TRAUMA CERVIKAL
Pokok Bahasan : Trauma Tulang Belakang
Sub Pokok Bahasan : Trauma Cervikal
Sasaran : Keluarga Tn St
Target : Tn St
Hari/Tanggal : Senin, 9 Agustus 2004
Waktu : 1 x 30 Menit
Penyaji : Ayu Khuzaimah Kurniawati
Tempat : Rumah
keluarga Tn St
Rajeg Wetan (RT 02), Tirtoadi, Mlati,
Sleman
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan hasil pengkajian pada
keluarga Tn St, didapatkan bahwa Tn St menderita kelumpuhan anggota gerak badan
karena kecelakaan lalu lintas pada bulan Februari 2004 yang lalu, dan dokter
mendiagnosa Tn St sebagai trauma cervikal. Tn St masih rutin kontrol ke RS
Panti Rapih Yogyakarta dan dianjurkan minum obat serta latihan gerak
(fisioterapi). Tn St dan keluarga menyatakan belum mengetahui sepenuhnya
tentang trauma tersebut mengapa dapat menyebabkan kelumpuhan, serta bagaimana
perawatannya di rumah. Berdasarkan data di atas, maka pendidikan kesehatan
mengenai trauma cervikal dan cara perawatannya di rumah perlu disampaikan
kepada Tn St dan keluarga.
B. TUJUAN
1. Tujuan Penyuluhan Umum
Setelah selesai mengikuti
penyuluhan tentang trauma cervikal selama 1x30 menit, Tn St dan keluarga
memahami dan mampu melakukan perawatan pada trauma cervikal secara mandiri.
2. Tujuan Penyuluhan Khusus
Setelah selesai mengikuti penyuluhan,
Tn St dan keluarga mampu :
1.
Mengetahui pengertian trauma
cervikal
2.
Memahami manifestasi klinis
trauma cervikal
3.
Memahami komplikasi trauma
cervikal
4.
Memahami perawatan pada
penderita trauma cervikal sesuai
manifestasi klinis yang muncul.
C. GARIS-GARIS BESAR MATERI
1.
Pendahuluan
2.
Penjelasan materi
a.
Pengertian trauma cervikal
b.
Manifestasi klinis trauma
cervikal
c.
Komplikasi trauma cervikal
d. Perawatan pada penderita trauma cervikal sesuai manifestasi klinis yang muncul.
- Penutup
D. PELAKSANAAN KEGIATAN
NO
|
PENYULUH
|
RESPON KELUARGA
|
WAKTU |
1.
|
Pembukaan
a.
Salam pembukaan
b.
Perkenalan
c.
Apersepsi
d.
Mengkomunikasikan tujuan
|
§ Menjawab salam
§ Memperhatikan
§ Berpartisipasi
aktif
§ Memperhatikan
|
5 Menit
|
2.
|
Kegiatan inti penyuluhan
a.
Menjelaskan dan menguraikan
materi tentang:
b.
Memberikan kesempatan kepada
keluarga yang disuluh untuk bertanya
c.
Menjawab pertanyaan keluarga yang disuluh yang berkaitan dengan
materi yang belum jelas
|
§ Memperhatikan penjelasan penyuluh dengan cermat
§ Menanyakan hal-hal yang belum jelas.
§ Memperhatikan
jawaban dari penyuluh.
|
15 Menit
|
3.
|
Penutup
a.
Menyimpulkan materi yang
telah disampaikan
b.
Melakukan evaluasi penyuluhan
dengan demonstrasi kegiatan
c.
Mengakhiri kegiatan penyuluhan.
|
§ Memperhatikan kesimpulan materi penyuluhan yang telah disampaikan.
§ Melakukan
demonstrasi
§ Menjawab salam
|
10 menit
|
E. METODE
- Ceramah
- Tanya jawab
F. MEDIA DAN ALAT
1.
Leaflet
2.
Hand Out
G. SUMBER
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery, Cedera Cord Spinal, Dr. Syaiful
Saanin, Neurosurgeon. mailto:%20saanin@padang.wasantara.net.id,
Ka. SMF/Lab. Bedah Saraf RS.
M. Jamil/FK-UNAND Padang.
H. EVALUASI
1.
Apa yang dimaksud dengan trauma cervikal ?
2.
Apa saja tanda dan gejala
terjadinya trauma cervikal ?
3.
Sebutkan komplikasi yang dapat
terjadi pada trauma cervikal ?
4. Bagaimana cara perawatan pada penderita trauma cervikal sesuai manifestasi klinis yang muncul ?
CEDERA CORD SPINAL
_____________________________
ETIOLOGI
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Dibidang olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal.
KLASIFIKASI
Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakang serta kord spinal secara khusus, akan dibicarakan dulu secara garis besar. Harus diingat bahwa cedera tulang belakang mempunyai komponen tulang dan komponen saraf hingga pengelolaan akan ditentukan oleh faktor-faktor dari kedua aspek tersebut.
A. CEDERA TULANG
a. Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi pada saat cedera. Komponen arkus neura intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil diakibatkan oleh tenaga fleksi,ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada daerah toraks bawah serta lumbar. Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
b. Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini disebabkan oleh adanya elemen rotari terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh dislokasi sendi apofiseal.
B. CEDERA NEUROLOGIS
a. Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
b. Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapatlengkap dengan hilangnya fungsi dibawah tingkat cedera atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena kanal spinal tersempit didaerah ini. Adanya spondilosis servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan karena cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis karena proses metastatik.
TEMUAN KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
PENGELOLAAN
Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan neural. Reduksi atas subluksasi untuk mendekompres kord spinal dan tindakan immobilisasi tulang belakang untuk melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari tindakan.
Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi neural, fiksasi internal, atau debridemen luka terbuka. Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan defisit neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat darurat.
Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang, cedera ligamen tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak dapat direduksi, fraktur yang nonunion. Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap progresi dari respons cedera kord spinal setelah cedera primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan yang akan menimbulkan iskemia jaringan. Iskemia dan infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan sistemik. Secara sistemik terjadi pengurangan curah jantung, hipotensi dan vasodilatasi simpatetik. Secaralokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi pada dan sekitar segmen kord spinal yang cedera bisa berkurang. Efek vaskuler pasca cedera harus ditindak untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan vaso-presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo-tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki dengan cara ekspansi volume, steroid, nimodipin, atau dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kg diikuti 5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal. Penilaian keadaan neurologis setiap jam termasuk pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, fungsi ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan hal yang vital.
1. Cedera stabil tanpa defisit neurologis
Pada kelompok ini diantaranya angulasi atau baji dari badan ruas tulang belakang, fraktura proses transversus dan spinosus, dll. Tindakannya simtomatik, seperti istirahat baring hingga nyeri berkurang, kemudian mobilisasi bertahap dengan fisioterapi untuk memulihkan kekuatan otot.
2. Fraktura tak stabil tanpa defisit neurologis
Bila terjadi pergeseran, fraktura memerlukan reduksi, dan posisi yang sudah lebih baik harus dipertahankan.
Metoda reduksi antaranya:
a. Traksi
Fraktura servikal paling tak stabil dapat direduksi dengan memuaskan dengan melakukan traksi pada tulang belakang servikal memakai sepit (tong) metal (seperti tong Gardner-Well atau Crutchfield) yang dipasang pada tengkorak. Beban sekitar 20 kg (tergantung tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2.5 kg pada fraktura C1) digunakan dalam mengusahakan reduksi.
b. Manipulasi
Dislokasi serta locking dari faset sendi apofiseal servikal mungkin menghambat reduksi fraktura bila hanya semata dengan traksi. Manipulasi hati-hati leher dalam anestesi umum dapat membebaskan faset.
c. Reduksi terbuka
Kadang-kadang terhadap faset pada daerah servikal dan toraks diperlukan operasi untuk mengembalikan alignment normalnya.
Metoda immobilisasi setelahnya adalah:
a. Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat membalik untuk memandikan atau merawat kulit.
b. Traksi tengkorak. Hanya diperlukan beban sedang untuk mempertahankan cedera leher yang sudah direduksi.
c. Plester paris dan splin eksternal lain. Pasien dengan cedera servikal nyatanya dapat dimobilisasi dengan leher disangga dengan plester paris dalam posisi memadai atau dengan splin metal yang dirancang agar kepala tetap immobil disaat pergerakan tubuh.
d. Operasi. Fusi secara bedah melintas garis fraktur dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses spinosus berdekatan.
3. Cedera stabil dengan defisit neurologis
Bila fraktura stabil, kerusakan neurologis diakibatkan oleh:
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung terhadap kord spinal atau kerusakan vaskuler, namun dengan bagian tulang dalam konfigurasi yang lebih normal.
b. Tulang belakang sebelumnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti pada spondilosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong kekanal spinal. Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak pada saat pertama diperiksa. Suatu transeksi neurologis lengkap, terbaik dirawat konservatif. Pada cedera didaerah servikal, leher diimmobilisasi dengan kolar atau sepit (kaliper) dan pasien diberi metil prednisolon. Pemeriksaan lebih lanjut seperti mielografi atau MRI harus dilakukan bila pemeriksaan menunjukkan adanya potensi akan perbaikan neurologis. Kesempatan perbaikan pada pasien dengan defisit total disaat diperiksa adalah kecil dan semakin jauh bila tidak ada perbaikan dalam 48 jam. Pada cedera neurologis tak lengkap pasien juga mulanya dirawat konservatif. Bila kerusakan didasari adanya spondilosis servikal, traksi tengkorak digunakan disamping pemberian metil prednisolon. Perkiraan atas kerusakan dilakukan dan bila perbaikan terjadi dengan memuaskan, tidak ada lagi tindakan lain yang diperlukan kecuali bila spondilosis yang sudah ada sebelumnya memerlukan tindakan bedah. Bila tidak ada perbaikan atau ada perbaikan namun diikuti perburukan, dilakukan mielografi untuk menampilkan daerah fraktura yang akan didekompresi. Dengan kata lain, tindakan konservatif memungkinkan kord spinal yang rusak memperlihatkan potensinya untuk membaik dan tindakan bedah dilakukan pada saat risiko pertambahan defisit neurologis sudah dikurangi.
4. Cedera tulang tak stabil dengan defisit neurologis
Bila lesinya total, dilakukan reduksi yang diikuti dengan immobilisasi seperti halnya pada seksi 2 dengan tambahan perawatan paraplegik. Bila defisit neurologis tak lengkap, reduksi dan diikuti immobilisasi sesuai dengan jenis cederanya, dan bila diperlukan operasi, dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama. Setelah setiap tindakan, kebijaksanaan konservativ seperti pada seksi 3 dapat diteruskan karena fraktura sekarang telah berubah dari tak stabil menjadi stabil.
CEDERA YANG MENYERTAI DAN KOMPLIKASI CEDERA KORD SPINAL
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.
Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan atasi. Syok neurogenik mungkin tertutupi oleh syok hemoragik. Syok neurogenik disebabkan oleh hilangnya aliran adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung dan vaskulatur perifer setelah cedera diatas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi. Syok neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume intravaskuler dari pada menyebabkan hipovolemi sejati. Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi atas penggantian volume intravaskuler. Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok neurogenik. Syok spinal menunjukkan kehilangan lengkap aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin berakhir setelah 6 minggu. Bila syok spinal bertahan lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul tidak ada. Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh kembalinya refleks spinal, namun fenomena ini belum dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur intravena perifer ukuran besar (no. 16) dan pengamat tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan resusitasi air dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan tak berreaksi atas cairan atau produk darah intravena, kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu diagnostik untuk membimbing manipulasi terapeutik dan untuk membedakan antara mekanisme hipovolemik, kardio-genik dan neurogenik.
Pengelolaan Respiratori
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan paralisis muskulatur toraks. Mungkin juga karena atau eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap kelainan pulmoner sekunder atau didapat sangat penting. Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk, pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang sinambung dengan masker merupakan cara optimal untuk mempertahankan kapasitas residual fungsional pada pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam usaha mencegah pamakaian ventilasi mekanik. Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan trauma kord spinal servikal tengah atau toraks mungkin semula tampil dengan gas darah normal dan memburuk atau mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan pernafasan. Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal menimbulkan gangguan pengembangan toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant. Gangguan fungsi ventilatori, sekret, dan infeksi bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindak efektif. Trakheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi diperlukan, lebih dari dua minggu.
Pengelolaan Nutrisional dan Gastrointestinal
Pasien dengan cedera kord spinal lengkap dan akut harus mendapatkan pemeriksaan CT scan abdomen atau lavasi peritoneal bila diduga ada perdarahan atau cedera abdominal. Tanda dan gejala cedera abdominal mungkin tidak ada pada cedera kord spinal akibat hilangnya sensasi.
Cedera kord spinal akut, terutama pada daerah toraks dan lumbar biasanya dengan ileus akibat efek mekanik langsung atau hilangnya fungsi neural otonom. Ileusnya harus ditindak dengan suction nasogastrik, penggantian elektrolit, dan pengamatan status cairan. Walau paralisis, pasien dengan cedera kord spinal jelas dengan peningkatan tingkat metabolisme (50-100% diatas normal) dan segera menjadi katabolik. Dianjurkan terapi nutrisional dini. Pemberian dukungan nutrisi dalam 24 jam sejak cedera menunjukkan pengurangan infeksi, trombosis vena dalam, dan komplikasi katabolik. Pemberian makanan oral atau alimentasi enteral lebih disukai. Selang duodenal yang fleksibel dipasang dengan bantuan fluoroskopi bila diperkirakan perlu hiperalimentasi enteral elemental. Pasien dengan ileus atau tidak mampu mentolerasi makanan enteral harus segera mendapatkan hiperalimentasi parenteral total (TPN). Pencegahan ulkus biasanya dengan antihistamin (simetidin, ranitidin) atau antasid.
Pengosongan lambung yang terlambat sesudah cedera mungkin menyebabkan pneumonia aspirasi bila pasien mendapatkan gastric feeding. Penggunaan duodenal feeding mencegah aspirasi. Penambahan zat warna akan melacak adanya aspirasi atau refluks. Cairan makanan hipertonik, penurunan absorpsi intestinal, atau keduanya, dapat menyebabkan diare pada pasien dengan makanan enteral. Keadaan ini diatasi dengan mencoba berbagai konsentrasi formula atau dengan menambahkan difenoksilat hidrokhlorida dengan atropin sulfat (Lomotil) atau obat sejenis.
Kehilangan fungsi sfingter anal ditindak bila ileus dan syok spinal berlalu. Pemberian supositoria bisakodil (Dulcolax) dengan dilatasi manual rektal memberikan rangsangan untuk kontraksi uniform untuk pengosongan "volitional".
Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi pada cedera kord spinal terbatas, bila dibandingkan dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru-paru. Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume, stoking elastik setinggi paha, stoking pneumatik anti emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan untuk pencegahan, namun belum ada cara yang superior.
Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara akut. Kateter Foley yang indwelling harus sejak semula digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala kandung kemih dimulai setelah keadaan medikal pasien stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume kandung kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten dan bersih mengurangi risiko sistitis dan pielonefritis pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik profilaktik tidak dianjurkan, namun infeksi spesifik harus segera diobati.
Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan langsung pada dermal, kurangnya perfusi jaringan, dan kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan kulit yang baik, dan ranjang berosilasi atau udara, dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan komplikasi kulit adalah sangat penting.
Pengelolaan Pasien Paraplegi
Penderita cacad paraplegik terbukti banyak yang dapat kembali aktif dan gembira sebagai anggota masyarakat, berperanan dirumah, dilingkungan serta dipekerjaan. Perawatan dikelompokkan kedalam:
1. Respirasi. Peran utama saraf frenik adalah pada tingkat C4 dan cedera servikal tengah dapat berpengaruh pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi. Defisit yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap. Pada tahap awal pasien mungkin memerlukan ventilasi dan tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera mungkin. Sebagai tambahan pada pernafasan artifisial adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-pneumonia. Perbaikan keadaan neurologis memungkinkan pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya menutup trakheostomi.
2. Kulit. Kulit yang anestetik pada pasien paraplegik menyebabkan sakrum, trokhanter major dan tumit cepat menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar. Pikirkan bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak ada defek intrinsik pada kulit yang akan menjadi sumber luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun cara yang digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat merubah posisi.
3. Kandung kemih. Cedera akut kord spinal mengakibatkan periode syok spinal yang berakhir dalam beberapa hari hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung kencing berekspansi tanpa disertai adanya nyeri dengan tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal berlalu, aktifitas refleks pulih dan sebagian usaha untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan pengosongan secara refleks karena muskulatur kandung kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah. Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor intrinsik, digabung dengan kompresi manual yang akan mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur. Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih pada pasien paraplegik adalah agar pasien dengan jalur kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing secara sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa adanya stasis atau retensi air kencing yang mungkin akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis. Ada dua cara selain yang dijelaskan diatas untuk pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik:
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril menggunakan teknik aseptik (sering oleh dokter) tiga kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang efektif dapat dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan sistem tertutup penampungan kencing secara sinambung atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden dapat ditekan. Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk mendapatkan pengosongan yang efektif. Bila ternyata tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan menampung air kencing seperti ureterostomi atau aliran keileal.
4. Berak. Sasaran untuk mendapatkan pengosongan rektum teratur dan terperkirakan tanpa inkontinensia atau mendadak. Ini memerlukan tambahan diet dengan sejumlah serat serta penggunaan laksatif, suppositori dan enema reguler.
5. Anggota gerak. Penting bahwa anggota yang paralisa harus secara teratur mendapatkan pergerakan pasif untuk mencegah kekakuan sendi. Kontraktur yang disebabkan perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya pemisahan tendo tertentu.
6. Nutrisi umum. Perlu mempertahankan masukan berkalori tinggi untuk mencoba dan menekan akibat dari keadaan katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
Rehabilitasi Pasien Paraplegik
Rehabilitasi dan mempersiapkan pasien untuk mandiri harus dimulai segera setelah pengelolaan frakturanya memungkinkan. Keberhasilan rehabilitasi ditentukan oleh ambisi mental dan fisiknya ketingkat kenyataan tanpa kehilangan rasa kepercayaan diri dan kehormatannya.
1. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan batang tubuh.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga hingga mereka dapat memanipulasinya dengan cara-cara tertentu.
c. Perlengkapan splint dan kaliper.
d. Transplantasi tendon.
Perbaikan mobilitas:
a. Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah.
b. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai tak berfungsi.
c. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
2. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak-mampuannya dan merancang kembali keinginan dan rencana. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat, hal-hal yang menjamin dan bantuan.
3. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan kembali rumah agar memudahkan pasien dengan kursi roda. Perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang lain.
4. Latihan untuk pekerjaan
Pasien yang bekerjanya duduk mungkin hanya memerlukan sedikit pengaturan. Yang bekerja dengan mobilitas yang lebih tinggi atau kerja fisik harus dilatih dalam keterampilan baru dan didaftarkan sebagai orang cacad hingga dapat kembali kepekerjaan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar