terlentang dapat membantu kondisi mata agar lebih nyaman.

4) Ansietas berhubungan dengan prosedur penatalaksanaan / tindakan pembedahan.

  • Tujuan/kriteria evaluasi:

 Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutnya.
 Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan kecemasannya berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.
 Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang pembedahan.

INTERVENSI RASIONAL
 Pantau tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda- tanda verbal dan nonverbal.

 Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.
 Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien.
 Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi, harapan dan akibatnya.
 Beri penjelasan dan suport pada pasien pada setiap melakukan prosedur tindakan.
 Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan, petugas, dan peralatan yang akan digunakan.  Derajat kecemasan akan dipengaruhi bagaimana informasi tentang prosedur penatalaksanaan diterima oleh individu.
 Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.
 Mengetahui respon fisiologis yang ditimbulkan akibat kecemasan.
 Meningkatkan pengetahuan pasien dalam rangka mengurangi kecemasan dan kooperatif.
 Mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan .

 Mengurangi perasaan takut dan cemas.

5) Nyeri berhubungan dengan trauma insisi

  • Tujuan : pengurangan nyeri.

INTERVENSI RASIONAL
 Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai dengan resep.

 Berikan kompres dingin sesuai dengan permintaan untuk trauma tumpul.
 Kurangi tingkat pencahayaan.

 Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya yang kuat.  Pemakaian sesuai dengan resep akan mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan rasa.
 Mengurangi edema akan mengurangi nyeri.

 Tingkat pencahayaan yang lebih rendah nyakan setelah pembedahan.
 Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator

6) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan.

  • Tujuan : mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri

INTERVENSI RASIONAL
 Beri instruksi kepada pasien atau orang terdekat mengenal tanda atau gejala komplikasi yang harus dilaporkan segera kepada dokter.
 Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berati mengenal teknik yang benar memberikan obat.
 Evaluasi Perlunya bantuan setelah pemulangan.

 Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan. xxviii. Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

xxix. Pemakaian teknik yang benar akan mengurangi resiko infeksi dan cedera mata.

xxx. Sumber daya harus tersedia untuk layanan kesehatan, pendampingan dan teman di rumah
xxxi. Memungkinkan tindakan yang aman dalam lingkungan.

7) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasif insisi jaringan tubuh.

  • Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi selama tindakan prosedur pembedahan ditandai dengan penggunaan teknik antiseptik dan desinfeksi secara tepat dan benar.

INTERVENSI RASIONAL
xxxii. Ciptakan lingkungan ruangan yang bersih dan babas dari kontaminasi dunia luar
xxxiii. Jaga area kesterilan luka operasi

xxxiv. Lakukan teknik aseptik dan desinfeksi secara tepat dalam merawat luka
xxxv. Kolaborasi terapi medik pemberian antibiotika profilaksis  1Mengurangi kontaminasi dan paparan pasien terhadap agen infektious.
 Mencegah dan mengurangi transmisi kuman.
 mencegah kontaminasi pathogen

 mencegah pertumbuhan dan perkembangan kuman.

DAFTAR PUSTAKA

Luckman and sorensen’s, 1993, Medical Surgical Nursing –.ed.4.- Philadelphia, Pennsylvania : The Curtis Center

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/21/katarak/. Diakses pada tanggal 15 September 2009. Pukul 13.12 WIB

http://hayato31.blogspot.com/2009/04/askep-katarak.html. Diakses pada tanggal 15 September 2009. Pukul 13.15 WIB

http://medicastore.com Diakses pada tanggal 15 September 2009. Pukul 13.19 WIB

http://ns-nining.blogspot.com/2008/10/asuhan-keperawatan-klien-dengan-katarak.htm. Diposkan oleh Nining pada pukul 03:07. Diakses pada tanggal 15 September 2009. Pukul 13.07 WIB.

http://nusaindah.tripod.com/keskatarak.htm. Diakses pada tanggal 28 September 2009. Pukul 06.40WIB

http://optic.kasoem.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1:katarak&catid=9:artikel&Itemid=4. Diakses pada tanggal 28 September 2009. Pukul 06.40 WIB

PATOFISIOLOGI HISPRUNG DAN IBS (Irritable Bowel Syndrome)

  1. Definisi

A.1. Hirschprung Disease

Penyakit Hirschprung, atau megakolon congenital, adalah penyakit obstruksi usus fungsional akibat aganglionisis meisner dan aurbach dalam lapisan dinding usus, sehingga usus tetap dalam keadaan konstraksi atau tidak adanya sel-sel ganglion dalam rectum atau bagian regtosimoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter rectum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan dilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu. Penyakit hirscprung diduga terjadi karena factor-faktor genetik dan factor lingkungan, namun etiologi sebenarnya tidak diketahui. Penyakit Hirscprung dapat muncul pada sembarang usia, walaupun sering terjadi pada neonatus.

A.2. Irritable Bowel Syndrome

Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kelainan kompleks dari saluran pencernaan bagian bawah, adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik. IBS merupakan gangguan fungsional BAB. IBS utamanya dikarakteristikkan dengan gejala-gejala yang bercorak dan diperburuk dengan stres emosional. IBS merupakan salah satu penyakit gastrointestinal fungsional atau gangguan fungsional pergerakan usus. Pada beberapa keadaan IBS dibagi dalam beberapa subgrup sesuai dengan keluhan dominan yang ada pada diri seseorang. Subgrup IBS yang sering digunakan membagi IBS menjadi 4 bagian yaitu :

  1. IBS predominan nyeri perut
  2. IBS predominan diare
  3. IBS predominan konstipasi
  4. IBS predominan alternating pattern

Gambar 1.1 : Saluran pencernaan manusia

sumber: www.id.wikipedia.org/wiki/hirschprung

Syndrome ini ditandai dengan fungsi kolon, motilitas usus yang abnormal/ meninggi menyebabkan nyeri dan diare, peninggian absorpsi air menyebabkan peninggian jumlah mukus. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada wanita. Pada kelainan ini, saluran pencernaan sangat peka terhadap berbagai rangsanagan. Stress, makanan, obat-obatan, hormon atau rangsangan lainnya bisa menyebabkan kontraksi saluran pencernaan menjadi abnormal. Kontraksi saluran pencernaan menjadi lebih kuat dan lebih sering, sehingga makanan dan tinja hanya sesaat singgah di usus kecil sehingga seringkali menyebabkan diare. IBS merupakan salah satu penyakit yang tidak mudah didiagnosa. Oleh karenanya, diagnosa penyakit ini seringkali didasarkan pada kriteria esklusi, yaitu diagnosa diagnosa ditegakkan setelah menyingkirkan semua kemungkinan adanya penyakit organik

  1. Etiologi

B1. Hirschprung Disease

  • Persyarafan tidak sempurna pada bagian usus ganglion
  • Peristaltic abnormal

B 2. Irritable Bowel Syndrome

  • Gangguan motilitas
  • Intoleransi makanan
  • Abnormalitas dari interaksi aksis
  • Hipersensivitas visceral
  • Pasca infeksi usus. Biasanya disebabkan oleh virus giardia atau amoeba. Biasanya gejala berupa perut kembung,nyeri abdomen, dan diare.

C.Patofisiologi

C 1. Hirschprung Disease

Problem utama dari penyakit ini adalah inervasi dari usus yang mengalami gangguan terutama pada segmen anal termasuk mulai dari lokasi spinghter sampai internus ke arah proksimal. Inervasi kolon berasal dari dua saraf yaitu saraf intrinsik dan saraf ekstrinsik, saraf ekstrinsik simpatis berasal dari medula spinalis, sedangkan yang parasimpatis untuk kolon sebelah kanan berasal dari nervus vagus, sedangkan yang sebelah kiri berasal dari S2, S3, S4. Persarafan dari segmen anal dan sfingter internus berasal dari saraf simpatis L5 dan saraf parasimpatis S1, S2, S3. Persarafan simpatis akan menghambat kontraksi dari usus sedangkan persarafan para simpatis akan mengaktifkan aktifitas peristaltik dari kolon. Saraf intrinsik berasal dari saraf parasimpatis ganglion pleksus submukosa meisner dan ganglion mienterikus aurbach, yang terletak diantara otot yang sirkuler dan longitudinal.

Pengaruh dari saraf intrinsik lebih dominan dibandingkan saraf yang ekstrinsik. Pengaruh ini terutama untuk kontraksi dan relaksasi dari usus yang teratur.Pada penyakit hircsprung tidak terdapat ganglion pleksus submukosa meisner dan mienterikus, selain itu juga terjadi hipertrofi jaringan saraf diantara otot yang longitudinal dan yang sirkuler yang menghambat peristaltik kolon. Pada reseksi usus ternyata bahwa 8% segmen aganglionik itu terdapat padarektum, 15% terdapat pada rektosigmoid, dan 50% terdapat pada kolon sigmoid. Data-data lain menunjukkan bahwa 30% terdapat pada rectum, dan rectosigmoid. 44% pada kolon sigmoid, 11% pada kolon descendens, 4% pada pleksus lienalis, 2% pada kolon transversum, 1% pada kolon-kolon ascendens dan 8% meliputi seluruh kolon. Pada masa embrional, persyarafan usus mulai dari neuroblas daerah kranioservikal yang bermigrasi ke daerah kaudal sampai anus. Penyakit hirscsprung migrasi neuroblas, berhenti sebelum mencapai sfingter internus. Pada minggu ke-8 intrauterine harusnya neural crest bermigrasi dari lapisan mesoderm menuju dinding usus. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh abnormalitas reseptor pada dinding usus atau kurangnya sintesis nitrit oxide pada tempat tersebut, serta meningkatnya asetilkolinesterase. Akibatnya adalah aganglionik sel pada lapisan mukosa (meisner) dan otot usus (aurbach). Segmen yang aganglionik tidak dapat berelaksasi, tetap pada posisi kontriksi, sehingga motilitas usus tidak dapat berjalan dan fungsi usus terganggu.

C2. Irritable Bowel Syndrome

Patofisiologi IBS:

  1. Persepsi viseral abnormal
  2. Perubahan fungsi motoris digestif
  3. Disfungsi motoris ekstraintestinal
  4. Abnormalitas sistem saraf otonom
  5. Faktor psikolog : peranan stress kronik sukar digambarkan dan sudah dibahas dengan luas oleh Trulove dan Reinell (1972). Stress akut dapat menyebabkan diare dan hal ini diterima oleh semua ahli.
  6. Pasca disentri : didahului oleh serangan akut diare. Infeksi diare berlangsung terus setelah serangan akut menghilang.
  7. Diet dan infeksi
  8. Faktor makanan : peranan makanan belum jelas diketahui. Namun terdapat konstituen makanan yang belum diketahui yang menyebabkan diare. Kekurangan sayur/buah penting, apabila konstipasi merupakan gejala dominan.
  9. Kadang-kadang didapatkan proktitis ringan. Sementara hal ini merupakan sekunder terhadap konstipasi, atau bersifat primer dan mencetuskan sindrom usus iritabel. Tindakan dengan suppository steroid dapat menolong hal ini.

D . Manifestasi Klinis

D 1. Hirschprung Disease

Dalam beberapa minggu :

  1. Obstruksi Intestinal : distensi abdomen, muntah hijau, konstipasi, dehidrasi, syok, asidosis
  2. Konstipasi kronis :o bstruksi intestinal parsial berulang, distensi abdoen, diare
  3. Enterokolitis : diare kronis, muntah, distensi abdomen, demam, sepsis

Gejala pada anak yang lebih besar :

  1. Konstipasi
  2. Perut buncit
    1. Tidak bisa ngeden (karena rectum selalu kosong, maka dari itu tidak ada keinginan untuk BAB)
    2. Malnutrisi
    3. Fekaloma

Pada bayi baru lahir beberapa minggu :

  1. Meconium plug syndrome
  2. Stenosis anus
  3. Premature
  4. Enterokolitis nekrotika
  5. Fisura anus

Pada anak yang lebih dewasa :

  1. Konstipasi : hypertiroid, retardasi mental
  2. Stenosis anus
  3. Tumor anorektal
  4. Fisura anus
  5. Anterior anus

D 2. Irritable Bowel Syndrome

Dari sudut klinik penderita dapat dibagi menjadi 5 grup :

  1. Grup dengan diare sebagai gejala utama. Disini, diare biasanya lama, diperhebat dengan stress, biasanya tidak membangunkan penderita pada waktu malam, sering terjadi setelah sarapan, dan tidak disertai dengan darah. Hal ini sering disebut sebagai diare neurvosa, sekalipun sebenarnya istilah neurvosa tidak pada tempatnya.
  2. Grup dengan konstipasi sebagai gejala utama. Tinja kecil dan keras.
  3. Grup dengan nyeri abdominal sebagai gejala utama. Bila tidak disertai diare atau kostipasi, sebab-sebab lain pada nyeri hendaklah disingkirkan. Nyeri hilang dengan infeksi dan flatus. Letak nyeri merupakan nyeri kolon yang tipik. Jarang membangunkan penderita. Derajat penyakit bermacam-macam.
  4. Pada beberapa kasus bisa terdapat sindrom yang mirip dispepsia sehingga dikacaukan dengan ulsera peptik.
  5. Pengeluaran mukus dapat merupakan gambaran yang terutama (dahulu disebut kolitis mukoid).

Tiap penderita memilik satu atau lebih gejala yang predominan. Tapi biasanya beberapa gejala timbul bersamaan. Gambaran lain yang penting termasuk keadaan umum yang selalu baik, penyakit berlangsung pelan dan tidak adanya darah serta riwayat penyakit yang panjang. Sering merupakan sebab gangguan usus sejak masa anak-anak.

Gejalanya terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu :

  1. Tipe kolon spastik

Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan diare. Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air besar sering meringankan gejala-gejalanya.

  1. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.

Diagnosis IBS ditentukan berdasarkan kriteria Roma II dan Manning

  1. Kriteria Roma II
  • Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen, disertai dengan adanya 2 dari 3 hal berikut :
  • Nyeri hilang dengan defekasi
  • Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi
  • Awal kejadian dihubungkan dengan adanya perubahan feses
  • Gejala lain :
    • Ketidaknormalan frekuensi defekasi
    • Kelainan bentuk feses
    • Ketidaknormalan proses defekasi (harus dengan mengejan , inkontinensia defekasi, atau rasa defekasi tidak tuntas)
      • Adanya mukus/lendir
      • Kembung
  1. Kriteria Manning

Gejala yang sering didapat :

  • Feces cair pada saat nyeri
  • Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri
  • Nyeri kurang setelah BAB
  • Tampak abdomen distensi

Gejala tambahan yang sering muncul :

  • Lendir saat BAB
  • Perasaan tidak lampias pada saat BAB

Beberapa kondisi IBS menurut subgrupnya :

  1. IBS predominan nyeri perut :
  • Nyeri di fosa iliaka, tidak dapat dengan tegas menunjukkan lokasi sakitnya
  • Nyeri dirasakan lebih dari 6 bulan
  • Nyeri hilang setelah defekasi
  • Nyeri meningkat jika stress dan selama menstruasi
  • Nyeri dirasakan persisten jika kambuh terasa lebih sakit
  1. IBS predominan diare
  • Diare sering pada pagi hari dan sering dengan urgensi
  • Biasanya disertai rasa sakit dan hilang setelah defekasi
  1. IBS predominan konstipasi
  • Terutama pada wanita
  • Defekasi tidak lampias
  • Biasanya feces disertai lendir tanpa darah
  1. IBS predominan alternatting pattern
  • Pola defekasi yang berubah-ubah
  • Sering feces keras di pagi hari diikuti dengan beberapa kali defekasi dan feces menjadi cair pada sore hari

Gejala lain yang sering ditemui :

  • Rasa penuh pada perut, kembung
  • Distensi abdomen
  • Mual dan muntah
  • Selera makan berkurang
  • Distress emosional
  • Depresi
  1. E. Pemeriksaan Diagnostik

E 1. Hirschprung Disease

Pemeriksaan fisik :

I : KU lemah, perut buncit, tampak gerakan peristaltik usus dan kurus

A : peristaltik lemah dan jarang

P : perut lunak sampai tegang

P : timpani

Pemeriksaan penunjang :

  • Foto BOF dan barium enema

Akan tampak 3 zone usus, yaitu :

  1. Zone melebar
  2. Zone trasisis (hipoganglion)
  3. Zone menyempit (aganglion)
  • Anorectal manometry, untuk memeriksa tekanan internal anal spingter
  • Pemeriksaan patologi anatomi
  • Biopsi rectal, untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion
    • Rectal toucher (colok dubur), pada pemeriksaan ini didapatkan tonus spincter ani normal dan ampula rectum kosong.

E 2. Irritable Bowel Syndrome

Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk menentukan diagnosis. Akan tetapi untuk mencocokkan hasil anamnesis dan pemeriksaan laboratorium diperlukan pememriksaan laboratorium berupa darah perifer lengkap, biokimia darah, pemeriksaan fungsi hati, pemeriksaan hormon tiroid. Pemeriksaan endoskopi dan foto kontras dilakukan untuk melihat apakah ada inflamasi pada kolon. Klien di atas 50 tahun sebaiknya discan untuk mendeteksi adanya kanker kolon. Biasanya dilakukan pemeriksaan darah, tinja dan sigmoidoskopi, untuk membedakannya dengan penyakit peradangan pada usus dan berbagai kondisi yang menyebabkan nyeri perut dan kebiasaan buang air besar.

Hasil pemeriksaan ini biasanya normal, meskipun tinja lebih encer. Sigmoidoskopi mungkin menyebabkan kejang (spasme) dan nyeri, tetapi hasilnya biasanya normal. Kadang digunakan pemeriksaan lain seperti USG perut. Diperlukan kewaspadaan klinis dan harus disingkirkan sindrom penyakit lain yang punya gejala hampir sama. Pada semua kasus, sigmoidoskopi harus normal, begitu juga enema barium, atau hanya menunjukkan spasme. Bila diare predominan, penyakit seliak, defisiensi laktase, hipertiroidisme dan giardiasis hendaklah disingkirkan, dan bila konstipasi predominan, hipertiroidisme dan keadaan depresi hendaklah disingkirkan.

Pada semua kasus, bermacam-macam sebab karena obat yang menyebabkan diare atau konstipasi hendaklah dicari dengan riwayat yang cermat. Diare yang disebabkan purguratif mungkin menunjukkan pelepasan kalsium yang berat, dan bila karena obat antraquinone, melanosis koli hendaklah dicari dengan sigmoidoskopi. Riwayat pemakaian purguratif sering tidak meyakinkan, dan pemeriksaan obat-obatan hendaklah dicari dengan pemeriksaan urin atau darah yang mungkin merupakan jawaban terhadap gejala klinik yang sulit. Kebanyakan penderita kelainan ini nampak sehat. Pemeriksaan fisik rutin tidak menunjukkan suatu kelainan kecuali adanya nyeri tumpul di daerah usus besar.

ASKEP PATENT DUCTUS ARTERIOUS (PDA)

2.1 Anatomi Ductus Arteriosus

Duktus arteriosus adalah pembuluh darah yang menghubungkan aliran darah pulmonal (arteri pulmonalis) ke aliran darah sistemik (aorta) dalam masa kehamilan (fetus). Hubungan ini (shunt) diperlukan oleh karena sistem respirasi fetus yang belum bekerja di dalam masa kehamilan tersebut. Aliran darah balik fetus akan bercampur dengan aliran darah bersih dari ibu (melalui vena umbilikalis) kemudian masuk ke dalam atrium kanan dan kemudian dipompa oleh ventrikel kanan kembali ke aliran sistemik melalui duktus arteriosus, dan hanya sebagian yang diteruskan ke paru.

Duktus Arteriosus adalah saluran yang berasal dari arkus aorta ke VI pada janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta desendens. Pada bayi normal duktus tersebut menutup secara fungsional 10 – 15 jam setelah lahir dan secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum pada usia 2 – 3 minggu. (Buku ajar kardiologi FKUI, 2001 ; 227)

Dinding duktus arteriosus terutama terdiri dari lapisan otot polos (tunika media) yang tersusun spiral. Diantara sel-sel otot polos terdapat serat-serat elastin yang membentuk lapisan yang berfragmen, berbeda dengan aorta yang memiliki lapisan elastin yang tebal dan tersusun rapat (unfragmented). Sel-sel otot polos pada duktus arteriosus sensitif terhadap mediator vasodilator prostaglandin dan vasokonstriktor (pO2). Setelah persalinan terjadi perubahan sirkulasi dan fisiologis yang dimulai segera setelah eliminasi plasenta dari neonatus. Adanya perubahan tekanan, sirkulasi dan meningkatnya pO2 akan menyebabkan penutupan spontan duktus arteriosus dalam waktu 2 minggu.

2.2 Definisi Patent Ductus Arteriosus

Patent Ductus Arteriosus adalah kegagalan menutupnya ductus arteriosus (arteri yang menghubungkan aorta dan arteri pulmonal) pada minggu pertama kehidupan, yang menyebabkan mengalirnya darah dari aorta tang bertekanan tinggi ke arteri pulmonal yang bertekanan rendah. ( Suriadi, Rita Yuliani, 2001 : 235)




Gambar 2. Patent Ductus arteriosus. ( www.web-books.com)

Patent Duktus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta (tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmoner (tekanan lebih rendah). (Betz & Sowden, 2002 ; 375)

Patent Ductus Arteriosus (PDA) atau Duktus Arteriosus Paten (DAP) adalah kelainan jantung kongenital (bawaan) dimana tidak terdapat penutupan (patensi) duktus arteriosus yang menghubungkan aorta dan pembuluh darah besar pulmonal setelah 2 bulan pasca kelahiran bayi. Biasanya duktus arteriosus akan menutup secara normal dalam waktu 2 bulan dan meninggalkan suatu jaringan ikat yang dikenal sebagai ligamentum arteriosum. PDA dapat merupakan kelainan yang berdiri sendiri (isolated), atau disertai kelainan jantung lain.

//

2.3 Etiologi

Penyebab terjadinya penyakit jantung bawaan belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan :

1. Faktor Prenatal :
1. Ibu menderita penyakit infeksi : Rubella.
2. Ibu alkoholisme.
3. Umur ibu lebih dari 40 tahun.
4. Ibu menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) yang memerlukan insulin.
5. Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu.

6. Bayi yang lahir prematur (kurang dari 37 minggu)

2. Faktor Genetik :

1. Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan.
2. Ayah / Ibu menderita penyakit jantung bawaan.
3. Kelainan kromosom seperti Sindrom Down.
4. Lahir dengan kelainan bawaan yang lain.
(Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita, 2001 ; 109)

2.3 Patofisiologi

Gambar 2. Perbedaan antara normal circulation dengan Patent Ductus Arteriosus.health.stateuniversity.com

Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah tetap terbukanya duktus arteriosus setelah lahir, yang menyebabkan dialirkannya darah secara langsung dari aorta ( tekanan lebih tinggi) ke dalam arteri pulmonal (tekanan lebih rendah). Aliran kiri ke kanan ini meneyebabkan resirkulasi darah beroksigen tinggi yang jumlahnya semakin banyak dan mengalir ke dalam paru, serta menambah beban jantung sebelah kiri.Usaha tambahan dari ventrikel kiri untuk memenuhi peningkatan kebutuhan ini menyebabkan pelebaran dan hipertensi atrium kiri yang progresif. Dampak semuanya ini adalah meningkatnya tekanan vena dan kapiler pulmoner, menyebabkan terjadinya edema paru. Edema paru ini menimbulkan penurunan difusi oksigen dan hipoksia, dan terjadi kontriksi arteriol paru yang progresif. Akan terjadi hipertensi pulmoner dan gagal jantung kanan jika keadaan ini tidak dikoreksi melalui terapi medis atau bedah. Penutupan PDA terutama tergantung pada respon konstriktor dari duktus terhadap tekanan oksigen dalam darah. Faktor lain yang mempengaruhi penutupan duktus adalah pengaruh kerja prostalglandin, tahanan pulmoner dan sistemik, besarnya duktus, dan keadaan si bayi (prematur atau cukup bulan). PDA lebih sering terdapat pada bayi prematur dan kurang dapat ditoleransi karena mekanisme kompensasi jantungnya tidak berkembang baik dan pirai kiri ke kanan itu cenderung lebih besar.

Pada bayi prematur (kurang dari 37 minggu) duktus dipertahankan tetap terbuka oleh prostaglandin yang kadarnya masih tinggi, karena memang belum waktunya bayi lahir. Karena itu duktus arteriosus persisten pada bayi prematur dianggap sebagai developmental patent ductus arteriosus, bukan struktural patent ductus arteriosus seperti yang terjadi pada bayi cukup bulan. Pada bayi prematur dengan penyakit membran hialin (sindrom gawat nafas akibat kekurangan surfaktan), ductus arteriosus persisten sering bermanifestasi setelah sindrom gawat nafasnya membaik.

Pada ibu yang terinfeksi rubella, pelepasan prostaglandin (6-ketoprostaglandin F1) akan meningkat yang disertai dengan faktor nekrosis tumor yang dapat meningkatkan resiko pembukaan duktus arteriosus.

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh masalah-masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya sindrom gawat nafas). Tanda-tanda kelebihan beban ventrikel tidak terlihat selama 4 – 6 jam sesudah lahir. Bayi dengan PDA kecil mungkin asimptomatik, bayi dengan PDA lebih besar dapat

menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif (CHF), diantaranya :

• Kadang-kadang terdapat tanda-tanda gagal jantung
• Machinery mur-mur persisten (sistolik, kemudian menetap, paling nyata terdengar

di tepi sternum kiri atas)

• Tekanan nadi besar (water hammer pulses) / Nadi menonjol dan meloncat-loncat,

Tekanan nadi yang lebar (lebih dari 25 mmHg)

• Takhikardia (denyut apeks lebih dari 170), ujung jari hiperemik
• Resiko endokarditis dan obstruksi pembuluh darah pulmonal.
• Infeksi saluran nafas berulang, mudah lelah
• Apnea
• Tachypnea
• Nasal flaring
• Retraksi dada
• Hipoksemia
• Peningkatan kebutuhan ventilator (sehubungan dengan masalah paru)

(Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236, Betz & Sowden, 2002 ; 376)

Jika PDA memiliki lubang yang besar, maka darah dalam jumlah yang besar akan membanjiri paru-paru. Anak tampak sakit, dengan gejala berupa:

  1. tidak mau menyusu
  2. berat badannya tidak bertambah
  3. berkeringat
  4. kesulitan dalam bernafas
  5. denyut jantung yang cepat.

Timbulnya gejala tersebut menunjukkan telah terjadinya gagal jantung kongestif, yang seringkali terjadi pada bayi prematur.

WOC











Beban ventrikel kiri ↑
Tek kapiler pulmoner↑

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

  1. 1. Analisis gas darah arteri
  • Biasanya menunjukkan kejenuhan yang normal karena paru overcirculation
  • Ductus arteriosus besar dapat menyebabkan hypercarbia dan hypoxemia dari CHF dan ruang udara penyakit (atelektasis atau intra-alveolar cairan / pulmonary edema).
  • Dalam kejadian hipertensi arteri pulmonal persisten (terus-menerus sirkulasi janin); kanan-ke-kiri intracardiac shunting darah, aliran darah paru berkurang dengan dihasilkannya hypoxemia, sianosis, dan mungkin acidemia hadir.
  1. Foto thorak. Atrium dan ventrikael kiri membesar secara signifikan (kardiomegali), gambaran vaskuler paru meningkat
  2. Ekhokardiografi. Rasio atrium kiri terhadap pangkal aorta lebih dari 1,3:1 pada bayi lebih dari 1,0 pada bayi patern(disebabkan oleh peningkatan volume atriu kiri sebagai akibat dari paru kiri ke kanan)
  3. Pemeriksaan dengan Doppler berwarna untuk mengevaluasi aliran darah dan arahnya.
  4. EKG. sesuai yingkat keparahan, pada PDA kecil tidak ada abnormalitas, hipertrofi ventrikel kiri pada PDA yang lebih besar.
  5. Kateterisasi jantung. Untuk mengevaluasi lebih jauh hasil ECHO atau Doppler yang meragukan bila ada defek tambahan lain.
  6. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
  1. 8. Perkembangan lebih lanjut dari penyakit ini tergantung pada volume dan tekanan hubungan.
  • Volume = tekanan / perlawanan
  • Volume suara tinggi menghasilkan peningkatan tekanan arteri paru-paru pada akhirnya menghasilkan perubahan endotel dan otot dalam dinding pembuluh darah.
  • Perubahan ini mungkin akhirnya menyebabkan penyakit paru obstruktif vaskular (PVOD), suatu kondisi perlawanan terhadap aliran darah paru yang mungkin tidak dapat diubah dan akan menghalangi perbaikan definitif.

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Medikamentosa

  1. 1. Tidak diperlukan pembatasan aktivitas tanpa adanya hipertensi pulmonal.
  2. 2. Pada bayi prematur diberikan anti-prostaglandin misalnya indometasin selama 5 hari.
  3. 3. Indometasin tidak efektif untuk menutup PDA pada bayi cukup bulan karena terbukanya duktus bukan disebabkan oleh prostaglandin.
  4. 4. Dipertimbangkan pemberian profilaksis SBE pada PDA besar.

2.6.2 Invasif

Penutupan PDA melalui kateterisasi dapat dipertimbangkan. Penggunaan stainless coil untuk menutup PDA diindikasikan untuk diameter < 2,5 mm dengan residual shunt rate 5 – 10%. Komplikasi tindakan ini adalah leakage, emboli coil ke perifer, hemolisis, stenosis LPA, oklusi femoralis

2.6.2 Bedah

  1. 1. Tindakan bedah adalah ligasi atau divisi PDA melalui torakotomi kiri.
  2. 2. Angka mortalitas < 1 %

Jika pada saat bayi berusia beberapa minggu terjadi gagal jantung, maka segera dilakukan pembedahan. Jika gejalanya hanya berupa murmur, maka pembedahan biasanya dilakukan pada saat anak berusia 1 tahun. Jika tidak ada gejala, pembedahan ditunda sampai anak berumur 6 bulan – 3 tahun.

Terdapat beberapa cara untuk mengatasi PDA, yang pemilihannya tergantung kepada berbagai faktor :

  1. 1. PDA kecil dalam jangka penuh bayi mungkin secara spontan menutup tanpa intervensi. PDA besar tidak mungkin untuk menutup.
  2. 2. Pasien dengan CHF membutuhkan terapi medis untuk CHF diikuti dengan prosedur definitif untuk menutup PDA baik oleh pembedahan atau kateterisasi.
  3. 3. Bedah perbaikan direkomendasikan untuk pasien dengan PDA kecil sampai besar karena risiko endokarditis. Komplikasi ligasi bedah sebagian besar terkait dengan torakotomi lateral kiri. Bedah angka kesakitan dan kematian dapat diabaikan, dan awal komplikasi pascabedah yang berhubungan dengan komplikasi lain lahir prematur.
  4. 4. Profilaksis untuk infeksi endokarditis (subakut bakteri endokarditis [SbE]) harus diikuti pada saat-saat diperkirakan risiko (bakteremia) sampai pasien dapat mengalami perbaikan. (Khusus rekomendasi untuk antibiotik profilaksis dapat ditemukan di setiap arus penyakit infeksi atau antibiotik referensi.)
  5. 5. Transfer ke pusat perawatan tersier adalah wajib bagi pasien dalam presentasi di jerau extremis CHF sekali stabil dengan diuretik dan ventilasi tekanan positif, seperti yang ditunjukkan.

2.7 Komplikasi

Sebuah ductus arteriosus paten kecil mungkin tidak menimbulkan komplikasi. Namun cacat yang lebih besar yang tidak diobati dapat berakibat buruk, antara lain :

  1. 1. Tekanan darah tinggi di paru-paru (hipertensi pulmonal). Bila terlalu banyak darah terus beredar melalui jantung arteri utama melalui patent ductus arteriosus, dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Pulmonary hypertension can cause permanent lung damage. Hipertensi paru dapat menyebabkan kerusakan paru-paru permanen. Sebuah ductus arteriosus paten yang besar dapat menyebabkan Eisenmenger’s syndrome, suatu jenis ireversibel hipertensi paru.
  2. 2. Gagal jantung. Sebuah paten ductus arteriosus pada akhirnya dapat menyebabkan otot jantung melemah, menyebabkan gagal jantung. Gagal jantung adalah suatu kondisi kronis di mana jantung tidak dapat memompa secara efektif.
  3. 3. Infeksi jantung (endokarditis). Orang-orang dengan masalah jantung struktural, seperti patent ductus arteriosus, berada pada risiko tinggi infeksi endokarditis daripada populasi umum. Endokarditis infeksi adalah suatu peradangan pada lapisan dalam jantung yang disebabkan oleh infeksi bakteri.
  4. 4. Detak jantung tidak teratur (aritmia). Pembesaran hati karena ductus arteriosus paten meningkatkan resiko aritmia. Ini biasanya terjadi peningkatan risiko hanya dengan ductus arteriosus paten yang besar.
  5. 5. Gagal ginjal
  6. 6. Obstruksi pembuluh darah pulmonal
  7. 7. Hepatomegali (jarang terjadi pada bayi prematur)
  8. 8. Enterokolitis nekrosis
  9. 9. Gangguan paru yang terjadi bersamaan (misalnya sindrom gawat nafas atau displasia bronkkopulmoner)
  10. 10. Perdarahan gastrointestinal (GI), penurunan jumlah trombosit
  11. 11. Hiperkalemia (penurunan keluaran urin)
  12. 12. CHF
  13. 13. Gagal tumbuh

(Betz & Sowden, 2002 ; 376-377, Suriadi, Rita Yuliani, 2001 ; 236)
PGE1 harus digunakan untuk mempertahankan patency dari ductus arteriosus setelah ditetapkan bahwa lesi tergantung duktus ada.. Namun, PGE adalah vasodilator paru-paru dan dapat menyebabkan eksaserbasi CHF dengan cara meningkatkan aliran darah paru.

2.8 Prognosis

Jika PDA relatif kecil, gejala yang ditimbulkan pada jantung kemungkinan dapat berkembang. Pasien dengan PDA yang cukup besar, masalah yang ditimbulkan pada jantung dapat diminimalisir dengan tindakan bedah.

Tindakan dengan mengunakan pengobatan dapat diandalkan dalam beberapa situasi, dengan sedikit efek samping. Pengobatan yang dilakukan sesegera mungkin, akan menunjukkan hasil yang lebih baik.

Pembedahan dapat membawa beberapa resiko yang signifikan pada jantung, pembedahan dapat menghilangkan beberapa masalah yang ditimbulkan oleh PDA, tapi ini juga dapat mneimbulkan masalah baru. Keuntungangn dan resiko lebih baik dikaji lebih mendalam sebelum dilakukan sebuah pembedahan.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Pemberian Asuhan Keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. ( Carpenito, 2000, 2 ).

3.1.1 Anamnesa

  1. Identitas ( Data Biografi)

PDA sering ditemukan pada neonatus, tapi secara fungsional menutup pada 24 jam pertama setelah kelahiran. Sedangkan secara anatomic menutup dalam 4 minggu pertama. PDA ( Patent Ductus Arteriosus) lebih sering insidens pada bayi perempuan 2 x lebih banyak dari bayi laki-laki. Sedangkan pada bayi prematur diperkirakan sebesar 15 %. PDA juga bisa diturunkan secara genetik dari orang tua yang menderita jantung bawaan atau juga bisa karena kelainan kromosom.

  1. Keluhan Utama

Pasien dengan PDA biasanya merasa lelah, sesak napas

  1. Riwayat penyakit sekarang

Pada pasien PDA, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda respiratory distress, dispnea, tacipnea, hipertropi ventrikel kiri, retraksi dada dan hiposekmia

  1. Riwayat penyakit terdahulu

Perlu ditanyakan apakah pasien lahir prematur atau ibu menderita infeksi dari rubella.

  1. Riwayat penyakit keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit PDA karena PDA juga bisa diturunkan secara genetik dari orang tua yang menderita penyakit jantung bawaan atau juga bisa karena kelainan kromosom

  1. Riwayat Psikososial

Meliputi tugas perasaan anak terhadap penyakitnya, bagaimana perilaku anak terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya, perkembangan anak, koping yang digunakan, kebiasaan anak, respon keluarga terhadap penyakit anak, koping keluarga dan penyesuaian keluarga terhadap stress.

3.1.2 Pengkajian fisik (ROS : Review of System)

  1. 1. Pernafasan B1 (Breath)

Nafas cepat, sesak nafas ,bunyi tambahan ( marchinery murmur ),adanyan otot bantu nafas saat inspirasi, retraksi.

  1. 2. Kardiovaskuler B2 ( Blood)

Jantung membesar, hipertropi ventrikel kiri, peningkatan tekanan darah sistolik, edema tungkai, clubbing finger, sianosis.

  1. 3. Persyarafan B3 ( Brain)

Otot muka tegang, gelisah, menangis, penurunan kesadaran.

4. Perkemihan B4 (Bladder)

Produksi urin menurun (oliguria).

5. Pencernaan B5 (Bowel)

Nafsu makan menurun (anoreksia), porsi makan tidak habis.

  1. 6. Muskuloskeletal/integument B6 (Bone)

Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kelelahan.

3.2 Analisa data

Data Etilologi Masalah
Data Subjektif :

Pasien gelisah, rewel, dan menangis

Data Objektif :

- Denyut nadi naik (> 170 x/menit)

- Tachyepne

- – Suara jantung tambahan

(Machinery mur-mur persisten)

Terbukanya ductus arteriosus

Dialirkannya darah dari tekanan tinggi(aorta descenden) ke tekanan yang lebih kecil (arteri pulmonalis)

Resirkulasi darah beroksigen dari aorta ke arteri pulmonalis
Beban ventrikel kiri ↑

Curah jantung turun

Penurunan curah jantung
Data Subjektif:

Pasien kesulitan bernafas, sesak nafas

Data Objektif :

- RR ( > 30 – 40x/menit)

- BGA tidak normal

- Adanya napas cuping hidung

Data Subjektif:

Pasien rewel tidak mau makan dan minum

Data Objektif:

- Berat badan turun

- Status gizi buruk

-

Dialirkannya darah dari tekanan tinggi(aorta descenden) ke tekanan yang lebih rendah (arteri pulmonalis)

Resirkulasi darah beroksigen dari aorta ke arteri pulmonalis
Beban ventrikel kiri ↑

Pelebaran dan hipertensi vertikel kiri

Tekanan vena dan kapiler pulmonar naik

Edema paru

Penurunan difusi oksigen

Gangguan pertukaran gas

Curah jantung turun

Suplai oksigen ke jaringan berkurang
Pemecahan glukosa oleh O2 menjadi terganggu

Pembentukan energi berkurang

Lemah, lesu

Anoreksia




Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Gangguan pertumbuhan dan perkembangan

Gangguan pertukaran gas

Perubahan pertumbuhan dan perkembangan

Data Subjektif:

Pasien gelisah dan menangis

Data Objektif :

- Antropometri: penurunan berat badan

- Biokimia : Hb dan albumin menurun

- Klinik : perubahan kulit mukosa oral (bengkak dan kemerahan).

- Diet : makan tidak habis, nafsu makan menurun

Edema paru

Penurunan difusi oksigen

Hipoksia

pemecahan glukosa oleh O2 untuk pembuatan energi ↓

lemah, gelisah




anoreksia

perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Data Subjektif:

Demam, rewel

Data Objektif:

- Jumlah limfosit

meningkat

- hipertermi (> 36-370 C), kulit memerah, frekwensi nafas meningkat, kulit hangat bila disentuh, takikardi

Gagal jantung kongestif

Pasien gelisah, stress

Respon imun menurun

Resiko infeksi

Resiko infeksi
Data Subjektif :

Orang tua cemas, tidak tenang, dan emosinya labil

Data Objektif:

- Menarik diri

- Tidak ikut bersedia dalam melakukan proses keperawatan

PDA (Patent Ductus Arteriosus)

Dampak hospitalisasi pada anak

Anak menangis dan ketakutan

Kecemasan pada orang tua

Kecemasan orang tua

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan malforasi jantung

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti pulmonal

3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan tidak

adekuatnya suplay oksigen dan zat nutrisi ke jaringan

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

kelelahan pada saat makan dan meningkatnya kebutuhan kalori

5. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunya status kesehatan

6. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan orang tua dan

hospitalisasi.

3.3 Intervensi

1. Penurunan Curah jantung b.d malformasi jantung.

Tujuan : Mempertahankan curah jantung yang adekuat

Kriteria hasil : Anak akan menunjukkan tanda-tanda membaiknya curah jantung

Intervensi Rasional
Mandiri
  1. Observasi kualitas dan kekuatan denyut jantung, nadi perifer, warna dan kehangatan kulit
  2. Tegakkan derajat sianosis (sirkumoral, membran mukosa, clubbing)

  1. Monitor tanda-tanda CHF (gelisah, takikardi, tachypnea, sesak, mudah lelah, periorbital edema, oliguria, dan hepatomegali)

Kolaborasi

  1. Pemberian digoxin sesuai order, dengan menggunakan teknik pencegahan bahaya toksisitas.
  2. Berikan pengobatan untuk menurunkan afterload
  3. Berikan diuretik sesuai indikasi.
Mandiri
  1. Permulaan gangguan pada jantung akan ada perubahan tanda-tanda vital, semuanya harus cepat dideteksi untuk penanganan lebih lanjut.
  2. Pucat menunjukkan adanya penurunan perfusi sekunder terhadap ketidak adekuatan curah jantung, vasokonstriksi dan anemia.
  3. Deteksi dini untuk mengetahui

adanya gagal jantung kongestif

Kolaborasi

  1. Obat ini dapat mencegah semakin memburuknya keadaan klien.
  2. 2. Obat anti afterload mencegah terjadinya vasokonstriksi
  3. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan di jaringan sehingga menurunkan risiko terjadinya edema paru.

2. Gangguan pertukaran gas b.d kongesti pulmonal.

Tujuan : Mengurangi adanya peningkatan resistensi pembuluh paru:
Kriteria hasil : Anak akan menunjukkan tanda-tanda tidak adanya peningkatan resistensi pembuluh paru

Intervensi Rasional
  1. Observasi kualitas dan kekuatan

denyut jantung, nadi perifer, warna dan

kehangatan kulit
2. Atur posisi anak dengan posisi fowler

  1. Hindari anak dari orang yang terinfeksi
  1. Berikan istirahat yang cukup

kolaborasi

  1. Berikan oksigen jika ada indikasi
    1. Untuk deteksi dini terjadinya gangguan pernapasan
  1. Untuk memudahkan pasien dalam bernapas
  2. Agar anak tidak tertular infeksi yang akan memperburuk keadaan
  3. Menurunkan kebutuhan oksigen dalam tubuh
  4. Membantu klien untuk memenuhi oksigenasinya.

3. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara pemakaian oksigen oleh tubuh dan

suplai oksigen ke sel.

Tujuan : Mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat :
Kriteria hasil : Anak akan mempertahankan tingkat aktivitas yang adekuat

Intervensi Rasional
  1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut : Nadi 20 per menit diatas frekuensi istirahat, catat peningkatan TD, Nyeri dada, kelelahan berat, berkeringat, pusing dan pingsan
  2. Kaji kesiapan pasien untuk meningkatkan aktivitas
  3. Dorong memajukan aktivitas
  4. Berikan bantuan sesuai dengan kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi
  5. Dorong pasien untuk partisipasi dalam memilih periode
  1. Jika tidak sesuai parameter, klien dikaji ulang untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
  1. Persiapkan dan dukung klien untuk melakukan aktivitas jika sudah mampu.
  2. Agar klien termotivasi untuk melakukan aktivitas sehingga terpacu untuk sembuh.
  3. Memudahkan klien ntuk beraktivitas tapi tidak memanjakan.
  4. Klien termotivasi untuk sembuh.

4. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan b.d tidak adekuatnya suplai oksigen dan

zat nutrisi ke jaringan.
Tujuan : Memberikan support untuk tumbuh kembang

Kriteria hasil: Anak akan tumbuh sesuai dengan kurva pertumbuhan berat dan tinggi

badan

Intervensi Rasional
  1. Kaji tingkat tumbuh kembang anak
  2. Berikan stimulasi tumbuh kembang, kativitas bermain, game, nonton TV, puzzle, nmenggambar, dan lain-lain sesuai kondisi dan usia anak.
  3. Libatkan keluarga agar tetap memberikan stimulasi selama dirawat
  4. Memantau masa tumbuh kebang anak
  5. Agar anak bisa tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya
  6. Anggota keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pertumbuhan dan juga perkembangan anak-anak

5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kelelahan pada saat makan dan

meningkatnya kebutuhan kalori.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan timbul kembali dan status

nutrisi terpenuhi.

Kriteria hasil :

- Status nutrisi terpenuhi

- nafsu makan klien timbul kembali

- berat badan normal

- jumlah Hb dan albumin normal

Intervensi Rasional
  1. Kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi klien
  1. Mencatat intake dan output makanan klien.
  1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi selama sakit
  1. Manganjurkn makan sedikit- sedikit tapi sering.
  1. Mengetahui kekurangan nutrisi klien.
  2. Mengetahui perkembangan pemenuhan nutrisi klien.
  1. Ahli gizi adalah spesialisasi dalam ilmu gizi yang membantu klien memilih makanan sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi, berat badannya.
  1. Dengan sedikit tapi sering mengurangi penekanan yang berlebihan pada lambung.

6. Resiko infeksi b.d menurunnya status kesehatan.

Tujuan : Mencegah resiko infeksi

Kriteria hasil : Anak tidak akan menunjukkan tanda-tanda infeksi

Intervensi Rasional
  1. Pantau tanda-tanda vital
  2. Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus, kateter, drainase luka, dll.
  3. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit
  1. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik
  1. Jika ada peningkatan tanda-tanda vital besar kemungkinan adanya gejala infeksi karena tubuh berusaha intuk melawan mikroorganisme asing yang masuk maka terjadi peningkatan tanda vital
  2. Untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial
  3. Penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal membuktikan adanya tanda-tanda infeksi
  4. Antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen

7. Kecemasan orang tua b.d kurang pengetahuan orang tua dan hospitalisasi.

Tujuan: kecemasan menurun

Kriteria hasil: Orang tua tampak tenang ,orang tua tidak bertanya-tanya

lagi,orangtua berpartisipasi dalam proses perawatan.

Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua
  1. Beri penjelasan tentang keadaan bayinya.
  2. Libatkan keluarga dalam perawatan bayinya.
  3. Berikan support dan reinforcement atas apa yang dapat dicapai oleh orang tua.
  4. Latih orang tua tentang cara-cara perawatan bayi dirumah sebelum bayi pulang
1. Pengetahuan orang tua akan

mempengaruhi persepsi dan tingkah

lakunya pada anak

2. Dengan mengetahui kondisi

anaknya, akan mengurangi

kecemasan orang tua.

3. Akan membuat orang tua nyaman

dan lebih tenang jika senantiasa

dekat dengan anaknya.

4. Dukungan dan kasih sayang orang

tua akan mempercepat kesembuhan

anak

5. Dengan menambah pengetahuan

orang tua dalam perawatan anaknya

akan mempermudah proses

perawatan dan penyembuhan anak.

ASKEP HIPERTENSI PADA IBU HAMIL

2.1 Definisi

Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskuler yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada permulaan nifas. Akan tetapi yang kami bahas dalam makalah ini hanya hipertensi yang timbul pada saat hamil. Golongan penyakit ini ditandai dengan hipertensi dan kadang-kadang disertai proteinuria, oedema, convulsi, coma, atau gejala-gejala lain.

Klasifikasi menurut American Committee and Maternal Welfare:

  1. Hipertensi yang hanya terjadi dalam kehamilan dan khas untuk kehamilan ialah preeklamsi dan eklamsi.

Diagnosa dibuat atas dasar hipertensi dengan proteinuri atau oedema atau kedua-duanya pada wanita hamil setelah minggu 20.

  1. Hypertensi yang kronis.

Diagnosa dibuat atas adanya hipertensi sebelum kehamilan atau penemuan hipertensi sebelum minggu ke 20 dari kehamilan dan hipertensi ini tetap setelah kehamilan berakhir.

  1. Preklamsi dan eklamsi yang terjadi atas dasar hipertensi yang kronis. Pasien dengan hipertensi yang kronis sering memberat penyakitnya dengan kehamilan, dengan gejala-gejala hipertensi naik, proteinuri, oedem dan kelainan retina.
  2. Transient hypertension.

Diagnosa dibuat kalau timbul hipertensi dalam kehamilan atau dalam 24 jam pertama dari nifas pada wanita yang tadinya normotensif dan yang hilang dalam 10 hari post partum.

Hipertensi pada saat kehamilan yang dibahas dalam makalah ini adalah hipertensi akut, karena hanya muncul pada saat hamil, dan sebagian besar tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya.

2.2 Etiologi

Hipertensi pada kehamilan jauh lebih besar kemungkinannya timbul pada wanita yang :

  1. Terpajan ke vilus korion untuk pertama kali
  2. Terpajan ke vilus korion dalam jumlah sangat besar, seperti pada kehamilan kembar atau mola hidatiosa
  3. Sudah mengidap penyakit vaskular
  4. Secara genetis rentan terhadap hipertensi yang timbul saat hamil

2.3 Patofisiologi

Vasospasme adalah dasar patofisiologi hipertensi. Konsep ini yang pertama kali dianjurkan oleh volhard (1918), didasarkan pada pengamatan langsung pembulh-pembuluh darah halus dibawah kuku, fundus okuli dan konjungtiva bulbar, serta dapat diperkirakan dari perubahan-perubahan histologis yang tampak di berbagai organ yang terkena. Konstriksi vaskular menyebabkan resistensi terhadap aliran darah dan menjadi penyebab hipertensi arterial. Besar kemungkinan bahwa vasospasme itu sendiri menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah.

Selain itu, angiotensin II menyebabkan sel endotel berkonstraksi. Perubahan-perubahan ini mungkin menyebabkan kerusakan sel endotel dan kebocoran di celah antara sel-sel endotel. Kebocoran ini menyebabkan konstituen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen, mengendap di subendotel. Perubahan-perubahan vaskular ini, bersama dengan hipoksia jaringan di sekitarnya, diperkirakan menyebabkan perdarahan, nekrosis, dan kerusakan organ lain yang kadang-kadang dijumpai dalam hipertensi yang berat.

2.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis untuk Hipertensi ringan dalam kehamilan antara lain :

  1. Tekanan darah diastolik < 100 mmHg
  2. Proteinuria samar sampai ­­­+1
  3. Peningkatan enzim hati minimal

Manifestasi klinis untuk Hipertensi berat dalam kehamilan antara lain:

  1. Tekanan darah diastolik 110 mmHg atau lebih
  2. Proteinuria + 2 persisten atau lebih
  3. Nyeri kepala
  4. Gangguan penglihatan
  5. Nyeri abdomen atas
  6. Oliguria
  7. Kejang
  8. Kreatinin meningkat
  9. Trombositopenia

10. Peningkatan enzim hati

11. Pertumbuhan janin terhambat

12. Edema paru

2.5 Pemeriksaan Diagnostik

  1. CT-Scan Hepar menunjukkan hematom subkapsularis di hepar
  2. MRI memungkinkan diperolehnya resolusi yang lebih baik, tetapi kausa mendasar tentang lesi-lesi masih belum terungkapkan.

2.6 Penatalaksanaan

Adapun penatalaksanaannya antara lain :

  1. Deteksi prenatal dini

Waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan setiap 4 minggu sampai usia kehamilan 28 mingg, kemudian setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 36 minggu, setelah itu setiap minggu.

  1. Penatalaksanaan di rumah sakit

Evaluasi sistematik yang dilakukan mencakup:

  1. Pemeriksaan terinci diikuti oleh pemantauan setiap hari untuk mencari temuan-temuan klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium, dan pertambahan berat yang pesat
  2. Berat badan saat masuk dan kemusian setiap hari
  3. Analisis untuk proteinuria saat masuk dan kemudian paling tidak setiap 2 hari
  4. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk setiap 4 jam kecuali antara tengah malam dan pagi hari
  5. Pengukuran kreatinin plasma atau serum, gematokrit, trombosit, dan enzim hati dalam serum, dan frekuensi yang ditentukan oleh keparahan hipertensi
  6. Evaluasi terhadap ukuran janin dan volume cairan amnion baik secara klinis maupun USG
  7. Terminasi kehamilan

Pada hipertensi sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat inap biasanya dianjurkan pelahiran janin demi kesejahteraan ibu dan janin. Persalinan sebaiknya diinduksi dengan oksitosin intravena. Apabila tampaknya induksi persalinan hampir pasti gagal atau upaya induksi gagal, diindikasikan seksio sesaria untuk kasus-kasus yang lebih parah

  1. Terapi obat antihipertensi

Pemakaian obat antihipertensi sebagai upaya memperlama kehamilan atau memodifikasi prognosis perinatal pada kehamilan dengan penyulit hipertensi dalam berbagai tipe dan keparahan telah lama menjadi perhatian.

  1. Penundaan pelahiran pada hiperetensi berat

Wanita dengan hiperetensi berat biasanya harus segera menjalani pelahiran. Pada tahun-tahun terakhir, berbagai penelitian diseluruh dunia menganjurkan pendekatan yang berbeda dalam penatalaksanaan wanita dengan hiperetensi berat yang jauh dari aterm. Pendekatan ini menganjurkan penatalaksanaan konservatif atau “menunggu” terhadap kelompok tertentu wanita dengan tujuan memperbaiki prognosis janin tanpa mengurangi keselamatan ibu.

2.7 Komplikasi

  1. Perubahan Kardiovaskuler

Perubahan ini pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata dipengaruhioleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan.

  1. Perubahan hematologis
  2. Gangguan fungsi ginjal
  3. Edema paru

Prognosis selalu dipengaruhi oleh komplikasi yang menyertai penyakit tersebut. Prognosis untuk hipertensi dalam kehamilan selalu serius. Penyakit ini adalah penyakit paling berbahaya yang dapat mengenai wanita hamil dan janinnya. Angka kematian ibu akibat hipertensi ini telah menurun selama 3 dekade terakhir ini dari 5% -10% menadi kurang dari 3% kasus.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

ASUHAN KEPERAWATAN

Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik yaitu proses keperawatan. Proses keperawatan dipakai untuk membantu perawat dalam melakukan praktek keperawatan secara sistematis dalam mengatasi masalah keperawatan yang ada (Budianna Keliat, 1994, 2 ).

Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal ( Carpenito, 2000, 2 ).

1.1 PENGKAJIAN

Pengumpulan data

Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :

  1. Identitas pasien

Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insiden lebih tiga kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi hipertensi laten.

Meskipun proporsi kehamilan dengan hipertensi kehamilan di Amerika Serikat pada dasawarsa yang lalu meningkat hampir sepertiga. Peningkatan ini sebagian diakibatkan oleh peningkatan jumlah ibu yang lebih tua dan kelahiran kembar. Sebagai contoh, pada tahun 1998 tingkat kelahiran di kalangan wanita usia 30-44 dan jumlah kelahiran untuk wanita usia 45 dan lebih tua berada pada tingkat tertinggi dalam 3 dekade, menurut National Center for Health Statistics. Lebih jauh lagi, antara 1980 dan 1998, tingkat kelahiran kembar meningkat sekitar 50 persen secara keseluruhan dan 1.000 persen di kalangan wanita usia 45-49; tingkat triplet dan orde yang lebih tinggi kelahiran kembar melompat lebih dari 400 persen secara keseluruhan, dan 1.000 persen di kalangan wanita di mereka 40-an.

  1. Keluhan utama

Pasien dengan hipertensi pada kehamilan didapatkan keluhan berupa seperti sakit kepala terutama area kuduk bahkan mata dapat berkunang-kunang, pandangan mata kabur, proteinuria (protein dalam urin), peka terhadap cahaya, nyeri ulu hati.

  1. Riwayat penyakit sekarang

Pada pasien jantung hipertensi dalam kehamilan, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih, nyeri kepala (tidak hilang dengan analgesik biasa ), diplopia, nyeri abdomen atas (epigastrium), oliguria (<400 ml/ 24 jam)serta nokturia dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan apakah klien menderita diabetes, penyakit ginjal, rheumatoid arthritis, lupus atau skleroderma, perlu ditanyakan juga mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.

  1. Riwayat penyakit dahulu

Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti kronis hipertensi (tekanan darah tinggi sebelum hamil), Obesitas, ansietas, angina, dispnea, ortopnea, hematuria, nokturia dan sebagainya. Ibu beresiko dua kali lebih besar bila hamil dari pasangan yang sebelumnya menjadi bapak dari satu kehamilan yang menderita penyakit ini. Pasangan suami baru mengembalikan resiko ibu sama seperti primigravida. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.

  1. Riwayat penyakit keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab jantung hipertensi dalam kehamilannya. Ada hubungan genetik yang telah diteliti. Riwayat keluarga ibu atau saudara perempuan meningkatkan resiko empat sampai delapan kali

  1. Riwayat psikososial

Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.

  1. Riwayat maternal

Kehamilan ganda memiliki resiko lebih dari dua kali lipat.

  1. Pengkajian sistem tubuh

B1 (Breathing)

Pernafasan meliputi sesak nafas sehabis aktifitas, batuk dengan atau tanpa sputum, riwayat merokok, penggunaan obat bantu pernafasan, bunyi nafas tambahan, sianosis.

B2 (Blood)

Gangguan fungsi kardiovaskular pada dasarnya berkaitan dengan meningkatnya afterload jantung akibat hipertensi. Selain itu terdapat perubahan hemodinamik, perubahan volume darah berupa hemokonsentrasi. Pembekuan darah terganggu waktu trombin menjadi memanjang. Yang paling khas adalah trombositopenia dan gangguan faktor pembekuan lain seperti menurunnya kadar antitrombin III. Sirkulasi meliputi adanya riwayat hipertensi, penyakit jantung coroner, episodepalpitasi, kenaikan tekanan darah, takhicardi, kadang bunyi jantung terdengar S2 pada dasar , S3 dan S4, kenaikan TD, nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis, takikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat, sianosis, suhu dingin.

B3 (Brain)

Lesi ini sering karena pecahnya pembuluh darah otak akibat hipertensi. Kelainan radiologis otak dapat diperlihatkan dengan CT-Scan atau MRI. Otak dapat mengalami edema vasogenik dan hipoperfusi. Pemeriksaan EEG juga memperlihatkan adanya kelainan EEG terutama setelah kejang yang dapat bertahan dalam jangka waktu seminggu.Integritas ego meliputi cemas, depresi, euphoria, mudah marah, otot muka tegang, gelisah, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara. Neurosensori meliputi keluhan kepala pusing, berdenyut , sakit kepala sub oksipital, kelemahan pada salah satu sisi tubuh, gangguan penglihatan (diplopia, pandangan kabur), epitaksis, kenaikan terkanan pada pembuluh darah cerebral.

B4 (Bladder)

Riwayat penyakit ginjal dan diabetes mellitus, riwayat penggunaan obat diuretic juga perlu dikaji. Seperti pada glomerulopati lainnya terdapat peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Sebagian besar penelitian biopsy ginjal menunjukkan pembengkakan endotel kapiler glomerulus yang disebut endoteliosis kapiler glomerulus. Nekrosis hemoragik periporta dibagian perifer lobulus hepar kemungkinan besar merupakan penyebab meningkatnya kadar enzim hati dalam serum.

B5 (Bowel)

Makanan/cairan meliputi makanan yang disukai terutama yang mengandung tinggi garam, protein, tinggi lemak, dan kolesterol, mual, muntah, perubahan berat badan, adanya edema.

B6 (Bone)

Nyeri/ketidaknyamanan meliputi nyeri hilang timbul pada tungkai,sakit kepala sub oksipital berat, nyeri abdomen, nyeri dada, nyeri ulu hati. Keamanan meliputi gangguan cara berjalan, parestesia, hipotensi postural

3.2 DIAGNOSA

Diagnosa keperawatan ditegakkan melalui analisis cermat terhadap hasil pengkajian. Diagnosa keperawatan yang umum untuk orang tua dengan gangguan hipertensi pada kehamilan meliputi hal-hal berikut.

  1. Perubahan perfusi jaringan/organ, menurun, b.d
  • Hipertensi
  • Vasospasme siklik
  • Edema serebral
  • Perdarahan
  1. Risiko tinggi gangguan pertukaran gas b.d
  • Terapi magnesium sulfat
  • Edema paru
  1. Risiko tinggi perubahan curah jantung, menurun b.d
  • Terapi antihipertensi yang berlebihan
  • Jantung terkena dalam proses penyakit
  1. Risiko tinggi mengalami solusio plasenta b.d
  • Vasospasme sistemik
  • Hipertensi
  • Penurunan perfusi uteroplasenta
  1. Risiko tinggi cedera ibu b.d
  • Iritabilitas SSP akibat edema otak, vasospasme, penurunan perfusi ginjal
  • Terapi magnesium sulfat dan antihipertensi
  1. Risiko tinggi cedera pada janin b.d
  • Insufisiensi uteroplasenta
  • Kelahiran premature
  • Solusio plasenta
  1. Ansietas b.d efeknya pada ibu dan janin

3.3 INTERVENSI

3.3.1. Perubahan perfusi jaringan b.d. Hipertensi, Vasospasme siklik, Edema serebral, Perdarahan

  • Tujuan : tidak terjadi vasospasme dan perfusi jaringan tidak terjadi
  • Kriteria hasil : klien akan mengalami vasodilatasi ditandai dengan diuresis, penurunan tekanan darah, edema
Implementasi Rasional
  1. Memantau asupan oral dan ifus IV MGSO4
  2. Memantau urin yang kluar
  3. Memantau edema yang terlihat
  4. Mempertahankan tirah baring total dengan posisi miring
  1. MGSO4 adalah obat anti kejang yang bekerja pada sambungan mioneural dan merelaksasi vasospasme sehingga menyebabkan peningkatan perfusi ginjal, mobilisasi cairan ekstra seluler (edema dan diuresis
  2. Tirah baring menyebabkan aliran darah urtero plasenta, yang sering kali menurunkan tekanan darah dan meningkatkan dieresis

3.3.2 Resiko cedera tinggi pada ibu b.d. iritabilitas SSP

  • Tujuan : gangguan SSP akan menurun mencapai tingkat normal
  • Kriteria hasil : klien tidak mengalami kejang
Implementasi Rasional
  1. Mendapatkan data-data dasar (misal DTRs,klonus)
    1. Memantau pemberian IV MgSO4 dan kadar serum MgSO4
  1. mengkaji adanya kemungkinan keracunan MgSO4
  1. mempertahankan lingkungan yang tenang, gelap dan nyaman
data-data dasar dugunakan untuk memantau hasil terapi

MGSO4 adalah obat anti kejang yang bekerja pada sambungan mioneural dan merelaksasi vasospasme

Dosis yang berlebih akan membuat kerja otot menurun sehingga dapat menyebabkan depresi pernapasan berat

Rangsangan kuat, misalnya cahaya terang dan suara keras dapat menimbulkan kejang

3.3.3. Resiko tinggi cedera pada janin b.d fetal distress

  • Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi fetal distress pada janin
  • Kriteria hasil : – DJJ ( + ) : 12-12-12
Implementasi Rasional
1. Monitor DJJ sesuai indikasi

2. Kaji tentang pertumbuhan janin

3. Jelaskan adanya tanda-tanda solutio plasenta ( nyeri perut, perdarahan, rahim tegang, aktifitas janin turun )

4. Kaji respon janin pada ibu yang diberi SM
5. Kolaborasi dengan medis dalam pemeriksaan USG dan NST

Peningkatan DJJ sebagai indikasi terjadinya hipoxia, prematur dan solusio plasenta

Penurunan fungsi plasenta mungkin diakibatkan karena hipertensi sehingga timbul IUGR

Ibu dapat mengetahui tanda dan gejala solutio plasenta dan tahu akibat hipoxia bagi janin

Reaksi terapi dapat menurunkan pernafasan janin dan fungsi jantung serta aktifitas janin

USG dan NST untuk mengetahui keadaan/kesejahteraan janin

3.3.4. Kecemasan berhubungan dengan ancaman cedera pada bayi sebelum lahir

  • Tujuan: ansietas dapat teratasi
  • Kriteria hasil:
  1. Tampak rileks, dapat istirahat dengan tepat
  2. Menuujukkan ketrampilan pemecahan masalah
Intervensi Rasional
Mandiri
  1. Kaji tingkat ansietas pasien. Perhatikan tanda depresi dan pengingkaran
  2. Dorong dan berikan kesempatan untuk pasien atau orang terdekat mengajukan pertanyaan dan menyatakan masalah
  3. Dorong orang terdekat berpartisipasi dalam asuhan, sesuai indikasi
Mandiri
  1. Membantu menentukan jenis intervensi yang diperlukan
  2. Membuat perasaan terbuka dan bekerja sama untuk memberikan informasi yang akan membantu mengatasi masalah
  1. Keterlibatan meningkatka perasaan berbagi, manguatkan perasaan berguna, memberikan kesempatan untuk mengakui kamampuan individu dan memperkecil rasa takut karena ketidaktahuan

ASKEP EMBOLI AIR CAIRAN KETUBAN

  1. I. Pengertian

Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang akut dan shock. Dua puluh lima persen wanita yang menderita keadaan ini meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli cairan ketuban jarang dijumpai. Kemungkinan banyak kasus tidak terdiagnosis yang dibuat adalah shock obastetrik, perdarahan post partum atau edema pulmoner akut.

  1. II. Etiologi

Faktor predisposisi

  1. Multiparitas
  2. Usia lebih dari 30 tahun
  3. Janin besar intrauteri
  4. Kematian janin intrauteri
  5. Menconium dalam cairan ketuban
  6. Kontraksi uterus yang kuat
  7. Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi
  1. III. Patofisiologi

Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah. Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan masalah tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan kolaps cepat yang sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paru-paru meluas, lama kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru. Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme arteri koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan besar dengan rahim atony dan Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan. Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.

  1. IV. Manifestasi Klinis

Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli cairan ketuban:

  1. Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat pengukuran ( Hipotensi )
  2. Dyspnea
  3. Batuk
  4. Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia.
  5. Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin dapat turun hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika penurunan ini berlangsung selama 10 menit atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60 bpm atau kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia terminal.
  6. Pulmonary edema.
  7. Cardiac arrest.
  8. Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang berlebihan setelah melahirkan.Kegagalan rahim untuk menjadi perusahaan dengan pijat bimanual diagnostik.
  9. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC terjadi di 83% pasien.)
  1. V. Pemeriksaan Diagnostik
    1. Gas darah arteri : pO2 biasanya menurun.
    2. Tekanan vena sentralis dapat meningkat, normal, atau subnormal tergantung pada kuantitas hilangnya darah. Darah vena sentralis dapat mengandung debris selular cairan amninon.
    3. Gambaran koagulasi ( fibrinogen, hitung jumlah trombosit, massa protrombin, produk pecahan fibrin. Dan massa trombo[lastin parsial ) biasanya abnormal , menunjukkan DIC.
    4. EKG dapat memperlihatkan regangan jantung kanan akut.
    5. Keluaran urin dapat menurun, menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
    6. Foto toraks biasanya tidak diagnostic tapi dapat menunjukkan infiltrate. Scan paru dapat memperlihatkan defek perfusi yang sesuai dengan proses emboli paru.
  1. VI. Penatalaksanaan
    1. Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi defek yang khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
    2. Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia & perdarahan .
    3. Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia uteri.
    4. Morfin ( 10 mg ) dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas .
    5. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan menghambat proses perbekuan.
    6. Amniofilin ( 250 – 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada bronkospasme ..
    7. Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos bronkus, dan peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat ini di berikan perlahan – lahan melalui Iv untuk menyokong tekanan darah sistolik kira – kira 100 mmHg.
    8. Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
    9. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler dengan menghambat proses pembekuan.
    10. Oksigen diberikan dengan tekanan untuk meningkatkan.
    11. Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan sedian trombosit.
    12. Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin / fibrinogen.
    13. Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam sirkulasi darah.
    14. Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.
  1. VII. Komplikasi
    1. Edema paru yang luas dan akhirnya mengakibatkan kegagalan dan payah jantung kanan.
    2. Ganguan pembekuan darah.
  1. VIII. Prognosis

Sekalipun nortalitas tinggi, emboli cairan tidak selalu membawa kematian pada tiap kasus. 75% wanita meninggal sebagai akibat langsung emboli. Sisanya meninggal akibat perdarahan yang tidak terkendali. Mortalitas feral tinggi dan 50% kematian terjadi inutera.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Pengkajian tehadap kesehatan pasien sangat diperlukan dalam menindaklanjuti suatu intervensi keperawatan kepada pasien. Dengan adanya pengkajian yang menyeluruh maka intervensi keperawatan kepada pasien akan semakin optimal, hal ini di awali dengan Menetapkan kapan gejala mulai timbul, Menetapkan kapan gejala timbul, apa yang menjadi pencetusnya, apa yang dapat menghilangkan atau meringankan gejala tersebut dan apa yang memperburuk gejala adalah bagian dari pengkajian, juga mengidentifikasi setiap riwayat alergi atau adanya penyakit yang timbul bersamaan.

Anamnesa,meliputi:

  1. Identitas pasien

Biasanya hal ini terjadi pada ibu yang hamil berusia 30 tahun

  1. Riwayat Sakit dan Kesehatan

Adanya pulmory edema, cardiac arrest, rahim atony,

  1. Pemeriksaan Fisik

Review Of System (ROS)

  1. B1(BREATH) : Dyspnea, batuk
  2. B2(BLOOD) : Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia, Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat pengukuran ( Hipotensi )
  3. B3(BRAIN) : kesadaran menurun
  4. B4(BLADDER): oliguri,
  5. B5(BOWEL) : -
  6. B6(BONE) : -

2.2 Diagnosa Keperawatan

  1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan Vasospasme arteri pulmonalis
  2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan penurunan oksigen dalam udara inspirasi
  3. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan kadar oksigen dalam sirkulasi menurun
  4. Defisit volume cairan behubungan dengan pendarahan
  5. Intolensi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya oksigen dalam ginjal

2.3 Intervensi

1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan Vasospasme arteri pulmonalis

Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri

Pantau frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, tidakmampuan bicara/ berbincang.

Berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas. Dorong nafas perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi individu. Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan nafas, dispnea dan kerja nafas.
Awasi secara rutin kulit dan warna membrane mukosa. Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan dan diagnosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan/atau bunyi tambahan. Bunyi nafas mugkin redup karena aliran udara atau area konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan secret. Krekel basah menyebar menunjukkan cairan pada intertisial/dekompensasi jantung.
Awasi tingkat kesadaran/ status mental. Selidiki adanya perubahan. Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hypoxia, GDA memburuk disertai bingung/ somnolen menunjukkan disfungsi serebral yang berhubungan dengan hipoksemia.
Kolaborasi

Awasi/gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.

PaCO2 biasanya meningkat (bronchitis, enfisema) dan PaO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar. Catatan: PaCO2 “normal” atau meningkat menandakan kegagalan pernapasan yang akan datang selama asmatik.
Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien. Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hypoxia. Catatan: emfisema kronis, mengatur pernapasan pasien ditentukan oleh kadar CO2 dan mungkin dieluarkan dengan peningkatan PaO2 berlebihan.
Bantu instubasi, berikan/ pertahankan ventilasi mekanik,dan pindahkan UPI sesuai instruksi pasien. Terjadinya/kegagalan nafas yang akan datang memerlukan penyelamatan hidup.

2. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan penurunan dalam udara inspirasi

Tindakan/intervensi Rasional
Berikan posisi fowler atau semi fowler

memaksimalkan ekspansi paru, menurunkan kerja pernapasan, dan menurunkan resiko aspirasi
Ajarkan teknik napas dalam dan atau pernapasan bibir atau pernapasan diafragmatik abdomen bila diindikasikan

membantu meningkatkan difusi gas dan ekspansi jalan napas kecil, memberika pasien beberapa kontrol terhadap pernapasan, membantu menurunkan ansietas.
Obserfasi TTV (RR atau frekuensi permenit)

mengetahui keadekuatan frekuensi pernapasan dan keefektifan jalan napas

Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan kadar oksigen dalam sirkulasi menurun

Intervensi Rasional
Mandiri :
  1. Selidiki nyeri dada,dispnea
  1. Observasi ekstremitas terhadap edema

3. Observasi hematuri.

4. Perhatikan nyeri abdomen kiri atas.

  1. Dispnea diakibatkan dalam penurunan CO2 dalam aliran darah.
  2. Ketidakaktifan/tirah baring lama mencetuskan stasis vena, meningkatkan resiko pembentukan trombosis vena
  3. Menandakan emboli ginjal
  4. Menandakan emboli splenik

Defisit volume cairan behubungan dengan pendarahan

Intervensi Rasional
Mandiri :
  1. Tranfusi darah
  1. Pemberian cairan elektrolit

  1. Tranfusi darah dapat menggantikan darah yang berkurang karena pendarahan
  2. Pemberian cairan dapat memenuhi kebutuhan cairan klien sehingga tidak terjadi hipovolemia

Intolensi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya oksigen dalam ginjal

INTERVENSI RASIONAL
  1. pertahankan pasien tirah baring selama sakit akut.
  1. Pertahankan pemberian bantuan oksigen yang adekuat
  1. Pantau frekuensi atau irama jantung, tekanan darah dan frekuensi pernapasan sebelum atau setelah aktivitas dan selama diperlukan.
  2. mengurangi pemakiaian oksigen pada miokard selama beberapa hari akan meningkatkan sirkulasi dan suplai darah ke daerah yang kurang perfusi.
  1. Membantu memenuhi pasokan oksigen tubuh agar seimbang antara suplai dan kebutuhan
  1. Penurunan tekanan darah, takikardi, disritmia, dan dipsnea adalah indikasi dari kerusakan toleransi jantung terhadap aktivitas.

PATOFISIOLOGI KETOASIDOSIS (KAD)



2.1 Definisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin.

2.2 Etiologi

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang.

Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh :

  1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.
  2. Keadaan sakit atau infeksi.
  3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.

2.3 Patofisiologi

Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya.

Gambar 1: Perkembangan ketoasidosis diabetik

(http://library.usu.ac.id, 2003)

Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.

Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (peranfasan Kussmaul).

Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam.

Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik.

2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari KAD adalah :

  1. Hiperglikemia

Hiperglikemi pada ketoasidosis diabetik akan menimbulkan:

  1. Poliuri dan polidipsi (peningktan rasa haus)
  2. Penglihatan yang kabur
  3. Kelemahan
  4. Sakit kepala
  5. Pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat berdiri).
  6. Penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi lemah dan cepat.
  7. Anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen.
  8. Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton.
  9. Mengantuk (letargi) atau koma.
  10. Glukosuria berat.
  11. Asidosis metabolik.
  12. Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit.
  13. Hipotensi dan syok.
  14. Koma atau penurunan kesadaran.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

  1. a. Pemeriksaan Laboratorium
    1. Glukosa.

Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl atau lebih yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi.

Harus disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-500 mg/dl.

  1. Natrium.

Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang intravaskuler. Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL, tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah yang sesuai.

  1. Kalium.

Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat dengan perawatan. EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung ekstrem di tingkat potasium.

  1. Bikarbonat.

Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH yang rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg) mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis) dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin. Gunakan tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai derajat asidosis.

  1. Sel darah lengkap (CBC).

Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau ditandai pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.

  1. Gas darah arteri (ABG).

pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada tingkat gas darah vena pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari pH 0,03 pada ABG. Karena perbedaan ini relatif dapat diandalkan dan bukan dari signifikansi klinis, hampir tidak ada alasan untuk melakukan lebih menyakitkan ABG. Akhir CO2 pasang surut telah dilaporkan sebagai cara untuk menilai asidosis juga.

  1. Keton.

Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal. Selain itu, ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang mendasarinya.

  1. β-hidroksibutirat.

Serum atau hidroksibutirat β kapiler dapat digunakan untuk mengikuti respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari 0,5 mmol / L dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi dengan kebutuhan untuk ketoasidosis diabetik (KAD).

  1. Urinalisis (UA)

Cari glikosuria dan urin ketosis. Hal ini digunakan untuk mendeteksi infeksi saluran kencing yang mendasari.

  1. Osmolalitas

Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN (mg / dL) / 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam keadaan koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O. Jika osmolalitas kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh pada kondisi koma.

  1. Fosfor

Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk, alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.

  1. Tingkat BUN meningkat.

Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.

  1. Kadar kreatinin

Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga dapat terjadi pada dehirasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan kadar kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada pasien yang mengalami insufisiensi renal.

Gambar 2: Pengobatan efektif kasus ketoasidosis diabetik yang hebat

(http://library.usu.ac.id, 2003)

Tabel 1. Sifat-sifat penting dari tiga bentuk dekompensasi (peruraian) metabolik pada diabetes.

Sifat-sifat Diabetic

ketoacidosis

(KAD)

Hyperosmolar

non ketoticcoma

(HONK)

Asidosis laktat
Glukosa plasma Tinggi Sangat tinggi Bervariasi
Ketone Ada Tidak ada Bervariasi
Asidosis Sedang/hebat Tidak ada Hebat
Dehidrasi Dominan Dominan Bervariasi
Hiperventilasi Ada Tidak ada Ada

b. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan dengan cara:

  1. Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl). Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
  2. Gula darah puasa normal atau diatas normal.
  3. Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
  4. Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
  5. Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada terjadinya aterosklerosis.

2.6 Penatalaksanaan

Penanganan KAD (ketoasidosis diabetikum) memerlukan pemberian tiga agen berikut:

  1. Cairan.

Pasien penderita KAD biasanya mengalami depresi cairan yang hebat. NaCl 0,9 % diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3 jam. Pemberian cairan normal salin hipotonik (0,45 %) dapat digunakan pada pasien-pasien yang menderita hipertensi atau hipernatremia atau yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. Infus dengan kecepatan sedang hingga tinggi (200-500 ml/jam) dapat dilanjutkan untuk beberapa jam selanjutnya.

  1. Insulin.

Insulin intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif bila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak anak kecil. Asidosis yang terjadi dapat diatasi melalui pemberian insulin yang akn menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam. Insulin diberikan melalui infus dengan kecaptan lambat tapi kontinu ( misal 5 unti /jam). Kadar glukosa harus diukur tiap jam. Dektrosa ditambahkan kedalam cairan infus bila kadar glukosa darah mencpai 250 – 300 mg/dl untuk menghindari penurunan kadar glukosa darah yang terlalu cepat.

  1. Potassium.

Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita KAD mengalami depresi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat.

Gambar 3. Penanganan ketoasidosis diabetik

(http://library.usu.ac.id, 2003)

Input saline fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplemen potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita KAD (ketoasidosis diabetikum) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat.

2.7 Komplikasi

Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:

  1. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )

Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif.

  1. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )

Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata. Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan. Tetapi bila tidak terlambat dan segera ditangani secara dini dimana kadar glukosa darah dapat terkontrol, maka penglihatan bisa normal kembali

  1. Syaraf ( Neuropati Diabetik )

Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa). Telapak kaki hilang rasa membuat penderita tidak merasa bila kakinya terluka, kena bara api atau tersiram air panas. Dengan demikian luka kecil cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi.

  1. Kelainan Jantung.

Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak. Selain itu terganggunya saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat jantung berdebar cepat. Akibatnya timbul rasa sesak, bengkak, dan lekas lelah.

  1. Hipoglikemia.

Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera. Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.

  1. Impotensi.

Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi yang dialami. Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf. Keluhan ini tidak hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka yang masih berusia 35 – 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma yang ada akan menjadi sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini terjadi karena sperma masuk ke dalam kandung seni (ejaculation retrograde).

Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami kemandulan. Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini penderita menggunakan obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan meningkatkan kemampuan seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut akan menekan produksi hormon tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik. Bila hal ini tidak diperhatikan maka sel produksi hormon akan menjadi rusak. Bagi diabetes wanita, keluhan seksual tidak banyak dikeluhkan.

Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh jelek pada proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah mengalami keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut-turut, berat bayi saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir mati atau cacat dan lainnya.

  1. Hipertensi.

Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak untuk menambah takanan darah.

  1. Komplikasi lainnya.

Selain komplikasi yang telah disebutkan di atas, masih terdapat beberapa komplikasi yang mungkin timbul. Komplikasi tersebut misalnya:

  1. Ganggunan pada saluran pencernakan akibat kelainan urat saraf. Untuk itu makanan yang sudah ditelan terasa tidak bisa lancar turun ke lambung.
  2. Gangguan pada rongga mulut, gigi dan gusi. Gangguan ini pada dasarnya karena kurangnya perawatan pada rongga mulut gigi dan gusi, sehingga bila terkena penyakit akan lebih sulit penyembuhannya.
  3. Gangguan infeksi. Dibandingkan dengan orang yang normal, penderita diabetes millitus lebih mudah terserang infeksi.

2.8 Prognosis

Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%.

Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun, ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes.

PATOFISIOLOGI HIPOTIROID

2.1 Definisi

Hipotiroid (hiposekresi hormon tiroid) adalah status metabolik yang diakibatkan oleh kehilangan hormon tiroid. (Baradero,2009)

Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid dalam darah, ataupun gangguan respon jaringan terhadap hormon tiroid.

Hipotiroid yang sangat berat disebut miksedema. Hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan banyak proses-proses sel, hormon tiroid yang tidak memadai mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang meluas untuk tubuh.

2.2 Etiologi

  1. Malfungsi hipotalamus dan hipofisis anterior

Malfungsi hipotalamus dan hipofisis anterior akan menyebabkan rendahnya kadar TRH (Thyroid Stimulating Hormone) dan TSH (Thyrotropin Releasing Hormone), yang akan berdampak pada kadar HT (Hormon Tiroid) yang rendah.

  1. Malfungsi kelenjar tiroid

Kadar HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TRH dan TSH karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus.

  1. Sebab-sebab bawaan (kongenital)
  1. Ibu kurang mendapat bahan goitrogen (yodium, tiourasil, dsb)

Kekurangan yodium jangka panjang merupakan penyebab tersering dari hipotiroidisme di negara terbelakang. Pada daerah-daerah dari dunia dimana ada suatu kekurangan yodium dalam makanan, hipotiroid yang berat dapat terlihat pada 5% sampai 15% dari populasi.

  1. Pengobatan yodium radio-aktif

Pasien-pasien yang telah dirawat untuk suatu kondisi hipertiroid (seperti penyakit Graves) dan menerima yodium ber-radioaktif mungkin menimbulkan sedikit jaringan tiroid yang tidak berfungsi setelah perawatan. Kemungkinan dari ini tergantung pada sejumlah faktor-faktor termasuk dosis yodium yang diberikan, bersama dengan ukuran dan aktivitas dari kelenjar tiroid. Jika tidak ada aktivitas yang signifikan dari kelenjar tiroid enam bulan setelah perawatan yodium ber-radioaktif, biasanya diperkirakan bahwa tioroid tidak akan berfungsi lagi secara memadai. Akibatnya adalah hipotiroid.

  1. Induksi obat-obatan

Obat-obatan yang digunakan untuk merawat suatu tiroid yang aktif berlebihan (hipertiroid) sebenarnya mungkin menyebabkan hipotiroid. Obat-obat ini termasuk methimazole (Tapazole) dan propylthiouracil (PTU). Obat psikiatris, lithium (Eskalith, Lithobid) adalah juga diketahui merubah fungsi tiroid dan menyebabkan hipotiroid. Menariknya, obat-obat yang mengandung suatu jumlah yang besar dari yodium seperti amiodarone (Cordarone), potassium iodide (SSKI, Pima), dan Lugol’s solution dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam fungsi tiroid, yang mungkin berakibat pada tingkat-tingkat darah dari hormon tiroid yang rendah.

  1. Idiopatik.
  2. e. Hashimoto’s Thyroiditis

Penyebab yang paling umum dari hipotiroid di Amerika adalah suatu kondisi yang diwariskan/diturunkan yang disebut Hashimoto’s thyroiditis. Kondisi ini dinamakan menurut Dr. Hakaru Hashimoto yang pertama kali menjelaskannya pada tahu 1912. Pada kondisi ini, kelenjar tiroid biasanya membesar (gondokan) dan mempunyai suatu kemampuan yang berkurang untuk membuat hormon-hormon tiroid. Hashimoto’s adalah suatu penyakit autoimun dimana sistim imun tubuh secara tidak memadai menyerang jaringan tiroid. Kondisi ini diperkirakan mempunyai suatu basis genetik. Contoh-contoh darah yang diambil dari pasien-pasien dengan penyakit ini mengungkapkan suatu jumlah yang meningkat dari antibodi-antobodi pada enzim ini, thyroid peroxidase (antibodi-antibodi anti-TPO). Karena basis untuk penyakit autoimun mungkin mempunyai suatu asal yang umum, adalah bukan tidak biasa menemukan bahwa seorang pasien dengan Hashimoto’s thyroiditis mempunyai satu atau lebih penyakit autoimun lainnya seperti diabetes atau pernicious anemia (kekurangan B12). Hashimoto’s dapat diidentifikasikan dengan mendeteksi antibodi-antibodi anti-TPO dalam darah dan atau dengan melakukan suatu thyroid scan.

  1. Sebab-sebab yang didapat (acquired):
    1. Tiroiditis limfositik menahun

Thyroiditis merujuk pada peradangan kelenjar tiroid. Ketika peradangan disebabkan oleh suatu tipe tertentu dari sel darah putih yang dikenal sebagai suatu limfosit, kondisinya dirujuk sebagai lymphocytic thyroiditis. Pada kasus-kasus ini, biasanya ada suatu fase hipertiroid (dimana jumlah-jumlah hormon tiroid yang berlebihan bocor keluar dari kelenjar yang meradang), yang diikuti oleh suatu fase hipotiroid yang dapat berlangsung sampai enam bulan.

  1. Tiroidektomi.

Karsinoma tiroid dapat sebagai penyebab, tetapi tidak selalu menyebabkan hipotiroidisme. Terapi untuk kanker yang jarang dijumpai ini antara lain adalah tiroidektomi. Tiroidektomi merupakan pengangkatan kelenjar tiroid sewaktu operasi, yang biasanya akan diikuti oleh hipotiroid. Selain itu, pemberian obat penekan TSH, atau terapi iodium radioaktif untuk menghancurkan jaringan tiroid, semua pengobatan ini dapat menyebabkan hipotiroidisme. (Price, 2000).

  1. Defisiensi yodium (gondok endemik).

Gondok endemik adalah hipotiroidisme akibat defisiensi iodium dalam makanan. Gondok adalah pembesaran kelenjar tiroid. Pada defisiensi iodium terjadi gondok karena sel-sel tiroid menjadi aktif berlebihan dan hipertrofik dalam usaha untuk menyerap semua iodium yang tersisa dalam darah. Kadar HT yang rendah akan disertai kadar TSH dan TRH yang tinggi karena minimnya umpan balik. Kekurangan yodium jangka panjang dalam makanan, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme goitrosa). (Price, 2000).

2.3 Klasifikasi

  1. Primer : lebih mengacu kepada disfungsi kelenjar tiroid itu sendiri.
    1. Goiter : Tiroiditis Hashimoto, fase penyembuhan setelah tiroiditis, defisiensi yodium.
    2. Non-goiter : destruksi pembedahan, kondisi setelah pemberian yodium radioaktif atau radiasi eksternal, agenesis, amiodaron
    3. Sekunder : kegagalan hipotalamus (↓ TRH, TSH yang berubah-ubah, ↓ T4 bebas) atau kegagalan pituitari (↓ TSH, ↓ T4 bebas).
    4. Hipotiroidisme tersier, jika sepenuhnya disebabkan oleh hipofisis.

Berdasarkan usia awitan hipotiroid dibedakan menjadi tiga, yaitu (Suddart, 2000) :

  1. Hipotiroidisme dewasa atau maksidema
  2. Hipertiroidisme juvenilis, timbul sesudah usia 1 atau 2 tahun

c. Hipotiroidisme congenital atau kreatinin disebabkan oleh kekurangan hormon tiroid sebelum atau segera sesudah lahir.

2.4 Patofisiologi

Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid. Sintesis hormon tiroid diatur sebagai berikut :

  • Hipotalamus membuat Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) yang merangsang hipofisis anterior.
  • Hipofisis anterior mensintesis thyrotropin (Thyroid Stimulating Hormone = TSH) yang merangsang kelenjar tiroid.
  • Kelenjar tiroid mensintesis hormon tiroid (Triiodothyronin = T3 dan Tetraiodothyronin = T4 = Thyroxin) yang merangsang metabolisme jaringan yang meliputi: konsumsi oksigen, produksi panas tubuh, fungsi syaraf, metabolisme protrein, karbohidrat, lemak, dan vitamin-vitamin, serta kerja daripada hormon-hormon lain.

Hipotiroidisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar tiroid, hipofisis, atau hipotalamus. Apabila disebabkan oleh malfungsi kelenjar tiroid, maka kadar HT yang rendah akan disertai oleh peningkatan kadar TSH dan TRH karena tidak adanya umpan balik negatif oleh HT pada hipofisis anterior dan hipotalamus. Apabila hipotiroidisme terjadi akibat malfungsi hipofisis, maka kadar HT yang rendah disebabkan oleh rendahnya kadar TSH. TRH dari hipotalamus tinggi karena. tidak adanya umpan balik negatif baik dari TSH maupun HT. Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH.

Penyakit Hashimoto, juga disebut tiroiditis otoimun, terjadi akibat adanya otoantibodi yang merusak jaringan kelenjar tiroid. Hal ini menyebabkan penurunan HT disertai peningkatan kadar TSH dan TRH akibat umpan balik negatif yang minimal, Penyebab tiroiditis otoimun tidak diketahui, tetapi tampaknya terdapat kecenderungan genetik untuk mengidap penyakit ini. Penyebab yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto.Pada tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar dan hipotiroidisme terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yang masih berfungsi. Penyebab kedua tersering adalah pengobatan terhadap hipertiroidisme. Baik yodium radioaktif maupun pembedahan cenderung menyebabkan hipotiroidisme. Gondok endemik adalah hipotiroidisme akibat defisiensi iodium dalam makanan. Gondok adalah pembesaran kelenjar tiroid. Pada defisiensi iodiurn terjadi gondok karena sel-sel tiroid menjadi aktif berlebihan dan hipertrofik dalarn usaha untuk menyerap sernua iodium yang tersisa dalam. darah. Kadar HT yang rendah akan disertai kadar TSH dan TRH yang tinggi karena minimnya umpan balik.Kekurangan yodium jangka panjang dalam makanan, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme goitrosa). Karsinoma tiroid dapat, tetapi tidak selalu, menyebabkan hipotiroidisme. Namun, terapi untuk kanker yang jarang dijumpai ini antara lain adalah tiroidektomi, pemberian obat penekan TSH, atau terapi iodium radioaktif untuk mengbancurkan jaringan tiroid. Semua pengobatan ini dapat menyebabkan hipotiroidisme. Pajanan ke radiasi, terutama masa anak-anak, adalah penyebab kanker tiroid. Defisiensi iodium juga dapat meningkatkan risiko pembentukan kanker tiroid karena hal tersebut merangsang proliferasi dan hiperplasia sel tiroid.

Karena sebab-sebab yang dijelaskan di atas maka akan terjadi gangguan metabolisme. Dengan adanya gangguan metabolisme ini, menyebabkan produksi ADP dan ATP akan menurun sehingga menyebabkan kelelahan serta terjadinya penurunan fungsi pernapasan yang berujung pada depresi ventilasi dan timbul dyspneu kemudian pada tahap lebih lanjut kurangnya jumlah ATP dan ADP dalam tubuh juga berdampak pada sistem sirkulasi tubuh terutama jantung karena suplai oksigen ke jantung ikut berkurang dan terjadilah bradycardia, disritrmia dan hipotensi. Gangguan pada sistem sirkulasi juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem neurologis yaitu berupa terjadinya gangguan kesadaran karena suplai oksigen yang menurun ke otak. Selain itu gangguan metabolisme juga menyebabkan gangguan pada fungsi gastrointestinal dan pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya fungsi peristaltik usus sehingga menimbulkan konstipasi. Metabolisme yang terganggu juga berdampak pada turunnya suhu tubuh karena produksi kalor yang menurun sehingga terjadi intoleransi suhu dingin.

2.5 Manifestasi Klinis

  1. Kelambanan, perlambatan daya pikir, dan gerakan yang canggung lambat
  2. Penurunan frekuensi denyut jantung, pembesaran jantung (jantung miksedema), dan penurunan curah jantung
  3. Pembengkakkan dan edema kulit, terutama di bawah mata dan di pergelangan kaki
  4. Penurunan kecepatan metabolisme, penurunan kebutuhan kalori, penurunan nafsu makan dan penyerapan zat gizi dari saluran cema
  5. Konstipasi
  6. Perubahan-perubahan dalam fungsi reproduksi
  7. Kulit kering dan bersisik serta rambut kepala dan tubuh yang tipis dan rapuh

Manifestasi klinis per sistem:

  1. Sistem integumen: kulit dingin, pucat, kering, bersisik dan menebal; pertumbuhan kuku buruk, kuku menebal; rambut kering, kasar; rambut rontik dan pertumbuhannya buruk.
    1. Sistem pulmonari: hipoventilasi, dipsnea
    2. Sistem kardiovaskular: bradikardi, disritmia, pembesaran jantung, hipotensi, toleransi terhadap aktivitas menurun.
    3. Metabolik: penurunan metabolisme basal, penurunan suhu tubuh, intoleransi terhadap dingin.
      1. Sistem muskuloskeletal: nyeri otot, kontraksi dan relaksasi yang melambat
      2. Sistem neurologi: intelektual yang melambat, berbicara lambat dan terbata-bata, gangguan memori, perhatian kurang, letargi atau somnolen, bingung, hilang pendengaran.
      3. Sistem gastrointestinal: anoreksia, peningkatan berat badan, konstipasi, distensi abdomen.
      4. Sistem reproduksi: pada wanita terjadi perubahan menstruasi seperti amenore,atau masa menstruasi yang memanjang
        1. Psikologis: apatis, agitasi, depresi, paranoid, menarik diri.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

  1. Laboratorium

Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan dapat mendiagnosis kondisi dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui fungsi tiroid biasanya menunjukkan kadar T4 yang rendah dan kadar TSH yang tinggi.

  1. Radiologis

USG atau CT scan tiroid (menunjukkan ada tidaknya goiter), X-foto tengkorak (menunjukkan kerusakan hipotalamus atau hipofisis anterior), dan Tiroid scintigrafi.

  1. Skor Apgar Hipotiroid Kongenital

Dicurigai adanya hipotiroid bila skor Apgar hipotiroid kongenital > 5; tetapi tidak adanya gejala atau tanda yang tampak, tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.

Tabel : Skor Apgar pada hipotiroid kongenital
Gejala klinis Skore
Hernia umbilicalis 2
Kromosom Y tidak ada (wanita) 1
Pucat, dingin, hipotermi 1
Tipe wajah khas edematus 2
Makroglosi 1
Hipotoni 1
Ikterus lebih dari 3 hari 1
Kulit kasar, kering 1
Fontanella posterior terbuka (>3cm) 1
Konstipasi 1
Berat badan lahir > 3,5 kg 1
Kehamilan > 40 minggu 1
Total 15

2.7 Pencegahan

  1. Diet

Makanan yang seimbang dianjurkan, antara lain memberi cukup yodium dalam setiap makanan. Tetapi selama ini ternyata cara kita mengelola yodium masih cenderung salah. Yodium mudah rusak pada suhu tingggi. Padahal kita selama ini memasak makanan pada suhu yang panas saat menambah garam yang mengandung yodium, sehingga yodium yang kita masak sudah tidak berfungsi lagi karena rusak oleh panas. Untuk itu, sebaiknya kita menambahkan garam pada saat makanan sudah panas dan cukup dingin sehingga tidak merusak kandungan yodium yang ada pada garam.

Selain itu, makan-makanan yang tidak mengandung pengawet juga diperlukan. Asupan kalori disesuaikan apabila BB perlu di kurangi. Apabila pasien mengalami letargi dan defisit perawatan diri, perawat perlu memantau asupan makanan dan cairan.

  1. Aktivitas

Kelelahan akan menyebabkan pasien tidak bisa melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan kegiatan lainnya. Kegiatan dan istirahat perlu diatur agar pasien tidak menjadi sangat lelah. Kegiatan ditingkatkan secara bertahap.

2.8 Penatalaksanaan

  1. a. Pengobatan
  2. Terapi sulih hormon, obat pilihannya adalah sodium levo-thyroxine. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid ada, diberikan dosis seperti tabel berikut :
Umur Dosis g/kg BB/hari
0-3 bulan

3-6 bulan

6-12 bulan

1-5 tahun

2-12 tahun

> 12 tahun

10-15

8-10

6-8

5-6

4-5

2-3

  1. Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan therapeutic trial sampai usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu. Bila ada perbaikan klinis, dosis dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian + 100 μg/m2/hari.
  2. Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4, dan TSH yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
  1. Pembedahan

Tiroidektomi dilaksanakan apabila goiternya besar dan menekan jaringan sekitar. Tekanan pada trakea dan esofagus dapat mengakibatkan inspirasi stridor dan disfagia. Tekanan pada laring dapat mengakibatkan suara serak.

2.9 Komplikasi

  1. Koma miksedema

Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang ditandai oleh eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk hipotermi tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan kesadaran hingga koma. Dalam keadaan darurat (misalnya koma miksedema), hormon tiroid bisa diberikan secara intravena.

  1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Kretinisme)

Jika hipotiroidisme yang berat sudah terjadi sewaktu hidup fetal, maka kita akan mendapatkan penderita yang cebol dan mungkin imbesil. Pada waktu lahir tidak ditemukan kelainan tetapi pada umur 2-3 bulan sudah bisa timbul gejala lidah tebal dan jarak antara ke dua mata lebih besar dari biasanya. Pada waktu ini kulit kasar dan warnanya agak kekuningan. Kepala anak besar, mukanya bulat dan raut mukanya (ekspresi) seperti orang bodoh sedangkan hidungnya besar dan pesek, bibirnya tebal, mulutnya selalu terbuka dan juga lidah yang tebal dikeluarkan. Pertumbuhan tulang juga terlambat. Sedangkan keadaan psikis berbeda-beda biasanya antara agak cerdik dan sama sekali imbesil.

  1. Kematian dapat terjadi apabila tidak diberikan HT dan stabilisasi semua gejala dengan segera.

PATOFISIOLOGI HIPERTIROID

2.1 Definisi

Menurut Martin A. Walter, hipertiroid adalah kondisi umum yang berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, khususnya yang disebabkan oleh komplikasi kardiovaskuler. Sebagian besar disebabkan oleh penyakit graves, dengan nodul toksik soliter dan goiter multinodular toksik menjadi bagian pentingnya walaupun dengan frekuensi yang sedikit.

Hipertiroidisme adalah kondisi di mana kerja hormon tiroid mengakibatkan respons yang lebih besar dari keadaan normal (Hudak & Gallo, ….

2.2 Klasifikasi

a. Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)

Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.

Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun. Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.

  1. Nodular Thyroid Disease

Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul seiring dengan bertambahnya usia.

c. Subacute Thyroiditis

Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.

d. Postpartum Thyroiditis

Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahan-lahan.

2.3 Etiologi

Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves, suatu penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan hormon yang berlebihan.

Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit graves adalah:

  1. Toksisitas pada strauma multinudular
  2. Adenoma folikular fungsional atau karsinoma (jarang)
  3. Edema hipofisis penyekresi-torotropin (hipertiroid hipofisis)
  4. Tumor sel benih, misal karsinoma (yang kadang dapat menghasilkan bahan mirip-TSH) atau teratoma (yang mengandung jarian tiroid fungsional)
  5. Tiroiditis (baik tipe subkutan maupun hashimato) yang keduanya dapat berhubungan dengan hipertiroid sementara pada fase awal.

2.4 Patofisiologi

Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.

Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang “menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.

Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.

2.5 Manifestasi Klinis

Pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut, lebih dari 70 tahun, gejala yang khas juga sering tidak tampak. Tergantung pada beratnya hipertiroid, maka keluhan bisa ringan sampai berat. Keluhan yang sering timbul antara lain adalah :

  1. a. Peningkatan frekuensi denyut jantung
  2. b. Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap katekolamin
  3. c. Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas, intoleran terhadap panas, keringat berlebihan
  4. d. Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik)
  5. e. Peningkatan frekuensi buang air besar
  6. f. Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
  1. g. Gangguan reproduksi
  2. h. Tidak tahan panas
  3. i. Cepat letih
  4. j. Tanda bruit
  5. k. Haid sedikit dan tidak tetap
  6. l. Mata melotot (exoptalmus).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosa bergantung kepada beberapa hormon berikut ini:

    1. Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid.
    2. TSH (Tiroid Stimulating Hormone)
    3. Bebas T4 (tiroksin)
    4. Bebas T3 (triiodotironin)
    5. Diagnosa juga boleh dibuat menggunakan ultrasound untuk memastikan pembesaran kelenjar tiroid
    6. Hipertiroidisme dapat disertai penurunan kadar lemak serum
    7. Penurunan kepekaan terhadap insulin, yang dapat menyebabkan hiperglikemia.

2.7 Penatalaksanaan

Konservatif

Tata laksana penyakit Graves

2.7.1 Obat Anti-Tiroid. Obat ini menghambat produksi hormon tiroid. Jika dosis berlebih, pasien mengalami gejala hipotiroidisme.

  1. Pengobatan jangka panjang dengan obat-obat antitiroid seperti PTU atau methimazol, yang diberikan paling sedikit selama 1 tahun. Obat-obat ini menyekat sintesis dan pelepasan tiroksin.

Penyekat beta seperti propranolol diberikan bersamaan dengan obat-obat antitiroid. Karena manifestasi klinis hipertiroidisme adalah akibat dari pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat beta; penyekat beta manurunkan takikardia, kegelisahan dan berkeringat yang berlebihan. Propranolol juga menghambat perubahan tiroksin perifer menjadi triiodotironin. Indikasi :

1) Mendapat remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan – sedang dan tiroktosikosis

2) Untuk mengendalikan tiroktosikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif

3) Persiapan tiroidektomi

4) Pasien hamil, usia lanjut

5) Krisis tiroid

Penyekat adinergik ß pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian anti tiroid. Propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-8 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta Lab.FT4/T4/T3 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat anti tiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah tejadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid di hentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi kolaps.

Lama terapi dengan obat-obat antitiroid pada penyakit Graves cukup bervariasi dan dapat berkisar dari 6 bulan sampai 20 tahun. Remisi yang dipertahankan dapat diramalkan dengan karakteristik sebagai berikut:

1) Kelenjar tiroid kemabali normal ukurannya

2) Pasien dikontrol dengan obat antitiroid dosis yang relative kecil

3) TSH R Ab [stim] tidak lagi dideteksi dalam serum

4) Jika kelenjar tiroid kembali secara normal bisa disupresi setelah pemberian liotironin.

Surgical

2.7.2 Radioaktif iodine

Tindakan ini adalah untuk memusnahkan kelenjar tiroid yang hiperaktif, kontraindikasi untuk anak-anak dan wanita hamil.

2.7.3 Tiroidektomi

Tindakan Pembedahan ini untuk mengangkat kelenjar tiroid yang membesar.

2.8 Komplikasi

Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 1060F), dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan kematian.

Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid.

Hipertiroid yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.

2.1 Definisi

Menurut Martin A. Walter, hipertiroid adalah kondisi umum yang berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, khususnya yang disebabkan oleh komplikasi kardiovaskuler. Sebagian besar disebabkan oleh penyakit graves, dengan nodul toksik soliter dan goiter multinodular toksik menjadi bagian pentingnya walaupun dengan frekuensi yang sedikit.

Hipertiroidisme adalah kondisi di mana kerja hormon tiroid mengakibatkan respons yang lebih besar dari keadaan normal (Hudak & Gallo, ….

2.2 Klasifikasi

a. Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)

Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.

Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, gejalanya dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun. Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kekebalan tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu sendiri.

  1. Nodular Thyroid Disease

Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui. Tetapi umumnya timbul seiring dengan bertambahnya usia.

c. Subacute Thyroiditis

Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi, dan mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam darah. Umumnya gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul lagi pada beberapa orang.

d. Postpartum Thyroiditis

Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah melahirkan dan terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali normal secara perlahan-lahan.

2.3 Etiologi

Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves, suatu penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk menghasilkan hormon yang berlebihan.

Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit graves adalah:

  1. Toksisitas pada strauma multinudular
  2. Adenoma folikular fungsional atau karsinoma (jarang)
  3. Edema hipofisis penyekresi-torotropin (hipertiroid hipofisis)
  4. Tumor sel benih, misal karsinoma (yang kadang dapat menghasilkan bahan mirip-TSH) atau teratoma (yang mengandung jarian tiroid fungsional)
  5. Tiroiditis (baik tipe subkutan maupun hashimato) yang keduanya dapat berhubungan dengan hipertiroid sementara pada fase awal.

2.4 Patofisiologi

Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika. Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.

Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang “menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel, dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.

Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.

2.5 Manifestasi Klinis

Pada stadium yang ringan sering tanpa keluhan. Demikian pula pada orang usia lanjut, lebih dari 70 tahun, gejala yang khas juga sering tidak tampak. Tergantung pada beratnya hipertiroid, maka keluhan bisa ringan sampai berat. Keluhan yang sering timbul antara lain adalah :

  1. a. Peningkatan frekuensi denyut jantung
  2. b. Peningkatan tonus otot, tremor, iritabilitas, peningkatan kepekaan terhadap katekolamin
  3. c. Peningkatan laju metabolisme basal, peningkatan pembentukan panas, intoleran terhadap panas, keringat berlebihan
  4. d. Penurunan berat badan (tampak kurus), peningkatan rasa lapar (nafsu makan baik)
  5. e. Peningkatan frekuensi buang air besar
  6. f. Gondok (biasanya), yaitu peningkatan ukuran kelenjar tiroid
  1. g. Gangguan reproduksi
  2. h. Tidak tahan panas
  3. i. Cepat letih
  4. j. Tanda bruit
  5. k. Haid sedikit dan tidak tetap
  6. l. Mata melotot (exoptalmus).

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosa bergantung kepada beberapa hormon berikut ini:

    1. Pemeriksaan darah yang mengukur kadar HT (T3 dan T4), TSH, dan TRH akan memastikan diagnosis keadaan dan lokalisasi masalah di tingkat susunan saraf pusat atau kelenjar tiroid.
    2. TSH (Tiroid Stimulating Hormone)
    3. Bebas T4 (tiroksin)
    4. Bebas T3 (triiodotironin)
    5. Diagnosa juga boleh dibuat menggunakan ultrasound untuk memastikan pembesaran kelenjar tiroid
    6. Hipertiroidisme dapat disertai penurunan kadar lemak serum
    7. Penurunan kepekaan terhadap insulin, yang dapat menyebabkan hiperglikemia.

2.7 Penatalaksanaan

Konservatif

Tata laksana penyakit Graves

2.7.1 Obat Anti-Tiroid. Obat ini menghambat produksi hormon tiroid. Jika dosis berlebih, pasien mengalami gejala hipotiroidisme.

  1. Pengobatan jangka panjang dengan obat-obat antitiroid seperti PTU atau methimazol, yang diberikan paling sedikit selama 1 tahun. Obat-obat ini menyekat sintesis dan pelepasan tiroksin.

Penyekat beta seperti propranolol diberikan bersamaan dengan obat-obat antitiroid. Karena manifestasi klinis hipertiroidisme adalah akibat dari pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat beta; penyekat beta manurunkan takikardia, kegelisahan dan berkeringat yang berlebihan. Propranolol juga menghambat perubahan tiroksin perifer menjadi triiodotironin. Indikasi :

1) Mendapat remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan – sedang dan tiroktosikosis

2) Untuk mengendalikan tiroktosikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif

3) Persiapan tiroidektomi

4) Pasien hamil, usia lanjut

5) Krisis tiroid

Penyekat adinergik ß pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian anti tiroid. Propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-8 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta Lab.FT4/T4/T3 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat anti tiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah tejadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid di hentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi kolaps.

Lama terapi dengan obat-obat antitiroid pada penyakit Graves cukup bervariasi dan dapat berkisar dari 6 bulan sampai 20 tahun. Remisi yang dipertahankan dapat diramalkan dengan karakteristik sebagai berikut:

1) Kelenjar tiroid kemabali normal ukurannya

2) Pasien dikontrol dengan obat antitiroid dosis yang relative kecil

3) TSH R Ab [stim] tidak lagi dideteksi dalam serum

4) Jika kelenjar tiroid kembali secara normal bisa disupresi setelah pemberian liotironin.

Surgical

2.7.2 Radioaktif iodine

Tindakan ini adalah untuk memusnahkan kelenjar tiroid yang hiperaktif, kontraindikasi untuk anak-anak dan wanita hamil.

2.7.3 Tiroidektomi

Tindakan Pembedahan ini untuk mengangkat kelenjar tiroid yang membesar.

2.8 Komplikasi

Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 1060F), dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan kematian.

Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid.

Hipertiroid yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.

PATOFISIOLOGI GOITER / GONDOK

2.1 Definisi

Goiter adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Pembesaran ini dapat memiliki fungsi kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien tyroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon (hipetiroidisme). Terlihat pembengkakan atau benjolan besar pada leher sebelah depan (pada tenggorokan) dan terjadi akibat pertumbuhan kelenjar tiroid yang tidak normal.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid ialah organ endokrin yang terletak di leher manusia. Fungsinya ialah mengeluarkan hormon tiroid. Hormon yang terpenting ialah Thyroxine (T4) dan Triiodothyronine (T3).

Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus, satu di sebelah kanan dan satu lagi disebelah kiri. Keduanya dihubungkan oleh suatu struktur ( yang dinamakan isthmus atau ismus). Setiap lobus berbentuk seperti buah pir. Kelenjar tiroid mempunyai satu lapisan kapsul yang tipis dan pretracheal fascia. Pada keadaan tertentu kelenjar tiroid aksesoria dapat ditemui di sepanjang jalur perkembangan embriologi tiroid.

Sel tiroid adalah satu-satunya sel dalam tubuh manusia yang dapat menyerap iodin atau yodium yang diambil melalui pencernaan makanan. Iodin ini akan bergabung dengan asam amino tirosin yang kemudian akan diubah menjadi T3 (triiodotironin) dan T4 (tiroksin). Dalam keadaan normal pengeluaran T4 sekitar 80% dan T3 15%. Sedangkan yang 5% adalah hormon-hormon lain seperti T2.

T3 dan T4 membantu sel mengubah oksigen dan kalori menjadi tenaga (ATP = adenosin tri fosfat). T3 bersifat lebih aktif daripada T4. T4 yang tidak aktif itu diubah menjadi T3 oleh enzim 5-deiodinase yang ada di dalam hati dan ginjal. Proses ini juga berlaku di organ-organ lain seperti hipotalamus yang berada di otak tengah.

Hormon-hormon lain yang berkaitan dengan fungsi tiroid ialah TRH (thyroid releasing hormon) dan TSH (thyroid stimulating hormon). Hormon-hormon ini membentuk satu sistem aksis otak (hipotalamus dan pituitari)- kelenjar tiroid. TRH dikeluarkan oleh hipotalamus yang kemudian merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan TSH. TSH yang dihasilkan akan merangasang tiroid untuk mengeluarkan T3 dan T4. Oleh kerena itu hal yang mengganggu jalur di atas akan menyebabkan produksi T3 dan T4.

Adapun struktur tiroid terdiri atas sejumlah besar vesikel-vesikel yang dibatasi oleh epitelium silinder disatukan oleh jaringan ikat sel-selnya mengeluarkan sera. Adapun fungsi kelenjar tiroid adalah:

1. Bekerja sebagai perangsang proses oksidasi

2. Mengatur pengguanaan oksidasi

3. Mengatur pengeluaran karbondioksida

4. Metabolik dalam hal pengaturan susunan kimia dalam jaringan

5. Pada anak mempengaruhi perkembangan fisik dan mental.

2.3 Etiologi

a. Defisiensi Yodium.

Yodium sendiri dibutuhkan untuk membentuk hormon tyroid yang nantinya akan diserap di usus dan disirkulasikan menuju bermacam-macam kelenjar. Kelenjar tersebut diantaranya:

  1. Choroid
  2. Ciliary body
  3. Kelenjar susu
  4. Plasenta
  5. Kelenjar air ludah
  6. Mukosa lambung
  7. Intenstinum tenue
  8. Kelenjar gondok

Sebagaian besar unsur yodium ini dimanfaatkan di kelenjar gondok. Jika kadar yodium di dalam kelenjar gondok kurang, dipastikan seseorang akan mengidap penyakit gondok.

  1. Tiroiditis Hasimoto’s

Ini adalah kondisi autoimun di mana terdapat kerusakan kelenjar tiroid oleh sistem kekebalan tubuh sendiri. Sebagai kelenjar menjadi lebih rusak, kurang mampu membuat persediaan yang memadai hormon tiroid.

  1. Penyakit Graves

Sistem kekebalan menghasilkan satu protein, yang disebut tiroid stimulating imunoglobulin (TSI). Seperti dengan TSH, TSI merangsang kelenjar tiroid untuk memperbesar memproduksi sebuah gondok.

  1. Multinodular Gondok

Individu dengan gangguan ini memiliki satu atau lebih nodul di dalam kelenjar tiroid yang menyebabkan pembesaran. Hal ini sering terdeteksi sebagai nodular pada kelenjar perasaan pemeriksaan fisik. Pasien dapat hadir dengan nodul tunggal yang besar dengan nodul kecil di kelenjar, atau mungkin tampil sebagai nodul beberapa ketika pertama kali terdeteksi.

  1. Kanker Tiroid

Thyroid dapat ditemukan dalam nodul tiroid meskipun kurang dari 5 persen dari nodul adalah kanker. Sebuah gondok tanpa nodul bukan merupakan resiko terhadap kanker.

f. Kehamilan

Sebuah hormon yang disekresi selama kehamilan Chorionic manusia (gonadotropin) dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.

  1. Tiroiditis

Peradangan dari kelenjar tiroid sendiri dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar tiroid. Hal ini dapat mengikuti penyakit virus atau kehamilan.

2.4 Klasifikasi Goiter

1. Goiter kongenital

Hampir selalu ada pada bayi hipertiroid kongenital, biasanya tidak besar dan sering terjadi pada ibu yang memiliki riwayat penyakit graves.

2. Goiter endemik dan kretinisme

Biasa terjadi pada daerah geografis dimana detistensi yodium berat, dekompensasi dan hipotiroidisme dapat timbul karenanya, goiter endemik ini jarang terjadi pada populasi yang tinggal disepanjang laut.

3. Goiter sporadis

Goiter yang terjadi oleh berbagai sebab diantaranya tiroiditis fositik yang terjadi lazim pada saudara kandung, dimulai pada awal kehidupan dan kemungkinan bersama dengan hipertiroidisme yang merupakan petunjuk penting untuk diagnosa. Digolongkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :

  1. a. Goiter yodium

Goiter akibat pemberian yodium biasanya keras dan membesar secara difus, dan pada beberapa keadaan, hipotirodisme dapat berkembang.

b. Goiter sederhana (Goiter kollot)

Yang tidak diketahui asalnya. Pada pasien bistokgis tiroid tampak normal atau menunjukan berbagai ukuran follikel, koloid dan epitel pipih.

c. Goiter multinodular

Goiter keras dengan permukaan berlobulasi dan tunggal atau banyak nodulus yang dapat diraba, mungkin terjadi perdarahan, perubahan kistik dan fibrosis.

4. Goiter intratrakea

Tiroid intralumen terletak dibawah mukosa trakhea dan sering berlanjut dengan tiroid ekstratrakea yang terletak secara normal.

Klasifikasi Goiter menurut WHO :

1. Stadium O – A: tidak ada goiter.

2. Stadium O – B: goiter terdeteksi dari palpasi tetapi tidak terlihat walaupun leher terekstensi penuh.

3. Stadium I : goiter palpasi dan terlihat hanya jika leher terekstensi penuh.

4. Stadium II: goiter terlihat pada leher dalam Potersi.

5. Stadium III : goiter yang besar terlihat dari Darun.

2.5 Patofisiologi

Aktifitas utama kelenjar tiroid adalah untuk berkonsentrasi yodium dari darah untuk membuat hormon tiroid. Kelenjar tersebut tidak dapat membuat hormon tiroid cukup jika tidak memiliki cukup yodium. Oleh karena itu, dengan defisiensi yodium individu akan menjadi hipotiroid. Akibatnya, tingkat hormon tiroid terlalu rendah dan mengirim sinyal ke tiroid. Sinyal ini disebut thyroid stimulating hormone (TSH). Seperti namanya, hormon ini merangsang tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid dan tumbuh dalam ukuran yang besar Pertumbuhan abnormal dalam ukuran menghasilkan apa yang disebut sebuah gondok

Kelenjar tiroid dikendalikan oleh thyroid stimulating hormone (TSH) yang juga dikenal sebagai thyrotropin. TSH disekresi dari kelenjar hipofisis, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh hormon thyrotropin releasing hormon (TRH) dari hipotalamus. Thyrotropin bekerja pada reseptor TSH terletak pada kelenjar tiroid. Serum hormon tiroid levothyroxine dan triiodothyronine umpan balik ke hipofisis, mengatur produksi TSH. Interferensi dengan sumbu ini TRH hormon tiroid TSH menyebabkan perubahan fungsi dan struktur kelenjar tiroid. Stimulasi dari reseptor TSH dari tiroid oleh TSH, TSH reseptor antibodi, atau agonis reseptor TSH, seperti chorionic gonadotropin, dapat mengakibatkan gondok difus. Ketika sebuah kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi, atau sel ganas metastasis untuk tiroid terlibat, suatu nodul tiroid dapat berkembang.

Kekurangan dalam sintesis hormon tiroid atau asupan menyebabkan produksi TSH meningkat. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan cellularity dan hiperplasia kelenjar tiroid dalam upaya untuk menormalkan kadar hormon tiroid. Jika proses ini berkelanjutan, maka akan mengakibatkan gondok. Penyebab kekurangan hormon tiroid termasuk kesalahan bawaan sintesis hormon tiroid, defisiensi yodium, dan goitrogens.

Gondok dapat juga terjadi hasil dari sejumlah agonis reseptor TSH. Pendorong reseptor TSH termasuk antibodi reseptor TSH, resistensi terhadap hormon tiroid hipofisis, adenoma kelenjar hipofisis hipotalamus atau, dan tumor memproduksi human chorionic gonadotropin.

Pemasukan iodium yang kurang, gangguan berbagai enzim dalam tubuh, hiposekresi TSH, glukosil goitrogenik (bahan yang dapat menekan sekresi hormone tiroid), gangguan pada kelenjar tiroid sendiri serta factor pengikat dalam plasma sangat menentukan adekuat tidaknya sekresi hormone tiroid. Bila kadar – kadar hormone tiroid kurang maka akan terjadi mekanisme umpan balik terhadap kelenjar tiroid sehingga aktifitas kelenjar meningkat dan terjadi pembesaran (hipertrofi).

Dampak goiter terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ lain di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Goiter dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia yang akan berdampak terhadap gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Penekanan pada pita suara akan menyebabkan suara menjadi serak atau parau.

Bila pembesaran keluar, maka akan memberi bentuk leher yang besar dapat simetris atau tidak, jarang disertai kesulitan bernapas dan disfagia. Tentu dampaknya lebih ke arah estetika atau kecantikan. Perubahan bentuk leher dapat mempengaruhi rasa aman dan konsep diri klien.

2.6 Manifestasi klinis

Gejala utama :

  1. Pembengkakan, mulai dari ukuran sebuah nodul kecil untuk sebuah benjolan besar, di bagian depan leher tepat di bawah Adam’s apple.
  2. Perasaan sesak di daerah tenggorokan.
  3. Kesulitan bernapas (sesak napas), batuk, mengi (karena kompresi batang tenggorokan).
  4. Kesulitan menelan (karena kompresi dari esofagus).
  5. Suara serak.
  6. Distensi vena leher.
  7. Pusing ketika lengan dibangkitkan di atas kepala
  8. Kelainan fisik (asimetris leher)

Dapat juga terdapat gejala lain, diantaranya :

  1. Tingkat peningkatan denyut nadi
  2. Detak jantung cepat
  3. Diare, mual, muntah
  4. Berkeringat tanpa latihan
  5. Goncangan
  6. Agitasi

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

  1. Pengukuran T3 (Triodothyroxin) dan T4 (Tiroksin)

Nilai normal pada orang dewasa adalah sebagai berikut :

Iodium bebas : 0,1-0,6 ml/dl

T3 : 0,2-0,3 ml/dl

T4 : 6-12 ml/dl

Nilai normal pada bayi/anak :

T3 : 180-240

Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi NaI peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Nilai normalnya 10-35%. Jika , 10% disebut menurun (hipotiroidisme), jika .35% disebut meninggi (hipertiroidisme).Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk :

  1. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya.
  2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
  3. Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
  4. Scintiscan yodium radio aktif dengan teknetium porkeknera, untuk melihat medulanya.
  5. Sidik ultrasoud untuk mendeteksi perubahan-perubahan kistik pada medula tiroid.

Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :

  1. Kista
  2. Adenoma
  3. Kemungkinan karsinoma
  4. Tiroiditis
  5. Foto polos leher dan dada atau berguna untuk menunjukan pergeseran trakea dan esofagus.
  6. Esofagogram untuk menunjukan goiter sebagai penyebab disfagia.

2.9 Penatalaksanaan

Perawatan akan tergantung pada penyebab gondok.

  1. Defisiensi Yodium

Gondok disebabkan kekurangan yodium dalam makanan maka akan diberikan suplementasi yodium melalui mulut. Hal ini akan menyebabkan penurunan ukuran gondok, tapi sering gondok tidak akan benar-benar menyelesaikan.

  1. Hashimoto Tiroiditis

Jika gondok disebabkan Hashimoto tiroiditis dan hipotiroid, maka akan diberikan suplemen hormon tiroid sebagai pil setiap hari. Perawatan ini akan mengembalikan tingkat hormon tiroid normal, tetapi biasanya tidak membuat gondok benar-benar hilang. Walaupun gondok juga bisa lebih kecil, kadang-kadang ada terlalu banyak bekas luka di kelenjar yang memungkinkan untuk mendapatkan gondok yang jauh lebih kecil. Namun, pengobatan hormon tiroid biasanya akan mencegah bertambah besar.

  1. Hipertiroidisme

Jika gondok karena hipertiroidisme, perawatan akan tergantung pada penyebab hipertiroidisme. Untuk beberapa penyebab hipertiroidisme, perawatan dapat menyebabkan hilangnya gondok. Misalnya, pengobatan penyakit Graves dengan yodium radioaktif biasanya menyebabkan penurunan atau hilangnya gondok.

Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).

  1. Obat antitiroid

Indikasi :

  1. Terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan tirotoksikosis.
  2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
  3. Persiapan tiroidektomi
  4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
  5. Pasien dengan krisis tiroid

Obat antitiroid yang sering digunakan :

Karbimazol 30-60 5-20
Metimazol 30-60 5-20
Propiltourasil 300-600 5-200
  1. Pengobatan dengan yodium radioaktif

Indikasi :

  1. Pasien umur 35 tahun atau lebih
  2. Hipertiroidisme yang kambuh
  3. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
  4. Adenoma toksik, goiter multinodular toksik
  1. Operasi

Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme.

Indikasi :

  1. Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat antitiroid.
  2. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid dosis besar
  3. Alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif
  4. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik
  5. Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
  6. Multinodular

Banyak gondok, seperti gondok multinodular, terkait dengan tingkat normal hormon tiroid dalam darah. Gondok ini biasanya tidak memerlukan perawatan khusus setelah dibuat diagnosa yang tepat.

2.8 Pencegahan

a. Penggunaan yodium yang cukup, makan makanan yang banyak mengandung yodium, seperti ikan laut, ganggang-ganggangan dan sayuran hijau. Untuk penggunaan garam beryodium dalam masakan perlu diperhatikan. Garam yodium bisa ditambahkan setelah masakan matang, bukan saat sedang memasak sehingga yodium tidak rusak karena panas.

  1. Pada ibu hamil dianjurkan agar tidak menggunakan obat-obatan yang beresiko untuk ketergantungan goiter kongenital.
  2. Hindari mengkonsumsi secara berlebihan makanan-makanan yang mengandung goitrogenik glikosida agent yang dapat menekan sekresi hormone tiroid seperti ubi kayu, jagung, lobak, kankung, dan kubis.

PATOFISIOLOGI DIABETES MELITUS

2.1 Anatomi dan fisiologi Pankreas

2.1.1 Anatomi Pankreas

Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki fungsi utama yaitu untuk menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin dan glukagon. Kelenjar pankreas terletak pada bagian belakang lambung dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari), strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah. Jaringan pankreas terdiri atas lobula dari sel sekretori yang tersusun mengitari saluran-saluran halus. Saluran-saluran ini mulai dari persambungan saluran-saluran kecil dari lobula yang terletak di dalam ekor pankreas dan berjalan melalui badannya dari kiri ke kanan. (http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1835479-pankreas/).

Panjangnya kira-kira 15 cm dan mengandung sekumpulan sel yang disebut kepulauan Langerhans, dinamakan Langerhans atas penemunya, Paul Langerhans pada tahun 1869. Pulau Langerhans, terdiri dari dua macam sel yaitu alfa dan beta. Tiap pankreas mengandung lebih kurang 100.000 pulau Langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel beta Sel beta memproduksi insulin sedangkan sel-sel alfa memproduksi glukagons, Juga ada sel delta yang mengeluarkan somatostatin dan sel polipeptida pankreas yang mensekresi hormon polipeptida pankreas.

Gambar 1 : Penampang pulau lagerhans pada pankreas

( Sumber:http://health.howstuffworks.com), 2010

Pankreas dibagi menurut bentuknya :

1. Kepala (kaput) yang paling lebar terletak di kanan rongga abdomen, masuk

lekukan sebelah kiri duodenum yang praktis melingkarinya.

2. Badan (korpus) menjadi bagian utama terletak dibelakang lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama.

3.Ekor (kauda) adalah bagian runcing di sebelah kiri sampai menyentuh pada limpa (lien).

2. 1.2 Fisiologi Pankreas

Pankreas disebut sebagai organ rangkap, mempunyai dua fungsi yaitu sebagai kelenjar eksokrin dan kelenjar endokrin. Kelenjar eksokrin menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis protein, lemak, dan karbohidrat; sedangkan endokrin menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang memegang peranan penting pada metabolisme karbohidrat. Kedua hormon ini langsung masuk dalam peredaran darah dan digunakan untuk mengatur jumlah gula dalam darah. Insulin akan mengubah kelebihan glukosa darah menjadi glikogen untuk kemudian menyimpannya di dalam hati dan otot. Suatu saat ketika tubuh membutuhkan tambahan energi, glikogen yang tersimpan di dalam hati akan diubah oleh glukagon menjadi glukosa yang dapat digunakan sebagai energi tambahan.

A. Pankreas menghasilkan :
1. Garam NaHCO3 : membuat suasana basa.
2. Karbohidrase : amilase ubah amilum → maltosa.
3. Dikarbohidrase : a.maltase ubah maltosa → 2 glukosa.

b.Sukrase ubah sukrosa → 1 glukosa + 1 fruktosa.

c.Laktase ubah laktosa → 1 glukosa + 1 galaktosa.

4. Lipase mengubah lipid → asam lemak + gliserol.
5. Enzim entrokinase mengubah tripsinogen → tripsin dan ubah pepton → asam amino.

B. Sistem kendali pada sekresi pankreas.

Sekresi eksokrin pankreas dipengaruhi oleh aktivitas refleks saraf selama tahap sefalik dan lambung pada sekresi lambung.

C. Komposisi cairan pankreas.
Cairan pankreas mengandung enzim-enzim untuk mencerna protein,

karbohidrat, dan lemak.

1. Enzim proteolitik pankreas (protease)

a. Tripsinogen yang disekresi pankreas diaktivasi menjadi tripsin oleh enterokinase yang diproduksi usus halus. Tripsin mencerna protein dan polipeptida besar untuk membentuk polipeptida besar untuk membentuk polipeptida dan peptida yang lebih kecil.

b. Kimotripsin teraktivasi dari kimotripsinogen oleh tripsin. Kimotripsin memiliki fungsi yang sama seperti tripsin terhadap rotein.

c.Karboksipeptidase, aminopeptidase, dan dipeptidase adalah enzim yang melanjutkan proses pencernaan protein untuk menghasilkan asam amino bebas.

2. Lipase pankreas
Menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol setelah lemak diemulsi oleh garam-garam empedu.

3. Amilase pankreas
Menghidrolisis zat tepung yang tidak tercerna oleh amilase saliva menjadi disakarida (maltosa, sukrosa, dan laktosa)

4. Ribonuklease dan deoksiribonuklease
Menghidrolisis RNA dan DNA menjadi blok-blok pembentuk nukleotidanya.

D. Kepulauan Langerhans

Membentuk organ endokrin yang menyekresikan insulin, yaitu sebuah homron antidiabetika, yang diberikan dalam pengobatan diabetes. Insulin ialah sebuah protein yang dapat turut dicernakan oleh enzim-enzim pencerna protein dan karena itu tidak diberikan melalui mulut melainkan dengan suntikan subkutan. Trus,obat anti diadetes yang per oral mengandung apa dunk? Insulin mengendalikan kadar glukosa dan bila digunakan sebagia pengobatan dalam hal kekurangan seperti pada diabetes, ia memperbaiki kemampuan sel tubuh untuk mengasorpsi dan menggunakan glukosa dan lemak.

Pada pankreas paling sedikit terdapat empat peptida dengan aktivitas hormonal yang disekresikan oleh pulau-pulau (islets) Langerhans. Dua dari hormon-hormon tersebut, insulin dan glukagon memiliki fungsi penting dalam pengaturan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Hormon ketiga, somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi sel pulau, dan yang keempat polipeptida pankreas berperan pada fungsi saluran cerna.

2. 3 Hormon Insulin

Insulin merupakan protein kecil, terdiri dari dua rantai asam amino yang satu sama lainnya dihubungkan oleh ikatan disulfida. Bila kedua rantai asam amino dipisahkan, maka aktivitas fungsional dari insulin akan hilang. Translasi RNA insulin oleh ribosom yang melekat pada reticulum endoplasma membentuk preprohormon insulin à melekat erat pada reticulum endoplasma à membentuk proinsulin à melekat erat pada alat golgi à membentuk insulin à terbungkus granula sekretorik dan sekitar seperenam lainnya tetap menjadi proinsulin yang tidak mempunyai aktivitas insulin.

Insulin dalam darah beredar dalam bentuk yang tidak terikat dan memilki waktu paruh 6 menit. Dalam waktu 10 sampai 15 menit akan dibersihkan dari sirkulasi. Kecuali sebagian insulin yang berikatan dengan reseptor yang ada pada sel target, sisa insulin didegradasi oleh enzim insulinase dalam hati, ginjal, otot, dan dalam jaringan yang lain.
Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit yang saling berikatan bersama oleh ikatan disulfide, 2 subunit alfa ( terletak seluruhnya di luar membrane sel ) dan 2 subunit beta ( menembus membrane, menonjol ke dalam sitoplasma ). Insulin berikatan dengan subunit alfa à subunit beta mengalami autofosforilasi à protein kinase à fosforilasi dari banyak enzim intraselular lainnya. (http://dok-tercantik.blogspot.com/2009/01/pankreas-fisiologi.html)

Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino dari penyimpanan ke dalam aliran darah. Kedua hormon ini bersifat berlawanan dalam efek keseluruhannya dan pada sebagian besar keadaan disekresikan secara timbal balik. Insulin yang berlebihan menyebabkan hipoglikemia, yang menimbulkan kejang dan koma.

Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan diabetes melitus, suatu penyakit kompleks yang bila tidak diobati dapat mematikan. Defisiensi glukagon dapat menimbulkan hipoglikemia, dan kelebihan glukagon menyebabkan diabetes memburuk. Produksi somatostatin yang berlebihan oleh pankreas menyebabkan hiperglikemia dan manifestasi diabetes lainnya.

Dibetes melitus dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai penyakit kencing manis. Dimana terjadi karena terjadi peningkatan kadar gula (glukosa) dalam darah yang berlebihan dan terjadi secara menahun. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan secara etiologi menjadi tiga, yaitu Diabetes Melitus tipe 1, tipe 2, dan tipe 3. (http://www.docstoc.com/docs/21637162/Anatomi-dan-Fisiologi-Pankreas/)

A. Sintesis Insulin

  1. Insulin disintesis oleh sel-sel beta, terutama ditranslasikan ribosom yang melekat pada retikulum endoplasma (mirip sintesis protein) dan menghasilkan praprohormon insulin dengan berat molekul sekitar 11.500.
  2. Kemudian praprohormon diarahkan oleh rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofibik dan mengandung 23 asam amino ke dalam sisterna retikulum endoplasma.

Gambar 2: Struktur kovalen insulin manusia

(Sumber: http://bigworld027.wordpress.com), 2010

  1. Di retikulum endoplasma, praprohormon ini dirubah menjadi proinsulin dengan berat molekul kira-kira 9000 dan dikeluarkan dari retikulum endoplasma.
  2. Molekul proinsulin diangkut ke aparatus golgi, di sini proteolisis serta pengemasan ke dalam granul sekretorik dimulai.
  3. Di aparatus golgi, proinsulin yang semua tersusun oleh rantai B—peptida (C) penghubung—rantai A, akan dipisahkan oleh enzim mirip tripsin dan enzim mirip karboksipeptidase.
  4. Pemisahan itu akan menghasilkan insulin heterodimer (AB) dan C peptida. Peptida-C dengan jumlah ekuimolar tetap terdapat dalam granul, tetapi tidak mempunyai aktivitas biologik yang diketahui.

(http://bigworld027.wordpress.com/2009/02/18/pankreas-sebagai-pengatur-kadar-gula-darah/ )

B. Sekresi Insulin

Gambar 3: Mekanisme kerja insulin (sumber: http://stemcells.nih.gov),2010

Sekresi insulin merupakan proses yang memerlukan energi dengan melibatkan sistem mikrotubulus-mikrofilamen dalam sel B pada pulau Lengerhans. Sejumlah kondisi intermediet turut membantu pelepasan insulin :

  1. Glukosa: apabila kadar glukosa darah melewati ambang batas normal—yaitu 80-100 mg/dL–maka insulin akan dikeluarkan dan akan mencapai kerja maksimal pada kadar glukosa 300-500 mg/dL.
  2. Dalam waktu 3 sampai 5 menit sesudah terjadi peningkatan segera kadar glukosa darah, insulin meningkat sampai hampir 10 kali lipat. Keadaan ini disebabkan oleh pengeluaran insulin yang sudah terbentuk lebih dahulu oleh sel beta pulau langerhans pankreas. Akan tetapi, kecepatan sekresi awal yang tinggi ini tidak dapat dipertahankan, sebaliknya, dalam waktu 5 sampai 10 menit kemudian kecepatan sekresi insulin akan berkurang sampai kira-kira setengah dari kadar normal.
  3. Kira-kira 15 menit kemudian, sekresi insulin meningkat untuk kedua kalinya, sehingga dalam waktu 2 sampai 3 jam akan mencapai gambaran seperti dataran yang baru, biasanya pada saat ini kecepatan sekresinya bahkan lebih besar daripada kecepatan sekresi pada tahap awal. Sekresi ini disebabkan oleh adanya tambahan pelepasan insulin yang sudah lebih dahulu terbentuk dan oleh adanya aktivasi system enzim yang mensintesis dan melepaskan insulin baru dari sel.
  4. Naiknya sekresi insulin akibat stimulus glukosa menyebabkan meningkatnya kecepatan dan sekresi secara dramatis. Selanjutnya, penghentian sekresi insulin hampir sama cepatnya, terjadi dalam waktu 3 sampai 5 menit setelah pengurangan konsentrasi glukosa kembali ke kadar puasa.
  5. Peningkatan glukosa darah meningkatkan sekresi insulin dan insulin selanjutnya meningkatkan transport glukosa ke dalam hati, otot, dan sel lain, sehingga mengurangi konsentrasi glukosa darah kembali ke nilai normal.

2. Asam amino ( arginin dan lisin )

a. Pemberian asam peningkatan sekresi amino sewaktu tidak ada peningkatan kadar glukosa darah insulin sedikit saja.

b. Bila pemberian insulin pada saat terjadi sekresi insulin yang diinduksi oleh glukosa dapat peningkatan glukosa darah berlipat ganda saat kelebihan asam amino.

c. Jadi, asam amino sangat memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin. Tampaknya perangsangan sekresi insulin oleh asam amino merupakan respons yang sangat bermakna sebab insulin sendiri sebaliknya meningkatkan pengangkutan asam amino ke dalam sel jaringan demikian juga meningkatkan pembentukan protein intraselular. Sehingga hal ini menyebabkan insulin sangat berguna untuk pemakaian asam amino yang berlebihan.

  1. Faktor Hormonal: ada beberapa hormon yang meningkatkan insulin dalam darah, yaitu epinefrin (meningkatkan cAMP intrasel), kortisol, laktogen plesenta, esterogen dan progestatin.
  2. Preparat Farmakologi: banyak obat merangsang sekresi insulin, tetapi preparat yang digunakan paling sering untuk terapi diabetes pada manusia adalah senyawa sulfaonilurea.

Faktor lain yang dapat merangsang sekresi insulin

1. Asam amino

Yang paling berpengaruh arginin dan lisin. Apabila pemberian asam amino dilakukan pada tidak ada peningkata glukosa darah, hanya menyebabkan peningkatan sekresi insulin sedikit saja. Apabila pemberian ini dilakukan ketika terjadi peningkatan glukosa darah maka terjadi hipersekresi dari insulin. Tampaknya perangsangan insulin oleh asam amino merupakan respon yang sangat bermakna sebab insulin sendiri sebaliknya meningkatkan pengangkutan asam amino kedalam sel-sel jaringan demikian juga meningkatkan pembentukan protein intraselular. Jadi insulin sangat berguna untuk pemakaian asam amino yang berlebih dalam cara yang sama bahwa insulin penting bagi penggunaan karbohidrat. Jadi asam amino ini dapat memperkuat rangsangan glukosa terhadap sekresi insulin.

2. Hormon gastrointestinal

Campuran beberapa hormon yang pencernaan yang penting gastrin,sekretin, kolesistokinin, dan peptida penghambat asam lambung (yang tampaknya merupakan hormon terkuat yang dikeluarkan oleh kelenjar pencernaan) akan meningkatkan sekresi insulin dalam jumlah banyak. Hormon ini dilepaska ketika setelah makan. Selanjutnya hormon ini akan menyebabkan antisipasi insulin dalam darah yang merupakan suatu persiapan agar glukosa dan asam amino dapat diabsorbsi. Hormon ini bekerja sama dengan asam amino yaitu meningkatkan sensitivitas respon insulin untuk meningkatkan glukosa darah, yang hampir mengadakan kecepatan sekresi insulin bersamaan dengan naiknya glukosa darah.

3. Hormon lain dan sistem saraf otonom

Hormon-hormon yang dapat meningkatkan sekresi insulin : glukagon, hormon pertumbuhan, kortisol, dan yang lebih lemah adalah progesteron dan estrogen .pemanjangan sekresi hormon insulindalam jumlah besar kadang dapat menyebabkan sel beta mengalami kelelahan dan dapat menyebabkan diabetes.
Pada beberapa keadaan, perangsangan saraf parasimpatis dan saraf simpatis terhadap pankreas juga meningkatkan sekresi insulin.

C. Mekanisme kerja dan metabolisme insulin

Insulin merupakan hormon yang berfungsi sebagai second messenger yang merangsang dengan potensial listrik. Beberapa peristiwa yang terjadi setelah insulin berikatan dengan reseptor membran:

  1. Terjadi perubahan bentuk reseptor.
  2. Reseptor akan berikatan silang dan membentuk mikroagregat.
  3. Reseptor diinternalisasi.
  4. Dihasilkan satu atau lebih sinyal. Setelah peristiwa tersebut, glukosa akan masuk ke dalam sel dan membentuki glikogen.

Insulin yang telah terpakai maupun yang tidak terpakai, akan dimetabolisme. Ada dua mekanisme untuk metabolisme insulin:

  1. Melibatkan enzim protese spesifik-insulin yang terdapat pada banyak jaringan, tetapi banyak terdapat pada hati, ginjal, dan plasenta.
  2. Melibatkan enzim hepatik glutation-insulin transhidrogenase, yang mereduksi ikatan disulfida, dan kemudian rantai A dan B masing-masing diuraikan dengan cepat.

D. Fungsi Insulin

Fungsi spesifik dari hormon insulin adalah untuk menstimulasi proses glikogenesis, lipogenesis, dan sintesis protein.

E. Efek perangsangan insulin

  1. Setelah insulin berikatan dengan membrane reseptornya à sel tubuh sangat permeable terhadap glukosa à glukosa masuk dengan cepat dalam sel à di dalam sel, glukosa dengan cepat difosforilasi à menjadi zat yang diperlukan untuk fungsi metabolisme karbohidrat. Peningkatan transport glukosa à karena penyatuan berbagai vesikel intraselular dengan membrane sel à vesikel ini sendiri membawa molekul membrane protein transport glukosanya .Hal ini terutama terjadi pada sel otot dan sel lemak tetapi tidak terjadi pada sebagian besar sel neuron dalam otak. Bila tidak ada insulin, vesikel ini terpisah dari membrane sel à bergerak kembali ke dalam sel.
  2. Membrane sel lebih permeable terhadap asam amino, ion kalium, ion fosfat à meningkatkan permeabilitas membrane terhadap glukosa.
  3. Perubahan kecepatan translasi mRNA pada ribosom dan perubahan kecepatan transkripsi DNA dalam inti sel.
    1. A. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Karbohidrat
  4. Jaringan otot bergantung pada asam lemak untuk energinya karena membrane otot istirahat yang normal sedikit permeable terhadap glukosa kecuali dirangsang oleh insulin
  5. Otot akan menggunakan sejumlah glukosa selama kerja fisik sedang atau berat dan selama beberapa jam setelah makan karena sejumlah besar insulin disekresikan.
  6. Setelah makan à glukosa darah naik à insulin naik à penyimpanan glukosa dalam bentuk glikogen dalam hati, otot, dan sel jaringan lainnya.
  7. Glikogen ini dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang besar dan singkat dalam rangka menyediakan ledakan energi anaerobic melalui pemecahan glikolitik dari glikogen menjadi asam laktat dalam keadaan tidak ada oksigen.
  8. Insulin meningkatkan kecepatan transport glukosa dalam sel otot yang sedang istirahat paling sedikit 15 kali lipat.
  9. Insulin menyebabkan sebagian besar glukosa diabsorbsi sesudah makan à kemudian disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen à sehingga konsentrasi glukosa darah menurun à sekresi insulin menurun à glikogen dalam hati dipecah menjadi glukosa à dilepaskan kembali dalam darah à untuk menjaga konsentrasi glukosa darah tidak terlalu rendah.
  10. Insulin menghambat fosforilase hati à sehingga mencegah pemecahan glikogen dalam sel hati.
  11. Insulin meningkatkan pemasukan glukosa dari darah oleh sel hati à meningkatkan aktivitas enzim glukokinase à glukosa terjerat sementara dalam sel hati.
  12. Insulin meningkatkan aktivitas enzim yang meningkatkan sintesis glikogen ( enzim glikogen sintetase ).

10. Kadar glukosa darah turun à insulin turun à menghentikan sintesis glikogen dalam hati, mencegah ambilan glukosa oleh hati dari darah à enzim fosforilase aktif à pemecahan glikogen menjadi glukosa fosfat à oleh enzim glukosa fosfat, radikal fosfat lepas dari glukosa à glukosa masuk darah.

11. Bila jumlah glukosa yang masuk dalam hati hati lebih banyak daripada jumlah yang dapat disimpan sebagai glikogen / digunakan untuk metabolisme sel hepatosit setempat à insulin memacu pengubahan semua kelebihan glukosa menjadi asam lemak yang dibentuk sebagai trigliserida dalam bentuk LDL dan ditranspor dalam bentuk LDL melalui darah menuju jaringan adipose à yang ditimbun sebagai lemak.

12. Insulin menghambat glukoneogenesis à dengan menurunkan jumlah dan aktivitas enzim hati yang dibutuhkan untuk glukoneogenesis à hal ini disebabkan oleh kerja insulin yang menurunkan pelepasan asam amino dari otot dan jaringan ekstra hepatic lainnya.

13. Sel otak bersifat permeable terhadap glukosa walaupun tanpa insulin

14. Jika kadar glukosa rendah à terjadi renjatan hipoglikemik à ditandai dengan iritabilitas saraf progresif à penderita pingsan, kejang, koma.

B. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Protein

  1. Insulin menyebabkan pengangkutan secara aktif asam amino dalam sel. Insulin bersama GH meningkatkan pemasukan asam amino dalam sel. Akan tetapi, asam amino yang dipengaruhi bukanlah asam amino yang sama.
  2. Insulin meningkatkan translasi mRNA pada ribosom à terbentuk protein baru. Insulin dapat “menyalakan” mesin ribosom.
  3. Insulin meningkatkan kecepatan transkripsi DNA dalam inti sel à jumlah RNA naik à sintesis protein.
  4. Insulin menghambat proses katabolisme protein à mengurangi pelepasan asam amino dari sel dan mengurangi pemecahan protein oleh lisosom sel.
  5. Insulin menekan kecepatan glukoneogenesis à dengan mengurangi aktivitas enzim.
  6. Tidak ada insulin à penyimpanan protein terhenti à katabolisme protein meningkat à sintesis protein terhenti à asam amino tertimbun dalam plasma à konsentrasi asam amino plasma naik.
  7. Digunakan sebagai sumber energi dalam proses glukoneogenesis. Pemecahan asam amino ini meningkatkan eskresi ureum dalam urin.
    1. C. Efek Insulin Terhadap Metabolisme Lemak
    2. Pengaruh jangka panjang kekurangan insulin menyebabkan aterosklerosis hebat, serangan jantung, stroke, penyakit vascular lainnya.
    3. Insulin meningkatkan pemakaian glukosa dan mengurangi pemakaian lemak, sehingga berfungsi sebagai penghemat lemak.
    4. Insulin meningkatkan pembentukan asam lemak. Sintesis lemak dalam sel hati dan ditranspor dari hati melalui darah dalam bentuk lipoprotein menuju jaringan adipose untuk disimpan.
    5. Faktor yang mengarah pada peningkatan sintesis asam lemak dalam hati meliputi:
      - Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa dalam hati. Sesudah konsentrasi glikogen dalam hati meningkat 5 sampai 6 persen, glikogen ini akan menghambat sintesisnya sendiri. Seluruh glukosa tambahan dipakai untuk membentuk lemak. Glukosa dipecah menjadi piruvat melalui jalur glkolisis, dan piruvat ini selanjutnya diubah menjadi asetil ko-A, merupakan substrat asal untuk sintesis asam lemak.

- Kelebihan ion sitrat dan ion isositrat terbentuk oleh siklus asam sitrat bila pemakaian glukosa untuk energi ini berlebihan. Ion ini mempunyai efek langsung dalam mengaktifkan asetil ko-A karboksilase, yang dibutuhkan untuk proses karboksilasi asetil ko-A untuk membentuk malonil ko-A, tahap pertama sintesis asam lemak.

- Asam lemak dilepaskan dari sel à membentuk trigliserida à disintesis dalam hati à dalam darah dalam bentuk lipoprotein. Insulin mengaktifkan lipoprotein lipase yang memecah trigliserida menjadi asam lemak yang kemudian diabsorbsi dalam sel lemak dan diubah kembali menjadi trigliserida untuk disimpan.

  1. Insulin mempunyai 2 efek penting untuk menyimpan lemak dalam sel lemak:
    - Insulin menghambat kerja lipase sensitive hormon sehingga pelepasan asam lemak dari jaringan adipose ke dlaam sirkulasi darah terhambat.
    - Insulin meningkatkan pengangkutan glukosa melalui membrane sel dalam sel lemak. Glukosa ini dipakai untuk sintesis sedikit asam lemak.Yang lebih penting, glukosa dipakai untuk membentuk alfa gliserol fosfat. Bahan ini menyediakan gliserol berikatan dengan asam lemak membentuk trigliserida yang disimpan dalam sel lemak. Jika tidak ada insulin, penyimpanan asam lemak yang diangkut dari hati dalam bentuk lipoprotein hampir dihambat.
  2. Tidak ada insulin à enzim lipase sensitive hormon aktif à hidrolisis trigliserida yang disimpan dalam hati à melepaskan asam lemak+gliserol dalam darah à konsentrasi asam lemak dalam darah naik à dijadikan sumber energi utama bagi seluruh jaringan tubuh selain otak. Asam lemak yang berlebihan dalam plasma meningkatan pengubahan asam lemak menjadi fosfolipid+kolesterol. Konsentrasi kolesterol yang tinggi inilah yang mempercepat perkembangan aterosklerosis pada penderita diabetes yang parah.
  3. Tidak ada insulin à kelebihan asam lemak dalam sel hati à mekanisme pengangkutan karnitin à mengangkut asam lemak dalam mitokondria sangat aktif à dalam mitokondria, asam lemak melapas asetil ko-A à asam asetoasetat à dilepaskan dalam sirkulasi darah à sel perifer à asetil ko-A à energi. Perlu diingat, tidak semua asam asetoasetat dapat dimetabolisme di jaringan perifer karena jumlahnya yang banyak. Keadaan ini menyebabkan keadaan asidosis cairan tubuh yang berat. Asam asetoasetat diubah menjadi asam beta hidroksibutirat dan aseton. Ketiganya merupakan badan keton yang dapat menimbulkan ketosis. Sedangkan, asam aetoasetat dan asam beta hidroksibutirat menyebabkan asidosis à koma à kematian.

F. Peran Insulin ( Dan Hormon Lain ) Dalam “Pengalihan” Antara Metabolisme Karbohidrat Dan Metabolisme Lipid.

1. Insulin meningkatkan pemakain karbohidrat sebagai sumber energi dan menekan pemakaian lemak.

- Glukosa darah tinggi à insulin keluar à karbohidrat lebih dipakai daripada lemak à

kelebihan glukosa darah disimpan dalam bentuk glikogen hati, lemak hati, dan glikogen otot.

- Hormon yang mempengaruhi sekresi insulin:

a. GH, sekresi hormon ini merupakan respons terhadap hipoglikemia

b. Kortisol, sekresi hormon ini merupakan respons terhadap hipoglikemia

c. Epinefrin, meningkatkan konsentrasi glukosa dalam plasma selama stress yakni bila system saraf simpatis dirangsang, meningkatkan konsentrasi asam lemak dalam plasma, menyebabkan timbulnya proses glikogenolisis banyak glukosa dalam darah, mempunyai efek lipolitik terhadap sel, dalam hati mengaktifkan hormon jaringan lemak yang sensitive lipase, meningkatkan pemakaian lemak saat stress, saat kerja fisik, syok sirkulasi, kecemasan.

Gambar 4: Efek timbal balik antara glukagon dan insulin (Sumber: http://health.howstuffworks.com) 2010

I.Glukagon

Glukagon adalah antagonis dari insulin, yang tersusun atas 29 asam amino. Pada prinsipnya menaikkan kadar gula di dalam darah. Enzim ini diproduksi di sel A dari pankreas. Glukagon melewati dalam proses sintesisnya yang disebut sebagai limited proteolyse, yang artinya molekul glukagon berasal dari prohormon. Gen untuk glukagon selain di pankreas juga terdapat di otak dan sel enteroendokrin L di sistem pencernaan (Ileum dan Kolon).

Regulasi

  • Stimulus untuk sekresi dari glukagon adalah hipoglikemia atau jika konsentrasi asam amino turun di dalam darah setelah konsumsi makanan yang kaya protein. Walaupun begitu konsumsi makanan yang kaya mengandung protein tidak hanya menstimulasi pengeluaran hormon glukagon tetapi juga hormon insulin. Transmitter Hormon sistem saraf autonom seperti asetilkolin dan adrenalin lewat ß2 reseptor juga menstimulasi pengeluaran hormon glukagon. Selain itu juga sederetan hormon berikut yang diciptakan di sistem pencernaan gastrin, CCK, GIP, dan GH.
  • Inhibitor atau yang menghambat sekresi glukagon adalah hiperglikemia atau jika konsentrasi gula darah naik. Selanjutnya juga hormon insulin yang antagonisnya, somatostatin, GLP-1, GABA, sekretin, dan waktu makan yang kaya kandungan karbohidrat.

Fungsi Glukagon: melawan kerja insulin (stimulasi glikogenolisis dan lipolisis), stimulasi glukoneogenik.

II. Somatostatin

Prosomatostatin mempunyai 28 rantai asam amino, kemudian dirubah menjadi 14 asam amino. Proses sitesis ini berlangsung di dalan sel D pada pulau Langerhans atau di hipotalamus dan GIT.

Fungsi Somastotatin

  • menghambat sekresi hormon pertumbuhan
  • memperlambat pengosongan lambung
  • menurunkan produksi asam lambung dan gastrin
  • mengurangi sekresi pankreas eksokrin
  • menurunkan aliran darah alat-alat dalam
  • memperlambat absorpsi xilosa

III.Polipeptida Pankreas

Polipeptida pankreas mempunyai 36 asam amino, yang dihasilkan oleh sel F (sel PP). Sekresi hormon ini akan meningkat pada usia tua, penyalahgunaan narkoba, diare, hypoglycemia, GGK, dan inflamasi.

Fungsi Polipeptida Pankreas:

Menghambat kontraksi kantong empedu, mengatur produksi enzim pankreas, mempengaruhi absorbsi nutrisi oleh saluran pencernaan. Insulin bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam-asam lemak, dan asam-asam amino dari penyimpanan ke dalam aliran darah. Kedua hormon ini bersifat berlawanan dalam efek keseluruhannya dan pada sebagian besar keadaan disekresikan secara timbal balik. Insulin yang berlebihan menyebabkan hipoglikemia, yang menimbulkan kejang dan koma. Defisiensi insulin baik absolut maupun relatif, menyebabkan diabetes melitus, suatu penyakit kompleks yang bila tidak diobati dapat mematikan. Defisiensi glukagon dapat menimbulkan hipoglikemia, dan kelebihan glukagon menyebabkan diabetes memburuk. Produksi somatostatin yang berlebihan oleh pankreas menyebabkan hiperglikemia dan manifestasi diabetes lainnya. Diabetes melitus dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai penyakit kencing manis. Dimana terjadi karena terjadi peningkatan kadar gula (glukosa) dalam darah yang berlebihan dan terjadi secara menahun. Diabetes melitus dapat diklasifikasikan secara etiologi menjadi dua yaitu Diabetes tipe 1 dan Diabetes tipe 2.

2.2 Definisi

Diabetes merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia dan dikenal dengan kencing manis. Diabetes melitus berasal dari kata yunani. Diabetes berarti pancuran, melitus berarti madu atau gula.(http://id.wikipedia.org/) Top of Form

Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang timbul pada seseorang yang disebabkan karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.(http://3rr0rists.com/medical/diabetes-mellitus.html)

Absolut : terjadi apabila sel beta pankreas tidak dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan sehingga penderita membutuhkan suntikan insulin.

Relatif : Sel beta pankreas masih mampu memproduksi insulin yang dibutuhkan tetapi hormon yang dihasilkan tersebut tidak dapat bekerja secara optimal.

Diabetes melitus adalah penyakit yang terjadi akibat terganggunya proses metabolisme gula darah di dalam tubuh yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis.(http://www.kalbe.co.id/).

Diabetes melitus menurut Sylvia Anderson Price adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Menurut Sujono Riyadi Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang komplek yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan berkembangnya komplikasi makrovaskuler dan neurologis.

Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006, seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan pada tes sewaktu >200 mg/dL. Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya.

2.3 Epidemiologi

Menurut data WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 diperkirakan jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidapnya dan di antara mereka baru sekitar 30 persen yang datang berobat teratur.

Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya informasi di masyarakat tentang diabetes terutama gejala-gejalanya.

Diabetes Meletus merupakan penyakit kronis yang menyerang kurang lebih 12 juta orang, tujuh juta dari 12 juta penderita diabetes melitus sudah terdiagnosis sisanya tidak terdiagnosis. Di Amerikas Serikat, kurang lebih 650.000 kasus diabetes baru di diagnosis setiap tahunnya. (Healthy People, 1990). Jumlah penderita DM di dunia dan Indonesia diperkirakan akan meningkat, jumlah pasien DM di dunia dari tahun 1994 ada 110,4 juta, 1998 kurang lebih 150 juta, tahun 2000= 175,4 juta (1 ½ kali tahun 1994), tahun 2010=279,3 juta (+ 2 kali 1994) dan tahun 2020 = 300 juta atau + 3 kali tahun 1994. Di Indonesia atas dasar prevalensi + 1,5 % dapatlah diperkirakan jumlah penderita DM pada tahun 1994 adalah 2,5 juta, 1998= 3,5 juta, tahun 2010 = 5 juta dan 2020 = 6,5 juta.

2.4 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Diabetes melitus dan penggolongan intoleransi glukosa yang lain:

  1. Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM)

Yaitu defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang berhubungan dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulitis fenomena autoimun (cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kelainan kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-sel pulau langerhans di pangkreas. Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin.

  1. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM)

Yaitu diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada kecendrungan familiar, mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik selama stres.

  1. Diabetes Melitus tipe yang lain

Yaitu Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik terjadi karena penyakit lain; penyakit pankreas, hormonal, obat atau bahan kimia, endokrinopati, kelainan reseptor insulin dan sindroma genetik tertentu.

  1. Impared Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa)

Kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi diabetes atau menjadi normal atau tetap tidak berubah.

  1. Gastrointestinal Diabetes Melitus (GDM)

Yaitu intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sehingga mencapai tiga kali lipat dari keadaan normal. Bila ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin maka mengakibatkan hiperglikemia.

2.5 Etiologi

2.4.1 Diabetes Melitus Tipe 1 (diabetes yang tergantung kepada insulin / IDDM)

Disebabkan karena destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe 1 disebabkan 2 hal yaitu :

  1. Autoimun

Disebabkan kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh. Ditemukan beberapa petanda imun (immune markers) yang menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas untuk mendeteksi kerusakan sel beta, seperti “islet cell autoantibodies (ICAs), autoantibodies to insulin (IAAs), autoantibodies to glutamic acid decarboxylase (GAD). )”, dan antibodies to tyrosine phosphatase IA-2 and IA-2.

  1. Idiopatik

Sebagian kecil diabetes melitus tipe 1 penyebabnya tidak jelas (idiopatik).

2.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin / NIDDM)

Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Diabetes melitus tipe-2 merupakan jenis diabetes melitus yang paling sering ditemukan di praktek, diperkirakan sekitar 90% dan semua penderita diabetes melitus di Indonesia. Sebagian besar diabetes tipe-2 adalah gemuk (di negara barat sekitar 85%, di Indonesia 60%), disertai dengan resistensi insulin, dan tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan. Sekitar 50% penderita sering tidak terdiagnosis karena hiperglikemi meningkat secara perlahan-lahan sehingga tidak memberikan keluhan. Walaupun demikian pada kelompok diabetes melitus tipe-2 sering ditemukan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler, bahkan tidak jarang ditemukan beberapa komplikasi vaskuler sekaligus.

(Slamet Suyono, 2006)

2.6 Faktor Resiko

Penyebab resistensi insulin pada diabetes melitus menurut Sujono Riyadi dalam bukunya Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan eksokrin dan endokrin pada pancreas tidak begitu jelas tetapi faktor yang banyak berperan antara lain:

  1. Kelainan Genetik

Diabetes dapt menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang diabetes melitus akan ikut diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin.

  1. Usia

Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia 40 tahun. Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin.

  1. Gaya Hidup Stres

Stres kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji yang kaya pengawet, lemak serta gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stres juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan pada kerja pankreas. Beban pangkreas yang berat akan berdampak pada penurunan insulin.

  1. Pola Makan yang Salah

Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan resiko diabetes. Malnutrisi dapat merusak pankreas sedangkan obesitas meningkatkan gangguan kerja atau resistensi insulin. Pola makan yang tidak teratur dan cenderung terlambat juga akan berperanan pada ketidakstabilan kerja pankreas.

  1. Obesitas

Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi yang akan berpengaruh pada penurunan hormon insulin.

  1. Infeksi

Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-sel pankreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas.

2.7 Patofisiologi

Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi fenomena autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala yang akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Tipe diabetes ini berkaitan dengan tipe histokompabilitas (Human Leucocyt Antigen/HLA) spesifik. Tipe gen histokompabilitas ini adalah yang memberi kode pada protein yang berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari sistem imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan pulau langerhans. Sedangkan pada diabetes melitus tipe 2 berkaitan dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Pada tipe ini terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor yang disebabkan oleh berkurangnya tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidakabnormalan reseptor intrinsik insulin. Akibatnya, terjadi penggabungan abnornmal antara komplek reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidakabnormalan posreseptor ini dapat menggangu kerja insulin. (Sylvia A Price:2006)

Jadi sebagian besar patologi Diabetes melitus dapat dihubungkan dengan efek utama kekurangan insulin. Keadaan patologi tersebut akan berdampak hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan starvasi seluler.

  1. Hiperglikemia

Dalam keadaan insulin normal asupan glukosa dalam tubuh akan difasilitasi oleh insulin untuk masuk ke dalam sel tubuh. Glukosa ini kemudian diolah menjadi bahan energi. Apabila bahan energi yang dibutuhkan masih ada sisa akan disimpan dalam bentuk glukogen dalam hati dan sel-sel otot proses glikogenesis (pembentukan glikogen dari unsur glukosa ini dapat mencegah hiperglikemia). Pada penderita diabetes melitus proses ini tidak dapat berlangsung dengan baik sehingga glukosa banyak menumpuk di darah (hiperglikemia).

  1. Hiperosmolaritas

Pada penderita diabetes melitus hiperosmolaritas terjadi karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah. Peningkatan glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada ginjal untuk mengabsorbsi dan memfiltrasi glukosa. Kelebihan ini kemudian menimbulkan efek pembuangan glukosa melalui urin (glukosuria). Ekresi molekul glukosa yang aktif secara osmosis akan menyebabkan kehilangan sebagian besar air (diuresis osmotik) dan berakibat peningkatan volume air (poliuria).

  1. Starvasi Seluler

Starvasi seluler merupakan kondisi kelaparan yang dialami oleh sel karena glukosa sulit masuk padahal disekeliling sel banyak glukosa. Dampak dari starvasi seluler ini terjadi proses kompensasi seluler untuk tetap mempertahankan fungsi sel antara lain:

  1. Defisiensi insulin gagal untuk melakukan asupan glukosa bagi jaringan-jaringan peripheral yang tergantung pada insulin (otot rangka dan jaringan lemak). Jika tidak terdapat glukosa, sel-sel otot memetabolisme cadangan glikogen yang mereka miliki untuk dibongkar menjadi glukosa dan energi mungkin juga menggunakan asam lemak bebas (keton). Kondisi ini ini berdampak pada penurunan massa otot, kelemahan otot dan rasa mudah lelah.
  2. Strarvasi seluler juga akan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein dan asam amino yang digunakan sebagai substrat yang diperlukan untuk glukoneogenesis dalam hati. Proses ini akan menyebabkan penipisan simpanan protein tubuh karena unsur nitrogen (sebagai unsur pembentuk protein) tidak digunakan kembali untuk semua bagian tetapi diubah menjadi urea dalam hepar dan dieksresikan melalui urin. Depresi proin akan berakibat tubuh menjadi kurus, penurunan resistensi terhadap infeksi dan sulitnya pengembalian jaringan yang rusak.
  3. Starvasi juga akan berdampak peningkatan mobilisasi lemak (lipolisis) asam lemak bebas. Trigliserida dan gliserol yang meningkat bersirkulasi dan menyediakan substrat bagi hati untuk proses kekogenesis yang digunakan untuk melakukan aktivitas sel.
  4. Starvasi juga akan meningkatkan mekanisme penyesuaian tubuh untuk meningkatkan pemasukan dan munculnya rasa ingin makan (polifagi).

2.8 WOC (Terlampir)

2.9 Manifestasi Klinis

Gejala awalnya berhbungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).

Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).

Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.

Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat badan.

Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakan atau penyakit yang serius.

Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma, hiperglikemik – hiperosmolar non-ketotik.

(http://www.mail-archive.co/dokter-umum@yahoogroups.com/msg00070-html)

2.10 Komplikasi

Komplikasi

  1. Komplikasi yang bersifat akut
    1. Koma Hiplogikemia

Koma hipoglikemia terjadi karena pemakaian obat-obatan diabetic yang melebihi dosis yang dianjurkan sehingga terjadi penurunan glukosa dalam darah. Glukosa yang ada sebagian besar difasilitasi untuk masuk ke dalam sel.

  1. Ketoasidosis

Minimnya glukosa di dalam sel akan mengakibatkan sel mencari sumber alternatif untuk dapat memperoleh energi sel. Kalau tidak ada glukosa maka benda-benda keton akan dipakai sel. Kondisi ini akan mengakibatkan penumpukan residu pembongkaran benda-benda keton yang berlebihan yang mengakibatkan asidosis.

  1. Koma hiperosmolar nonketotik

Koma ini terjadi karena penurunan komposisi cairan intrasel dan ekstrasel karena banyak diekresi lewat urin.

  1. Komplikasi yang bersifat kronik
    1. Makroangipati yang mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak. Perubahan pada pembuluh darah besar dapat mengalami atherosclerosis sering terjadi pada DMTII/NIDDM. Komplikasi makroangiopati adalah penyakit vaskuler otak, penyakit arteri koronaria dan penyakit vaskuler perifer.
    2. Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil, retinopati diabetika, nefropati diabetic. Perubahan-perubahan mikrovaskuler yang ditandai dengan penebalan dan kerusakan membran diantara jaringan dan pembuluh darah sekitar. Terjadi pada penderita DMTI/IDDM yang trejadi neuropati,nefropati, dan retinopati.

Nefropati terjadi karena perubahan mikrovaskuler pada struktur dan fingsi ginjal yang menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal. Tubulus dan glomerulus penyakit ginjal dapat berkembang dari proteinuria ringan ke ginjal.

Retinopati adalah adanya perubahan dalam retina karena penurunan protein dalam retina. Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam penglihatan.

Retinopati mempunyai dua tipe yaitu:

  1. Retinopati back graund dimulai dari mikroneuronisma di dalam pembuluh retina menyebabkan pembentukan eksudat keras.
  2. Retinopati proliferasi yang merupakan perkembangan lanjut dari retinopati back ground, terdapat pembentukan pembuluh darah baru pada retina akan berakibat pembuluh darah menciut dan menyebabkan tarikan pada retina dan perdarahan di dalam rongga vitreum. Juga mengalami pembentukan katarak yang disebabkan oleh hiperglikemi yang berkepanjangan menyebabkan pembengkakan lensa dan kerusakan lensa.
  3. Neuropati diabetika

Akumulasi orbital didalam jaringan dan perubahan metabolik mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf menurun kehilangan sensori mengakibatkan penurunan persepsi nyeri.

  1. Rentan infeksi seperti tuberculosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran kemih.
  2. Kaki diabetik

Perubahan mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati menyebabkan perubahan pada ekstremitas bawah. Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi, gangren, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik dapat menunjang terjadinya trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang mengakibatkan gangren.

2.11 Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120

mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.

b. Urine

Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan

dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui

perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ),

dan merah bata ( ++++ ).

c. Kultur pus

Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang

sesuai dengan jenis kuman.

2.12 Penatalaksanaan Medis

  1. Obat

Obat-obatan Hipoglikemik Oral (OHO)

  1. Golongan sulfoniluria

Cara kerja golongan ini adalah: merangsang sel beta pankreas untuk mengeluarkan insulin, jadi golongan sulfonuria hanya bekerja bila sel-sel beta utuh, menghalangi pengikatan insulin, mempertinggi kepekatan jaringan terhadap insulin dan menekan pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian obat golongan sulfoniluria adalah: bila berat badan sekitar ideal kurang lebih 10% dari berat -badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40 u/hari, bila tidak ada stress akut, seperti infeksi berat/perasi.

  1. Golongan biguanid

Cara kerja golongan ini tidak merangsang sekresi insulin. Golongan biguanid dapat menurunkan kadar gula darah menjadi normal dan istimewanya tidak pernah menyebabkan hipoglikemi. Efek samping penggunaan obat ini (metformin) menyebabkan anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare. Metformin telah digunakan pada klien dengan gangguan hati dan ginjal, penyalahgunaan alkohol, kehamilan atau insufisiensi cardiorespiratory.

  1. Alfa Glukosidase Inhibitor

Obat ini berguna menghambat kerja insulin alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia post prandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin. Alfa glukosidase inhibitor dapat menghambat bioavailabilitas metformin. Jika dibiarkan bersamaan pada orang normal.

  1. Insulin Sensitizing Agent

Obat ini mempunyai efek farmakolagi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa menyebabakan hipoglikemia.

  1. Insulin

Dari sekian banyak jenis insulin, untuk pratisnya hanya 3 jenis yang penting menurut cara kerjanya yakni menurut Junadi, 1982, diantaranya adalah:

  1. Yang kerjanya cepat: RI (Regular insulin) dengan masa kerja 2-4jam contoh obatnya: Actrapid.
  2. Yang kerjanya sedang: NPN, dengan masa kerja 6-12jam.
  3. Yang kerjanya lambat: PZI (protamme Zinc Insulin) masa kerjanya 18-24jam.

Untuk pasien yang pertama kali akan dapat insulin, sebaiknya selalu dimulai dengan dosis rendah (8-20 unit) disesuaikan dengan reduksi urine dan glukosa darah.

Selalu dimulai dengan RI, diberikan 3 kali (misalnya 3 x 8 unit) yang disuntikkan subkutan ½ jam sebelum makan. Jika masih kurang dosis dinaikkan sebanyak 4 unit per tiap suntikan. Setelah keadaan stabil RI dapat diganti dengan insulin kerja sedang atau lama PZI mempunyai efek maksimum setelah penyuntikan.

PZI disuntik 1/4 jam sebelum makan pagi dengan dosis 2/3 dari dosis total RI sehari. Dapat pula diberikan kombinasi RI dengan PZI diberikan sekali sehari. Misalnya semula diberikan RI 3 x 20 unit dapat diganti dengan pemberian RI 20 unit dan PZI 30 unit.

  1. Diet
    1. Tujuan umum penatalaksanaan diet pada diabetes mellitus adalah:
      1. Mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar normal.
      2. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
      3. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
      4. Meningkatkan kualitas hidup.
      5. Jumlah kalori diperhitungkan sebagai berikut:
        1. Untuk menentukan diet kita harus tahu dulu kebutuhan energi dari penderita diabetes mellitus. Kebutuhan itu dapat kita tentukan sebagai berikut:
        2. Pertama kita tentukan berat badan ideal pasien dengan rumus (Tinggi Badan – 100) – 10% Kg.
        3. Kedua kita tentukan kebutuhan kalori penderita. Kalau wanita BB ideal x 25. Sedangkan kalau laki-laki BB ideal x 30.
        4. Kalau sudah ketemu kebutuhan energi maka kita dapat menerapkan makanan yang dapat dikonsumsi penderita diabetes mellitus.
        5. Karbohidrat kompleks (serat dan tepung) yang dikonsumsi penderita diabetes mellitus harus ditekankan adanya serat. Sumber serat yang baik adalah buah-buahan dan sayur-sayuran.
        6. Lemak karena prevalensi penyakit jantung koroner pada diabetes mellitus. Lemak jenuh harus dibatasi sampai sepertiga atau kurang dan kalori lemak yang dianjurkan, dan lemak jenuh harus memenuhi sepertiga dari total kalori lemak.
        7. Alkohol mempunyai banyak hal yang tidak menguntungkan untuk penderita diabetes mellitus. Alkohol dapat memperburuk hiperlipidemia, dan dapat mencetuskan hipoglikemia terutama jika tidak makan.
        8. Natrium individu dengan diabetes mellitus dianjurkan tidak makan lebih dari 43 gram natrium setiap harinya. Konsumsi yang berlebihan cenderung akan timbul hipertensi.
        9. Tata cara diet diabetes

Menurut dr. Elvina Karyadi, M.Sc., ahli gizi dari SEAMEO-Tropmed UI, ada dua golongan karbohidrat yakni jenis kompleks dan jenis sederhana. Yang pertama mempunyai ikatan kimiawi lebih dari satu rantai glukosa sedangkan yang lain hanya satu. Di dalam tubuh karbohidrat kompleks seperti dalam roti atau nasi, harus diurai menjadi rantai tunggal dulu sebelum diserap ke dalam aliran darah. Sebaliknya, karbohidrat sederhana seperti es krim, jeli, selai, sirup, minuman ringan, dan permen, langsung masuk ke dalam aliran darah sehingga kadar gula darah langsung melejit.

Dari sisi makanan penderita diabetes atau kencing manis lebih dianjurkan mengkonsumsi karbohidrat berserat seperti kacang-kacangan, sayuran, buah segar seperti pepaya, kedondong, apel, tomat, salak, semangka dll. Sedangkan buah-buahan yang terlalu manis seperti sawo, jeruk, nanas, rambutan, durian, nangka, anggur, tidak dianjurkan.

Peneliti gizi asal Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Dr. Dr. H. Askandar Tjokroprawiro, menggolongkan diet atas dua bagian, A dan B. Diet B dengan komposisi 68% karbohidrat, 20% lemak, dan 12% protein, lebih cocok buat orang Indonesia dibandingkan dengan diet A yang terdiri atas 40 – 50% karbohidrat, 30 – 35% lemak dan 20 – 25% protein. Diet B selain mengandung karbohidrat lumayan tinggi, juga kaya serat dan rendah kolesterol. Berdasarkan penelitian, diet tinggi karbohidrat kompleks dalam dosis terbagi, dapat memperbaiki kepekaan sel beta pankreas.

Sementara itu tingginya serat dalam sayuran jenis A(bayam, buncis, kacang panjang, jagung muda, labu siam, wortel, pare, nangka muda) ditambah sayuran jenis B (kembang kol, jamur segar, seledri, taoge, ketimun, gambas, cabai hijau, labu air, terung, tomat, sawi) akan menekan kenaikan kadar glukosa dan kolesterol darah. Bawang merah dan putih (berkhasiat 10 kali bawang merah) serta buncis baik sekali jika ditambahkan dalam diet diabetes karena secara bersama-sama dapat menurunkan kadar lemak darah dan glukosa darah.

Pola 3J
Ahli gizi lain, dr. Andry Hartono D.A. Nutr., dari RS Panti Rapih, Yogyakarta menyarankan pola 3J yakni:

1.Jumlah kalori,
2.Jadwal makan,dan
3.Jenis makanan.

Bagi penderita kencing manis yang tidak mempunyai masalah dengan berat badan tentu lebih mudah untuk menghitung jumlah kalori sehari-hari. Caranya, berat badan dikalikan 30. Misalnya, orang dengan berat badan 50 kg, maka kebutuhan kalori dalam sehari adalah 1.500 (50 x 30). Kalau yang bersangkutan menjalankan olahraga, kebutuhan kalorinya pada hari berolahraga ditambah sekitar 300-an kalori. Jadwal makan pengidap diabetes dianjurkan lebih sering dengan porsi sedang. Maksudnya agar jumlah kalori merata sepanjang hari. Tujuan akhirnya agar beban kerja tubuh tidak terlampau berat dan produksi kelenjar ludah perut tidak terlalu mendadak.

Di samping jadwal makan utama pagi, siang, dan malam, dianjurkan juga porsi makanan ringan di sela-sela waktu tersebut(selang waktu sekitar tiga jam). Yang perlu dibatasi adalah makanan berkalori tinggi seperti nasi, daging berlemak, jeroan, kuning telur. Juga makanan berlemak tinggi seperti es krim, ham, sosis, cake, coklat, dendeng, makanan gorengan. Sayuran berwarna hijau gelap dan jingga seperti wortel, buncis, bayam, caisim bisa dikonsumsi dalam jumlah lebih banyak, begitu pula dengan buah-buahan segar. Namun, perlu diperhatikan bila penderita menderita gangguan ginjal, konsumsi sayur-sayuran hijau dan makanan berprotein tinggi harus dibatasi agar tidak terlalu membebani kerja ginjal.

Diet kalori terbatas

Penderita bisa mengikuti contoh susunan menu diet B untuk 2.100 kalori (Simbardjo dan Indrawati, B.Sc. dari bagian ilmu gizi RSUD Dr. Sutomo Surabaya) seperti pada Tabel 1. Diet B tinggi serat itu termasuk diet diabetes umum, yang tidak menderita komplikasi, tidak sedang berpuasa atau pun sedang hamil.

Sedangkan buku panduan “Perencanaan Makan Penderita Diabetes dengan Sistem Unit” terbitan Klinik Gizi dan Klinik Edukasi Diabetes RS Tebet, menuliskan tentang prinsip dasar diet diabetes, dengan pemberian kalori sesuai kebutuhan dasar. Untuk wanita, kebutuhan dasar adalah (Berat Badan Ideal x 25 kalori)ditambah 20% untuk aktivitas. Sedangkan untuk pria, (Berat Badan Ideal x 30 kalori) ditambah 20% untuk aktivitas. Untuk menentukan berat badan ideal (BBI) bisa diambil patokan: BBI = Tinggi Badan (cm) – 100 cm – 10%.

Contoh, seorang pria bertinggi badan 164 cm, berat badan 70 kg, maka BBI = 64 kg – 10% = 58 kg. Kebutuhan kalori dasar = 58 x 30 kalori = 1.740 kalori. Ditambah kalori aktivitas 20% = 2.088 kalori. Jadi, pria ini memerlukan diet sekitar 2.000 kalori sehari.

Namun, rumusan ini tidak mutlak. Bila pasien sedang sakit, aktivitas berubah, atau berat badan jauh dari ideal, maka kebutuhan kalori akan berubah. Bila berat badan berlebih, jumlah kalori dikurangi dari kebutuhan dasar. Sebaliknya, bila pasien mempunyai berat badan kurang, jumlah kalori dilebihkan dari kebutuhan dasar. Begitu berat badan mencapai normal, jumlah kalori disesuaikan kembali dengan kebutuhan dasar.

Prinsip makan selanjutnya adalah menghindari konsumsi gula dan makanan yang mengandung gula. Juga menghindari konsumsi hidrat arang olahan yakni hidrat arang hasil dari pabrik berupa tepung dengan segala produknya. Ditambah lagi mengurangi konsumsi lemak dalam makanan sehari-hari (lemak binatang, santan, margarin, dll.), sebab tubuh penderita mengalami kelebihan lemak darah.

Yang perlu diperbanyak justru konsumsi serat dalam makanan, khususnya serat yang larut air seperti pektin (dalam apel), jenis kacang-kacangan, dan biji-bijian (bukan digoreng).
Bila penderita juga mengalami gangguan pada ginjal, yang perlu diperhatikan adalah jumlah konsumsi protein. Umumnya, digunakan rumus 0,8 g protein per kilogram berat badan. Bila kadar kolesterol/trigliserida tinggi, disarankan melakukan diet rendah lemak. Bila tekanan darahnya tinggi, dianjurkan mengurangi konsumsi garam. Kegagalan berdiet bisa disebabkan karena pasien kurang berdisiplin dalam memilih makanannya atau tidak mampu mengurangi jumlah kalori makanannya. Bisa juga penderita tidak mempedulikan saran dokter.

Untuk memudahkan penerapan, dibuat sistem unit 80 kalori. Tabel 2 menyajikan makanan yang mengandung 80 kalori per unitnya. Misalnya, seorang pasien yang memerlukan 1.600 kalori per harinya, akan mendapat makanan 20 unit sehari senilai 80 kalori setiap unitnya. Jumlah 20 unit terbagi atas sarapan empat unit, makanan kecil (pk. 10.00) dua unit, makan siang enam unit, makanan kecil (pk. 16.00) dua unit, dan makan malam enam unit.
Tabel di bawah ini yang menunjukkan contoh lima kelompok makanan: makanan pokok, lauk pauk, sayuran, makanan ringan/siap santap, buah-buahan, dan minuman.

Makanan dalam kelompok A bisa dibilang berkomposisi paling baik, karena mengandung serat dan atau rendah hidrat arang olahan serta rendah lemak. Sementara golongan C kurang baik karena kandungan gulanya tinggi, rendah atau tanpa serat, dan terlalu banyak lemak. Jadi, dianjurkan untuk memilih A atau B, bukan C. Nasi lebih baik daripada bubur, karena kandungan serat lebih baik sehingga lebih lama bertahan di usus. Pemanis gula bisa diganti dengan pemanis buatan. Di sini diberikan pula contoh menu yang dapat diikuti (20 unit atau 1.600 kalori):

Dengan melakukan diet yang teratur dan disiplin pasti kadar gula dapat dikendalikan.(Sumber http://indodiabetes.com/diet-diabetes.html)

e. Olah raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar glukosa darah tetap normal. Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama kurang lebih ½ jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous Rythmiccal Intensify Progressive Endurance). Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur. Latihan CRIPE minimal dilakukan selama 3 hari dalam seminggu, sedangkan 2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan olahraga kesenangannya. Adanya kontraksi otot yang teratur akan merangsang peningkatan aliran darah dan penarikan glukosa kedam sel. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat tetapi olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan.

Hal yang perlu diingat dalam latihan jasmani adalah jangan memulai olahraga sebelum makan, memakai sepatu yang pas dan harus didampingi orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia. Penderita diabetes mellitus yang memulai olahraga tanpa makan akan beresiko terjadinya stravasi sel dengan cepat dan akan berdampak pada nekrosis sel.

Olahraga lebih dianjurkan pada pagi hari (sebelum jam 06.00) karena selain udara yang masih bersih juga suasana yang belum ramai sehingga membantu penderita lebih nyaman dan tidak mengalami stress yang lebih tinggi. Olahraga yang teratur akan memperbaiki sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh darah sehingga membantu masuknya glukosa ke dalam sel. Olahraga disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Contoh olah raga yang disarankan seperti jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang dll.

Diet Seimbang Diabetes Melitus

Nutrisi preventif

Intervensi gizi yang bersifat preventif untuk mengurangi resiko terjadinya DM tipe II, harus berfokus pada:
1. Pencegahan obesitas pada pasien-pasien yang beresiko diabetes.
2. Asupan serat makanan 25 gram/1000 kalori, khususnya serat larut dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah dan menambah rasa kenyang.
3. Menghindari asupan kalori berlebihan.
4. Olahraga teratur (3x seminggu atau lebih selama waktu >30 menit dengan intensitas 60-80% dari frekuensi jantung maksimal ternyata daoat mencegah atau menunda onset DM pada mereka yang mempunyai predisposisi terkena penyakit ini.

Nutrisi Kuratif
Intervensi diet untuk mengendalikan glukosa darah merupakan salah satu intervensi penting bagi pasien-pasien DM. terapi nutrisi untuk pengendalian glukosa darah pada pasien-pasien DM tipe II, seperti tercantum dalam consensus PERKENI, mencakup:
1. Jadwal makan yang teratur.
2. Asupan kolesterol <300 mg qd karena pasien DM tipe II menghadapi resiko tinggi untuk terkena penyakit kardiovaskular.
3. Asupan serat 25 gram/hari; meningkatkan konsumsi serat makanan larut maupun tak larut.
4. Menghindari suplemen minyak ikan atau niasin yang dapat meningkatkan kadar glukosa.
5. Pengendalian berat badan.
6. Olahraga teratur.
7. Monitoring gula darah.

2.13 Pencegahan

Jumlah pasien diabetes mellitus dalam kurung waktu 25-30 tahun yang akan datang akan sangat meningkat akibat peningkatan kemakmuran, perubahan pola demografi dan urbanisasi. Di samping itu juga karena pola hidup yang akan berubah menjadi pola hidup beresiko. Mengingat jumlah pasien yang akan membengkak dan besarnya biaya perawatan pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan .pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan sejak dini, baik pencegahan primer, sekunder maupun tersier dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, LSM, dan lain-lain.

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap yaitu:

  1. Pencegahan primer

Semua aktivitas yang ditunjukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.

Pencegahan ini adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat. Cakupanya menjadi sangat luas. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternative terbaik dan harus mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak.

Selain makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk, dengan olah raga teratur. Dengan menganjurkan olah raga kepada kelompok risiko tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes.

  1. Pencegahan sekunder

Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untk merncegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible.

Menceah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien DM yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tidak mudah memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati nangka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Di samping itu tekanan darah dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara nonfarmakologis dahulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak merokok dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin.

Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien DM juga luas , artinya selain pasien DM yang selama ini sudah berobat juga harus dapat mencakup pasien DM yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk dengan risiko tingi.

  1. Pencegahan tersier

Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Upaya ini meliputi:

  1. Mencegah timbulnya komplikasi
  2. Mencegah progesi dari pada komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ dan kegagalan organ
  3. Mencegah kecacatan tubuh

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya.dalam hal peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan komplikasinya.

Strategi Pencegahan

Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efektif dan efisien untuk mendapatkan hasil yang meksimal, ada 2 macam strategi untuk dijalankan antara lain:

  1. Pendekatan populasi/masyarakat (population/community approach)

Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah DM tetapi juga untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja profesi tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama).

2. Pendekatan individu berisiko tinggi

Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk menderita DM pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang berumur > 40 tahun, obesitas, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.

(Slamet Suyono, 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar