Selasa, 31 Oktober 2023

Asuhan Keperawatan Hipertensi aplikasi NANDA, NOC, NIC

 

ASUHAN KEPERAWATAN
KLIEN DENGAN HIPERTENSI

A.    KONSEP MEDIS
1.      Pengertian
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari jantung dan memompa keseluruh jaringan dan organ–organ tubuh secara terus–menerus lebih dari suatu periode (Irianto, 2014). Hal ini terjadi bila arteriol–arteriol konstriksi. Konstriksi arterioli membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan dinding arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah (Udjianti, 2010).
Hipertensi dapat didifinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg (Syamsudin, 2011). Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg (Smeltzer dan Bare, 2002). Hipertensi merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke, infak miokard, diabetes dan gagal ginjal (Corwin, 2009).
Hipertensi disebut juga sebagai “pembunuh diam–diam” karena orang dengan hipertensi sering tidak menampakan gejala, Institut Nasional Jantung, Paru dan Darah memperkirakan separuh orang yang menderita hipertensi tidak sadar akan kondisinya. Penyakit hipertensi ini diderita, tekanan darah pasien harus dipantau dengan interval teratur karena hipertensi merupakan kondisi seumur hidup (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.      Etiologi
Menurut Corwin (2009)Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan
a.       Hipertensi esensial atau hipertensi primer.
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (Idiopatik).
Beberapa faktor diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini:
1)      Genetik: individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini tidak dapat dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga yang memliki tekanan darah tinggi.
2)      Jenis kelamin dan usia: laki – laki berusia 35- 50 tahun dan wanita menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia bertambah maka tekanan darah meningkat faktor ini tidak dapat dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada perempuan.
3)      Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa dikendalikan oleh penderita dengan mengurangi konsumsinya karena dengan mengkonsumsi banyak garam dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat pada beberapa orang, khususnya dengan pendeita hipertensi, diabetes, serta orang dengan usia yang tua karena jika garam yang dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah garam akan menahan cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya didalam tubuh. Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada volume darah seseorang atau dengan kata lain pembuluh darah membawa lebih banyak cairan. Beban ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan darah didalam dinding pembuluh darah. Kelenjar adrenal memproduksi suatu hormon yang dinamakan Ouobain. Kelenjar ini akan lebih banyak memproduksi hormon tersebut ketika seseorang mengkonsumsi terlalu banyak garam. Hormon ouobain ini berfungsi untuk menghadirkan protein yang menyeimbangkan kadar garam dan kalsium dalam pembuluh darah, namun ketika konsumsi garam meningkat produksi hormon ouobain menganggu kesimbangan kalsium dan garam dalam pembuluh darah. Kalsium dikirim kepembuluh darah untuk menyeimbangkan kembali, kalsium dan garam yang banyak inilah yang menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi. Konsumsi garam berlebih membuat pembuluh darah pada ginjal menyempit dan menahan aliran darah. Ginjal memproduksi hormone rennin dan angiostenin agar pembuluh darah utama mengeluarkan tekanan darah yang besar sehingga pembuluh darah pada ginjal bisa mengalirkan darah seperti biasanya. Tekanan darah yang besar dan kuat ini menyebabkan seseorang menderita hipertensi. Konsumsi garam per hari yang dianjurkan adalah sebesar 1500 – 2000 mg atau setara dengan satu sendok teh. Perlu diingat bahwa sebagian orang sensitif terhadap garam sehingga mengkonsumsi garam sedikit saja dapat menaikan tekanan darah. Membatasi konsumsi garam sejak dini akan membebaskan anda dari komplikasi yang bisa terjadi.
4)      Berat badan: Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat badan dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya peningkatan tekanan darah atau hipertensi.
5)      Gaya hidup: Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan pola hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi itu terjadi yaitu merokok, dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap dalam waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa putung rokok dan lama merokok berpengaruh dengan tekanan darah pasien. Konsumsi alkohol yang sering, atau berlebihan dan terus menerus dapat meningkatkan tekanan darah pasien sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi pasien diminta untuk menghindari alkohol agar tekanan darah pasien dalam batas stabil dan pelihara gaya hidup sehat penting agar terhindar dari komplikasi yang bisa terjadi.
b.      Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid, hipertensi endokrin, hipertensi renal, kelainan saraf pusat yang dapat mengakibatkan hipertensi dari penyakit tersebut karena hipertensi sekunder yang terkait dengan ginjal disebut hipertensi ginjal (renal hypertension). Gangguan ginjal yang paling banyak menyebabkan tekanan darah tinggi karena adanya penyempitan pada arteri ginjal, yang merupakan pembuluh darah utama penyuplai darah ke kedua organ ginjal. Bila pasokan darah menurun maka ginjal akan memproduksi berbagai zat yang meningkatkan tekanan darah serta ganguuan yang terjadi pada tiroid juga merangsang aktivitas jantung, meningkatkan produksi darah yang mengakibtkan meningkatnya resistensi pembuluh darah sehingga mengakibtkan hipertensi. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan kontrasepsi oral, coarctation aorta, neurogenik (tumor otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume intravaskuler, luka bakar, dan stress karena stres bisa memicu sistem saraf simapatis sehingga meningkatkan aktivitas jantung dan tekanan pada pembuluh darah

3.      Klasifikasi
Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah tekanan darah sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari 80 mmHg. Seseorang yang dikatakan hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg
Berdasarkan The Joint National Commite VIII (2014) tekanan darah dapat diklasifikasikan berdasarkan usia dan penyakit tertentu. Diantaranya adalah:
Batasan Tekanan Darah (mmHg)
Kategori
≥150/90 mmHg
Usia ≥60 tahun tanpa penyakit diabetes dan cronic kidney disease
≥140/90 mmHg
Usia 19-59 tahun tanpa penyakit penyerta
≥140/90 mmHg
Usia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal
≥140/90 mmHg
Usia ≥18 tahun dengan penyakit diabetes

Berdasarkan American Heart Association (2014) menggolongkan hasil pengukuran tekanan darah menjadi:
Kategori tekanan darah
Sistolik
Diastolic
Normal
<120 mmHg
< 80 mmHg
Prehipertensi
120-139 mmHg
80-89 mmHg
Hipertensi stage 1
140-159 mmHg
90-99 mmHg
Hipertensi stage 2
≥ 160 mmHg
≥ 100 mmHg
Hipertensi stage 3 (krisis)
≥ 180mmHg
≥ 110 mmHg
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder (Smeltzer dan Bare, 2002, Udjianti, 2010). Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya. Dari 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi primer adalah genetik, jenis kelamin, usia, diet, berat badan, gaya hidup. Hipertensi sekunder adalah peningkatan tekanan darah karena suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau gangguan tiroid. Dari 10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain: penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan, peningkatan volume intravaskular, luka bakar dan stres (Udjianti, 2010).

4.      Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung) dengan total tahanan prifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari perkalian antara stroke volume dengan heart rate (denyut jantug). Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon. Empat sistem kontrol yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskular (Udjianti, 2010). Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di vasomotor, pada medulla diotak. Pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Titik neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah (Padila, 2013).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Padila, 2013). Meski etiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor diduga memegang peranan dalam genesis hiepertensi seperti yang sudah dijelaskan dan faktor psikis, sistem saraf, ginjal, jantung pembuluh darah, kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, sodium, dan air (Syamsudin, 2011).
Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah (Padila, 2013).
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran keginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cendrung mencetuskan keadaan hipertensi (Padila, 2013).

5.      Manifestasi klinik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang menderita hipertensi tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi. Tetapi dapat ditemukan perubahan pada retina, seperti pendarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat terdapat edema pupil (edema pada diskus optikus) (Smeltzer dan Bare, 2002).
Tahapan awal pasien kebanyakan tidak memiliki keluhan. Keadaan simtomatik maka pasien biasanya peningkatan tekanan darah disertai berdebar–debar, rasa melayang (dizzy) dan impoten. Hipertensi vaskuler terasa tubuh cepat untuk merasakan capek, sesak nafas, sakit pada bagian dada, bengkak pada kedua kaki atau perut (Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, Syam, 2014). Gejala yang muncul sakit kepala, pendarahan pada hidung, pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang bisa terjadi saat orang menderita hipertensi (Irianto, 2014).
Hipertensi dasar seperti hipertensi sekunder akan mengakibatkan penderita tersebut mengalami kelemahan otot pada aldosteronisme primer, mengalami peningkatan berat badan dengan emosi yang labil pada sindrom cushing, polidipsia, poliuria. Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy) (Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, dan Syam, 2014). Saat hipertensi terjadi sudah lama pada penderita atau hipertensi sudah dalam keadaan yang berat dan tidak diobati gejala yang timbul yaitu sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur (Irianto, 2014).
Semua itu terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal. Pada penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan mengakibatkan penderita mengalami koma karena terjadi pembengkakan pada bagian otak. Keadaan tersebut merupakan keadaan ensefalopati hipertensi (Irianto, 2014).

6.      Penatalaksanaan Hipertensi
a)      Pengaturan diet
Mengkonsumsi gizi yang seimbang dengan diet rendah garam dan rendah lemak sangat dianjurkan bagi penderita hipertensi untuk dapat mengendalikan tekanan darahnya dan secara tidak langsung menurunkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi. Selain itu juga perlu mengkonsumsi buah-buahan segar sepeti pisang, sari jeruk dan sebagainya yang tinggi kalium dan menghindari konsumsi makanan awetan dalam kaleng karena meningkatkan kadar natrium dalam makanan (Vitahealth, 2005).
Modifikasi gaya hidup yang dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Mengurangi asupan lemak jenuh dan mengantinya dangan lemak polyunsaturated atau monounsaturated dapat menurunkan resiko tersebut. Meningkatkan konsumsi ikan, terutama ikan yang masih segar yang belum diawetkan dan tidak diberi kandungan garam yang berlebih (Syamsudin, 2011).
b)      Perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat
Gaya hidup dapat merugikan kesehatan dan meningkatkan resiko komplikasi hipertensi seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, minum kopi, mengkonsumsi makanan cepat saji (junk food), malas berolahraga (Junaidi, 2002), makanan yang diawetkan didalam kaleng memiliki kadar natrium yang tinggi didalamnya. Gaya hidup itulah yang meningkatkan resiko terjadinya komplikasi hipertensi karena jika pasien memiliki tekanan darah tinggi tetapi tidak mengontrol dan merubah gaya hidup menjadi lebih baik maka akan banyak komplikasi yang akan terjadi (Vitahealth, 2005).
Penurunan berat badan merupakan modifikasi gaya hidup yang baik bagi penderita penyakit hipertensi. Menurunkan berat badan hingga berat badan ideal dengan munggurangi asupan lemak berlebih atau kalori total. Kurangi konsumsi garam dalam konsumsi harian juga dapat mengontrol tekanan darah dalam batas normal. Perbanyak buah dan sayuran yang masih segar dalam konsumsi harian (Syamsudin, 2011).
c)      Menejemen Stres
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, rasa marah, murung, dendam, rasa takut, rasa bersalah) merupakan faktor terjadinya komplikasi hipertensi. Peran keluarga terhadap penderita hipertensi diharapkan mampu mengendalikan stres, menyediakan waktu untuk relaksasi, dan istrirahat (Lumbantobing, 2003). Olahraga teratur dapat mengurangi stres dimana dengan olahraga teratur membuat badan lebih rileks dan sering melakukan relaksasi (Muawanah, 2012).
Ada 8 tehnik yang dapat digunakan dalam penanganan stres untuk mencegah terjadinya kekambuhan yang bisa terjadi pada pasien hipertensi yaitu dengan cara: scan tubuh, meditasi pernafasan, meditasi kesadaran, hipnotis atau visualisasi kreatif, senam yoga, relaksasi otot progresif, olahraga dan terapi musik (Sutaryo, 2011).
d)     Mengontrol kesehatan
Penting bagi penderita hipertensi untuk selalu memonitor tekanan darah. Kebanyakan penderita hipertensi tidak sadar dan mereka baru menyadari saat pemeriksaan tekanan darah. Penderita hipertensi dianjurkan untuk rutin memeriksakan diri sebelum timbul komplikasi lebih lanjut. Obat antihipertensi juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengendalian tekanan darah (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati, 2010). Keteraturan berobat sangat penting untuk menjaga tekanan darah pasien dalam batas normal dan untuk menghindari komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit hipertensi yang tidak terkontrol (Annisa, Wahiduddin, dan Jumriani, 2013).
e)      Olahraga teratur
Olahraga secara teratur dapat menyerap atau menghilangkan endapan kolestrol pada pembuluh darah nadi. Olahraga yang dimaksud adalah latihan menggerakan semua nadi dan otot tubuh seperti gerak jalan, berenang, naik sepeda, aerobik. Oleh karena itu olahraga secara teratur dapat menghindari terjadinya komplikasi hipertensi (Corwin, 2009).
Latihan fisik regular dirancang untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan pasien dimana latihan ini dirancang sedinamis mungkin bukan bersifat isometris (latihan berat) latihan yang dimaksud yaitu latihan ringan seperti berjalan dengan cepat (Syamsudin, 2011).
f)       Manajemen pengobatan hipertensi (Farmakologi hipertensi)
1)      Prinsip pengobatan dengan antihipertensi adalah sebagai berikut:
(a)    Tujuan pengobatan hipertensi yaitu untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi.
(b)   Manfaat terapi hipertensi menurunkan tekanan darah dengan antihipertensi yang telah terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, yaitu stroke, iskemia jantung, gagal jantung kongestif, dan memberatnya hipertensi.
(c)    Memutuskan untuk memulai pengobatan hipertensi tidak hanya ditentukan dengan tingginya tekanan darah tetapi adanya faktor rsiko penyakit kardiovaskuler lainnya.
(d)   Mulai pengobatan dengan suatu obat dosis rendah (jika tekanan darah tidak dikendalikan). Penderita hipertensi pada tahap awal atau tahap 1 memulai dengan jenis obat antihipertensi diuretik, β- bloker, penghambat ACE, antagonis Kalsium dan α - bloker dengan memodifikasi pola hidup serta menjonsumsi obat monoterapi antihipertensi.
(e)   Mulai dengan satu obat juga bisa mengobati dan atau tidak mengganggu suatu kondisi yang ada contoh obat yang bisa digunakan yaitu jenis diuretik: diuretik tiazid (hidroklorotiazid, klortalidon, bendroflumetiazid, indapamid, Xipamid), beta bloker (kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisopronol, metoprolol, Nonselektif: alprenolol, karteolol, nedolol,oksprenolol), Alfa bloker: Doxazosin, prazosin, terazosin, terazosin, bunazosin, labetalol, Penghambat ACE: kaptropil, lisinopril, enalapril, benazepril, delapril, fosinopril, kuinapril, perinderopil, ramipril, silazapril, Antagonis kalsium: Verapamil, diltiazem, nifedipin).
(f)     Tambahkan obat kedua dari kelas obat yang berbeda (pelengkap) jika tekanan darah tidak dikontrol dengan dosis sedang untuk agen pertama, obat antihipertensi lainnya yang bisa digunakan yaitu vasodilator langsung, adrenolitik sentral (α2 agonis) dan penghambat saraf adrenergik ini semua bukan jenis obat monoterapi tahapan pertama antihipertensi tetapi merupakan obat antihipertensi tambahan.
(g)    Mulai dengan obat yang mungkin paling mudah ditoleransi oleh pasien. Kepatuhan jangka panjang berkaitan dengan tolerabilitas dan khasiat obat pertama yang digunakan. Rekomendasi yang diberikan WHO menganjurkan lima jenis obat yaitu diuretik, β- bloker, penghambat ACE, antagonis Kalsium dan α - bloker.
(h)   Gunakan terapi diuretik jika ada dua obat yang digunakan, berlaku untuk hampir semua kasus.
(i)      Gunakan diuretik tiazid hanya dengan dosis rendah 25mg/ hari untuk hidroklorotiazida atau obat yang ekuivalen, kecuali ada alasan yang mendesak.
(j)     Gunakan terapi kombinasi dosis rendah, jika diperlukan, sebagai terapi awal.
(k)    Suatu diuretik dengan penyekat β (beta), ACE inhibitor , atau antagonis angiotensin II.
(l)      Suatu kalsium antagonis denga ACE inhibitor atau penyekat β (beta).
(m) Satu atau dua obat akan mengendalikan tekanan darah pada 90% pasien hipertensi. Cara untuk mendapatkan tekanan darah diastolik < 90 mmHg, sekitar 70% kasus memerlukan dua obat.
(n)   Jika terjadi komplikasi yang terjadi jika hipertensi dengan diabetes kombinasi obat memiliki resistensi insulin. Pada kasus ini digunakan suatu penghambat ACE atau β-bloker selektif. Jika terdapat kontraindikasi terhadap kelompok ini, dianjurkan untuk obat-obat lain seperti alfa-bloker dan angiotensin kalsium. Komplikasi yang disertai gagal jantung dengan diuretika, β-bloker, atau ACE inhibitor. Hipertensi dengan angina pectoris dengan β-bloker, atau antagonis kalsium. Reniopati diabetes dengan hipertensi bisa menggunakan ACE inhibitor. Hipertensi disertai infark jantung menggunakan β-bloker, atau ACE Inhibitor.
2)      Obat Antihipertensi
Antihipertensi adalah agen yang menurunkan tekanan darah tinggi (Dorland, 2012). Rekomendasi obat antihipertensi menurut World Health Organization (WHO) 2003 dan The Joint National Committee (JNC VIII) tahun 2014 adalah:
(a)    Diuretik adalah obat yang menghambat reabsorbsi natrium dan air di bagian asenden ansa henle (Dorland, 2012). Diuretika adalah senyawa yang dapat menyebabkan ekskresi urin yang lebih banyak. Menghambat reabsorpsi garam di tubulus distal dan membantu reabsopsi kalium. Jika pada peningkatan ekskesi air, terjadi juga peningkatan ekskresi garam–garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (Gray, Dawkins, Morgan, Simpson, 2005). Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretik. Pertama, diuretik mereabsorpsi sedikit sodium akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik yang bekerja pada daerah yang mereabsorpsi banyak sodium. Kedua, status fisiologi organ akan memberikan respons yang berbeda dengan diuretik. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, dan gagal ginjal. Ketiga, interaksi anatara obat dengan reseptor (Syamsudin, 2011). Jenis diuretika berdasarkan cara kerjanya menurut Sutedjo (2008):
-          Menghambat reabsorbsi Natrium dan air dari Tubulus Ginjal dan Ansa Henle, misalnya: Tiazid dan Derifatnya (Chlortalidon, Hidroklorotiazid, Indopamid, Sipamid) merupakan Diuretika potensi sedang mampu mengesresikan 5-10% Natrium yang difiltrasikan Glomerulus, Diuretika Loop atau High Celling (Furosemid, Bumetanide,Asam Etakrinat) Diuretik kuat dibanding Tiazid, dapat mengekresikan 15-30% Natrium yang difiltrasikan Glomerulus, dan bekerja banyak pada Anse Henle Asenden (Loop).
-          Diuretik osmotik yaitu menarik cairan jaringan peritubuler menuju tubulus dan menambah jumlah kencing karena adanya perbedaan tekanan osmotis antara intratubuler dan peritubuler.
-          Antagonis Aldosteron (spironolakton) digunakan untuk diuretik, pengurangan oedema, hiperaldosteron primer maupun sekunder dan jenis obat deuretik lainnya.
(b)   Penyekat α (α - Blocker)
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat reseptor α, tetap hambatan reseptor α (alpha) tergantung dari perbedaan profil farmakokinetiknya. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat efek vasokonstriktor epinefrin dan norepinefrin. Efek ini menyebabkan vasodilatasi arteriola dan resistensi vascular perifer yang lemah. Kombinasi efek penurunan resistensi vascular perifer dan penurunan kembalinya pembuluh vena menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik khususnya pada dosis awal (first dose effect). Efek antihipertensi dari penyekat α dapat menurunkan tekanan darah 10/10 mmHg dan meningkatkan kadar HDL. Prazosin dapat digunakan pada penderita asma sebab memiliki efek sebagai relaksan ringan pada otot polos bronkus. Penyekat α dapat digunakan pada hipertensi dengan prostatis sebab penyekat α dapat mengurangi gejala urinary hesitancy dan spasme leher kandung kemih yang berhubungan dengan hipertrofi prostat.
(c)    Penyekat b (b- Blocker)
Golongan obat ini memiliki efek kronotropik dan inotropik negative yang menyebabkan penurunan tekanan darah dan menurunkan curah jantung dan resistensi vascular perifer. Efek penghambatan terhadap reseptor β2 yang terdapat dipermukaan membrane sel jukstaglomrul dapat menyebabkan penurunan sekresi renin yang berperan didalam sistem renin angiotensin aldosteron dan menurunkan tekanan darah.
(d)   ACE Inhibitor
Angiotensin converting enzim (ACE) inhibitor memiliki efek dalam penurunan tekanan darah melalui penurunan resistansi perifer tanpa disertai dengan perubahan curah jantung, denyut jantung, maupun laju filtrasi glomerolus. Penurunan tekanan darah melalui penghambatan sistem renin angiotensin aldosteron (RAA). Renin merupakan enzim yang disekresi terutama dari sel jukstaglomeruler di bagian arteriol aferen ginjal dan menyebabkan perangsangan pada sitem RAA sehingga menurunkan tekanan darah, penurunan konsentrasi ion Na+ sehingga dapat menurunkan tekanan darah, nyeri, dan stres. Pada sistem RAA, kerja ACE inhibitor adalah menghambat enzim ACE yaitu suatu enzim yang dapat menguraikan angiotensin I menjadi angitensin II. Angiotensin II merupakan suatu vasokonstriktor yang pontensial merangsang korteks adrenal untuk menyitesis dan menyekresi aldosteron dan secara langsung menekan pelepasan renin. Enzim ACE juga dapat mendegradasi bradikinin dari bentuk aktif. ACE Inhibitor dapat menyebabkan bradikinin tidak terdegradasi dan terakumulasi di saluran pernafasan dan paru sehingga menimbulkan batuk kering. Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi, insidennya sampai 10 – 20% lebih sering pada wanita dan terjadi pada malam hari.
(e)   Antagonis Reseptor Angiotensin II
Obat-bat yang mempengaruhi jalur sistem renin angiotensin (RAS) antara lain adalah ACE inhibitor dan A II RA. Tampaknya A II RA merupakan obat yang mempunyai prospek yang baik karena obat ini mampu memblok kerja semua angiotensin II yang terbentuk baik melalui jalur ACE atau non-ACE. A II RA dapat secara selektif memblok kerja Angiotensin II pada reseptor AT, sehingga A II RA disamping menurunkan tekanan darah juga mempunyai kemampuan melindungi organ-organ lain (end organ protection). Terdapat dua tipe reseptor yaitu AT1 dan AT2 dengan efek kerja yang berbeda. Angiotensin II yang seharusnya bekerja pada reseptor AT1 akan diblokade oleh A II RA sehingga terjadi penurunan tekanan darah, penurunan retensi air dan sodium, serta penurunan aktivitas seluler yang merugikan (antaralain hiperetrofi sel dan lain-lain). Angiotensin II yang terakumulasi akan kerja di reseptor AT2 dengan efek berupa vasodilatasi dan antiproliferasi. Akhirnya rangsangan reseptor AT2 akan bekerja sinergis dengan efek hambatan pada reseptor AT1.
(f)     Antagonis Kalsium
Penghambat kanal kalsium merupakan senyawa heterogen yang memiliki efek bervariasi pada otot jantung, nodus, SA, konduksi AV, pembuluh darah perifer, dan sirkulasi koroner. Senyawa penghambat kanal kalsium tersebut adalah nifedipin, nikardipin, nimodipin, felodipin, isradipin, amlodipin, verapamil, diltiazem, bepridil, dan mibefradil. Ion kalsium berperan penting dalam mengatur kontraksi otot polos dan rangka, serta tampilan jantung normal dan sakit. Antagonis kalsium banyak digunakan untuk pengobatan hipertensi dengan cara mengambat masuknya ion kalsium kedalam sel otot polos melalui penghambatan kanal ion kalsium yang bergantung pada tegangan (tipe I). Ada dua macam kanal ion kalsium pada membrane sel eksitabel yaitu voltage operated channel (VCO) yang terbuka oleh depolarisasi dan receptor operated channel (ROC) yaitu kalsium yang terbuka oleh neurotransmitter tanpa terjadi depolarisasi. Selanjutnya VOC dapat dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu kanal N(neuronal), T(transien), dan L (long lasting). Kanal N terutama terutama terdapat pada jaringan saraf, sedangkan kanal T terdapat pada pacemaker dan jaringan konduksi. Kanal N dan T tidak sensitive terhadap antagonis kalsium sedangkan kanal L sangat sensitive terhadap antagonis kalsium dan terdapat pada otak, jantung, otot polos, serta otot rangka. Kanal L terdiri atas lima subunit yaitu α1, α2,β,γ dan δ sedangkan reseptor antagonis kalsium terdapat pada subunit α1.
Terapi Farmakologi menurut Departemen Kesehatan (DepKes, 2006) Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi menjelaskan ada 9 kelas obat antihipertensi : diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama.

7.      Komplikasi
Hipertensi yang tidak teratasi, dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya menurut Price dan Wilson (2006), Corwin (2009), Vitahealth (2005), Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, dan Syam (2014), Irianto (2014) seperti:
a.       Payah Jantung
Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi jantung tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh. Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau sistem listrik jantung.
b.      Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadi stroke, karena tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh darah otak, maka terjadi pendarahan otak yang dapat berakibat kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari gumpalan darah yang macet dipembuluh yang sudah menyempit.
c.       Kerusakan ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah yang menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh. Dengan adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit cairan dan membuangnya kembali kedarah.
d.      Kerusakan pengelihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di mata, sehingga mengakibatkan pengelihatan menjadi kabur atau buta. Pendarahan pada retina mengakibatkan pandangan menjadi kabur, kerusakan organ mata dengan memeriksa fundus mata untuk menemukan perubahan yang berkaitan dengan hipertensi yaitu retinopati pada hipertensi. Kerusakan yang terjadi pada bagaian otak, jantung, ginjal dan juga mata yang mengakibatkan penderita hipertensi mengalami kerusanan organ mata yaitu pandangan menjadi kabur.
Komplikasi yang bisa terjadi dari penyakit hipertensi menurut Departemen Kesehatan (DepKes, 2006) adalah tekanan darah tinggi dalam jangka waktu yang lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat atherosclerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi.

B.     KONSEP KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
a.      Riwayat:
-          Pada banyak kasus tidak ada gejala dan penyakit muncul kebetulan atau selama skrining TD rutin
-          Gejala yang terlihat adalah efek hipertensi pada system organ
-          Bangun tidur dengan sakit kepala di daerah oksipital yang menghilang dalam beberapa jam
-          Pusing, letih, konfusi
-          Epistaksis
-          Hematuria
-          Penglihatan kabur
b.      Temuan pemeriksaan fisik:
-          Nadi kuat
-          Bunyi jantung S4
-          Edema perifer pada tahap lanjut
-          Hemoragi,eksudat, dan edema papil pada mata pada tahap lanjut jika terjadi hipertensi retinopati
-          Massa abdomen berdenyut menunjukkan adanya aneurisme abdomen
-          Peningkatan TD minimal dua kali pengukuran berturut-turut
-          Bising pada aorta abdomen dan arteri femoralis atau karotis
c.       Pemeriksaan Diagnostik
1)      Laboratorium
-          Urinalisis: dapat ditemukan protein, sel darah merah, atau sel darah putih menandakan penyakit ginjal, atau glukosa yang menunjukkan diabetes mellitus.
-          Kadar kalium serum <3,5 mEq/L (normal:3,5 – 5,0 mEq/L)2 menunjukkan disfungsi adrenal (hiperaldosteronisme primer)
-          Kadar nitrogen urea darah normal ( normal: 5 – 25 mg/dL)2 atau meningkat >20mg/dL dan kadar kreatinin serum normal (normal: 0,5 – 1,5 mg/dL)2 atau >1,5 mg/dLmenunjukkan penyakit ginjal
2)      Pencitraan
-          Foto thoraks menunjukkan kardiomegali
-          Arteriografi ginjal menunjukkan stenosis arteri ginjal
3)      Prosedur diagnostic
-          Elektrocardiografi (EKG) menunjukkan hipertropi atau iskemia ventrikel kiri
-          Oftalmoskopi menunjukkan luka pada arterio-vena, encefalopati hipertensi, dan edema.
-          Pemeriksaan menggunakan kaptopril oral dapat dilakukan untuk menguji hipertensi renovaskuler

2.      Diagnose Keperawatan dan Rencana Asuhan Keperawatan
a.       Nyeri akut b.d agens fisik (peningkatan TIK)
Kriteria NOC:
Control nyeri:
-          Laporan nyeri atau ketidaknyamanan mereda atau terkontrol
-          Mengatakan metode untuk mengurangi nyeri
-          Mematuhi regimen farmakologis yang diresepkan.
Intervensi (NIC)
Manajemen nyeri
Mandiri:
-          Tentukan spesifikasi nyeri – lokasi
-          Dorong dan pertahankan tirah baring selama fase akut, jika diindikasikan
-          Beri atau rekomendasikan tindakan nonfarmakologis untuk meredakan sakit kepala, seperti menempelkan washlap dingin di dahi, menggosok punggung dan leher, ruangan tenang bercahaya redup, teknik relaksasi sepertiimajinasi terbimbing dan distraksi
-          Hilangkan atau minimalkan aktivitas yang membuat vasokontriksi yang dapat memperburuk sakit kepala seperti mengedan saat defekasi, batuk lama, dan membungkuk
-          Bantu klien berjalan sesuai kebutuhan
Kolaborasi:
-          Beri analgetik, jika diindikasikan
-          Beri agens anti-ansietas seperti: lorazepam, alprazolam, dan diazepam
b.      Risiko penurunan curah jantung
Factor risiko:
-          Perubahan afterload (mis. Peningkatan resistensi vaskuler sistemik, vasokontriksi)
-          Perubahan kontraktilitas(mis. Hipertropi ventrikel atau rigiditas, iskemi miokardium)
Kriteria (NOC):
-          Berpartisipasi dalam aktivitas yang mengurangi TD dan beban kerja jantung
-          Mempertahankan TD dalam kisaran normal individu
-          Mendemonstrasikan irama dan frekuensi jantung stabil dalam kisaran normal.
Intervensi (NIC)
Regulasi hemodinamik
Mandiri:
-          Ukur TD di kedua lengan. Perhatikan terjadinya peningkatan tekanan sistolik dan diastolic
-          Perhatikan adanya dan kualitas nadi sentral dan perifer
-          Auskultasi tonus jantung dan suara napas
-          Observasi warna kulit, kelembaban, suhu tubuh, dan waktu pengisian kapiler (CRT)
-          Perhatikan edema dependen dan edema umum
-          Beri lingkungan yang tenang dan nyaman, batasi pengunjung dan waktu lamanya berkunjung
-          Pertahankan pembartasan aktivitas selama situasi krisis seperti tirah baring atau istirahat di kursi
-          Bantu klien melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
-          Beri tindakan kenyamanan seperti masase punggung dan leher, tinggikan kepala
-          Instruksikan atau ajarkan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing dan distraksi
-          Pantau respons terhadap medikasi pengendalian tekanan darah.


Kolaborasi:
-          Beri medikasi sesuai indikasi: diuretic, beta-bloker, inhibitor ACE, dll (sesuai indikasi)
-          Implementasikan pembatasan diet sesuai indikasi seperti mengurangi kalori dan menghindari karbohidrat murni, natrium, lemak, dan kolesterol
-          Persiapkan pembedahan jika diindikasikan

c.       Intolerans aktivitas b.d kelemahan umum; ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen
Kriteria (NOC)
Endurance:
-          Berpartisipasi dalam aktivitas yang diperlukan dan diinginkan
-          Melaporkan peningkatan yang dapat terukur dalam toleransi aktivitas
-          Mendemonstrasikan penurunan tanda-tanda fisiologis intoleransi
Intervensi (NIC):
Manajemen energy
Mandiri:
-          Kaji respons klien terhadap aktivitas, catat frekuensi nadi yang lebih cepat >20kali/menit dari frekuensi saat istirahat: peningkatan TD (sistolik meningkat >40 mmHg atau diastolic meningkat >20 mmHg) selama dan setelah aktivitas, dyspnea atau nyeri dada, keletihan dan kelemahan berlebihan, dan diaphoresis, pening, dan sinkop.
-          Ajari klien teknik penghematan energy sepertimenggunakan kursi saat mandi, duduk saat menyikat gigi atau menyisir rambut, dan melaksanakan aktivitas dengan kecepatan yang lebih lambat.

d.      Ketidakefektifan koping b.d ketidakadekuatan sumber yang ada; ketidakadekuatan tingkat kepercayaan dalam kemampuan untuk koping; ketidakadekuatan tingkat persepsi control; krisis situasi
Kriteria (NOC)
Koping:
-          Mengidentifikasi perilaku koping yang tidak efektif dan akibatnya
-          Mengungkapkan kesadaran tentang kemampuan dan kekuatan kopingnya sendiri
-          Mengidentifikasi situasi yang berpotensi menyebabkan stress dan melangkah untuk menghindari atau memodifikasi situasi stress tersebut
-          Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan koping yang efektif
Intervensi (NIC):
Peningkatan Koping:
Mandiri:
-          Kaji efektifitas strategi koping dengan mengobservasi perilaku, seperti kemampuan mengungkapkan perasaan dan kekuatiran, dan keinginan berpartisipasi dalam rencana terapi
-          Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, gangguan konsentrasi, iritabilitas, penurunan toleransi terhadap sakit kepala, dan ketidakmampuan melakukan koping atau menyelesaikan masalah
-          Bantu klien mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi mengatasi stressor tersebut
-          Masukkan klien dalam perencanaan asuhan dan dorong partisipasi maksimal dalam rencana terapi dan dengan tim multidisiplin
-          Dorong klien untuk mengevaluasi prioritas dan tujuan personal dalam hidup
-          Bantu klien mengidentifikasi dan mulai membuat rencana untuk mengubah gaya hidup yang diperlukan. Bantu menyesuaikan dan bukan mengabaikan, tujuan personal dan keluarga.

Referensi:
AnnisaA. F. N, Wahiduddin, Ansar, J. (2013). Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Berobat Hipertensi pada Lansia di Puskesmas Pattingalloang Kota Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin, diaskes dari http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9370/A.%20Fitria%20Nur%20Annisa_K11110020.pdf?sequence=1

Corwin,J.E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Diagnosis NANDA-I, Intervensi NIC, Hasil (NOC). Jakarta: EGC

Gray, H. H., Dawkins, K. D., Morgan, J. M., Simpson, I. A. (2005). Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series

Irianto, K (2014). Memahami Berbagai Macam Penyakit. Bandung: Alfabeta

Junaidi, I. (2002). Panduan praktis pencegahan dan pengobatan stroke. Jakarta: Gramedia.

Muawanah. (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Manajemen Stres Terhadap Tingkat Kekambuhan Pada Penderita Hipertensi di Panti Wreda

Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Jakarta: Nuha Medika. Medical Book.

Setiati S, et al. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing

Smeltzer, S. C, Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Vol. 2. E/8. Jakarta: ECG

Sutaryo. (2011). Bagaimana menjaga kesehatan jantung. Yogyakarta: Cinta Buku.

Sutedjo, A.Y. (2008). Mengenal Obat-Obatan Secara Mudah & Aplikasinya dalam Perawatan. Yogyakarta: Amara Books

Syamsudin. (2011). Buku Ajar Farmakoterapi Kardovaskular dan Renal. Jakarta: Salemba Medika

The Joint National Committee (JNC VIII) Hypertension Guidelines An in Depth Guide. Diaskes 20 Mei 2015 di http://www.ajmc.com/journals/evidence-based-diabetes-management/2014/January-2014-2014/The-JNC-8-Hypertension-Guidelines-An-In-Depth-Guide

Udjianti, W. J. (2010). Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Vitahealth, (2005). Hipertensi (Informasi lengkap untuk penderita & keluarga). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

WHO (Would Health Organization). (2003). ADHERENCE TO LONG-TERM THERAPIES Evidence for action.Diaskes pada 13 Agustus 2015 di http://www.who.int/chp/knowledge/publications/adherence_introduction.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar