Jumat, 27 April 2012

ASUHAN KEPERWATAN (ASKEP) EMPIEMA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat. Saat ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Di Indonesia terdapat 5 – 10% kasus anak dengan empiema toraks. Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri.

Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia, sepsis, tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus. Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman kuno. Aristoteles menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian berhubungan dengan empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura setelah dilakukan insisi. sebagian dari terapi empiema masih diterapkan dalam pengobatan modern. Dalam tulisan yang dibuat pada tahun 1901 yang berjudul The Principles and Practice of Medicine, William Osler, mengemukakan bahwa sebaiknya empiema ditangani selayaknya abses pada umumnya yakni insisi dan penyaliran.

Melakukan asuhan keperawatan (askep) pada pasien dengan Empiema merupakan aspek legal bagi seorang perawat walaupun format model asuhan keperawatan di berbagai rumah sakit berbeda-beda. Seorang perawat profesional di dorong untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan seoptimal mungkin, memberikan informasi secara benar dengan memperhatikan aspek legal etik yang berlaku. Metode perawatan yang baik dan benar merupakan salah satu aspek yang dapat menentukan kualitas “asuhan keperawatan” (askep) yang diberikan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan brand kita sebagai perawat profesional dalam pelayanan pasien gangguan hisprung. Pemberian asuhan keperawatan pada tingkat anak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia hingga bagaimana kita menerapkan manajemen asuhan keperawatan secara tepat dan ilmiah diharapkan mampu meningkatkan kompetensi perawat khususnya.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana konsep penyakit empiema ?

1.2.2 Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien dengan empiema ?

1.3 Tujuan

`1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien empiema.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi konsep empiema meliputi definisi, etiologi, manifestasi klinis dan patofisiologi

2. Mengidentifiksi proses keperawatan pada empiema meliputi pengkajian, analisis data dan diagnose, intervensi dan evaluasi

1.4 Manfaat

1.4.1 Mahasiswa memahami konsep dan proses keperawatan pada klien dengan gangguan empiema shingga menunjang pembelajaran mata kuliah respirasi

1.4.1 Mahasiswa mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat menjadui bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya rongga pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering kali berlanjut menjadi yang kental. Hal ini dapat terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura. Empiema juga di artikan,akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). ). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen. Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Meskipun empiema sering kali merupakan dari infeksi pulmonal, tetapi dapat juga terjadi jika pengobatan yang terlambat.

2.2 Etiologi

1. Stapilococcus

Staphylococcus adalah kelompok dari bakteri-bakteri, secara akrab dikenal sebagai Staph, yang dapat menyebabkan banyak penyakit-penyakit sebagai akibat dari infeksi beragam jaringan-jaringan tubuh. Bakteri-bakteri Staph dapat menyebabkan penyakit tidak hanya secara langsung oleh infeksi (seperti pada kulit), namun juga secara tidak langsung dengan menghasilkan racun-racun yang bertanggung jawab untuk keracunan makanan dan toxic shock syndrome. Penyakit yang berhubungan dengan Staph dapat mencakup dari ringan dan tidak memerlukan perawatan sampa berat/parah dan berpotensi fatal.

2. Pnemococcus

Pneumococcus adalah salah satu jenis bakteri yang dapat menyebabkan infeksi serius seperti radang paru-paru (pneumonia), ,meningitis (radang selaput otak) dan infeksi darah (sepsis).

Sebenarnya ada sekitar 90 jenis kuman pneumokokus, tetapi hanya sedikit yang bisa menyebabkan penyakit gawat. Bentuk kumannya bulat-bulat dan memiliki bungkus atau kapsul. Bungkus inilah yang menentukan apakah si kuman akan berbahaya atau tidak.

2.3 Patofisiologi

Akibat invasi basil piogenik ke pleura, maka akan timbul peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel polimorphonucleus (PMN) baik yang hidup maupun yang mati dan meningkatnya kadar protein, maka cairan menjadi keruh dan kental. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantung-kantung yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus bronkus maka timbul fistel bronkopleura, atau apabila menembus dinding toraks dan keluar melalui kulit maka disebut empiema nessensiatis. Stadium ini masih disebut empiema akut yang lama kelamaan akan menjadi kronis.

2.4 Patogenesis

Ada tiga stadium empiema toraks pada anak yaitu :

  1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan.
  2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.
  3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.

2.5 Manifestasi Klinis

Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu :

  1. Empiema Akut

Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas).

Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E. coli atau Bakterioids sering kali menimbulkan empiema.

  1. Empiema Kronis

Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.

Tanda-tanda empiema :

  1. Demam dan keluar keringat malam.
  2. Nyeri pleura.
  3. Dispnea.
  4. Anoreksia dan penurunan berat badan.
  5. Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.
  6. Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.
  7. Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus.

Jika pasien dapat menerima terapi antimikroba, manifestasi klinis akan dapat dikurangi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil dari chest X-ray dan thoracentesis.

2.6 Penatalaksanaan

  1. Pengosongan Nanah

Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya.

  1. Closed drainage – toracostorry water sealed drainage dengan indikasi :

1) Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi

2) Nanah terus terbentuk setelah dua minggu

3) Terjadinya piopneumotoraks

Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negative sebesar 10-20 cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus ditempuh cara lain seperti pada empiema kronis.

  1. Drainase terbuka (open drainage)

Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat, drainase tidak adekuat sehingga harus seing mengganti atau membersihkan drain.

  1. Antibiotic

Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotic memegang peranan penting. Antibiotic harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotic didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotic dapat diberikan secara sistematik atau tropical. Biasanya diberikan penisilin.

  1. Penutupan Rongga Empiema

Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilkukan pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.

  1. Dekortikasi

Tindakan ini termasuk operasi besar, dengan indikasi :

1) Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung.

2) Letak empiema sukar dicapai oleh drain.

3) Empiema totalis yang mengalami organisasi pada pleura visceralis.

  1. Torakoplasti

Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh ke dalam rongga pleura karena tekanan atmosfer.

  1. Pengobatan Kausal

Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi spesifik pada amoeboiasis, dan sebagainya.

  1. Pengobatan Tambahan

Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan napas.

2.7 WOC

DOWNLOAD : WOC ASKEP EMPIEMA

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN

  1. Identitas pasien
    1. Nama
    2. Umur

Terjadi pada segala umur, sering pada anak umur 2-9 tahun.

  1. Suku/ bangsa
  2. Agama
  3. Alamat
  4. Pendidikan
  5. Pekerjaan
  6. Keluhan utama

Batuk, mual, demam, sesak, dypsnea

  1. Riwayat penyakit sebelumnya

Klien dengan riwayat penyakit masa lalu yang berkaitan dengan riwayat penyakit saat ini misalnya batuk yang lama dan tidak sembuh sembuh akibat infeksi.

  1. Riwayat keluarga

Riwayat penyakit keluarga, misalnya asma ( genetik ) memeiliki peluang besar untuk terserang empiema

  1. Riwayat lingkungan

Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman padat, ventilasi rumah yang kurang juga berperan dalam memperburuk keadaan klien dengan empiema.

3.2 OBSERVASI

  1. Keadaan umum
  1. Suhu
  2. Nadi
  3. Tekanan darah
  4. B1 ( Breathing )
  1. Pemeriksaan persistem

Nafas pendek batuk menetap dengan produksi sputum, riwayat pneumoni berulang, episode batuk hilang timbul.

  1. B2 ( Blood )
  2. B3 ( Brain )

normal

  1. B4 ( Bladder )

normal

  1. B5 ( Bowel )

Anoreksia

  1. B6 (Bone )

normal

  1. Aspek Psikososial

hubungan ketergantungan, kurang sistem pendukung, penyakit lama

  1. Aspek perawatan Diri

penurunan kemampuan melakukan ADL

  1. Sistem Endokrin

pembengkakan pada ekstremitas bawah.

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

  1. foto thorak
  2. kultur darah
  3. USG
  4. Sampel sputum
  5. Torakosenstesis
  6. Pemeriksaan cairan Pleura :
  • Hitung sel darah dan deferensiasi
  • Protein, LDH, glucose, dan pH
  • Kultur bakteri aerob dan an aerob, mikobakteri, fungi dan mikoplasma

3.4 DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. Gangguan pertukaran gas akibat kerusakan alveoli.
  2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
  3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
  4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispneu, kelemahan, anoreksia.
  5. Kurangnya pengetahuan, tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, berhubungan dengan kurangnya informasi atau tidak mengenal sumber individu.
  6. PK sepsis

3.5 INTERVENSI

  1. Ganguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar kapiler

Tujuan : Pertukaran gas jadi optimal

kriteria hasil : - ( RR = 16-20 x/menit).

- pH = 7,35-7,45

- pO2 = 81-100 mmHg

- pCO2= 35-45 mmHg

- SO2 > 98 %.

Intervensi

Rasional

  1. Kolaborasikan untuk pemberian O2

  1. Kolaborasikan untuk pemeriksaan Blood Gas Analisis

  1. Kaji status mental.

  1. Monitor nadi.

  1. Pertahankan istirahat tidur. Dorong menggunakan teknik relaksasi dan aktivitas senggang.
    1. Terapi oksigen bertujuan untuk mempertahankan PaO2 diatas 60mmHg. Oksigen diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tepat dalam toleransi klien.
    2. Untuk mengukur kadar ion hidrogen , kadar asam dan basa tubuh.

  1. Gelisah, mudah terangsang, bingung , somnolen, dapat menunjukkan hipoksemia

  1. Takikardia ada sebagai akibat demam, dehidrasi, tetapi dapat sebagai respon hipoksemia.
  2. Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan oksigen untuk memudahkan perbaikan infeksi.

  1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi secret, kelemahan.

Tujuan : Bersihan jalan nafas menjadi efektif

Kriteria Hasil : 1. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, misal batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

2. tidak ada ronchi

3. tidak ada wheezing

Intervensi

Rasional

  1. Bantu klien latihan nafas dalam dengan keadaan semifowler. Tunjukkan cara batuk efektif dengan cara menekan dada dan batuk .

  1. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/ hari ( kecuali kontra indikasi ) tawarkan yang hangat dari pada dingin.
  2. Berikan obat sesuai indikasi ( Mukolitik, ekspektoran, bronkodilator).
  3. Auskultasi adanya bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti wheezing, ronchi.

  1. Observasi batuk dan sekret.

  1. Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru atau jalan lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan nafas yang alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan nafas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat.
  2. Cairan ( khususnya yang hangat ) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.

  1. Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi sekret.
  2. Bunyi nafas menurun atau tak ada bila jalan nafas obstruksi terhadap kolaps jalan nafas kecil. ronchi dan wheezing menyertai obstruksi jalan nafas.
  3. Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering. Sputum darah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.

Tujuan : intoleransi aktivitas dapat teratasi.

Kriteria hasil : melaporkan peningkatan toleransi aktivitas terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dypsnea, kelemahan berlebihan, dan tanda – tanda vital dalam rentan norma ( RR: 16-20 x /menit Nadi : 60-100 x/ meit ).

Intervensi

Rasional

Mandiri :

  1. Evaluasi respon pasen terhadap aktivitas. Catat laporan dypsnea, peningkitan kelemahan, dan perubahan tanda-tanda vital.
  2. Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk aktivitas dan istirahat.

  1. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi . dorong penggunaan manajemen stress dan pengalihan yang tepat.
  2. Jelaskan pentingnya istirahat dlam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
  3. Menetapkan kemampuan dan kebutuhan pasiendan memudahkan pemilihan intervensi.

  1. Pasien mungkin nyaman dengan posisi kepala tinggi, tidur di kursi atau menunuduk ke depan meja.
  2. Menurunkan stress dan rangsangan berlebih, meningkatkan istirahat.

  1. Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respon individual terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan pernafasan.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispneu, kelemahan, anoreksia.

Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

Kriteria Hasil : a. Nafsu makan meningkat

b. BB meningkat atau normal sesuai umur

Intervensi

Rasional

  1. Mendiskusikan dan menjelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi, berlemak dan air terlalu panas atau dingin).
  2. Menciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah, sajikan makanan dalam keadaan hangat.
  3. Memberikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan.
  4. Memonitor intake dan out put dalam 24 jam.
  5. Berkolaborasi dengan tim kesehtaan lain :

a.Terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu

b.Obat-obatan atau vitamin

  1. Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang mengiritasi lambung dan sluran usus.
  2. Situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.
  3. Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan.
  4. Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.
  5. Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan

5. Kurangnya pengetahuan, tentang kondisi, pengobatan, pencegahan, sehubungan dengan kurangnya informasi atau tidak mengenal sumber individu.

Kriteria hasil : Pengetahuan klien meningkat

Tujuan : - pasien mampu melakukan perubahan gaya hidup dan mau berpartisipasi dalam program pengobatan.

- Pasien mampu menyatakan pemahaman tentang kondisi penyakitnya ( dapat menjelaskan pengertian atelektasis, menyebutkan beberapa penatalaksanaannya).

Intervensi

Rasional

Mandiri :

  1. Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan belajar klien.

  1. Jelaskan atau kuatkan penjelasan proses penyakit,penatalaksanaan,pencegahan pada ateletaksis.dorong pasien atau orang terdekat untuk bertanya

  1. Kaji ulang informasi tentang etiologi atelektasis, efek hubungan perilaku pola hidup. Dorong untuk bertanya.
  2. Belajar lebih mudah bila mulai dari pengetahuan kilen.

  1. Menurunkan ansietas dan pasien mampu berpartisipasi dalam rencana pengobatan.

  1. Memberikan pengetahuan dasar dimana klien dapat membuat pilihan informasi/ keputusan tentang kontrol masalah kesehatan.

6. PKP Sepsis

Kriteria hasil : Tidak adanya infeksi pada klien

Tujuan : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi

Kriteria Hasil : -Suhu = Normal (36,5oC-37,5oC)

-WBC = 4500-11000/mm3

-CRP = <15 mmHg

-RR = 16-20 x /menit

-Nadi = 60-100/ menit

Intervensi

Rasional

  1. Awasi suhu
  2. Observasi warna, bau sputum
  3. Dorong keseimbangan antar aktifitas dan istirahat
  4. Diskusi masukan nutrisi adekuat
  5. Kolaborasi pemeriksaan sputum
  6. Kolaborasi antibiotic
  7. Perawatan luka WSD
  8. Kultur sputum

  1. Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi
  2. berbau, kuning atau kehijauan menujukkan adanya infeksi paru
  3. Menurunkan konsumsi / kebutuhan kesimbangan oksigen dan memperbaiki pertahan pasien terhadapa infeksi, peningkatan penyembuhan
  4. Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi
  5. Dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap anti microbial
  6. Dapat menurunkan beban pernafasan akibat nyeri pleura dan infeksi
  7. Mencegah infeksi port de entry mikroorganisme
  8. Bertujuan untuk mencegah penumpukan sputum akibat infeksi bakteri dan untuk mengetahui sensifitas/kepekaan bakteri

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga pleura. Awalnya rongga pleura adalah cairan encer dengan jumlah leukosit rendah, tetapi sering kali berlanjut menjadi yang kental. Hal ini dapat terjadi jika abses paru-paru meluas sampai rongga pleura. Empiema biasanya merupakan komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang terlokalisasi (abses) dalam paru. Meskipun empiema sering kali merupakan dari infeksi pulmonal, tetapi dapat juga terjadi jika pengobatan yang terlambat.

Empiema sendiri diklasifikasikan menjadi Empiema akut dan Empiema kronis. Bisa disebabkan oleh bakteri Stapilococcus, Pnemococcus, Streptococcus.

DAFTAR PUSTAKA

Somantri, Irman.2008.Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.Jakarta:Salemba Medika.

Amin, Muhammad dkk.1989.Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press

Price, Sylvia A.1995.Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Ed4.Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar