Sabtu, 14 April 2012

Askep Lupus



PENDAHULUAN
Dalam Kongres Internasional Lupus Sedunia di New York, awal Mei lalu, lebih dari 1200 peserta dari seluruh penjuru dunia hadir, baik dari kalangan medik, perawat, peneliti, maupun mereka yang terkena lupus. Dokter spesialis yang hadir pun beragam, seperti spesialis penyakit dalam, konsultan hematologi, rematologi, ginjal, spesialis kulit dan kebidanan. Organisasi ataupun perhimpunan orang dengan lupus juga hadir dari berbagai negara, dari Indonesia hadir Ketua Yayasan Lupus Indonesia (YLI) yang merupakan wakil satu-satunya dari perhimpunan serupa di Asia.

mauu… klik aja di cne bos
Untuk diketahui saat ini, ada lebih dari 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sebagian besar pasien lupus ditemukan pada perempuan usia produktif. Jumlah pasien di Indonesia yang secara tepat tidak diketahui diperkirakan paling tidak sama dengan jumlah pasien lupus di Amerika, yaitu 1.500.000 orang. Beberapa data menunjukkan insiden penyakit lupus ras Asia lebih tinggi dibandingkan dengan ras Kaukasia. Saat ini pasien lupus yang terdaftar sebagai anggota YLI ada 757 orang, sebagian besar berdomisili di Jakarta.
Salah satu tujuan proklamasi hari lupus sedunia adalah meningkatkan kualitas layanan dan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen, dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen.
Masalah berikutnya adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya.

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.

B. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinaran ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
Pengaruh kehamilan terhadap SLE
Eksaserbasi terjadi karena hormone estrogen meningkat selama kehamilan. Jika terjadi SLE, maka eksaserbasi meningkat 50-60%. Pada T.III eksaserbasi 50%, T.I & T.II eksaserbasi 15%, postpartum 20%.
Pengaruh SLE terhadap kehamilan
Prognosis b’dasarkan remisi sebelum hamil, jika > 6 bulan eksaserbasi 25% dengan prognosis baik, jika < 6 bulan eksaserbasi 50% dengan prognosis buruk. Abortus meningkat 2-3kali, PE/E, kelahiran prematur, lupus neonatal.
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

Patoflow

D. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

E. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
a) Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
b) Ruam kulit atau lesi yang khas.
c) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
d) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau jantung.
e) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5 mg/hari atau +++.
f) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
g) Biopsi ginjal.
h) Pemeriksaan saraf.

F. Penatalaksanaan Medis
a) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon 1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
b) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
c) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
d) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

Penanganan Obstetri
a) ANC (Pantau aktivitas janin dgn bag. IPD, kul-kel dan neuro; waspadai PJT & insufisiensi plasenta dengan pertambahan TFU, BB ibu, USG serial tiap 2 minggu; monitoring terhadap PE/superimposed; pemeriksaan laboratorium darah lengkap, urinalisis, aLA, ACA, Anti DNA antibody, Anti Ro SSA & Anti Ro SSB, fungsi ginjal & komplemen).
b) Intrapartum (tergantung indikasi obstetric, untuk cegah eksaserbasi beri metilprednisolon IV sampai 48 jam pasca partus).
c) Postpartum (Semua obat SLE melewati ASI, tingkat Keamanan pada ibu yang menyusui : kortikosteroid, anti malaria, aspirin, azatio, siklofosfamid).
Kontrasepsi,
untuk hormonal pilihan progresit IUD dapat meningkatkan infeksi, kontap jika cukup anak, jika ada kelainan ginjal berat jangan hamil, untuk hamil selanjutnya tunggu remisi paling sedikit 6 bulan.

Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien SLE.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa I
1. Resti kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit
Intervensi:
a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan.
R/: Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan dan melakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, mis, membasuh kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan lotion atau krim.
R/: mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier infeksi.
c. Gunting kuku secara teratur.
R/: kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
d. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R/: dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.
e. Kolaborasi
gunakan/berikan obat-obatan topical sesuai indikasi
R/: digunakan pada perawatan lesi kulit.

Diagnosa II
2. Nyeri berhubungan dengan implamasi / kerusakan jaringan.
Intervensi:
a. Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.
R/: suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.
b. Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup tubuh hangat.
R/: pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas eksternal perlu untuk mencegah menggigil..

c. Kaji keluhan nyeri. Perhatikan lokasi/karakter dan intensitas (skala 0-10).
R/: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan/kerusakan tetapi biasanya paling berat selama penggantian balutan dan debridemen.
d. Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat dan/atau pada hidroterapi.
R/: menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan penggantian balutan dan debridemen.
e. Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.
R/: pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping.
f. Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif, napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R/: memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.
g. Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.
R/: membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan kembali perhatian.
h. Kolaborasi:
Berikan analgesic (narkotik dan non-narkotik) sesuai indikasi.
R/: membantu mengurangi nyeri.

Diagnosa III
3. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
Intervensi:
a. Tentukan persepsi pasien tentang situasi.
R/: isolasi sebagian dapat mempengaruhi diri saat pasien takut penolakan/reaksi orang lain.
b. Berikan waktu untuk berbicara dengan pasien selama dan di antara aktivitas perawatan.
R/: pasien mungkin akan mengalami isolasi fisik.
c. Batasi/hindari penggunaan masker, baju dan sarung tangan jika memungkinkan, mis, jika berbicara dengan pasien.
R/: mengurangi perasaan pasien akan isolasi fisik dan menciptakan hubungan social yang positif, yang dapat meningkatkan rasa percaya diri.

d. Dorong adanya hubungan yang aktif dengan orang terdekat.
R/: membantu memantapkan partisipasi pada hubungan social, dapat mengurangi kemungkinan upaya bunuh diri.
e. Berikan tempat pada komunitas perlindungan jika di perlukan.
R/: mungkin memerlukan perawatan yang lebih khusus jika tidak mampu mempertahankannya di rumah atau ketika orang terdekat tidak mampu menangani perawatannya.

Diagnosa IV
4. Perubahan nutrisi berhubungan dengan mual/ muntah.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan untuk mengunyah, merasakan dan menelan.
R/: lesi mulut, tenggorok dan esophagus dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
b. Berikan perawatan mulut yang terus menerus, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari obat kumur yang mengandung alcohol.
R/: Mengurangi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan mual/muntah, lesi oral, pengeringan mukosa dan halitosis. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
c. Jadwalkan obat-obatan di antara makan (jika memungkinkan) dan batasi pemasukan cairan dengan makanan, kecuali jika cairan memiliki nilai gizi.
R/: lambung yang penuh akan akan mengurangi napsu makan dan pemasukan makanan.
d. Dorong aktivitas fisik sebanyak mungkin.
R/: dapat meningkatkan napsu makan dan perasaan sehat.
e. Berikan fase istirahat sebelum makan. Hindari prosedur yang melelahkan saat mendekati waktu makan.
R/: mengurangi rasa lelah; meningkatkan ketersediaan energi untuk aktivitas makan.
f. Dorong pasien untuk duduk pada waktu makan.
R/: mempermudah proses menelan dan mengurangi resiko aspirasi.
g. Catat pemasukan kalori
R/: mengidentifikasi kebutuhan terhadap suplemen atau alternative metode pemberian makanan.

h. Kolaborasi
Konsultasikan dengan tim pendukung ahli diet/gizi.
R/: Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan individu dengan rute yang tepat.

Diagnosa V
5. Kelelahan berhubungan dengan efek samping obat- obatan.
Intervensi;
a. kaji pola tidur dan catat perubahan dalam proses berpikir/perilaku.
R/: berbagi factor dapat meningkatkan kelelahan, termasuk kurang tidur, tekanan emosi dan efek samping obat-obatan.
b. dorong pasien untuk melakukan apapun yang mungkin, mis perawatan diri, duduk di kursi, berjalan, pergi makan siang. Meningkatkan tingkat aktivitas sesuai petunjuk.
R/: memungkinkan penghematan energi, peningkatan stamina dan mengijinkan pasien untuk lebih aktif tanpa menyebabkan kepenatan dan rasa frustasi.
c. pantau respons psikologis terhadap aktivitas, mis perubahan TD, frekuensi pernafasan atau jantung.
R/: toleransi bervariasi tergantung pada status proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan cairan dan jumlah/tipe [enyakit di mana pasien menjadi subjeknya.
d. dorong masukan nutrisi
R/: pemasukan/penggunaan nutrisi adekuat sangat penting bagi kebutuhan energi untuk aktivitas.
e. Kolaborasi
Rujuk pada terapi fisik/okupasi
R/: latihan setiap hari terprogram dan aktivitas yang membantu pasien mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan tonus otot, meningkatkan rasa sejahtera

.
Diagnosa VI
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Intervensi
a. Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R/: Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
b. Tinjau ulang cara penularan penyakit.
R/: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung keamanan bagi pasien/orang lain.
c. Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.
R/: merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.
d. Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi
R/: memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan perubahan/individu.
e. Identifikasi sumber-sumber komunitas, mis, rumah sakit/pusat perawatan tempat tinggal.
R/: memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung pemulihan dan kemandirian.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

http://www.supari.com

Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar