Minggu, 29 Januari 2012

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN AUTISME

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

DENGAN AUTISME

BAB I

PENDAHULUAN


  1. LATAR BELAKANG

    Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Dalam penelitian yang dirangkum Synopsis of Psychiatry awal 1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000. Angka ini meningkat di tahun 2000 dalam catatan Sutism Research Institute di Amerika Serikat sebanyak 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita autis. Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Di sana berdasarkan data International Congress on Autism tahun 2006 tercatat 1 dari 130 anak punya kecenderungan autis.

    Bagaimana dengan Indonesia? Dr SASANTI YUNIAR, SpKJ (K) dari Ilmu Kedoktera Jiwa RSU dr Soetomo, Surabaya saat berbicara dalam sesi seminar Surabaya Peduli Autisme yang digelar Surabaya City Guide-Mossaik Media Communication, Sabtu (13/12) di Empire Palace mengatakan cukup sulit untuk mendapatkan data penderita autis di Indonesia.

    Ini karena orangtua anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali tidak menyadari gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka merujuknya ke pintu lain di RS. Misalnya ke bagian THT karena menduga anaknya mengalami gangguan pendengaran dan ke Poli Tumbuh Kembang Anak karena mengira anaknya mengalami masalah dengan perkembangan fisik.

    "Tapi kita memang merasakan makin banyak kasus autisme ini di Indonesia dari tahun ke tahun," papar dia.

    SASANTI dalam bagian lain tidak bisa menjelaskan apa penyebab makin banyaknya kasus autisme di Indonesia. Yang bisa dilacak adalah faktor yang terkait dengan autisme, misalnya genetis dan biologis. Secara biologis, ada kemungkinan autisme berkaitan dengan gangguan pencernaan, alergi, gangguan kandungan, maupun polusi.(edy).( suarasurabaya.net. 13 desember 2008)

  2. TUJUAN
    1. Tujuan Instruksional Umum

      Mahasiswa mampu menerapkan konsep keperawatan pada anak dengan autisme

    2. Tujuan Instruksional Khusus
      1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi dan patofisiologi autisme
      2. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan medis dan keperawatan pada autisme
      3. Mahasiswa mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan autisme


    TINJAUAN TEORI


  3. DEFINISI PENYAKIT

    Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif.(Sacharin, R, M, 1996: 305)

    Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)

    Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan.(Behrman, 1999: 120)

    Menurut Isaac, A (2005) autisme merupakan gangguan perkembangan pervasive dengan masalah awal tiga area perkembangan utama yaitu perilaku, interaksi sosial dan komunikasi. Gangguan ini dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas. Autisme adalah kelainan yang mempunyai dampak besar terhadap kehidupan penderita, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kadang keadaan ini membuat kebingungan dan sangat menyakitkan hati orang tua penderita. Definisi Autisme adalah kelainan neuropsikiatrik yang menyebabkan kurangnya kemampuan berinteraksi sosial dan komunikasi, minat yang terbatas, perilaku tidak wajar dan adanya gerakan stereotipik, dimana kelainan ini muncul sebelum anak berusia 3 tahun (Teramihardja, J, 2007).

    Suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai oleh adanya 3 gejala utama berupa : kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun.


  4. ETIOLOGI

    Sepuluh tahun yang lalu penyebab autisme belum banyak diketahui dan hanya terbatas pada faktor psikologis saja. Tetapi sekarang ini penelitian mengenai autisme semakin maju dan menunjukkan bahwa autisme mempunyai penyebab neurobiologist yang sangat kompleks. Gangguan neurobiologist ini dapat disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan seperti pengaruh negatif selama masa perkembangan otak. Banyak faktor yang menyebabkan pengaruh negatif selama masa perkembangan otak, antara lain; penyakit infeksi yang mengenai susunan saraf pusat, trauma, keracunan logam berat dan zat kimia lain baik selama masa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan, gangguan imunologis, gangguan absorpsi protein tertentu akibat kelainan di usus (Suriviana, 2005).

    Menurut Dewo (2006) gangguan perkembangan pervasive autisme dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain:

    1. Genetis, abnormalitas genetik dapat menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel – sel saraf dan sel otak
    2. Keracunan logam berat seperti mercury yang banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yang dikonsumsi ibu yang sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada penelitian diketahui dalam tubuh anak-anak penderita autis terkandung timah hitam dan merkuri dalam kadar yang relatif tinggi.
    3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya, atau nutrisi tidak trpenuhi karena faktor ekonomi
    4. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat – zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yang justru kebal terhadap zat – zat penting dalam tubuh dan menghancurkannya.


  5. PATOFISIOLOGI

    Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.

    Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.

    Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak.

    Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.

    kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.

    Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak.

    Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada gangguan autistik terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian otak tumbuh dan mati secara tak beraturan.

    Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel Purkinye.

    Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan.

    Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau obat seperti thalidomide.

    Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan gerakan motorik, belajar sensori-motor, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.

    Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori).

    Penelitian pada monyet dengan merusak hipokampus dan amigdala mengakibatkan bayi monyet berusia dua bulan menunjukkan perilaku pasif-agresif. Mereka tidak memulai kontak sosial, tetapi tidak menolaknya. Namun, pada usia enam bulan perilaku berubah. Mereka menolak pendekatan sosial monyet lain, menarik diri, mulai menunjukkan gerakan stereotipik dan hiperaktivitas mirip penyandang autisme. Selain itu, mereka memperlihatkan gangguan kognitif.

    Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.

    Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan, radiasi, serta ko kain.

    1. pathway



















  6. MANIFESTASI KLINIS

    Keterlambatan atau fungsi abnormal pada ketrampilan berikut, muncul sebelum umur 3 tahun.

    1. Interaksi sosial.
    2. Bahasa yang digunakan sebagai komunikasi sosial.
    3. Bermain simbolik atau imajinatif.

    Diagnosis harus memenuhi kriteria DSM IV (Diagnostic And Statistical Of Manual Disorders 1992 Fourth Edition). Diagnosis autisme bisa ditegakkan apabila terdapat enam atau lebih gejala dari (1), (2) dan (3) dengan paling sedikit 2 dari (1) dan 1 dari masing-masing (2) dan (3).

    1. Gangguan kualitatif interaksi sosial, muncul paling sedikit 2 dari gejala berikut :
      1. Gangguan yang jelas dalam perilaku non - verbal (perilaku yang dilakukan tanpa bicara) misalnya kontak mata, ekspresi wajah, posisi tubuh dan mimik untuk mengatur interaksi sosial.
      2. Tidak bermain dengan teman seumurnya, dengan cara yang sesuai.
      3. Tidak berbagi kesenangan, minat atau kemampuan mencapai sesuatu hal dengan orang lain.
      4. Kurangnya interaksi sosial timbal balik.
    2. Gangguan kualitatif komunikasi, paling sedikit satu dari gejala berikut :
      1. Keterlambatan atau belum dapat mengucapkan kata-kata berbicara, tanpa disertai usaha kompensasi dengan cara lain.
      2. Bila dapat berbicara, terlihat gangguan kesanggupan memulai atau mempertahankan komunikasi dengan orang lain.
      3. Penggunaan bahasa yang stereotipik dan berulang, atau bahasa yang tidak dapat dimengerti.
      4. Tidak adanya cara bermain yang bervariasi dan spontan, atau bermain menirukan secara sosial yang sesuai dengan umur perkembangannya.
    3. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas, berulang dan tidak berubah (stereotipik), yang ditunjukkan dengan adanya 2 dari gejala berikut :
      1. Minat yang terbatas, stereotipik dan meneetap dan abnormal dalam intensitas dan fokus.
      2. Keterikatan pada ritual yang spesifik tetapi tidak fungsional secara kaku dan tidak fleksibel.
      3. Gerakan motorik yang stereotipik dan berulang, misalnya flapping tangan dan jari, gerakan tubuh yang kompleks.
      4. Preokupasi terhadap bagian dari benda.


  7. PENATALAKSANAAN MEDIS

    Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.

    Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis.

    Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.

    Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2).

    Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri.

    Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori, gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi, iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi.

    Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap suara, intervensi keluarga, dan sebagainya.

    Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa memperburuk kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding usus.

    Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan berprestasi.


  8. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN

    Penatalaksanaan pada autisme bertujuan untuk:

    1. Mengurangi masalah perilaku.

      Terapi perilaku dengan memanfaatkan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. menagement perilaku dapat mengubah perilaku destruktif dan agresif.

    2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama bahasa.

      Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant conditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan dukungan negatif (hukuman).

    3. Anak bisa mandiri dan bersosialisasi.

      Mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis.

    BAB III

    ASUHAN KEPERAWATAN


  9. PENGKAJIAN KEPERAWATAN DITINJAU DARI KEPERAWATAN ANAK

    Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive menurut Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara lain:

  • Tidak suka dipegang
  • Rutinitas yang berulang
  • Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan
  • Terpaku pada benda mati
  • Sulit berbahasa dan berbicara
  • 50% diantaranya mengalami retardasi mental
  • Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri sendiri dengan orang lain
  • Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang lain
  • Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan orang lain
  • Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau gerakkan-gerakkan mimik orang lain
  • Penolakan atau ketidakmampuan berbicara yang ditandai dengan ketidakmatangan stuktur gramatis, ekolali, pembalikan pengucapan, ketidakmampun untuk menamai benda-benda, ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak, tidak adanya ekspresi nonverbal seperti kontak mata, sifat responsif pada wajah, gerak isyarat.


  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN

    Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada pasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive autisme antara lain:

  • Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan:
  1. Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya terhadap rasa tidak percaya
  2. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan
  3. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan sindroma fragilis X
  4. Deprivasi ibu
  5. Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai
  6. Sejarah perilaku-perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons terhadap ansietas yang meningkat
  7. Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan
  • Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan:
  1. Gangguan konsep diri
  2. Tidak adanya orang terdekat
  3. Tugas perkembangan tidak terselsaikan dari percaya versus tidak percaya
  4. Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X)
  5. Deprivasi ibu
  6. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
  • Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan:
  1. Ketidakmampuan untuk mempercayai
  2. Penarikan diri dari diri
  3. Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X)
  4. Deprivasi ibu
  5. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
  • Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan:
  1. Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan
  2. Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya
  3. Deprivasi ihu
  4. Stimulasi sensorik yang tidak sesuai


  1. PERENCANAAN DAN RASIONALISASI

    Menurut Townsend, M.C (1998) perencanaan dan rasionalisasi untuk mengatasi masalah keperawatan pada anak dengan gangguan perkembangan pervasife autisme antara lain:

    1. Resiko terhadap mutilasi diri
  • Tujuan: Pasien akan mendemonstrasikan perilaku-perilaku alternative (misalnya memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respons terhadap kecemasan dengan criteria hasil:
  1. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat anak merasa tidak memerlukan perilaku-perilaku mutilatif diri
  2. Pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas
  • Intervensi
  1. Jamin keselamatan anak dengan memberi rasa aman, lingkungan yang kondusif untuk mencegah perilaku merusak diri
  • Rasional: Perawat bertanggun jawab untuk menjamin keselamatan anak)
  1. Kaji dan tentukan penyebab perilaku – perilaku mutilatif sebagai respon terhadap kecemasan
  • Rasional : pengkajian kemungkinan penyebab dapat memilih cara /alternative pemecahan yang tepat
  1. Pakaikan helm pada anak untuk menghindari trauma saat anak memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk mencegah menarik – narik rambut, pemberian bantal yang sesuai untuk mencegah luka pada ekstremitas saat gerakan-gerakan histeris
  • Rasional : Untuk menjaga bagian-bagian vital dari cidera
  1. Untuk membentuk kepercayaan satu anak dirawat oleh satu perawat
  • Rasional : Untuk dapat bisa lebih menjalin hubungan saling percaya dengan pasien
  1. Tawarkan pada anak untuk menemani selama waktu - waktu mening-katnya kecemasan agar tidak terjadi mutilasi
  • Rasional :Dalam upaya untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan rasa aman
  1. Kerusakan interaksi sosial
  • Tujuan : Anak akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan yang ditandai dengan sikap responsive pada wajah dan kontak mata dalam waktu yang ditentukan dengan criteria hasil:
    • Anak mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain
    • Pasien menggunakan kontak mata, sifat responsive pada wajah dan perilaku-perilaku nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain
    • Pasien tidak menarik diri dari kontak fisik dengan orang lain
  • Intervensi
    • Jalin hubungan satu – satu dengan anak untuk meningkatkan keper-cayaan
      • Rasional : Interaksi staf dengan pasien yang konsisten meningkatkan pembentukan kepercayaan
    • Berikan benda-benda yang dikenal (misalnya: mainan kesukaan, selimut) untuk memberikan rasa aman dalam waktu-waktu tertentu agar anak tidak mengalami distress
      • Rasional : Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu aman bila anak merasa distres
    • Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika anak berusaha untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasarnya untuk meningkatkan pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya
      • Rasional: Karakteristik-karakteritik ini meningkatkan pembentukan dan mempertahankan hubungan saling percaya
    • Lakukan dengan perlahan-lahan, jangan memaksakan interaksi-interaksi, mulai dengan penguatan yang positif pada kontak mata, perkenalkan dengan berangsur-angsur dengan sentuhan, senyuman , dan pelukan
      • Rasional : Pasien autisme dapat merasa terncam oleh suatu rangsangan yang gencar pada pasien yang tidak terbiasa
    • Dengan kehadiran anda beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk membentuk hubungan dengan orang lain dilingkungannya
      • Rasional :Kehadiran seorang yang telah terbentuk hubungan saling percaya dapat memberikan rasa aman
  1. Kerusakan komunikasi verbal
  • Tujuan : Anak akan membentuk kepercayaan dengan seorang pemberi perawatan ditandai dengan sikap responsive dan kontak mata dalam waktu yang telah ditentukan dengan kriteria hasil:
    • Pasien mampu berkomunikasi dengan cara yang dimengerti oleh orang lain
    • Pesan-pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal
    • Pasien memulai berinteraksi verbal dan non verbal dengan orang lain
  • Intervensi
    • Pertahankan konsistensi tugas staf untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi anak
      • Rasional: Hal ini memudahkan kepercayaan dan kemampuan untuk memahami tindakan-tindakan dan komunikasi pasien
    • Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan anak sampai kepuasan pola komunikasi terbentuk
      • Rasional : Pemenuhan kebutuhan pasien akan dapat mengurangi kecemasan anak sehingga anak akan dapat mulai menjalin komunikasi dengan orang lain dengan asertif
    • Gunakan tehnik validasi konsensual dan klarifikasi untuk menguraikan kode pola komunikasi ( misalnya :" Apakah anda bermaksud untuk mengatakan bahwa…..?" )
      • Rasional: Teknik-teknik ini digunakan untuk memastikan akurasi dari pesan yang diterima, menjelaskan pengertian-pengertian yang tersembunyi di dalam pesan. Hati-hati untuk tidak "berbicara atas nama pasien tanpa seinzinnya"
    • Gunakan pendekatan tatap muka berhadapan untuk menyampaikan ekspresi-ekspresi nonverbal yang benar dengan menggunakan contoh
      • Rasional: Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap dan hormat kepada seseorang
  1. Gangguan Indentitas Pribadi
  • Tujuan: Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian tubuh dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan untuk mengenali fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain saat pulang dengan kriteria hasil:
    • Pasien mampu untuk membedakan bagian-bagian dari tubuhnya dengan bagian-bagian dari tubuh orang lain
    • Pasien menceritakan kemampuan untuk memisahkan diri dari lingkungannya dengan menghentikan ekolalia (mengulangi kata-kata yang di dengar) dan ekopraksia (meniru gerakan-gerakan yang dilihatnya)
  • Intervensi:
    • Fungsi pada hubungan satu-satu dengan anak
      • Rasional : Interaksi pasien staf meningkatkan pembentukan data kepercayaan
    • Membantu anak untuk mengetahui hal-hal yang terpisah selama kegiatan-kegiatan perawatan diri, seperti berpakaian dan makan
      • Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anda terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain
    • Jelaskan dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya
      • Rasional : Kegiatan-kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari orang lain
    • Tingkatkan kontak fisik secara bertahap demi tahap, menggunakan sentuhan untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pasien dengan perawat. Berhati-hati dengans entuhan sampai kepercayaan anak telah terbentuk
      • Rasional: Bila gerak isyarat ini dapat diintepretasikan sebagai suatu ancaman oleh pasien
    • Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian-bagian dari batas-batas tubuh dengan menggunakan cermin dan lukisan serta gambar-gambar dari anak
      • Rasional: Dapat memberikan gambaran tentang bentuk tubuh dan gambaran diri pada anak secara tepat



BAB IV

PEMBAHASAN

  1. ISSUE DIMASYARAKAT TENTANG AUTIS

    Semakin hari istilah autis semakin banyak diperbincangkan di mana-mana. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan autis semakin lama semakin meningkat. Namun, yang disayangkan tingkat penyangkalan (denial) orang tua terhadap autis ini masih cukup tinggi. Oleh sebab itu, tidak heran banyak kasus autis menjadi terlambat untuk ditangani. Padahal deteksi dini autis sangat penting untuk membantu tahapan perkembangan anak-anak autis.

    Salah satu masalah keterlambatan penanganan autis ada beberapa hal, salah satunya adalah banyak orang tua yang belum memahami gejala-geala awal autis. "Penyebab autis sebenarnya ada banyak tapi belum ada yang bersifat konklusif. Beberapa penyebab autis antara lain, karena dari makanan yang mengandung zat-zat kimia, pengaruh polusi air, udara, dan sebagainya, serta faktor keturunan atau kelainan gen", tutur Danny Tania, Programme Manger Linguistic Council.

    Autis tidak dapat dikategorikan sebagai penyakit. Sebab, autis belum dapat disembuhkan, tetapi dapat dibantu dengan terapi, bantuan guru khusus, dan peran serta orang tua yang turut aktif membantu.

    Bagi para orang tua, gejala autis pada anak sebenarnya sudah dapat terdeteksi mulai dari usia 16 bulan. Salah satu ciri-cirinya adalah tidak adanya kontak mata dan respon berupa senyuman atau gerakan dari si anak ketika orang tua mengajak berinteraksi.

    Selain itu, perhatikanlah apakah pada usia 18 hingga 36 bulan si anak sudah siap dapat meniru gerakan atau kebiasaan orang tua atau disebut juga pretend-play? Pada usia seperti ini, biasanya anak perempuan akan meniru gerakan ibunya dengan berpura-pura memasak atau bagi anak laki-laki meniru kebiasaan ayahnya dengan membaca Koran atau menggunakan sepatu ayahnya. Nah, jika anak anda tidak dapat melakukan kedua hal di atas, maka ada kemungkinan dia autis.

    Gejala yang lainnya adalah anak suka melakukan kegiatan yang serupa secara berulang-ulang. Contohnya adalah kebiasaan seorang anak membangun bangunan dari balok-balok yang kemudian dihancurkan. Lalu dia membangun kembali balok-balok tersebut ke dalam bentuk dan urutan yang sama persis. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang dengan urutan dan bentuk bangunan balok yang sama persis seperti di awal. Ini merupakan salah satu kelebihan anak autis. Sebab, mereka mempunyai kelebihan dalam fotografik memori. Kelebihan ini merupakan suatu anugerah yang dapat anda kembangkan melalui terapi yang tepat. Salah satu bentuk terapi yang dapat meningkatkan perilaku anak autis sekaligus mengurangi kesulitan-kesulitannya adalah melalui terapi perilaku atau metode ABA (Applied Behavioural Analysis). Metode ini melatih anak berkemampuan, social, akademis, dan kemampuan membantu diri sendiri. melalui peranan orang tua dan terapi yang tepat, anak autis dapat diarahkan sesuai dengan kelebihannya. Orang tua dapat membantu mengarahkan anak autis untuk mengembangkan kelebihan-kelebihan mereka seperti, kemampuan focus dan konsentrasi yang luar biasa serta melatih mereka untuk mengurangi berbagai kesulitan-kesulitannya. Terbukti, banyak penderita autis yang akhirnya berfungsi dan mampu berkarya dalam kehidupannya. Banyak di antara mereka yang akhirnya menjadi pakar di bidang sains, matematika, computer, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya akan membuat mereka tumbuh menjadi anak yang special dengan kelebihan yang special pula.

  2. PEMBAHASAN
    1. Pengkajian

      Pengkajian yang dilakukan perawat adalah untuk mendapatkan data tentang adanya perilaku yang membahayakan, gejala – gejala yang mengganggu perkembangan dan pertumbuhan penderita, dan menentukan masalah –masalah yang masih bisa ditangani oleh perawat.

    2. Diagnosa Keperawatan
      1. Risiko tinggi terhadip mutilasi ditegakkan agar pasien tidak melakukan tindakan – tindakan yang membahayakan diri ketika pasien merasa terancam. Perawat harus mampu menjadi teman bagi pasien, sehingga pasien merasa nyaman bersama perawat
      2. Kerusakan interaksi social ditegakkan untuk memberikan stimulasi social yang cukup agar anak mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar, anak dengan autis sangat tidak peka terhadap rangsang dari lingkungan, dengan stimulasi yang cukup kuat, diharapkan anak dapat memperhatikan benda – benda disekitarnya
      3. Kerusakan komunikasi verbal ditegakkan agar pasien dapat melakukan komunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh orang lain, anak dengan autis biasanya menggunakan simbul – simbul dalam berkomunikasi, sehingga anak perlu dimotivasi untuk menggunakan tanda atau simbul yang mudah dimengerti, dan dimotivasi untuk menggunakan bahasa seperti yang digunakan orang lain, reward untuk keberhasilan menggunakan kata – kata (verbal) sangat baik untuk memotivasi anak menggunakan bahasa verbal.
      4. Gangguan identitas pribadi ditegakkan agar anak bisa membedakan bagian – bagian tubuhnya sendiri dengan lingkungan dan dengan orang lain,

    BAB V

    PENUTUP

  3. KESIMPULAN

    Autis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai oleh gejala – gejala diantaranya kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum diketahui, tetapi beberapa hal yang dapat memicu adanya perubahan genetika dan kromosom, dianggap sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian autis pada anak, perkembangan otak yang tidak normal atau tidak seperti biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada neurotransmitter, dan akhirnya dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku pada penderita. Dalam kemampuan intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan sosial dan respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang. Anak cenderung asik dengan dunianya sendiri. Dan cenderung suka mengamati hal – hal kecil yang bagi orang lain tidak menarik, tapi bagi anak autis menjadi sesuatu yang menarik.

    Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan normal seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar.



  4. SARAN

    Makalah yang kami susun ini semoga dapat memberikan gambaran jelas tentang asuhan keperawatan pada anak dengan autisme, walaupun masih banyak yang harus dikaji dan ditambahkan agar benar – benar dapat diterapkan dalam asuhan keperawatan. Asuhan yang diberikan kepada anak autis sebaiknya mengacu pada proses tumbuh kembang anak, sehingga diharapkan anak dapat tetap bertumbuh dan berkembang sesuai tingkat usia, dan bisa meminimalisir akibat yang ditimbulkan oleh autisme

    DAFTAR PUSTAKA


    Isaac, A., (2005). Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa & Psikiatrik (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


    Townsend, M.C., (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawata Pada Keperawatan Psikiatri pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan (terjemahan). Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

    Eddy Prasetyo. 2008. Kasus Autisme di Seluruh Dunia Meningkat. Diakses 05 mei 2009 dari: http://www.suarasurabaya.net/v06/kelanakota/?id=c71ee08849735df9b3bd982e3c4e3a73200859667


    Asuhan Keperawatan Anak diakses 05 mei 2009 dari http://asuhankeperawatananak.blogspot.com/2008/09/autisme.html


    Irwanto,dkk, Gangguan Pemusatan Perhatian-Hiperaktivitas (GPPH). Diakses 05 mei 2009 dari: WWW.PEDIATRIK.COM


    Tanggal: Wednesday, 30 April 2008. Mungkinkah Autisme bisa disembuhkan ?….. Diakses 05 mei 2009 dari: http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=633


    Kelainan Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Autistik Diakses 05 mei 2009 dari: http://64.203.71.11/kompas-cetak/0307/06/foto/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar