BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan dalam bidang industri sampai sekarang telah menghasilkan sekitar 70.000 jenis bahan berupa logam, kimia, pelarut, plastik, karet, pestisida, gas, dan sebagainya yang digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan kenyaman dan kemudahan bagi penduduk di seluruh dunia. Namun di lain pihak, bahan-bahan tersebut menimbulkan berbagai dampak seperti cedera dan penyakit. Cedera akibat kerja dapat bersifat ergonomik, ortopedik, fisik, mengenai mata, telinga dan lainnya. Penyakit-penyakit akibat pajanan di lingkungan kerja dapat berupa toksik, infeksi, kanker, gangguan hati, saraf, alat reproduksi, kardiovaskular, kulit dan saluran napas.
Ratusan juta tenaga kerja di seluruh dunia saat ini bekerja pada kondisi yang tidak aman dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization(ILO), setiap hari terjadi 1.1 juta kematian yang disebakan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Dari data ILO tahun 1999, penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan paling banyak disebabkan oleh kanker 34%. Sisanya terdapat kecelakaan sebanyak 25 %, penyakit saluran pernapasaan 21%, dan penyakit kardiovaskuler 15%. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa penyakit saluran pernapasaan menempati peringkat ketiga.
Sebagai tenaga kesehatan, termasuk perawat harus melakukan pengkajian terhadap pasien dan apakah ada hubungan antara penyakit yang diderita pasien dengan pekerjaan mereka. Sehingga dapat ditentukan perencanaan serta intervensi yang tepat untuk pasien agar hasil yang diperoleh dapat maksimal dan benar-benar bermanfaat untuk pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Apa definisi silicosis dan asbestosis?
1.2.2. Bagaimanakah etiologi silicosis dan asbestosis?
1.2.3. Apa saja manifestasi klinis seseorang hingga dikatakan menderita silicosis dan asbestosis?
1.2.4. Bagaimana patofisiologi silicosis dan asbestosis?
1.2.5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada silikosis dan asbestosis?
1.2.6. Bagaimana penatalaksanaan untuk silikosis dan asbestosis?
1.2.7. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan asbestosis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan silikosis dan asbestosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
- Mengetahui patofisiologi silikosis dan asbestosis.
- Mengetahui mekanisme klinis silikosis dan asbestosis.
- Mengetahui pemeriksaan dignostik pada silikosis dan asbestosis.
- Mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan silikosis dan asbestosis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Silikosis
2.1.1 Definisi
Pada saat orang menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut.
- Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas,
- Partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran pernapasan bagian tengah.
- Partikel yang berukuran lebih kecil yaitu 1 sampai 3 mikron, akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru kemudian menempel pada alveoli.
- Partikel yang lebih kecil lagi yaitu kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas dihembuskan.
Silikosis adalah suatu penyakit saluran pernafasan akibat menghirup debu silika, yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silikosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak. (RS Persahabatan,2002)
Terdapat 3 jenis silikosis menurut RS Persahabatan, 2002 :
1. Silikosis kronis simplek, terjadi akibat pemaparan sejumlah kecil debu silika dalam jangka panjang (lebih dari 20 tahun). Nodul-nodul peradangan kronis dan jaringan parut akibat silika terbentuk di paru-paru dan kelenjar getah bening dada.
3. Silikosis akselerata, terjadi setelah terpapar oleh sejumlah silika yang lebih banyak selama waktu yang lebih pendek (4-8 tahun). Peradangan, pembentukan jaringan parut dan gejala-gejalanya terjadi lebih cepat.
4. Silikosis akut, terjadi akibat pemaparan silikosis dalam jumlah yang sangat besar, dalam waktu yang lebih pendek. Paru-paru sangat meradang dan terisi oleh cairan, sehingga timbul sesak nafas yang hebat dan kadar oksigen darah yang rendah.
Pada silikosis simplek dan akselerata bisa terjadi fibrosif masif progresif. Fibrosis ini terjadi akibat pembentukan jaringan parut dan menyebabkan kerusakan pada struktur paru yang normal.
2.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juga banyak terdapat di tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama–sama dengan partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Silika merupakan unsur utama dari pasir, sehingga pemaparan biasanya terjadi pada:
1. buruh tambang logam
2. pekerja pemotong batu dan granit
3. pekerja pengecoran logam
4. pembuat tembikar.
5. keluarga pekerja asbes akibat terpaparnya debu dari baju pekerja
2.1.3 Manifestasi Klinis
Penyakit silikosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Batuk ini seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silikosis tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila penyakit silikosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung.
Gejala tambahan yang mungkin ditemukan, terutama pada silikosis akut:
1. demam
2. batuk
3. penurunan berat badan
4. gangguan pernafasan yang berat.
Komplikasi :
1. Bronkitis
2. Emphysenic(kembang paru-paru)
3. Kegagalan jantung berfungsi
2.1.4 Patofisiologi
Partikel-partikel silika yang berukuran 0.5-5 µm bila terhirup akan tertahan di alveolus dan sel pembersih (makrofag) akan mencernanya. Banyak dari partikel ini dibuang bersama sputum sedangkan yang lain masuk ke dalam aliran limfatik paru-paru, kemudian mereka ke kelenjar limfatik. Enzim yang dihasilkan oleh sel pembersih menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada paru-paru. Pada kelenjar, makrofag itu kemudian berintregasi, meninggalkan partikel silika yang akan menyebabkan dampak lebih luas. Kelenjar itu menstimulasi pembentukan bundel-bundel nodular dari jaringan parut dengan ukuran mikroskopik, semakin lama semakin banyak pula nodul yang terbentuk, mereka kemudian bergabung menjadi nodul yang lebih besar yang kemudian akan merusak jalur normal cairan limfatik melalui kelenjar limfe.
Ketika ini terjadi, jalan lintasan yang lebih jauh dari sel yang telah tercemar oleh silika akan masuk ke jaringan limfe paru-paru. Sekarang, antibodi baru di dalam pembuluh limfatik bertindak sebagai gudang untuk sel-sel yang telah tercemar oleh debu, dan parut nodular terbentuk terbentuk pada lokasi ini juga. Kemudian, nodul-nodul ini akan semakin menyebar dalam paru-paru.
Gabungan dari nodul-nodul itu kemudian secara berangsur-angsur menghasilkan bentuk yang mirip dengan masa besar tumor. Sepertinya, silika juga menyebabkan menyempitnya saluran bronchial yang merupakan sebab utama dari dyspnea. Jika penderita silikosis terpapar oleh organisme penyebab tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) penderita silikosis mempunyai resiko 3 kali lebih besar untuk menderita tuberkulosis.
Biasanya gejala timbul setelah pemaparan selama 20-30 tahun. Tetapi pada peledakan pasir, pembuatan terowogan dan pembuatan alat pengampelas sabun, dimana kadar silika yang dihasilkan sangat tinggi, gejala dapat timbul dalam waktu kurang dari 10 tahun.
2.1.5 Pemeriksaan
Biasanya akan ditanyakan secara terperinci mengenai jenis pekerjaan, hobi dan aktivitas lainnya yang kemungkinan besar merupakan sumber pemaparan silika. Pemeriksaan yang dilakukan:
1. Rontgen dada (terlihat gambaran pola nodul dan jaringan parut)
Foto toraks berguna dalam mendeteksi dan memantau respon paru untuk debu mineral, logam tertentu, dan debu organik mampu mendorong pneumonitis hipersensitivitas. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) International Klasifikasi Radiografi dari Pneumoconioses mengklasifikasikan radiografi dada sesuai dengan sifat dan ukuran dan kekeruhan melihat sejauh mana keterlibatan parenkim tersebut. Secara umum, kekeruhan linier terlihat di asbestosis. (Harrison , 2008)
- Tes fungsi paru
Banyak debu mineral menghasilkan perubahan karakteristik dalam mekanisme pernapasan dan volume paru-paru yang secara jelas menunjukkan pola restriktif. Demikian pula, pemaparan debu organik atau bahan kimia dapat menyebabkan asma kerja atau PPOK. Pengukuran perubahan volume ekspirasi paksa (FEV1) sebelum dan setelah shift kerja dapat digunakan untuk mendeteksi respon bronchoconstrictive atau peradangan akut. (Harrison, 2008)
2.1.6 Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus untuk silikosis. Untuk mencegah semakin memburuknya penyakit, sangat penting untuk menghilangkan sumber pemaparan. Terapi suportif terdiri dari obat penekan batuk, bronkodilator dan oksigen. Jika terjadi infeksi, bisa diberikan antibiotik. Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan pengobatannya. Penyakit silikosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantauan riwayat penyakit pekerja kalau sewaktu – waktu diperlukan.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah:
1. Membatasi pemaparan terhadap silika
2. Berhenti merokok
3. Menjalani tes kulit untuk TBC secara rutin.
Penderita silikosis memiliki resiko tinggi menderita tuberkulosis (TBC), sehingga dianjurkan untuk menjalani tes kulit secara rutin setiap tahun. . Silika diduga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh terhadap bakteri penyebab TBC. Jika hasilnya positif, diberikan obat anti TBC.
2.1.7 Pencegahan
Pengawasan terhadap di lingkungan kerja dapat membantu mencegah terjadinya silikosis. Penekanan debu dengan pengendalian teknis( pembasahan sebelumnya,pengeboran basah) perlu dilaksanakan dengan ketat dan debu residu hendaknya dikontrol dengan ventilasi yang sesuai. Kadar debu dan kandungan silika dalam debu yang masuk pernapasan hendaknya dipantau secara teratur. Jika menggunakan bahan peledak,para pekerja seharusnya dicegah masuk ke daerah berdebu sampai debu dibersihkan melalui ventilasi. Debu hendaknya disaring dari dari udara yang dikeluarkan .
Pekerja harus memakai masker dan tutup kepala bertekanan. Selama kerusakan alat-alat pengendalian debu teknis atau pada keadaan darurat. Kabin dengan pengatur udara (ber-AC) hendaknya disediakan untuk para pengemudi truk dan operator alat berat pada operasi terbuka di cuaca panas di mana penyemprotan dengan air tidak dimungkinkan.
Pekerja yang terpapar silika, harus menjalani foto rontgen dada secara rutin. Untuk pekerja peledak pasir setiap 6 bulan dan untuk pekerja lainnya setiap 2-5 tahun, sehingga penyakit ini dapat diketahui secara dini.
Jika foto rontgen menunjukkan silikosis, dianjurkan untuk menghindari pemaparan terhadap silika.
2.2 Asbestosis
2.2.1 Definisi
Asbestosis merupakan penyakit kronis progesif, Penyakit ini disebabkan oleh udara yang mengandung debu asbes. Umumnya debu masuk kedalam paru-paru pada saat kita menarik nafas. Hal ini tergantung pada ukuran debu yang terhirup. Semakin kecil ukuran debu yang masuk melalui saluran pernapasan, maka semakin besar pula resiko terjadinya penimbunan debu dalam paru-paru. Debu dikelompokan menjadi tiga yaitu debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dll, debu mineral yaitu debu yang merupakan senyawa komplek seperti SiO2, SiO3, dan arangbatu, dan debu metal yaitu debu yang mengandung unsur logam. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Debu dengan ukuran 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan atas, 3-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah, 1-3 mikron akan sampai di permukaan alveoli, 0,5-1 mikron hinggap di permukaan alveoli/selaput lender sehingga menyebabkan fibrosis paru, sedangkan 0,1-0,5 mikron melayang dipermukaan alveoli.(RS Harapan, 2002)
Asbestosis disebabkan oleh debu asbes dengan masa latennya 10-20 tahun. Asbes adalah campuran berbagai silikat yang terpenting adalah campuran magnesium. Jika terhisap, serat asbes mengendap di dalam dalam paru-paru, mempengaruhi parenkim jaringan dari paru-paru, menjadi jaringan parut. Menghirup asbes juga dapat menyebabkan penebalan pleura. It occurs after long-term, heavy exposure to asbestos , eg in mining , and is therefore regarded as an occupational lung disease . Ini terjadi setelah jangka panjang, paparan berat asbes, misalnya di pertambangan. Asbestos terdiri dari serat silikat mineral dengan komposisi kimiawi yang berbeda. Asbestos is a mineral that can be woven like wool. Asbes adalah mineral yang dapat dijalin seperti wol dan merupakan produk alam mineral yang diketahui tahan terhadap panas dan korosi, tidak meneruskan arus listrik, tahan terhadap asam kuat, serta merupakan serat yang kuat dan fleksibel, mudah dijalin bersama-sama dan digunakan secara luas di dalam bangunan dan pabrik-pabrik industri. Some of its more common uses were in pipe and duct insulation, fire-retardant materials, brake and clutch linings, cement, and some vinyl floor tiles.
Terdapat beberapa jenis kristal debu asbestosis :
- Chrysotile
- Crocidolite
- Anthrophylite
- Tremolite
- Actinolite
Yang paling banyak digunakan adalah asbestos golongan chrysotile, karena seratnya panjang dan paling kuat. Pada kelompok amphibole serat lebih pendek namun lebih stabil secara kimiawi dan lebih tahan terhadap asam. Bersifat fibrogenik terhadap paru lebih kuat dibanding silika, karsinogenik.
Di dalam paru banyak terdapat “asbestos bodies” yaitu serat asbestos yang dilapisi bahan protein. Sering serat asbestos harus dipisahkan dengan tangan, sehingga terjadi papel kecil-kecil pada jari-jari tangan seperti duri, disebut duri asbestos. Terjadi juga fibrosis interstisialis, penebalan dan perlekatan pleura, fibrosis peritoneal. Paru menjadi kaku karena terdapat klasifikasi pada pleura dan dapat pula dijumpai keganasan Ca bronkogenik dan mesothelioma. Mesothelioma adalah tipe kanker pleura yang jarang. Peningkatan insidensi mesotelioma dihubungkan dengan inhalasi serat asbestos di lingkungan kerja. Walaupun gejala awalnya sedikit, mesotelioma dapat disembuhkan jika berhasil terdiagnosis. Waktu antara paparan asbestos pertama dan kemunculan tanda-tanda tumor beragam mulai dari 20 sampai 50 tahun, khusus mesotelioma. Kenaikan angka insidensi mesotelioma juga tampak pada penduduk yang walaupun tidak terpapar secara okupasional, tinggalnya serumah dengan pekerja asbestos atau tinggal di sekitar sumber emisi asbestos. Walaupun asbestos tidak lagi dipakai sebagai penyekat, zat ini masih menjadi sorotan karena adanya bahaya yang berasal dari bangunan yang sekatnya menggunakan asbestos
2.2.2 Etiologi
Asbestosis disebabkan oleh terhirupnya serat asbes (panjang 50 mikron atau lebih dan diameter 0,5 mikron atau kurang), oleh serat asbes, dimana serat asbes sukar untuk dihancurkan, bahkan oleh makrofag. Ketika makrofag mencoba untuk mencernakan serat asbes, sering mengalami kegagalan sebab seratnya terlalu kuat dan ikatan rantainya sangat kuat untuk diuraikan.
Faktor resiko terjadinya asbestosis adalah:
- Orang-orang yang bekerja di industri pengelolaan, pertambangan, penenunan, pemintalan asbes dan reparasi tekstil dengan produk-produk yang mengandung asbes.
- Pemaparan pada keluarga pekerja asbes terjadi dari partikel yang terbawa ke rumah di dalam pakaian pekerja
- Perokok tembakau lebih cenderung menderita penyakit yang berhubungan dengan asbes dibandingkan non-perokok. Life expectancy is also shorter among smokers than non-smokers. Asbestos workers who stop smoking, can within 5-10 years reduce their risk of dying with lung cancer by about one half to one third that of their colleagues who continue to smoke. Harapan hidup perokok lebih pendek dibandingkan non-perokok. Asbestos pekerja yang berhenti merokok, dalam 5-10 tahun dapat mengurangi risiko kematian kanker paru-paru oleh sekitar satu setengah sampai satu sepertiga dari rekan-rekan mereka yang terus merokok.
2.2.3 Manifestasi Klinis
Gejala asbestosis muncul secara bertahap dan baru muncul setelah terbentuknya jaringan parut dalam jumlah banyak dan paru-paru kehilangan elastisitasnya. Gejala pertama adalah sesak nafas ringan dan berkurangnya kemampuan untuk melakukan gerak badan juga ditandai dengan batuk kering. Sekitar 15% penderita, akan mengalami sesak nafas yang berat dan mengalami kegagalan pernafasan. Berlangsung sebagai penyakit paru- paru dan kerusakan meningkat, sesak nafas terjadi walaupun pada pasien istirahat.
Perokok berat dengan bronkitis kronis dan asbestosis, akan menderita batuk-batuk dan sesak napas. Menghirup serat asbes kadang-kadang dapat menyebabkan terkumpulnya cairan pada ruang antara kedua selaput yang melapisi paru-paru.
Keluhan dan gejala timbulnya sangat lambat, membutuhkan waktu 7-10 tahun. Terutama sesak nafas bila melakukan aktifitas. Batuk non produktif, lebih sering dan lebih hebat dibanding silikosis. Bila terjadi batuk darah biasanya sudah ada neoplasma paru. Nyeri dada retrosternal, berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik pada fase dini biasanya belum dijumpai kelainan selain adanya benda asbestos didalam dahak pekerja (2 bulan). Pada fase lanjut didapatkan sianosis dan jari tabuh. Jari tabuh umumnya dihubungkan dengan penyakit yang lanjut. Bila ada pada pekerja dengan kelainan fibrosis interstisialis yang ringan maka lebih banyak dihubungkan dengan kanker paru.
Gerak pernafasan menurun, simetris, tanda-tanda fibrosis hebat. Sianosis akan bertambah hebat apabila melakukan kegiatan fisik, bisa juga didapatkan suara mengi. Dapat terdengar ronkhi (pada akhir inspirasi atau selama inspirasi) dibasal paru, terjadi pada > 60% penderita dengan asbestosis. Ronkhi ini tergantung pada dosis paparan dan dapat terjadi pada x-foto toraks normal. Pada asbestosis risiko terjadinya tuberculosis paru tidak didapatkan, tetapi disini didapatkan risiko kanker paru lebih besar. Risiko terjadinya mesothelioma atau penebalan pleura sangat besar. Kelainan kuku atau clubbing of fingers (bentuk jari-jari tangan yang menyerupai tabuh genderang) juga dapat terjadi.
As the adverse health effect of asbestos is irreversible and only the smoking habit can alter the consequence to a certain extent, it has been decided to rate the health effect into the following t
2.2.4 Patofisiologi
Asbestosis disebabkan oleh inhalasi jangka panjang dari serat asbes. People with occupational exposure to the mining, manufacturing, handling or removal of asbestos are at risk of developing asbestosis. There is an increased risk of lung cancer and mesothelioma associated with asbestosis.Terdapat peningkatan risiko kanker paru-paru dan mesothelioma terkait dengan asbestosis. The risk is related to the total dose of asbestos received and the duration of asbestos exposure. Biasanya mikroorganisme, debu, dan partikel asing lainnya yang ada di udara saat kita bernafas akan disaring oleh rambut-rambut hidung, sehingga menimbulkan reflek batuk. Sedangkan partikel asbes (amphiboles) panjang, sangat tipis, ringan, dan mikroskopis yang masuk ke hidung, tidak dapat disaring oleh rambut-rambut hidung, menyebabkan partikel asbes dapat masuk ke saluran pernapasan Occupational exposure is the most common cause of asbestosis, but the condition also Ketika memasuki saluran pernapasan, partikel ini masuk ke dalam paru-paru kesalah satu alveoli dari 300 juta gas yang ada dan melakukan pertukaran gas.
Setiap alveolus memiliki banyak sel-sel pembersih yang disebut macrophages menelan partikel apapun yang dibuat ke bawah alveoli. Alveoli have very thin, elastic walls that allow an exchange of gases vital to your health - oxygen flows from the alveoli into your bloodstream to nourish your body, and carbon dioxide waste flows from your bloodstream into the alveoli and on into your bronchi to be expelled.Alveoli yang sangat tipis dan elastis yang memungkinkan pertukaran gas yang penting untuk kesehatan. Oksigen mengalir dari alveoli ke dalam darah untuk memelihara tubuh, dan karbon dioksida mengalir dari darah ke alveoli dan ke bronchi untuk dibuang. Asbestos fibers can easily flake off and are small enough to be inhaled deep into the lungs.Serat asbes dapat dengan mudah mengelupas dan cukup kecil untuk terhirup masuk ke dalam paru-paru. When they are inhaled into the lungs, the lungs’ defense cells try to destroy the asbestos fibers, but the body's defense mechanisms cannot break down asbestos.Apabila mereka terhirup ke dalam paru-paru, dan serat tersebut mencapai alveoli (kantung udara) dalam paru-paru, di mana oksigen dipindahkan ke dalam darah, benda asing (asbes serat) menyebabkan aktivasi dari paru-paru.
Sel pertahanan paru-paru mencoba merusak serat asbes, tetapi mekanisme pertahanan tubuh tidak dapat menghancurkan asbes, bahkan untuk macrophage. Macrophage berusaha untuk menelan sebuah serat asbes, ia sering gagal karena serat yang terlalu panjang. Dalam prose macrophage tersebut mengeluarkan zat untuk menghancurkan benda asing, tetapi juga dapat membahayakan alveoli. Hal ini menyebabkan terjadinya perlukaan di alveoli dan membentuk jaringan parut disebut sebagai proses fibrosis. Kemudian serat asbes yang tidk dapat tersaring tetap berada di dalam dan menyebabkan radang paru-paru dan jaringan parut.
Jaringan paru menyebabkan dinding alveolar menebal dapat mengurangi elastisitas dan kemampuan mereka untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Sehingga, terjadi penurunan kapasitas paru-paru, pertukaran oksigen berkurang, dan akan terasa semakin kekurangan nafas. Lebih dari 50% orang yang terkea dengan mengembangkan asbestosis plak di pleura parietal, di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru. Pasien datang dengan inspirasi kering crackles, clubbing finger, dan pola fibrotik menyebar di bagian bawah lobus paru-paru yang merupakan tempat paling sering terserang asbestosis.
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik
a. Radiologis
Penderita dapat mengalami sesak nafas tanpa adanya kelainan radiologis. Didapatkan infiltrat halus tersebar difus, lokasi kelainan pada umumnya didaerah lateral dan basal. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular. Pada fase lanjut infiltrat makin banyak dan luas. Bila penyakit bertambah berat batas infiltrat makin tidak jelas dan jantung membesar. Bila ada penyulit maka akan didapatkan gambaran tumor paru, pelebaran pleura, ektasis dengan gambaran sarang lebah, cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan CT-scan meningkatkan diagnostik dengan mendeteksi perubahan pada pleura dan parenkim yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologis biasa.
- Tes fungsi paru dengan
- Oximetry
Evaluasi oksigenasi penting sebab hypoxemia yang belum dikoreksi akan menyebabkan hipertensi yang berkenaan dengan paru-paru dan dapat mendorong kearah kor pulmonal . terutama oximetry dilakukan pada saat istirahat dan selama latihan (misalnya, 6-menit tes berjalan).
- Spirometri
Gambaran spirometri yang khas adalah penurunan kavasitas vital dan kapasitas paru total,volume residu biasanya normal atau sedikit menurun serta penurunan kapasitas difusi.Dalam mendeteksi kelainan ini secara dini maka kita harus mengamati adanya penurunan kapasitas vital dan kapasitas difusi
- Bilas Bronkoalveolar
Merupakan indikator aktivitas penyakit (alveolitis). Cairan bilas bronkoalveolar normal mengandung 90% macrophage,10% limfosit dan sesekali neutrofil.
- Pemeriksaan darah
Gas darah arteri (ABG) digunakan untuk mendeteksi penurunan oksigen dalam darah yang berhubungan dengan perubahan pernapasan yang terkait dengan penyakit yang berhubungan dengan asbes. Nilai normal BGA (Blood Gas Analysa) adalah PCO2 :35-45mmHg, PO2 : 80 – 100 mmHg, pH : 7,35 – 7,45. Pada klien dengan asbestosis analisis gas darah arteri menunjukkan ❑ Partial pressure of arterial oxygen — decrtekanan parsial oksigen arteri menurun dan ❑ Partial pressure of arterial carbon dioxide — low due to hyperventilationtekanan parsial karbon dioksida arteri rendah karena hiperventilasi.
2.2.6 Penatalaksanaan
Tidak ada obat yang tersedia. Menghentikan paparan asbes lebih lanjut ditunjukkan. Maka dilakukan perawatan yang bertujuan untuk membantu pasien dapat bernapas dengan mudah, mencegah infeksi pernapasan, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pengguanaan antibiotik dimaksudkan untuk menyerang infeksi. Aspirin atau Acetominophen (Tylenol) dapat membebaskan ketidaknyaman dan bronchodilators oral atau inhalasi dan melebarkan saluran napas.Dapat diberikan obat semprot untuk mengencerkan lendir. Pengobatan suportif untuk mengatasi gejala yang timbul adalah membuang lendir atau dahak dari paru-paru melalui prosedur postural drainase. Bila asbestosis sudah memasuki stadium mesotelioma maka belum ada terapi yang berhasil meningkatkan kesembuhan.
2.2.7 Pencegahan
Asbestosis dapat dicegah dengan mengurangi kadar serat dan debu asbes dilingkungan kerja. Penggunaan kontrol debu dapat mengurangi penderita asbestosis, tetapi mesotelioma masih terjadi pada orang yang pernah terpapar 40 tahun yang lalu, ventilasi udara yang cukup di ruang kerja, penggunaan masker bagi pekerja yang beresiko tinggi dapat mengurangi pemaparan, Untuk mengurangi resiko terjadinya kanker paru-paru dianjurkan pekerja pabrik untuk berhenti merokok. Perawatan medis untuk infeksi saluran pernapasan, dengan sering menggunakan antibiotik ketika diperlukan. Mereka juga harus berpartisipasi dalam terapi pernapasan seperti bronkial drainase atau penggunaan humidifier kabut ultrasonik yang membantu dalam pembersihan lendir dari paru-paru. Pasien harus menghindari situasi yang mungkin mengekspos mereka untuk infeksi saluran pernapasan seperti banyak orang
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi lanjutan pada asbestosis antara lain:
- Efusi pleura
- Mesothelioma, meskipun jarang, asbes juga bisa menyebabkan tumor pada pleura yang disebut mesotelioma atau pada selaput perut yang disebut mesotelioma peritoneal. Mesotelioma yang disebabkan oleh asbes bersifat ganas dan tidak dapat disembuhkan. Mesotelioma umumnya muncul setelah terpapar krokidolit, satu dari 4 jenis asbes. Amosit, jenis yang lainnya, juga menyebabkan mesotelioma. Krisotil mungkin tidak menyebabkan mesotelioma tetapi kadang tercemar oleh tremolit yang dapat menyebabkan mesotelioma. Mesotelioma biasanya terjadi setelah pemaparan selama 30-40 tahun.
- Cor pulmonale
- Fibrosis Pulmoner idiopatik
- Pneumoconeosis
- Kanker bronkus
2.2.9 WOC (Web of Caution)
DOWNLOAD : WOC ASKEP ASBESTOSIS
DOWNLOAD : WOC ASKEP SILIKOSIS
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Asbestosis
3.1 Pengkajian
Meliputi:
- Identitas pasien
Meliputi nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan.
Asbestosis lebih sering diderita oleh kalangan pekerja bangunan atau pekerjaan yang sering berhubungan dengan asbes yang sebagian besar dilakukan oleh pria sehingga lebih sering menyerang pria dibanding wanita.
- Riwayat Penyakit Sekarang
Klien sesak saat bernafas, batuk disertai dahak, mengeluh nyeri dada, peningkatan frekuensi nadi, lemas, nyeri kepala.
- Keluhan utama
Pada klien dengan silikosis akan mengeluh sesak, batuk, demam.
- Riwayat Penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan gejala luka tenggorok, bersin demam ringan sebelumnya.
- Riwayat penyakit keluarga
Pauda mumnya klien dengan silikosis tidak memiliki penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini.
- Riwayat Psikososial
Perawat mengkaji tentang perasaan, status emosional, dan perilaku klien. Misalnya, klien sering merasa cemas akibat nyeri yang kronis dan mengisolasi diri karena penyakit yang diderita.
- Pemeriksaan Fisik:
- B1 (Breath) : sesak, nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan parut di alveoli, RR menurun, adanya penggunaan otot bantu pernafasan saat inspirasi, hipoksia
- B2 (Blood) : cyanosis, hipoksia, denyut jantung meningkat, TD meningkat, tachycardi
- B3 (Brain) : dizziness, cemas, penurunan kesadaran
- B4 (Bladder) : -
- B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, Pasien lemah
- B6 (Bone): malaise
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit 15.000-40.000/mm³, biakan sputum, darah, bila perlu cairan efusi pleura
- Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-anterior dan lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular.
Hasil diagnosa asbestosis dibangun atas 3 tahap :
- Riwayat ekspose.
- Bukti fibrosis dari radiografi (misalnya, HRCT), dan ditemukannya gangguan fungsi paru-paru dengan atau tanpa bukti histologi (serat asbes di dalam bronchoalveolar, cairan atau fibrosis pada biopsi jaringan paru-paru).
- Tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan fibrosis interstitial.
3.2 Analisa Data
Data | Etiologi | Masalah |
DS: Klien mengeluh sesak DO: RR menurun, pola nafas tidak teratur, pucat, ketidaknormalan frekuensi, irama dan kedalaman nafas, hipoksia, tachycardia, tekanan O2 dan CO2 menurun. Pada lapang paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular | Adanya jaringan parut di alveoli | Gangguan Pertukaran gas |
DS : Demam DO : Suhu tubuh lebih dari 37 ° C | Peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes | Hipertermi |
DS : Klien merasa lemah, tidak nyaman DO: Denyut jantung meningkat, TD meningkat. | Kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas | Intoleransi Aktivitas |
DS : Klien merasa lemas DO :kurus, BB menurun, albumin << 3,2 , Hb << 11g/dl , rambut terlihat memerah pada anak-anak, lapisan subkutan tipis. | Intake makanan kurang dari kebutuhan | Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh |
3.3 Diagnosa Keperawatan
- Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
- Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika
- Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas
3.4 Intervensi dan Rasional
- Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
Tujuan : Pertukaran gas tidak terganggu
Kriteria hasil : status respiratoris dalam rentang yang diharapkan; dispnea saat istirahat; gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada; PaO2, PaCO2, dan pH arteri, dan saturasi O2 dalam batas normal. Nilai normal BGA (Blood Gas Analysa) adalah PCO2 :35-45mmHg, PO2 : 80 – 100 mmHg, pH : 7,35 – 7,45.
Intervensi | Rasional |
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Health edukasi
|
|
- Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes
Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh
Kriteria Hasil: suhu tubuh normal (36-37°C).
Intervensi | Rasional |
Observasi:
Mandiri
pakaian yang minimal
Kolaborasi
Health Edukasi
|
|
- Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas
Tujuan : pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas
Kriteria Hasil: menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas.
Intervensi | Rasional |
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Health Edukasi
|
|
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan
kurang dari kebutuhan
Tujuan : status gizi baik
Kriteria Hasil :
ü Antropometri : BB tidak turun (stabil), Tinggi badan, lingkar lengan
ü Biokimia : Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dL, Hb Normal anak 11-13 g/dL
ü Klinis : Tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah.
ü Diet : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan bertambah
Intervensi | Rasional |
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Health Edukasi
|
|
Silikosis
3.1 Pengkajian
Meliputi:
- Identitas pasien
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan. Silikosis lebih sering diderita oleh kalangan pekerja bangunan atau yang sering berhubungan dengan asbes yang sebagian besar dilakukan oleh pria sehingga lebih sering menyerang pria dibanding wanita.
- Riwayat Penyakit Sekarang
Klien sesak saat bernafas, batuk, keluhan nyeri dada, peningkatan frekuensi peningkatan, lemas, nyeri kepala.
- Keluhan utama
Pada klien dengan asbestosis akan mengeluh sesak, batuk, demam
- Riwayat Penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dengan gejala luka tenggorok, bersin demam ringan.
- Riwayat penyakit keluarga
Umumnya klien dengan silikosis tidak memiliki penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini
- Riwayat Psikososial
Perawat perlu memperoleh persepsi yang jelas mengenai perasaan, status emosi, dan perilaku klien. klien sering merasa cemas akibat nyeri yang kronis dan mengisolasi diri karena penyaklit yang diderita.
- Pemeriksaan Fisik:
- B1 (Breath) : sesak napas, Nyeri saat bernafas akibat adanya jaringan parut di alveoli, RR menurun, adanya penggunaan otot bantu pernafasan inspirasi, hipoksia
- B2 (Blood) : cyanosis, hypoxia, denyut jantung meningkat, TD meningkat, tachycardi
- B3 (Brain) : dizziness, cemas, penurunan kesadaran
- B4 (Bladder) : -
- B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun, Pasien lemah
- B6 (Bone): malaise
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan leukosit 15.000-40.000/mm³, biakan sputum, darah, bila perlu cairan efusi pleura.
- Pemeriksaan radiologis, sebaiknya gunakan foto thoraks posterior-anterior dan lateral. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular.
Hasil diagnosa asbestosis dibangun atas 3 tahap :
- Riwayat ekspose.
- Bukti fibrosis dari radiografi (misalnya, HRCT), dan ditemukannya gangguan fungsi paru-paru dengan atau tanpa bukti histologi (serat asbes di dalam bronchoalveolar, cairan atau fibrosis pada biopsi jaringan paru-paru).
- Tidak adanya penyebab lain yang menyebabkan fibrosis interstitial.
3.2 Analisa Data
Data | Etiologi | Masalah |
DS: Klien mengeluh sesak DO: RR menurun, pola nafas tidak teratur, pucat, ketidaknormalan frekuensi, irama dan kedalaman nafas, hipoksia, tachycardia, tekanan O2 dan CO2 menurun. Pada lapangan paru bawah bilateral terdapat bercak-bercak nodular | Adanya jaringan parut di alveoli | Gangguan Pertukaran gas |
DS : Demam DO : Suhu tubuh lebih dari 37 ° C | Peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika | Hipertermi |
DS : Klien merasa lemah, tidak nyaman DO: denyut jantung meningkat, TD meningkat. | Kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas | Intoleransi Aktivitas |
DS : Klien merasa lemas DO: kurus, BB menurun, albumin << 3,2 , Hb << 11g/dl , rambut terlihat memerah pada anak-anak, lapisan subkutan tipis. | Intake makanan kurang dari kebutuhan | Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh |
3.3 Diagnosa Keperawatan
- Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
- Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis silika
- Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan kurang dari kebutuhan
3.4 Intervensi dan Rasional
- Gangguan pertukaran gas b.d adanya jaringan parut di alveoli
Tujuan : Pertukaran gas tidak terganggu
Kriteria hasil : status neurologis dalam rentang yang diharapkan; dispnea saat istirahat dan aktivitas tidak ada; gelisah, sianosis, dan keletihan tidak ada; PaO2, PaCO2, dan pH arteri, dan saturasi O2 dalam batas normal
Intervensi | Rasional |
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Health edukasi
|
|
- Hipertermi b.d peningkatan laju metabolisme sekunder dari reaksi sistemis asbes
Tujuan : pasien mempertahankan suhu tubuh
Kriteria Hasil: suhu tubuh normal (36-37°C).
Intervensi | Rasional |
Observasi:
Mandiri
pakaian yang minimal
Kolaborasi
Health Edukasi
|
|
- Intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik dan peningkatan metabolisme umum sekunder dari kerusakan pertukaran gas
Tujuan : pasien menunjukkan penghematan energi untuk aktivitas
Kriteria Hasil: menyadari keterbatasan energi, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat, tingkat daya tahan adekuat untuk beraktivitas.
Intervensi | Rasional |
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Health Edukasi
|
|
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan kurang dari kebutuhan
Tujuan : status gizi baik
Kriteria Hasil :
ü Antropometri : BB tidak turun (stabil), Tinggi badan, lingkar lengan
ü Biokimia : Albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dL, Hb Normal anak 11-13 g/dL
ü Klinis : Tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang dan merah.
ü Diet : Klien menghabiskan porsi makan dan nafsu makan bertambah
Intervensi | Rasional |
Observasi
Mandiri
Kolaborasi
Health Edukasi
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar