Minggu, 29 Januari 2012

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIPERBILIRUBIN


  • Pendahuluan

    Hiperlirubin adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin didalam darah (Wong, 2004). Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.

    Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. Hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana terdapat kadar bilirubin yang tinggi dalam darah. Biasanya terjadi pada bayi baru lahir.
    Sesungguhnya hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir selama minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin bayi. Ditemukan sekitar 25-50% bayi normal dengan keadaan hiperbilirubinemia (Ika, 2009)


  • Landasan Teori
    • Anatomi Fisiologi

      Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh manusia, terletak di sebelah atas dalam rongga abdomen, disebelah kanan bawah diafragma. Berwarna merah kecoklatan, lunak dan mengandung amat banyak vaskularisasi. Hepar terdiri dari lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil (Widiyasih, 2009).

      Fungsi hepar adalah :

  1. Metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
  2. Sintesa kolesterol dan steroid, pembentukan protein plasma (fibrinogen, protrombin dan globulin)
  3. Penyimpanan glikogen, lemak, vitamin (A, B12, D dan K) dan zat besi (Ferritin)
  4. Detoksikasi menghancurkan hormon – hormon steroid dan berbagai obat-obatan
  5. Pembentukan dan penghancuran sel-sel darah merah, pembentukan terjadi hanya pada 6 bulan masa kehidupan awal fetus
  6. Sekresi bilirubin (pigmen empedu) dari bilirubin unconjugated menjadi conjugated (Windiyasih, 2009).

Kantung atau kelenjar empedu merupakan kantung berbentuk buah pir dengan panjang sekitar 7,5 cm dan dapat menampung ± 50 ml cairan empedu. Cairan empedu adalah cairan kental berwarna kuning keemasan atau kehijauan yang dihasilkan terus menerus dalam jumlah 500 – 1000 ml/hari, merupakan zat esensial dalam pencernaan dan penyerapan lemak, suatu media yang dapat mengekskresikan zat-zat tertentu yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal (Windiyasih, 2009).

Metabolisme bilirubin terdiri dari empat tahap :

  1. Produksi. Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat pemecahan haemoglobin (menjadi globin dan hem) pada sistem retikulo endoteal (RES). Hem dipecah oleh hemeoksigenase menjadi bilverdin, dan oleh bilirubin reduktase diubah menjdai bilirubin. Merupakan bilirubin indirek / tidak terkonjugasi.
  2. Transportasi. Bilirubin indirek kemudian ditransportasikan dalam aliran darah hepatik. Bilirubin diikat oleh protein pada plasma (albumin), selanjutnya secara selektif dan efektif bilirubin diambil oleh sel parenkim hepar atau protein intraseluler (ligandin sitoplasma atau protein Y) pada membran dan ditransfer menuju hepatosit.
  3. Konjugasi. Bilirubin indirek dalam hepar diubah atau dikonjugasikan oleh enzim Uridin Difosfoglukoronal Acid (UDPGA) atau glukoronil transferase menjadi bilirubin direk atau terkonjugasi yang bersifat polar dan larut dalam air.
  4. Ekskresi. Bilirubin direk yang terbentuk, secara cepat diekskresikan ke sistem empedu melalui membran kanalikuler. Selanjutnya dari sistem empedu dikskresikan melalui saluran empedu ke sistem pencernaan (usus) dan diaktifkan dan diabsorpsi oleh bakteri / flora normal pada usus menjadi urobilinogen. Ada sebagian kecil bilirubin direk yang tidak diabsorpsi melainkan dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi melalui sirkulasi enterohepatik.

Menuru Klous dan Fanaraft (1998) dalam bilirubin dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
2. bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.


  • Definisi Penyakit

    Menurut Sutrisno (2009) hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan) (Sutrisno, 2009).

    Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal. Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl (Sutrisno, 2009).


  • Etiologi

    Menurut Peningkatan kadar serum bilirubin disebabkan oleh deposisi pigmen bilirubin yang terjadi waktu pemecahan sel darah merah. Phototerapi merupakan terapi untuk hiperbilirubin (Nennisa, 2007).

Etiologi hiperbilirubin antara lain (Anonim, 2008):

  1. Peningkatan produksi
    1. Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
    2. Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
    3. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis
    4. Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
    5. Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid)
    6. Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat misalnya pada BBLR
    7. Kelainan congenital
  2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
  3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmasiss, syphilis.
  4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.
  5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.

Menurut Ika (2008) sel-sel darah merah yang telah tua dan rusak akan dipecah/dihidrolisis menjadi bilirubin (pigmen warna kuning), yang oleh hati akan dimetabolisme dan dibuang melalui feses. Di dalam usus juga terdapat banyak bakteri yang mampu mengubah bilirubin sehingga mudah dikeluarkan bersama feses. Hal ini terjadi secara normal pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir, jumlah bakteri pemetabolisme bilirubin ini masih belum mencukupi sehingga ditemukan bilirubin yang masih beredar dalam tubuh tidak dibuang bersama feses. Begitu pula dalam usus bayi terdapat enzim glukoronil transferase yang mampu mengubah bilirubin dan menyerap kembali bilirubin ke dalam darah sehingga makin memperparah akumulasi bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan disimpan di bawah kulit, sehingga jadilah kulit bayi kuning. Biasanya dimulai dari wajah, dada, tungkai dan kaki menjadi kuning.



  • Patofisiologi

    Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu (Sartika, 2008).

    Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia (Sartika, 2008).

    Sel darah merah yang tua, rusak dan abnormal dibuang dari peredaran darah, terutama di dalam limpa. Selama proses pembuangan berlangsung, hemoglobin (protein pengangkut oksigen di dalam sel darah merah) dipecah menjadi pigmen kuning yang disebut bilirubin. Bilirubin dibawa ke hati, dimana secara kimiawi diubah dan kemudian dibuang ke usus sebagai bagian dari empedu. Pada sebagian besar bayi baru lahir, kadar bilirubin darah secara normal meningkat sementara dalam beberapa hari pertama setelah lahir, menyebabkan kulit berwarna kuning (jaundice) (Sartika, 2008).

    Pada orang dewasa, bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di dalam usus akan memecahkan bilirubin. Pada bayi baru lahir, bakteri ini sangat sedikit sehingga banyak bilirubin yang dibuang melalui tinja yang menyebabkan tinjanya berwarna kuning terang. Tetapi bayi baru lahir juga memiliki suatu enzim di dalam ususnya yang dapat merubah sebagian bilirubin dan menyerapnya kembali ke dalam darah, sehingga terjadi jaundice (sakit kuning). Karena kadar bilirubin darah semakin meningkat, maka jaundice menjadi sdmakin jelas. Mula-mula wajah bayi tampak kuning, lalu dada, tungkai dan kakinya juga menjadi kuning. Biasanya hiperbilirubinemia dan sakit kuning akan menghilang setelah minggu pertama (Sartika, 2008).

    Kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa disebabkan oleh pembentukan yang berlebihan atau gangguan pembuangan bilirubin. Kadang pada bayi cukup umur yang diberi susu ASI, kadar bilirubin meningkat secara progresif pada minggu pertama; keadaan ini disebut jaundice ASI. Penyebabnya tidak diketahui dan hal ini tidak berbahaya. Jika kadar bilirubin sangat tinggi mungkin perlu dilakukan terapi cahaya bilirubin (Muhaj ,2009).

    Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika (Muhaj ,2009).

    Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi (Muhaj ,2009).


  • Pathways


































  • Manifestasi Klinik

    Menurut Surasmi (2003) dalam Anonim (2008) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :

  1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
  2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
    Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

Menurut Medicastore (2009) manifestasi klinik yang sering jumpai pada anak dengan hiperbilirubin antara lain : Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya disebut kern ikterus).
Kern ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi kerusakan otak. Biasanya terjadi pada bayi yang sangat prematur atau bayi yang sakit berat.

Gejalanya berupa:

  1. Rasa mengantuk
  2. Tidak kuat menghisap
  3. Muntah
  4. Opistotonus (posisi tubuh melengkung, leher mendekati punggung)
  5. Mata berputar-putar ke atas
  6. Kejang
  7. Bisa diikuti dengan kematian. Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.




  • Penatalaksanaan Medis dan Perawatan
  1. Perawatan (Sutrisno, 2009)
    1. Pengawasan antenatal yang baik.
    2. Menghindari obat yang meningkatkan ikterus pada masa kematian dan kelahiran, misal : sulfa furokolin.
    3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
    4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1 – 2 hari sebelum partus.
    5. Pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
    6. Pencegahan infeksi.
    7. Melakukan dekompensasi dengan foto terapi.
    8. Tranfusi tukar darah.
    9. Breast feeding. Pemberian breast feeding secara dini segera setelah dijumpai ikterik pada mukosa, kulit dan konjungtiva pada neonatus, hal ini dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada neonatus. Hal ini mungkin sekali disebabkan karena dengan pemberian ASI yang dini itu terjadi pendorongan gerakan usus, dan meconium lebih cepat dikeluarkan,sehingga peredaran Enterohepatik bilirubin berkurang.

    Menurut Hidayat (2008) perawatan untuk anak yang mendapatkan tranfusi tukar antara lain :

    1. Mempertahankan intake cairan dengan menyediakan cairan per oral atau cairan parenteral melalui intravena, memantau output diantaranya jumlah dan warna urine serta feses, mengkaji perubahan status hidrasinya dengan memantau temperatur tiap 2 jam
    2. Menutup mata dengan kain yang tidak tembus cahaya, mengatur posisi setiap 6 jam, mengkaji kondisi kulit, menjaga integritas kulit selama terapi dengan mengeringkan daerah yang basah untuk mengurangi iritasi serta mempertahankan kebersihan kulit
    3. Mencegah peningkatan kadar birirubin dengan cara meningkatkan verja enzim dengan pemberian phenobarbital 1-2 2 mg/KGB, mengubah bilirubin yang tidak larut ke dalam air menjadi larut dalam air dengan melakukan fototerapi atau dengan cara pembuangan kadar bilirubin darah dengan tranfusi darah


  2. Pengobatan

    Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :

    1. Menghilangkan anemia
    2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
    3. Meningkatkan badan serum albumin
    4. Menurunkan serum bilirubin

    Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infuse albumin dan therapi obat (Anonim, 2008).

    1. Fototherapi

      Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati.

      Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine. Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.

      Dengan penyinaran bilirubin dipecah menjadi dipyrole yang kemudian dikeluarkan melalui ginjal dan traktus digestivus. Hasil perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh dan dikeluarkan dari tubuh dengan sempurna. Penilaian Ikterus menurut Kramer, dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan. Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam gambar di bawah ini :

    Tabel hubungan kadar bilirubin dengan ikterus

Derajat ikterus

Daerah ikterus

Perkiraan kadar bilirubin

Aterm

Prematur

1

2


3


4



5

Kepala sampai leher

Kepala, badan sampai dengan umbilicus

Kepala, badan, paha, sampai dengan lutut

Kepala, badan, ekstremitas sampai dengan tangan dan kaki

Kepala, badan, semua ekstremitas sampai dengan ujung jari

5,4

8,9


11,8


15,8



-

9,4


11,4


13,3

Secara klinis menurut Kramer, timbulnya ikterus secara sefalokaudal.









  1. Transfusi Pengganti

Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :

  1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
  2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
  3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
  4. Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
  5. Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
  6. Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl
  7. Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus

Transfusi pengganti digunkan untuk:

  1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap antibody maternal
  2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)
  3. Menghilangkan serum ilirubin
  4. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dangan bilirubin

    Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil

  1. Therapi Obat

    Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mdngurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika

  2. Pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).

    Pada jaundice ASI, kadang pemberian ASI harus dihentikan selama 1-2 hari. Segera setelah kadar bilirubin mulai menurun, ASI boleh kembali diberikan. Pemberian ASI harus sering dilakukan untuk mencegah dehidrasi dan mempermudah pembuanagn bilirubin ke fese. Setidaknya ASi harus diberikan tiap 3 jam. Jika bayi sulit menghisap, dilakukan pemompaan ASI, baru diberikan kepada bayi. Pemberian cairan selain ASI (misal air, air gula, dll) tidak akan membantu. jadi kunci utama adalah pemberian ASI.


  • Pengkajian

    Pengkajian yang dapat dilakukan pada anak dengan hiperbilirubin kronik menurut Nennisa (2007) sebagai berikut :

  1. Identitas pasien dan keluarga
  2. Riwayat Keperawatan
  3. Riwayat Kehamilan : Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
  4. Riwayat Persalinan : Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan atau Data Obyektif. Lahir prematur / kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoxin dan aspixin
  5. Riwayat Post natal : Adanya kelainan darah tapi kadar bilirubin meningkat kulit bayi tampak kuning.
  6. Riwayat Kesehatan Keluarga : Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak Polycythenia, gangguan saluran : cerna dan hati ( hepatitis )
  7. Riwayat Pikososial : Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang tua
  8. Pengetahuan Keluarga : Penyebab perawatan pengobatan dan pemahaman orang tua terhadap bayi yang ikterus
  9. Kebutuhan Sehari – hari
    1. Nutrisi : Pada umumnya bayi malas minum ( reflek menghisap dan menelan lemah ) sehingga BB bayi mengalami penurunan.
    2. Eliminasi : Biasanya bayi mengalami diare, urin mengalami perubahan warna gelap dan tinja berwarna pucat
    3. Istirahat : Bayi tampak cengeng dan mudah terbangun
    4. Aktifitas : Bayi biasanya mengalami penurunan aktivitas, letargi, hipototonus dan mudah terusik.
    5. Personal hygiene : Kebutuhan personal hygiene bayi oleh keluarga terutama ibu
    6. Pemeriksaan fisik : Keadaan umum lemah, Ttv tidak stabil terutama suhu tubuh (hipo / hipertemi). Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang / tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas ( skin resh) bronze bayi syndrome, sclera mara kuning ( kadang –kadang terjadi kerusakan pada retina ) perubahan warna urine dan feses.


  • Diagnosa Keperawatan

    Menurut Hidayat (2005) dan Wong (2004) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang menderita hiperbilirubin antara lain :

  1. Hiperbilirubin
    1. Resiko terjadi injury berhubungan dengan kern ikterus sekunder terhadap immaturity hati
    2. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin indirek dalam kulit, mukosa dan konjungtiva yang meningkat.
    3. Risiko tinggi perubahan peran menjadi orang tua yang berhubungan dengan adanya kehadiran anak dengan terjadi batasan atau pemisahan dengan anak mengingat bayi dilahirkan dilakukan tindakan di tempat khusus
  2. Efek fototherapy
    1. Resiko terjadi injury berhubungan dengan efek phototherapy
    2. Risiko tinggi kurang volume cairan yang berhubungan dengan efek terapi fototerapi
    3. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan efek samping fototerapi yang menyebabkan kulit kering, iritasi pada mata.


  • Intervensi Keperawatan

    Menurut Hidayat (2005) intervensi yang dapat dirumuskan oleh perawat dalam mengatasi diagnosa keperawatan tersebut diatas adalah

    • Resiko terjadi injury berhubungan dengan kerusakan produksi SDM (lebih banyak dari normal) & immaturity hati & efek phototherapy

      Tujuan : Akan mendapatkantherapi yang tepat untuk mempercepat ekskresi bilirubin dengan kriteria Hasil :

      • Bayi dapat minum segera setelah lahir
      • Bayi terlindung dari sumber cahaya ( jika ditentukan )

Intervensi :

  • Anjurkan pada ibu untuk segera memberikan Asi segera setelah lahir

Rasional : untuk meningkatkan ekskresi bilirubin melalui feses

  • Kaji kulit untuk mengetahui tanda joundice

Rasional : untuk mengetahui peningkatan kadar bilirubin

  • Chek kadar bilirubin dengan bilirubinometry transcutaneous

Rasional : untuk menetapkan peningkatan kadar bilirubin

  • Catat waktt / awal terjadinya joundice

    Rasional : Untuk membedakan joundice phisiologik (tampak setelah 24 jam) dengan Joundice yg disebabkan o/ penyakit hemolytic/yg lain (tampak sbl 24 jam)

  • Kaji status kesehatan bayi secara keseluruhan, terutama beberapa faktor (hypoxia, hypothermia, hypoglikemi & metebolik asidosis)

    Rasional : Hal tersebut akan meningkatkan resiko kerusakan otak dari hyperbilirubinemia

  • Risiko tinggi kurang volume cairan yang berhubungan dengan efek terapi fototerapi

    Tujuan :

    Anak akan mempertahankan kesimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai oleh kadar elektrolit serum normal dan haluaran urine 1-2 ml/kg/jam

    Intervensi :

  1. Monitor temperatur tubuh ( axilla )

Rasional : Untuk mendeteksi terjadinya hypothermi / hyperthermi

  1. Pastikan intake cairan adequat

Rasional : Untuk mencegah dehydrasi

  1. Menyiapkan intake cairan peroral atau cairan parenteral

    Rasional : Dapat mengganti cairan tubuh yang hilang pada saat tindakan fototerapi

  2. Memonitoring pada output diantaranya jumlah urine, warna, buang air besarnya

    Rasional : dapat memantau adanya kekurangan cairan dan melakukan tindakan awal atau sedini mungkin untuk mencegah dehidrasi

  3. Mengkaji status hidrasinya

    Rasional : Untuk mengevaluasi keberhasilan dari tindakan rehidrasi cairan baik melalui peroral maupun parenteral

  • Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan efek samping fototerapi yang menyebabkan kulit kering, iritasi pada mata.

    Tujuan : Bayi mempunyai integritas kulit yang utuh dengan kriteria hasil tidak ada kemerahan pada kulit dan tidak ada lesi pada kulit dan tidak iritasi pada konjungtiva


    Intervensi :

  1. Melindungi kedua mata bayi.Buat penutup mata khusus untuk melindungi mata bayi

    Rasional : Mencegah iritasi kornea. Chek mata bayi setiap shift untuk drainage ( kekeringan mata ) atau iritasi pada mata

  2. Rencanakan lamanya therapi, type pencahayaan, jarak lampu dengan bayi, pembuka / penutup tempat tidur & pelindung mata bayi

Rasional : Dokumen yang tepat dari phototherapy

  1. Dengan bertambah seringnya bab, bersihkan daerah perianal

Rasional : Untuk mencegah iritasi perianal

  1. Letakkan bayi ( telanjang ) dibawah lampu

Rasional : Agar pencahayaan maximum pada kulit

  1. Lakukan perubahan posisi sesering mungkin ( 1 – 2 jam )

Rasional : Memperluas pencahayaan pada permukaan tubuh

  • Risiko tinggi perubahan peran menjadi orang tua yang berhubungan dengan adanya kehadiran anak dengan terjadi batasan atau pemisahan dengan anak mengingat bayi dilahirkan dilakukan tindakan di tempat khusus

    Tujuan :

    Orang tua mampu mendemonstrasikan perilaku peran menjadi orang tua yang efektif dalam merawat anak dengan hiperbilirubin atau anak yang mendapatkan fototerapi dan tranfusi tukar, yang ditandai

    • Mampu memberikan bantuan yang dibutuhkan anak dalam memenuhi kebutuhan cairan dan menjaga keutuhan integritas kulit.
    • Kunjungan teratur
    • Berbicara dengan anak
    • Memberi dukungan

    Intervensi :

  1. Anjurkan orang tua untuk mengunjungi atau menemani anak (jika diperbolehkan

    Rasional : Kunjungan teratur atau menginap dalam ruang yang sama memungkinkan kontak orang tua dan anak yang berkelanjutan

  2. Jelaskan semua terapi dan prosedur kepada orang tua

    Rasional : Penjelasan semacam ini dapat mengurangi rasa takut dan cemas yang dapat menyebabkan tekanan dan perubahan dalam hubungan orang tua dan anak

  3. Anjurkan orang tua untuk menghadiri pertemuan kelompok pendukung

    Rasional : Menghadiri pertemuan kelompok pendukung, memungkinkan orang tua berinteraksi dengan orang tua lain dari anak-anak yang berpenyakit sama sehingga mendorong peningkatan keterampilan peran menjadi orang tua

  4. Rujuk orang tua ke layanan pendukung yang tepat bila ada untuk memperoleh konseling dan intervensi sesuai yang dibutuhkan

    Rasional : Orang tua perlu mengandalkan layanan pendukung selama krisis, untuk membantunya beradaptasi terhadap situasi yang

  5. Mempertahankan kontak orang tua dengan bayi di ruang fototerapi ke tempat kunjungan orang tua

    Rasional : Orang tua dapat berpartisipasi dalam perawatan anak terutama dalam memantau tanda-tanda dehidrasi dan melindungi cedera pada mata serta kerusakan integritas kulit

  • Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi

    Tujuan

    Orang tua akan mengekspresikan pemahaman tentang instruksi perawatan di rumah

    Intervensi

  1. Jelaskan kepada orang tua tentang patofisiologi penyakit hiperbilirubinemia

    Rasional : Penjelasan yang demikian membantu orang tua memahami penyakit dan pentingnya melanjutkan terapi yang intensif di rumah sakit

  2. Yakinkan kembali orang tua bahwa penyakit tersebut memerlukan terapi yang khusus (tranfusi tukar dan fototerapi) yang menimbulkan efek samping

    Rasional : Orang tua biasanya khawatir tentang efek penyakit, khususnya jika menjalani tranfusi tukar dan fototerapi selama tindakan

  3. Jelaskan kepada orang tua tentang pentingnya menjaga integritas kulit dan melindungi mata saat tindakan fototerapi

    Rasional : Fototerapi dapat menimbulkan efek samping kerusakan integritas kulit dan berisiko menimbulkan cedera pada mata sehingga orang tua perlu berpartisipasi dalam tindakan perawatan

  4. Ajarkan orang tua tentang tanda dan gejala terjadi dehidrasi

    Rasional : Dengan mengetahui tanda dan dehidrasi orang tua dapat mendeteksi dini terjadinya gangguan yang berhubungan dengan keseimbangan cairan dan elektrolit

  5. Anjurkan orang tua menepati semua perjanjian tindak lanjut

    Rasional : Suatu kunjungan tindak lanjut sangat diperlukan untuk menentukan resolusi penyakit dan mendeteksi komplikasi


  • Isue Di Masyarakat Tentang Anak Dengan Hiperbilirubin

    Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama kelahiran. Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi terjadi sebagai hasil dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati neonatus belum dapat membersihkan bilirubin cukup cepat dari darah. Walaupun sebagian besar bayi lahir dengan ikterik normal, tapi mereka butuh monitoring karena bilirubin memiliki potensi meracuni sistem saraf pusat. kadar bilirubin yang cukup tinggi dapat menyebabkan bilirubin encepalopati yang kemudian menjadi kernikterus dan bisa menyebabkan terjadinya kelainan neurologis menetap (Donagh, et.al, (2008).

    Data dari 11 rumah sakit di California Utara yang merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Kaiser Permanente dan dari 18 rumah sakit Sistem Kesehatan Intermountain menyatakan bahwa nilai total bilirubin serum adalah 20 mg/dL (342 mol/L) atau lebih, dari hampir 1–2% kelahiran bayi pada usia kehamilan setidaknya 35 minggu. Penelitian berbasis rumah sakit di USA menyimpulkan bahwa 5 s.d 40 bayi dari 1000 bayi kelahiran cukup bulan dan kurang bulan memperoleh fototerapi sebelum dipulangkan dari perawatan (Donagh, et.al, 2008).

    Bayi yang digambarkan adalah bayi dengan kelahiran pada usia kehamilan 37 minggu dan tidak ada riwayat penyakit hemolitik. Dengan level total bilirubin serum 19,5 mg/dL, ia memperkenalkan kriteria dari The American Academy of Pediatrics untuk administrasi rumah sakit dan fototerapi intensif (menetapkan penyinaran paling sedikit 30 mikrowatt/cm/nm dalam spektrum biru yang dilepaskan pada area permukaan secara menyeluruh). Kami setuju dengan rekomendasi ini. Seperti terapi yang lain dapat diharapkan untuk mengurangi level dari total bilirubin serum yaitu 30-40% dalam 24 jam. Kami merekomendasikan terapi ini dilanjutkan sampai levelnya turun dibawah 13-14 mg/dL. Dan lagi, hilangnya 11% dari berat lahirnya memberi kesan bahwa asupan kalori tidak adekuat dan kemungkinan dehidrasi hipernatremi. Tergantung pada ukuran elektrolit, bayi dapat membutuhkan cairan intravena (Donacgh, et.al, (2008).


  • Pembahasan

    Bilirubin normalnya dibersihkan dari tubuh dengan konjugasi hepatik dengan asam glukoronat dan dihilangkan dalam empedu dalam bentuk bilirubin glukoronat. Ikterik neonatus berkembang dari defisiensi konjugasi sementara (eksarserbasi pada bayi preterm) digabung dengan peningkatan pemecahan sel darah merah. Kondisi patologik yang dapat meningkatkan produksi bilirubin meliputi isoimunisasi, kelainan hemolitik diturunkan, dan ekstravasasi darah (misalnya dari memar dan cephalhematoma). Kelainan genetik konjugasi bilirubin, khususnya sindrom Gillbert yang berkontribusi pada hiperbilirubinemia neonatus. Sebagian besar bayi sehat yang beresiko terjadi hiperbilirubinemia adalah bayi kurang bulan dan yang tidak disusui ASI baik. Penyusuan ASI dan asupan kalori yang buruk dipikirkan dapat menyebabkan peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik (Donagh, et.al, 2008).

    Penilaian yang salah adalah sinar ultraviolet (UV) (< 400 nm) yang digunakan untuk fototerapi. Sinar fototerapi saat digunakan tidak menghasilkan eritem karena radiasi UV yang bermakna. Fototerapi dilakukan pada sejumlah percobaan acak sekitar tahun 1960 sampai awal tahun 1990. Sejak alternatif efektif untuk fototerapi pada bayi dengan ikterik berat adalah transfusi tukar, penggunaan fototerapi mengalami pengurangan jumlah yang dramatis saat sejumlah transfusi tukar dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika fototerapi sudah dilakukan, 36% bayi dengan berat kelahiran kurang dari 1500 gram memerlukan transfusi tukar. Ketika fototerapi telah digunakan, hanya 2 dari 833 bayi (0,24%) yang menerima transfusi tukar. Antara Januari 1988 dan Oktober 2007, tidak ada transfusi tukar yang dibutuhkan di NICU Rumah Sakit William Beaumont, Royal Oak, Michigan untuk 2425 bayi yang berat lahirnya kurang dari 1500 gram (Donagh, et.al, 2008).

    Pada bayi cukup bulan dan lewat bulan, fototerapi secara khas digunakan menurut petunjuk yang diterbitkan oleh The American Academy of Pediatrics di tahun 2004. Pertimbangan petunjuk ini tidak hanya melihat tingkat total bilirubin serum tetapi juga umur kelahiran bayi, umur bayi pada jam-jam sejak kelahiran, dan ada atau tidaknya faktor risiko, seperti penyakit hemolytic isoimmun, kekurangan enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase, asfiksia, letargi, ketidakstabilan temperatur, sepsis, asidosis, dan hipoalbuminemia. Pada bayi prematur, fototerapi digunakan pada tingkatan yang lebih rendah dari total bilirubin serum, dan dalam beberapa unit digunakan sebagai profilaksis pada semua bayi dengan berat kelahiran lebih rendah dari 1000 gram (Donagh, et.al, 2008).

    Kemanjuran fototerapi tergantung pada pemancaran (keluaran energi) sumber cahaya. Pemancaran diukur dengan radiometer atau spektroradiometer dalam unit watt per centimeter persegi atau dalam μW per centimeter persegi per nanometer di atas panjang gelombang yang ditentukan. Ketika sinar diposisikan 20 cm di atas bayi, perlu diberikan suatu iradians spectral 8 sampai 10 µW per cm persegi per nm dalam 430 – 490-nm. Sedangkan lampu fluoresen biru akan mengirimkan 30 – 40 µW per centimeter peregi per nanometer. The American Academy of Pediatrics menggambarkan fototerapi intensif sebagai iradians spektral sedikitnya 30 µW per centimeter persegi per nanometer dari luas bidang yang sama yang dikirimkan ke area permukaan tubuh bayi. Hal ini dicapai dengan penggunaan sumber cahaya yang ditempatkan di atas dan di bawah bayi. Ada suatu hubungan langsung antara penggunaan pemancaran dan tingkat di mana level total bilirubin serum merosot. Petunjuk merekomendasikan standar fototerapi untuk level total bilirubin serum itu adalah 2 sampai 3 mg per deciliter ( 34 - 51 µmol per liter) lebih rendah dari cakupan fototerapi intensif yang direkomendasikan (Donagh, et.al, 2008).

    Dosis dan kemanjuran fototerapi dipengaruhi oleh jenis sumber cahaya. Unit fototerapi yang biasa digunakan berisi tabung fluoresen sinar terang, putih, atau biru. Bagaimanapun, saat kadar total bilirubin serum mencapai target dimana fototerapi intensif direkomendasikan, sangat penting untuk menggunakan lampu dengan emisi biru dengan pertimbangan skema di atas. The American Academy of Pediatrics sekarang ini menganjurkan lampu fluoresensi biru spesial atau lampu light-emitting diode (LED) yang telah diketahui lebih efektif untuk fototerapi pada studi klinis. Lampu halogen dengan penyaring, digabungkan dengan lampu light-emitting diode (LED), biasanya digunakan (Donagh, et.al, 2008).

    Dosis dan kemanjuran dari fototerapi biasanya dipengaruhi oleh jarak antara lampu (semakin dekat sumber cahaya, semakin besar irradiasinya) dan permukaan kulit yang terkena cahaya, karena itu dibutuhkan sumber cahaya di bawah bayi pada fototerapi intensif. Walaupun uji coba telah menunjukkan bahwa semakin luas permukaan kulit yang terkena, semakin berkurang pula jumlah total bilirubin serum, walaupun bayi tetap memakai popok. Jika jumlah total bilirubin serum tetap meningkat walaupun diterapi, popok harus dibuka sampai bilirubin turun secara signifikan. Kertas alumunium atau kain berwarna putih diletakkan pada mata bayi untuk memantulkan cahaya yang akan mempengaruhi kemanjuran dari fototerapi. Karena cahayanya dapat menyebabkan efek toksik pada retina yang immature, sehingga mata bayi harus selalu dilindungi dengan penutup mata yang tidak tembus cahaya (Donagh, et.al, 2008).

    Keefektifan terapi tidak hanya tergantung pada kadar cahaya tetapi juga tergantung pada tingkat keparahan hiperbilirubinemia. Selama proses hemolisis yang aktif, jumlah total bilirubin serum tidak turun secara cepat seperti pada bayi tanpa proses hemolisis. Fototerapi lebih efektif pada daerah yang memiliki kadar bilirubin tinggi meskipun fototerapi juga pada bilirubin di kulit dan jaringan subkutan superfisial. Pada bayi yang sama dengan jumlah total bilirubin serum lebih dari 30 mg/dL (513 µmol/L), fototerapi yang intensif dapat menghasilkan penurunan hingga 10 mg/dl (171 µmol/L) dalam beberapa jam (Donagh, et.al, 2008).

    Hemolisis kemungkinan besar penyebab dari hiperbilirubinemia pada bayi yang dirawat dengan fototerapi selama di rumah sakit. Fototerapi pada bayi yang dirawat selama di rumah sakit dianjurkan pada jumlah total bilirubin serum yang rendah. Karena kedua alasan tersebut, jumlah total bilirubin serum cenderung turun secara perlahan pada sebagian bayi. Walaupun tidak ada ketetapan standar untuk menghentikan terapi, fototerapi dapat dihentikan secara aman pada bayi yang dirawat di rumah sakit jika jumlah total bilirubin serum turun dibawah jumlah ketika fototerapi dimulai. Pada sebagian pasien, fototerapi yang intensif dapat menurunkan 30 hingga 40% pada 24 jam pertama, dengan penurunan terjadi pada 4 – 6 jam pertama; fototerapi dapat dihentikan jika jumlah total bilirubin serum turun hingga dibawah 13 sampai 14 mg/dL (222 sampai 239 µmol/L) (Donagh, et.al, 2008).

    Tercapainya jumlah total bilirubin serum 1 sampai 2 mg/dL (17 sampai 34 µmol/L) dan adakalanya lebih dapat terjadi saat fototerapi dihentikan. Bayi dengan peningkatan risiko kembali secara klinis adalah yang lahir dengan usia kehamilan dibawah 37 minggu, dengan penyakit hemolitik, dan dengan fototerapi pada waktu dirawat di rumah sakit. Pada bayi yang memerlukan fototerapi selama dirawat di rumah sakit dan bayi yang memiliki penyakit hemolitik, perlu dikaji jumlah bilirubin yang harus didapat dalam 24 jam. Fototerapi di rumah lebih cocok bagi bayi dengan jumlah total bilirubin serum 2-3 mg/dL di bawah yang rekomendasi yang mesti difototerapi di rumah sakit. Cahaya matahari dapat menurunkan jumlah bilirubin serum, tapi praktiknya lebih sulit dan membutuhkan paparan yang aman pada bayi baru lahir (Donagh, et.al, 2008).


Daftar Pustaka

Anonim. (2009). Hiperbilirubin. http://www.tanyadokter.com/disease.asp ?id=1001356. Diakses tanggal 1 April 2009


Anonim. (2008). Hiperbilirubinnemia. http://one.indoskripsi.com/. Diakses tanggal 1 April 2009


Donagh, D, Antony, Maisels, J. (2008). Fototerapi Pada Ikterik Neonatus. http://megamedline.multiply.com/journal/item/13/. Diakses tanggal 1 April 2009


Ika, (2008). Hiperbilirubinemia. http://www.miisonline.org/2008/11/20/. Diakses tanggal 1 April 2009


Hidayat, A,A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Salemba Medika.


Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan, Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Salemba Medika


Muhaj, K. (2009). Askep Anak Ikterus Hiperbilirubin. ttp://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/01/., Diakses tanggal 1 April 2009r


Nennisa, (2007). Asuhan Keperawatan Dengan Hiperbilirubin. http://nennisa.files.wordpress.com/2007/08/.pdf. Diakses tanggal 1 April 2009


Sartika, D. (2008). Hiperbilirubinemia. http://www.imc-malaysia.org/index.php?option=com_. Diakses tanggal 1 April 2009


Sutrisno, 92009). Hiperbilirubinemia. http://trisnoners.blogspot.com/2008/03. html. Diakses tanggal 1 April 2009


Speer, K.M. (2008). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan Clinical Pathways (terjemahan). Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC


Schwartz, M.W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri (terjemahan). Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC


Suriayadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan keperawatan Pada Anak. Edisi 1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto


Windyasih. (2008). Hiperbilirubinemia.http://winddyasih.blogspot.com/2008/ 10/hiperbilirubinemia.html. Diakses tanggal 1 April 2009


Wong, D/L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan pediatric (terjemahan). Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

1 komentar: