Selasa, 31 Oktober 2023

Asuhan Keperawatan Klien dengan Congestive Heart Failure (CHF) aplikasi NANDA, NOC, NIC

 



ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

A.    KONSEP MEDIK
1.      Pengertian
Jantung merupakan organ pertama dan terpenting dalam sistem sirkulasi. Fungsi jantung dalam sistem sirkulasi adalah memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh baik pada saat istirahat maupun melakukan aktifitas. Congestive Heart Failuremerupakan sindrome klinis yang kompleks yang dapat mengakibatkan gangguan jantung struktural maupun fungsional sehingga mengganggu kemampuan ventrikel menerima atau memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Manifestasiklinis dari Congestive Heart Failureantara lain dyspnea (sesak napas) dan fatique (kelelahan) yang dapat membatasi aktivitas, serta retensi cairan yang dapat menyebabkan kongesti paru dan edema perifer (Kimble et al., 2009)

2.      Epidemiologi
Diperkirakan terdapat lima juta orang di Amerika Serikat (1.5% sampai 2% dari populasi) mengidap Congestive Heart Failure. Prevalensi terus meningkat dengan 550.000 kasus baru setiap tahunnya. Kejadian Congestive Heart Failurekira-kira sebesar 10 per 1000 pada populasi dengan usia di atas 65 tahun sehingga merupakan penyebab umum hospitalisasi pada pasien usia tua (Kimbleet al., 2009). Laki-laki dan wanita pada ras Kaukasia, Amerika Afrika, dan Amerika Meksiko yang berusia lebih dari 20 tahun masing-masing memiliki presentase terkena CHF sebesar 2,5%, 3,1%, dan 2,7% (pada laki-laki) dan 1,9%, 2,5%, dan 1,6% (pada wanita) (ACCF/AHA, 2005). Diperkirakan lebih dari 15 juta kasusbaru gagal jantung muncul setiap tahunnyadi seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagaljantung akan meninggal dalam waktu 5 tahunsejak diagnosis ditegakkan (Kasper et al., 2005)

3.      Etiologi
Penyakit Congestive Heart Failure dapat diklasifikasikan dalam enam kategori utama (Parker et al., 2008), yaitu:
a.       Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle branch block), dan berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
b.      Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
c.       Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
d.      Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi)
e.       Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikardium atau efusi perikardium (tamponade).
f.       Kelainan kongenital jantung.

4.      Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV, dimana curah jantung (CO: cardiac output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: heart rate) x volume sekuncup (SV: stroke volume) (Smletzer & Bare, 2012).
Frekuensi jantung dipengaruhi fungsi sistem saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, system saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.Tetapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan searabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan (Smletzer & Bare, 2012).
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu: preload, contactility, afterload (Smletzer & Bare, 2012).
Preload sinonim dengan Hukum Starling pada jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung (Smletzer & Bare, 2012).
Contactility mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium (Smeltzer & Bare, 2012)
Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol (Smletzer & Bare, 2012)
Pada gagal jantung kongestif, jika satu atau lebih dari ketiga faktor tersebut terganggu, hasilnnya curah jantung berkurang (Smletzer & Bare, 2012).
Peningkatan kerja jantung yang berlebih akan mengakibatkan mekanisme perkembangan hipertrofi otot jantung dan remodelingyang dapat menyebabkanperubahan struktur (massa otot, dilatasi camber) dan fungsi (gangguan fungsi sistolik dan diastolik) (Herman, 2011).

5.      Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada Congestive Heart Failure antara lain:
a.       Gejala yang dirasakan pasien bervariasi dari asimptomatis (tak bergejala) hingga syok kardiogenik.
b.      Gejala utama yang timbul adalah sesak nafas (terutama ketika bekerja) dan kelelahan yang dapat menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas fisik. Gejala pulmonari lain termasuk diantaranya orthopnea, dyspnea, dan batuk.
c.       Tingginya produksi cairan menyebabkan kongesti pulmonari dan oedema perifer.
d.      Gejala yang dapat timbul diantaranya termasuk nocturia, sakit pada bagian abdominal, anoreksia, mual, kmbung, dan ascites (Sukandar, 2009).
Gagal jantung kiri
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu:
·         Dispnu
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam   alveoli dan mengganggu pertukaran
·         Batuk
·         Mudah lelah
Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal. Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
·         Kegelisahan dan kecemasan
Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
Gagal Jantung Kanan:
·    Kongestif jaringan perifer dan viseral.
·    Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan berat badan,
·    Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar
·    Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen.
·    Nokturia
·    Kelemahan.

6.      Diagnosis
Menurut Parker et al., (2008) dalam penetapan diagnosis gagal jantung tidak dapat dilakukan dengan tes tunggal. Hal tersebut dikarenakan gagal jantung dapat disebabkan atau diperburuk oleh berbagai gangguan baik dari jantung maupun bukan dari jantung. Tahap evaluasi awal mencakup perhitungan darah komplit, serum elektrolit (termasuk Mg), uji fungsi ginjal dan hati, urinalisis, profil lipid, x-ray dada, serta elektrokardiogram (EKG). Perhitungan BNP juga dapat membantu membedakan dyspnea yang disebabkan oleh gagal jantung atau penyebab lain (Parker et al., 2008).
Diagnosis ditegakkan atas dasar 2 kriteria utama, atau 1 (satu) kriteria utama disertai 2 (dua) kriteria tambahan.
Kriteria utama:
-          Orthopneu
-          Paroksismal Nocturnal Dyspneu
-          Cardiomegali
-          Gallop
-          Peningkatan JVP
-          Refleks Hepatojuguler
Kriteria tambahan:
-           Edema pergelangan kaki
-           Batuk malam hari
-           Dyspneu on effort
-           Hepatomegali
-           Efusi pleura
-           Takhikardi
7.      Klasifikasi
Congestive Heart Failuredapat diklasifikasikan berdasarkan abnormalitas struktural jantung berdasarkan American College of Cardiology Foundation/American Heart Association:
a.       Stadium A yaitu Memiliki risiko tinggi berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat ganguan struktural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala. Contohnya seperti hipertensi, coronary artery disease, diabetes (Parker et al, 2008).
b.      Stadium B yaitu telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung. Tidak terdapat tanda atau gejala. Contohnya seperti riwayat MI, Left Ventricular Hypertrophy, Left Ventricular Systolic dysfunctiona simptomatik (Parker et al., 2008).
c.       Stadium C yaitu gagal jantung asimptomatis yang berhubungan dengan penyakit strukturaljantung yang mendasari. Contohnya Left Ventricular systolic dysfunctiondan sesak nafas, kelelahan, retensi cairan, atau gejala HF lain. Stage C termasuk pasien dengan asimptomatik yang pernah menerima pengobatan gejala HF (Parker et al., 2008).
d.      Stadium Dyaitu penyakit struktural jantung yang lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal. Contohnya seperti pasien dengan gejala refractoryterhadap pengobatan tetapi toleransi pada farmakoterapi maksimal. Pasien membutuhkan hospitalisasi dan intervensi khusus (Parker et al., 2008).
Klasifikasi berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional menurut New York Heart Association (NYHA):
a.       Kelas I yaitu tidak terdapat batasan melakukan aktivitasfisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
b.      Kelas II yaitu terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
c.       Kelas III yaitu terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktvitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
d.      Kelas IV yaitu tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.

8.      Terapi Congestive Heart Failure
Tujuan pengobatan gagal jantung adalah untuk menghilangkan gejala, memperlambat progresivitas penyakit, serta mengurangi hospitalisasi dan mortalitas. Pada dasarnya, tatalaksana terapi bertujuan untuk mengembalikan fungsi jantung untuk menyalurkan darah keseluruh tubuh. Selain itu, terapi juga ditujukan kepada faktor-faktor penyebab atau komplikasinya (Ritter, 2008). Terapi Congestive Heart Failure juga bertujuan untuk pengurangan preload dan afterload, serta peningkatan keadaan inotropik (Brunton et al., 2011).
Terapi gagal jantung dibagi menjadi 3 komponen, yaitu menghilangkan faktor pemicu, memperbaiki penyebab yang mendasar dan mengendalikan keadaan Congestive Heart Failure (Selwyn et al., 2005).
Menurut New York Heart Association (NYHA) Terapi Heart Failure dibagi berdasarkan kelas fungsional pasien yang terdiri dari kelas I, kelas II, kelas III dan kelas IV, yaitu:
a.       Terapi asimptomatik pada disfungsi Left Ventricular (LV) (NYHA Class I)







b.      Terapi pada sistolik gagal jantung (NYHA kelas II/III)

c.       Terapi pada sistolik gagal jantung(NYHA kelas IV)

Berikut ini merupakan obat-obatan yang digunakan dalam terapi gagal jantung:
1)      ACE Inhibitor
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitormerupakan golongan obat lini pertama pada terapi semua tingkat gagal jantung, termasuk pada pasien yang belum mendapatkan gejala atau asimptomatik (Hudson et al., 2003).
Obat-obat golongan ACE Inhibitor bekerja dengan cara menghambat kerja enzim pengubah Angiotensin I menjadi Angiotensin II (Angiotensin Converting Enzyme) sehingga pembentukan angiotensin II menurun dan menyebabkan jumlah aldosteron juga menurun. Dengan menurunnya angiotensin II dan aldosteron ini dapat melemahkan efek merusak dari neurohormon termasuk dalam menurunkan ventricullar remodelling, miokardial fibrosis, apoptosis miosit, hipertrofi jantung, pelepasan NE, vasokontriksi, serta retensi garam dan air (Parker et al., 2008). Dengan begitu, maka curah jantung dapat meningkat kembali. Peningkatan curah jantung tersebut menyebabkan perbaikan perfusi ginjal, sehingga akan meringankan udema yang terjadi (Hudson et al., 2003).
Pengobatan dengan menggunakan ACE Inhibitor sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang rendah yang telah direkomendasikan, diikuti dengan peningkatan dosis bertahap apabila dosis awal tersebut sudah dapat ditoleransi dengan baik. Fungsi renal dan kadar kalium dalam serum harus dimonitoring selama satu hingga dua minggu setelah pemberian pertama terapi terutama pada pasien dengan hipotensi, hiponatremia, diabetes melitus, azotemia, atau pasien yang menggunakan suplemen kalium (ACCF/AHA, 2013).
2)      β-Bloker
Sebelumnya, obat-obat golongan β-Blocker dinyatakan dapat memperburuk gagal jantung tetapi sekaligus merupakan terapi standar pada pengobatan gagal jantung. Inisiasi penggunaan β-Blocker dosis normal pada pasien gagal jantung berpotensi menimbulkan dekompesasi atau dapat memperburuk gejala yang ada karena efek inotropik negatif tersebut. Akan tetapi, ada bukti yang menyatakan bahwa penggunaan β-Blocker pada pasien gagal jantung yang stabil dengan dosis inisiasi dan dinaikkan secara bertahap dalam beberapa minggu, dapat memberikan banyak manfaat. Sehingga ACCF/AHA merekomendasikan penggunaan β-Blocker pada pasien stable systolic heart failurekecuali jika pasien mempunyai kontraindikasi atau dengan jelas intoleran terhadap β-Blocker (Parker et al., 2008).
3)      Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)
Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs) digunakan pada pasien Congestive Heart Failure dengan penurunan EF yang intoleran terhadap penghambat ACE. Angiodema terjadi pada <1% pasien yang mendapat terapi penghambat ACE sehingga penghambat ACE tidak dapat diberikan pada pasien yang pernah mengalami angiodema. Pasien tersebut dapat diberikan terapi ARBs sebagai pengganti penghambat ACE (ACCF/AHA, 2013).
Terapi dengan ARBs sebaiknya dimulai dengan dosis awal yang rendah yang telah direkomendasikan, diikuti dengan peningkatan dosis bertahap apabila dosis awal tersebut sudah dapat ditoleransi dengan baik. Fungsi renal dan kadar kalium dalam serum harus dimonitoring selama satu hingga dua minggu setelah pemberian terapi (ACCF/AHA, 2013).
Mekanisme aksi ARB adalah dengan mengeblok reseptor angiotensin II sehingga angiotensin II tidak terbentuk terjadi vasodilatasi dan penurunan volume retensi. Perbedaannya dengan obat golongan penghambat ACE, ARBs tidak menghasilkan akumulasi bradikinin sehingga mengurangi efek samping batuk dan angiodema. Efek samping ARBs adalah hipotensi, hiperkalemia, dan lebih kecil risiko efek sampingbatuk. Penggunaan ARBs dikontraindikasikan pada ibu hamil dan stenosis ginjal bilateral (BNF, 2011).
4)      Golongan Vasodilator Langsung
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi tekanan darah akan turun dan nantrium serta air tertahan, sehingga terjadi oedema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. Penghambat beta seringkali diberikan bersama-sama dengan vasodilator arteriola untuk menentukan denyut jantung, hal ini melawan refleks takikardia (WHO, 2003).
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Hidralazin mempunyai banyak efek samping termasuk takikardia, palpitasi, oedema, kongesti hidung, sakit kepala, pusing, perdarahan saluran cerna, gejala-gejala seperti lupus, dan gejala-gejala neurologik (kesemuatan, baal) (WHO, 2003).
5)      Glikosida jantung
Glikosida jantung seperti digoksin dapat meningkatkan kontraksi otot jantung yang meghasilkan efek inotropik positif. Mekanisme kerjanya belum jelas tetapi digoksin merupakan penghambat yang poten pada aktivitas pompa saluran natrium, yang menyebabkan peningkatan pertukaran Na-Ca dan peningkatan kalsium intraseluler. Efeknya adalah terjadinya peningkatan ketersediaan ion kalsium untuk kontraksi otot jantung (Gray, et al., 2002).
Glikosida jantung juga memodulasi aktivitas sistem saraf otonom, dan mekanisme ini kemugkinan berperan besar pada efikasi glikosida jantng dalam penatalaksanaan gagal jantung (Brunton, et al., 2011). Dosis pemakaian digoksin yang dianjurkan adalah 0,125-0,25 mg/hari sedangkan dosis awal pada pasien dengan insufiensi ginjal, lbih dari 70 tahun atau lean body mass rendah adalah 0,125 mg/hari (Hunt, et al., 2005).
6)      Antagonis Kanal Kalsium
Obat-obat golongan Calcium Channel Blocker atau Antagonis Kanal Kalsium merupakan edema perifer dan tidak umum digunakan dalam terapi gagal jantng. Akan tetapi studi terbaru mengenai amlodipin dan felodipin mendukung adanya efek menguntungkan dan bahwa penggunaannya aman, sehingga merupakan obat yang secara potensial dapat digunakan bila terdapat hipertensi atau angina bersama gagal jantung (Gray et al., 2002).
7)      Diuretik
Mekanisme kompensasi gagal jantung menstimulasi retensi garam dan cairan yang berlebihan, sehingga seringkali menimbulkan gejala dan tanda berupa kongesti paru dan sistemik. Maka dari itu, kebanyakan pasien gagal jantung membutuhkan terapi diuretik jangka panjang untuk mengontrol status cairannya, sehingga diuretik merupakan pengobatan dasar pada terapi gagal jantung. Akan tetapi, karena diuretik tidak menghambat progresivitas gagal jantung, maka penggunaannya tidak diwajibkan (Parker, et al., 2008).
Diuretik menghilangkan retensi garam dan cairan dengan cara menghambat reabsorbsi natrium di tubulus ginjal. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada gagal jantung dengan menghambat reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik di tubulus ginjal.  Diuretika yang digunakan pada terapi Congestive Heart Failuredibagi menjadi 3 golongan yaitu:
a)      Diuretika Kuat (bumetanide, furosemide, dan torsemide)
Obat ini bekerja dengan mencegah rebasorbsi natrium, klorida dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik kuat mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/Cl-dari membran lumen pada pars ascenden ansahenle, karena itu reabsorbsi Na+/K+/Cl-menurun (NICE, 2011).
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, seperti hipokalsemia dan hipokloremia. Hipotensi ortostatik dapat timbul. Diuretika kuat juga dikontraindikasikan untuk dipakai paa penderita gagl ginjal. Gejala-gejala gangguan fungsi ginjal yang berat meliputi oligouria (penurunan jumlah urin yang sangat jelas), peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kretainin darah (NICE, 2011).
Interaksi obat yang paling utama adalah dengan preparat digitalis, jika pasien menggunakan digoksin dengan diuretik kuat, bisa terjadi keracunan digitalis, pasien ini memerlukan kalium tambahan melalui makanan atau obat. Hipokalemia memperkuat kerja digoksin dan meningkatkan risiko keracunan digitalis (NICE, 2011).
b)      Diuretika tiazid (chlortiazid, hidrochlortiazid, indapamid, dan metolazone).
Diuretika tiazid bekerja pada bagian awal tubulus distal (nefron). Obat ini menurunkan reabsorbsi natrium dan klorida dengan menghambatkontranspoter Na+/Cl-pada mebran lumen, yang meningkatkan ekskresi air, natrium, dan klorida. Selain itu, kalium hilang dan kalsium di tahan. Obat ini digunakan dalam pengobatan hipertensi, gagal jantung, edema, dan pada diabetes insipidus nefrogenik. Efek samping dan reaksi yang merugikan dari tiazid mencakup ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia, hipomagnesemia dan kehilangan bikarbonat), hiperglikemia (gula darah meningkat), hiperurisemia (kadar asam urat meningkat). Efek samping lainmencakup pusing, sakit kepala, mual, muntah, konstipasi, dan urtikaria (NICE, 2011).
Tiazid dikontraindikasi pada penderita gagal ginjal. Gejala-gejala gangguan fungsi ginjal yang berat meliputi oligouria (penurunan jumlah urin yang sangat jelas), peningkatan nitrogen urea darah dan peningkatan kreatinin darah. Dari berbagai interaksi obat, yang paling serius adalah interaksi diuretika tiazid jika digunakan bersama digoksin, sehingga bisa menyebabkan hipokalemia, yang menguatkan ketja digoksin, sehingga bisa menyebabkan keracunan digitalis. Tanda dan gejal keracunan digitalis (bradikardia, mual, muntah, perubahan penglihatan) harus dilaporkan. Tiazid memperkuat kerja obat antihipertensi lainnya, yang mungkin dipakai secara kombinasi (NICE, 2011).
c)      Diuretika Hemat Kalium (amilorid, spironolakton, dan triameteren).
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron dengan mekanisme meningkatkan retensi kalium dan ekskresi natrium di tubulus distal. Biasanya penggunaan spironolakton dikombinasikan dengan diuretika lain untuk mencegah kemungkinan hilangnya kalium secara berlebihan (IONI, 2008).

B.     KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
a.       Riwayat
-          Penyakit jantung atau kondisi yang dapat mencetuskan gagal jantung
-          Dyspnea atau dyspnea nocturnal paroksismal
-          Edema perifer
-          Keletihan
-          Kelemahan
-          Insomnia
-          Anoreksia
-          Mual
-          Abdomen terasa penuh (terutama pada gagal jantung kanan)
-          Penyalahgunaan zat (alkohol, obat, tembakau)
b.      Temuan pemeriksaan fisik
-          Batuk bersputum
-          Sianosis pada bibir dan dasar kuku
-          Kulit pucat, dingin, dan basah
-          Diaphoresis
-          Distensi vena jugularis
-          Acites
-          Takikardia
-          Pulsus alternans
-          Hepatomegaly dan kemungkinan splenomegaly
-          Penurunanan tekanan nadi
-          Bunyi jantung S3 dan S4
-          Krekles lembab dan bibasilar, ronkhi dan mengi ekspiratori
-          Penurunan oksimetri nadi
-          Edema perifer
-          Penurunan haluaran urine
c.       Pemeriksaan diagnostic
1)      Laboratorium
-          Immunoassay peptide natriuretic tipe B meningkat
2)      Pencitraan
-          Foto thoraks menunjukkan peningkatan tanda vaskularpulmoner, edema interstisial, atau efusi pleura dan kardiomegali
3)      Prosedur diagnostic
-          EKG memperlihatkan regangan atau pembesaran atau iskemia jantung. Pemeriksaan ini juga dapat memperlihatkan pembesaran atrium, takikardia, ekstra systole, atau vibrilasi atrial
-          Pemantauan tekanan arteri pulmonal biasanya menunjukkan peningkatan arteri pulmonal dan tekanan baji arteri pulmoner, tekanan akhir diastole ventrikel kiri pada gagal jantung kiri dan peningkatan atrium kanan atau vena sentral pada gagal jantung kanan.
   

2.      Diagnose keperawatan, kriteria hasil (NOC), dan Intervensi (NIC)
NO
Diagnose keperawatan
Hasil (NOC)
Intervensi (NIC)
1
Penurunan curah jantung berhubungan dengan:
-          Perubahan afterload (resistensi vascular)
-          Perubahan frekuensi (irama jantung)
-          Perubahan kontraktilitas seperti defek valvular atau katup dan aneurisme ventrikel

Efektifitas pompa jantung:
-     Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima, disritmia tidak terjadi atau terkontrol, dan tidak ada kegagalan, mis. Parameter hemodinamika berada dalam batasan yang dapat diterima dan haluaran urine adekuat
-     Melaporkan penurunan episode dyspnea dan angina

Manajemen diri dari penyakit jantung:
Berpartisipasi dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Regulasi hemodinamik
Mandiri:
-     Evaluasi adanya nyeri dada
-     Catat adanya disritmia jantung
-     Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac putput
-     Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
-     Monitor balance cairan
-     Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan antiaritmia
-     Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari kelelahan
-     Monitor toleransi aktivitas pasien
-     Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu
-     Anjurkan untuk menurunkan stress
-     Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
-     Monitor TTV saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
-     Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
-     Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
-     Monitor jumlah, bunyi dan irama jantung
-     Monitor frekuensi dan irama pernapasan
-     Monitor pola pernapasan abnormal
-     Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
-     Monitor sianosis perifer
-     Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
-     Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
-     Jelaskan pada pasien tujuan dari pemberian oksigen
-     Minimalkan stresslingkungan

Kolaborasi:
-     Beri oksigen tambahan, jika diindikasikan
-     Beri medikasi sesuai indikasi: mis. Diuretik, inhibitor ACE, vasodilator, agens inotropik, dll
2
Intolerans aktivitas berhubungan dengan:
-          Gaya hidup kurang gerak
-          Kelemahan umum
-          Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Endurance:
-     Berpartisipasi dalam aktivitasyang diinginkan; memenuhi kebutuhan perawatan diri sendiri
-     Mencapai peningkatan yang dapat diukur dalam hal toleransi aktivitas yang dibuktikan dengan penurunan keletihan dan kelemahan, dan tanda vital berada dalam batas yang dapat diterima selama aktivitas
Manajemen energy:
Mandiri:
-     Periksa tanda vital sebelum dan segera setelahaktivitas selama periode akut atau perburukan gagal jantung terutama jika klien mendapatkan vasodilator, diuretic, atau penyekat beta
-     Dokumentasikan respons jantung paru terhadap aktivitas. Catat takikardi, disritmia, dyspnea, diaphoresis, dan pucat
-     Kaji tingkat keletihan dan evaluasi pencetus dan penyebab keletihan yang lain, misalnya terapi gagal jantung, nyeri, kakheksia, anemia, dan depresi
-     Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas
-     Beri bantuan dalam aktivitas perawatan diri, sesuai indikasi. Selingi aktivitas dengan periode istirahat.

Kolaboratif
Implementasikan program rehabilitasi jantung dan aktivitas secara bertahap.
3
Hypervolemia b. d
-          Kelebihan asupan natrium
-          Penurunan mekanisme regulator (penurunan laju filtrasi glomerulus, peningkatan produksi hormone antidiuretic (ADH), dan retensi natrium dan air)
Keparahan kelebihan cairan:
-     Mendemonstrasikan volume cairan yang stabil dengan keseimbangan antara asupan dan haluaran, suara napas bersih, tanda vital berada dalam kisaran yang dapat diterima, dan edema tidak ada
-     Mengungkapkan pemahaman tentang diet individual dan pembatasan cairan
Manajemen cairan:
Mandiri:
-     Pantau haluaran urine, perhatikan jumlah dan warna, serta pukul berapa diuresis terjadi
-     Pantau balans cairan dalam 24 jam
-     Pertahankan istirahat di tempat tidur atau kursi dalam posisi semifowler selama fase akut
-     Timbang BB tiap hari
-     Kaji distensi pembuluh darah di leher dan perifer. Inspeksi area tubuh yang posisinya tergantung untuk mendeteksi adanya edema dengan atau tanpa adanya pitting; perhatikan adanya edema anasarka.
-     Ubah posisi dengan sering. Tinggikan kaki saat duduk. Inspeksi permukaan kulit, pertahankan tetap kering, dan diberikan bantalan sesuai indikasi
-     Auskultasi bunyi napas, perhatikan penurunan bunyi napas dan bunyi napas tambahan, mis. Cracles, dan mengi. Perhatikan terjadinya peningkatan dyspnea, takipnea, orthopnea, dyspnea nocturnal paroksismal, dan batuk persisten
-     Pantau TD, CVP (jika terpasang)
-     Kaji bising usus. Perhatikan keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen, dan konstipasi.
-     Beri makanan dalam jumlah sedikit, sering, mudah dicerna.
-     Palpasi abdomen. Perhatikan laporan nyeri atau nyeri tekan pada kuardan kanan atas
-     Perhatikan adanya peningkatan letargi, hipotensi, dank ram otot.

Manajemen cairan/elektrolit:
Kolaborasi:
-     Beri medikasi sesuai indikasi, mis: diuretic, tiazid, penyimpan kalium, suplemen kalium
-     Pertahankan pembatasan cairan dan natrium sesuai indikasi
-     Konsultasikan dengan ahli gizi
-     Pantau foto ronsen dada
-     Pantau hitung darah lengkap, elektrolit terutama kalium dan natrium
4
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-kapiler akibat penumpukan cairan dan perpindahan cairan ke ruang interstisial atau alveoli.
Status pernapasan:
Pertukaran gas
-     Menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat dengan nilai AGD dan oksimetri berada dalam kisaran normal klien dan bebas dari gejala distress pernapasan
Manajemen jalan napas:
Mandiri
-     Auskultasi bunyi napas, perhatikan crecles dan mengi
-     Instruksikan klien batuk efektif dan napas dalam
-     Dorong perubahan posisi dengan sering
-     Pertahankan istirahan di kursi atau tirah baring dalam posisi semi-fowler, dengan kepala tempat tidur ditinggikan setinggi 30 – 45 derajat

Kolaborasi:
-     Pantau nila AGD dan oksimetri nadi
-     Beri tambahan oksigen, sesuai indikasi
-     Beri medikasi sesuai indikasi, seperti diuretik
5
Nyeri kronis b.d:
-          Penyakit fisik kronis atau kondisi kronik
-          Perubahan kemampuan untuk melanjutkan aktivitas sebelumnya
Control nyeri:
-     Mengunkapkan dan mendemonstrasikan peredaan atau pengendalian nyeri atau ketidaknyamanan
-     Mendemonstrasikan dan memulai modifikasi perilaku gaya hidup dan menggunakan intervensi terapeurik dengan benar
Manajemen nyeri:
Mandiri
-     Kaji keberadaan nyeri
-     Catat kondisi penyerta
-     Kaji efek nyeri pada gaya hidup nyeri, sperti inaktivitas fisik, keletihan berat, pertambahan atau penurunan berat badan, kesulitan tidur, dan depresi
-     Beri pedoman antisipasi

Kolaborasi:
-     Bantu terapi kondisi pokok (underlying) atau kondisi penyerta
-     Beri analgesic, sesuai indikasi
6
Risiko kerusakan integritas kulit
Factor risiko:
Gangguan sirkulasi
Perfusi jaringan: perifer
-     Mempertahankan integritas kulit
-     Mendemonstrasikan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Manajemen tekanan:
Mandiri
-     Inspeksi kulit, perhatikan tonolan tulang, keberadaan edema, dan area perubahan sirkulasi dan pigmentasi
-     Beri masase lembut di seputar area yang memerah atau keputihan
-     Dorong perubahan posisi dengan sering di tempat tidur dan kursi, bantu ROM aktif dan/atau pasif
-     Beri perawatan kulit dengan sering; minimalkan kontak dengan kelembaban dan ekskresi
-     Hindari rute intramuscular dalam pemberian medikasi.
Kolaborasi
-     Beri tekanan secara bergantian, kasur terisi udara atau air, dan pelindung siku dan tumit.

Referensi
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom: Elsevier

Brunton, L.L.et al., Terjemahan E.Y. Sukandar, et al. (2011). Goodman & Gilman: Manual Farmakologi dan Terapi. Cetakan 2011. Jakarta: EGC

Dosen Keperawatan Medikal Bedah. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC

Gray, H. H. (2002). Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series

Hudson, S. A., McAnaw, J., Reid, F., (2003). Congestive Heart Failure, in Walker, R., and Edwards, C., Clinical Pharacy and Therapeutic, 3rd Edition, 279288, Churchill Livingstone, United Kingdom 

Hunt, S.A., Abraham, W.T., Chin, M.H., Feldman, A.M., and Francis, G.S., Ganiants, T.G., Jessup, M., Konstam, M.A., (2009). Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult, http://www.acc.org/clinical/guidelines/failure/index_pkt.pdf,

Kasper, et al. (2005). Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, inc. P. 1424-1433

Koda-Kimble et al. (2009). Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs 9th edition. USA: Lippincot William and Wilkins

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United Kingdom: Elsevier

NANDA International. (2015). Nursing Diagnoses. Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY Blackwell

Parker MG, Keller L, Evenson J, et al. 2005. Torque Responses in Human Quadriceps to Burst-Modulated Alterning Current at 3 Carrier Frequencies. Journal of Orthopaedic and Sport Physical Therapy

Selwyn, A.P., Braunwald E., (2005). Ischemic Heart Disease. In: Kasper, D.L.,Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L.,eds.,Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill 1434-1435

Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta: EGC

Sukandar, E.Y., et al. (2009) Iso Farmakoterapi Farmakope. Jakarta: PT. ISFI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar