Jumat, 27 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) KANKER NASOFARING


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia kanker nasofaring (bagian atas faring atau tenggorokan) merupakan kanker terganas nomor 4 setelah kanker rahim, payudara dan kulit. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari gejala kanker ini, karena gejalanya hanya seperti gejala flu biasa. Kanker nasofaring banyak dijumpai pada orang-orang ras mongoloid, yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita kanker ini.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan Ca Nasofaring?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan ca nasofaring

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Memahami definisi Ca nasofaring.

2. Mengetahui penyebab dari Ca nasofaring.

3. Mengetahui manifestasi klinis dari Ca nasofaring

4. Mengetahui proses terjadinya Ca nasofaring.

5. Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada Ca nasofaring.

6. Mengetahui penatalaksaan Ca nasofaring

7. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan Ca nasofaring

1.4 Manfaat

1.4.1 Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan ca Nasofaring sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah persepsi sensori.

1.4.2 Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.

BAB 2

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi

Kanker nasofaring adalah kanker yang berasal dari sel epitel nasofaring di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Kanker ini merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas dan leher merupakan kanker nasofaring, kemudian diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah.

Pada banyak kasus, nasofaring carsinoma banyak terdapat pada ras mongoloid yaitu penduduk Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis kanker yang diturunkan secara genetik.

2.2 Etiologi

Terjadinya Ca Nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:

  1. Kerentanan Genetik

Walaupun Ca Nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap Ca Nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agrregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gan HLA ( Human luekocyte antigen ) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E ( CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap Ca Nasofaring, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar Ca Nasofaring . Penelitian menunjukkan bahwa kromosom pasien Ca Nasofaring menunjukkan ketidakstabilan , sehingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbul penyakit.

  1. Virus EB

Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid virus ( VCA ), antigen membran ( MA ), antigen dini ( EA ), antigen nuklir ( EBNA ) , dll. Virus EB memiliki kaitan erat dengan Ca Nasofaring , alasannya adalah :

  1. Di dalam serum pasien Ca Nasofaring ditemukan antibodi terkait virus EB ( termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll ) , dengan frekuensi positif maupun rata-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penderita jenis kanker lain, dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor . Selain itu titer antibodi dapat menurun secara bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
  2. Di dalam sel Ca Nasofaring dapat dideteksi zat petanda virus EB seperti DNA virus dan EBNA.
  3. Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung virus EB, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat , gambaran pembelahan inti juga banyak.
  4. Dilaporkan virus EB di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.

  1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat berikut berkaitan dengan timbulnya Ca Nasofaring :

  1. Hidrokarbon aromatik, pada keluarga di area insiden tinggi kanker nasofaring , kandungan 3,4- benzpiren dalam tiap gram debu asap mencapai 16,83 ug, jelas lebih tinggi dari keluarga di area insiden rendah.
  2. 2. Unsur renik : nikel sulfat dapat memacu efek karsinognesis pada proses timbulnya kanker nasofaring .
  3. 3. Golongan nitrosamin : banyak terdapat pada pengawet ikan asin. Terkait dengan kebiasaan makan ikan asin waktu kecil, di dalam air seninya terdeteksi nitrosamin volatil yang berefek mutagenik.

2.3 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :

  1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 % pasien datang berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
  2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.
  3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba eustaki, menyebabkan tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga terjadi otitis media transudatif . bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan dilatasi tuba eustaki dapat meredakan sementara. Menurunnya kemmpuan pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di dalam telinga.
  4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo parietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor, infiltrasi saraf kranial atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi lokal atau iriasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif.
  5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi direk ke superior , dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui saluran atau celah alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal, foramen ovale, dan area sinus spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV, V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas, paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi tersendiri ), neuralgia trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen ( sindrom fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.
  6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid, dan benjolan tidak nyeri , maka pada mulanya sulit diketahui. Ada sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya perama kali muncul di regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.
  7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru, hati . metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat ekstremitas. Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu diagnosis. Metastasis hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika dilakukan tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT atau USG

2.4 Patofisiologi

Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring. Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protin tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.

Penggolongan Ca Nasofaring :

  1. T1 : Kanker terbatas di rongga nasofaring.
    1. T2 : Kanker menginfiltrasi kavum nasal, orofaring atau di celah parafaring di anterior dari garis SO ( garis penghubung prosesus stiloideus dan margo posterior garis tengah foramen magnum os oksipital ).
    2. T3 : Kanker di celah parafaring di posterior garis SO atau mengenai basis kranial, fosa pterigopalatinum atau terdapat rudapaksa tunggal syaraf kranial kelompok anterior atau posterior.
    3. T4 : Saraf kranial kelompok anterior dan posterior terkena serentak, atau kanker mengenai sinus paranasal, sinus spongiosus, orbita, fosa infra-temporal.
    4. N0 : Belum teraba pembesaran kelenjar limfe .
    5. N1 : Kelenjar limfe koli superior berdiameter <4 cm,.
    6. N2 : Kelenjar koli inferior membesar atau berdiameter 4-7 cm .
    7. N3 : Kelenjar limfe supraklavikular membesar atau berdiameter >7 cm
    8. M0 : Tak ada metastasis jauh.
    9. M1 : Ada metastasis jauh.

Penggolongan stadium klinis, antara lain :

  1. Stadium I : T1N0M0
  2. Stadium II : T2N0 – 1M0, T0 – 2N1M0
  3. Stadium III : T3N0 - 2M0, T0 – 3N2M0
  4. Stadium IVa : T4N0 – 3M0, T0 – 4N3M0
  5. Stadium IVb :T apapun, N Apapun, M1

2.5 Pemeriksaan Diagnosis

Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut :

  1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.

Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.

  1. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.

Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai nervus aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat pembesaran.

  1. Pemeriksaan saraf kranial

Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali, barulah ditemukan hasil yang positif

  1. Pemeriksaan serologi virus EB

Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut. Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki resiko tinggi kanker nasofaring :

  1. Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
  2. Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
  3. Dua dari tiha dari indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.

Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti dengan nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.

  1. Diagnosis pencitraan.
  1. Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis, memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut.
  2. Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal, sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
  3. Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas , harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi, fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi, dll.
  4. PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi, membantu penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap jaringan normal berkurang.
  1. Diagnosis histologi

Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari lesi primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai harus diperoleh diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi kelenjar limfe leher.

2.6 Penatalaksanaan

a. Radioterapi

Hal yang perlu dipersiapkan adalah keadaan umum pasien baik, hygiene mulut, bila ada infeksi mulut diperbaiki dulu. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.

b. Kemoterapi

Kemoterapi meliputi kemoterapi neodjuvan, kemoterapi adjuvan dan kemoradioterapi konkomitan. Formula kemoterapi yang sering dipakai adalah : PF ( DDP + 5FU ), kaboplatin +5FU, paklitaksel +DDP, paklitasel +DDP +5FU dan DDP gemsitabin , dll.

DDP : 80-100 mg/m2 IV drip hari pertama ( mulai sehari sebelum kemoterapi , lakukan hidrasi 3 hari )

5FU : 800-1000 mg/m2/d IV drip , hari ke 1-5 lakukan infus kontinyu intravena.

Ulangi setiap 21 hari atau:

Karboplatin : 300mg/m2 atau AUC = 6 IV drip, hari pertama.

5FU : 800-1000/m2/d IV drip , hari ke 1-5 infus intravena kontinyu. Ulangi setiap 21 hari.

c. Terapi Biologis

Dewasa ini masih dalam taraf penelitian laboraturium dan uji klinis.

d. Terapi Herbal TCM

Dikombinasi dengan radioterapi dan kemoterapi, mengurangi reaksi radiokemoterapi , fuzhengguben ( menunjang, memantapkan ketahanan tubuh) , kasus stadium lanjut tertentu yang tidak dapat diradioterapi atau kemoterapi masih dapat dipertimbangkan hanya diterapi sindromnya dengan TCM. Efek herba TCM dalam membasmi langsung sel kanker dewasa ini masih dalam penelitian lebih lanjut.

  1. Terapi Rehabiltatif

Pasien kanker secara faal dan psikis menderita gangguan fungsi dengan derajat bervariasi. Oleh karena itu diupayakan secara maksimal meningkatkan dan memperbaiki kualitas hidupnya.

  1. Rehabilitas Psikis

Pasien kanker nasofaring harus diberi pengertian bahwa pwnyakitnya berpeluang untuk disembuhkan, uapayakan agar pasien secepatnya pulih dari situasi emosi depresi.

  1. Rehabilitas Fisik

Setelah menjalani radioterapi, kemoterpi dan terapi lain, pasien biasanya merasakan kekuatan fisiknya menurun, mudah letih, daya ingat menurun. Harus memperhatikan suplementasi nutrisi , berolahraga fisik ringan terutama yang statis, agar tubuh dan ketahanan meningkat secara bertahap.

  1. Pembedahan

Dalam kondisi ini dapat dipertimbangkan tindakan operasi :

  1. Rasidif lokal nasofaring pasca radioterapi , lesi relatif terlokalisasi.
  2. 3 bulan pasca radioterapi kurtif terdapat rasidif lesi primer nasofaring
    1. Pasca radioterapi kuratif terdapat residif atau rekurensi kelenjar limfe leher.
    2. Kanker nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma.
    3. Komplikasi radiasi.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

a. Identitas/ biodata klien

  1. Nama
  2. Tempat tanggal lahir
  3. Umur
  4. Jenis Kelamin
  5. Agama
  6. Warga Negara
  7. Bahasa yang digunakan

Penanggung Jawab

  1. Nama
  2. Alamat

10. Hubungan dengan klien

b. Keluhan Utama

Leher terasa nyeri, semakin lama semakin membesar, susah menelan, badan merasa lemas, serta BB turun drastis dalam waktu singkat.

c. Riwayat Kesehatan Sekarang

d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

g. Keadaan Lingkungan

3.2 Observasi

3.2.1 Keadaan Umum

  1. Suhu
  2. Nadi
  3. Tekanan Darah
  4. RR
  5. BB
  6. Tinggi badan

3.2.2 Pemeriksaan Persistem

B1 (breathing) : RR meningkat, sesak nafas, produksi sekret meningkat.

B2 (blood) : normal

B3 (brain) : Pusing, nyeri, gangguan sensori

B4 (bladder) : Normal

B5 (bowel) : Disfgia, Nafsu makan turun, BB turun

B6 (bone) : Normal

3.3 Diagnosa

  1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
  2. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan status organ sekunder metastase tumor
  3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.
  4. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
  5. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.

3.4 Intervensi

  1. Nyeri (akut) berhubungan dengan agen injuri fisik (pembedahan).
    Tujuan : Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
    Kriteria hasil :
  • Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri
  • Melaporkan penghilangan nyeri maksimal/kontrol dengan pengaruh minimal pada AKS

Intervensi

Rasional

Mandiri

  1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi

  1. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
  2. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
  3. Evaluasi penghilangan nyeri atau control

Kolaborasi

  1. Berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau campuran narkotik

  1. Informasi memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan/keefektivan intervensi
  2. Meningkatkan relaksasi dan membantu memfokuskan kembali perhatian

  1. Memungkinkan pasien untuk berpartisipasi secara aktif dan meningkatkan rasa kontrol

  1. Kontrol nyeri maksimum dengan pengaruh minimum pada AKS

  1. Nyeri adalah komplikasi sering dari kanker, meskipun respon individual berbeda. Saat perubahan penyakit atau pengobatan terjadi, penilaian dosis dan pemberian akan diperlukan

  1. Gangguan sensori persepsi (pendengaran ) berubungan dengan gangguan status organ sekunder metastase tumor

Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi.

Kriteria Hasil: mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.

Intervensi

Rasional

  1. Tentukan ketajaman pendengaran, apakah satu atau dua telinga terlibat .
  2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan.
  3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi.

1. Mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien .

2. Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan proses penyembuhan.

3. Mengetahui faktor penyebab gangguan persepsi sensori yang lain dialami dan dirasakan pasien.

  1. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi

Kriteria hasil : 1. Berat badan dan tinggi badan ideal.

2. Pasien mematuhi dietnya.

3. Kadar gula darah dalam batas normal.

4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.

Intervensi

Rasional

  1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.

  1. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.

  1. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.

4. Identifikasi perubahan pola makan.

  1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.

  1. Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.

  1. Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).

  1. Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.

  1. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.

Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.

2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.

Intervensi

Rasional

  1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan Ca. Nasofaring

  1. Kaji latar belakang pendidikan pasien.

  1. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.

  1. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.

  1. gambar-gambar dalam memberikan penjelasan (jika ada / memungkinkan).

  1. Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.

  1. Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.

  1. Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.

4. Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.

  1. Gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.

5.Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.

Tujuan : Setelah dilakukan askep selama 3×24 jam klien menerima keadaan dirinya

Kriteria Hasil :

1) Menjaga postur yang terbuka

2) Menjaga kontak mata

3) Komunikasi terbuka

4) Menghormati orang lain

5) Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan dalam kelompok

6) Menerima kritik yang konstruktif

7) Menggambarkan keberhasilan dalam kelompok social

Intervensi

Rasional

  1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.

  1. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.

  1. Gunakan komunikasi terapeutik.

  1. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.

  1. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.

  1. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.

  1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

  1. Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.

  1. Dapat meringankan beban pikiran pasien.

  1. Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.

  1. Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.

  1. Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.

  1. Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.

  1. Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas
    1. ii.

DOWNLOAD : WOC KANKER NASOFARING

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kanker nasofaring atau dikenal juga dengan kanker THT adalah penyakit yang disebabkan oleh sel ganas (kanker) dan terbentuk dalam jaringan nasofaring, yaitu bagian atas faring atau tenggorokan. Kanker ini paling sering terjadi di bagian THT, kepala serta leher. Sampai saat ini belum jelas bagaimana mulai tumbuhnya kanker nasofaring. Namun penyebaran kanker ini dapat berkembang ke bagian mata, telinga, kelenjar leher, dan otak. Sebaiknya yang beresiko tinggi terkena kanker nasofaring rajin memeriksakan diri ke dokter, terutama dokter THT. Risiko tinggi ini biasanya dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang menderita kanker ini.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC. Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.

Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process Approach. 2 nd Edition : WB Sauders.

Lab. UPF Ilmu Penyakit THT FK Unair. (1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit THT. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetom Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi kekempat. FKUI : Jakarta.

Sri Herawati. (2000). Anatomi Fisiologi Cara Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorokan. Laboratorium Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.


DI APLOAD DI RSUD VVIP UPAYA WALUYA JOMBANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar