Selasa, 31 Oktober 2023

KONSEP KESIAPSIAGAAN PERAWAT DALAM BENCANA

 

KONSEP KESIAPSIAGAAN PERAWAT PADA BENCANA

Definisi bencana
Bencana merupakan peristiwa yang menimbulkan kerusakan yang serius terhadap kehidupan atau infrastuktur yang ada di masyarakat lokal. Dalam kasus yang sama, besarnya kerusakan dapat menghambat masyarakat untuk berespon (Robert, & Elaine, 2010). Central Board Secondary Education [CBSE] (2006) mendefinisikan bencana adalah gangguan serius yang mengganggu fungsi masyarakat, yang menyebabkan gangguan materi, ekonomi, kerugian sosial dan lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri.
Bencana adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena (WHO, 1999). Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda, dan dampak psikologis.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan bencana alam sebagai "hasil dari gangguan ekologi atau ancaman yang melebihi kemampuan penyesuaian masyarakat yang terkena dampak". Bencana alam termasuk gempa bumi, banjir, tornado, badai, letusan gunung berapi, badai es, tsunami, dan fenomena geologi atau meteorologi lainnya. Bencana buatan manusia adalah yang penyebab langsung utamanya adalah tindakan manusia, disengaja atau sebaliknya. Bencana buatan manusia termasuk terorisme biologi dan biokimia, tumpahan bahan kimia, radiologi (nuklir), kebakaran, ledakan, kecelakaan transportasi, konflik bersenjata, dan tindakan perang (Veenema, 2007).
Kalsifikasi bencana
Berdasarkan potensi penyebab bencana di wilayah negara Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Bencana alam antara lain berupa gempa bumi karena alam, letusan gunung berapi, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena faktor alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa. Bencana nonalam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh manusia, kecelakan transportasi, kegagalan konstruksi/teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan. Bencana sosial antara lain berupa kerusuhan sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang sering terjadi (UU 24 tahun 2007).
Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission ((DPPC), 2016)) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:
1)      Natural hazardyaitu hazard akibat proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk: (1) Geophysical Hazard, seperti: gempa bumi, tsunami, aktivitas vulkanik, tanah longsor; (2) Hidro-meteorogical Hazard, seperti: banjir, tanah longsor, angin topan, kekeringan, kebakaran hutan, gelombang panas, badai debu/pasir, longsoran salju; (3) biological hazard, seperti: wabah penyakit, penularan penyakit pada tumbuhan atau hewan, kejadian infeksi yang luas.
2)      Human made hazard, yaitu hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini mencakup: (1) Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.  (2) Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat terganggunya ekosistem, (3) Konflik, yaitu hazard karena perilaku kelompok manusia kepada kelompok yang lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.
Klasifikasi bencana menurut DepKes RI (1999) dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: (1) Bencana Alam, antara lain: letusan vulkanik, gempa bumi, tanah longsor, banjir, serangan hama tanaman pangan, wabah, kemarau panjang, kebakaran hutan, gelombang tsunami, gelombang panas, dan gas alam beracun; (2) Bencana karena tindakan manusia, antara lain: perang, letusan gas bumi, kecelakaan radiasi, polusi keracunan, kebakaran gedung/gedung runtuh, kecelakaan transportasi darat, laut, udara dan kerusuhan sosial (terorisme, SARA).
Disaster Management continuum
Bencana tidak dapat dianggap sebagai event point-in-time, tetapi terdiri dari beberapa fase, di mana pada setiap fase memerlukan tindakan untuk mengurangi dampak dari bencana. Fase bencana terdiri dari prabencanabencana, dan pascabencana. Tahap prabencana merupakan kegiatan yang dirancang untuk mencegah atau mengurangi dampak potensial dari bencana serta mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi darurat bencana. Semua kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana atau keadaan darurat merupakan kegiatan pada fase bencana. Pemulihan dan rehabilitasi merupakan fase pascabencana. Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam setiap tahap bencana (ICN, 2009). Model Manajemen Keperawatan Bencana (Jennings 2004 cit ICN, 2009)
Kontinum Manajemen Bencana
Fase Bencana
Bencana
Respons
Pascabencana
Pemulihan
Rekonstruksi/Rehabilitasi
Prabencana
Pencegaha/mitigasi
Preparedness
 


Model Disaster Kontinum
Sumber: WHO & ICN (2009)
Model ini dirancang sebagai alat untuk perawat kesehatan masyarakat.
Sebuah bencana dapat terjadi kapan saja. Pemerintah dan masyarakat perlu memahami konsekuensi dari bencana itu dan selalu siap untuk menghadapinya, karena peristiwa bencana memiliki potensi untuk mempengaruhi bangsa, infrastruktur pemerintah dan semua aspek kehidupan (Pawlowski, 2012).
Bencana merupakan peristiwa alam yang terjadi secara berulang, sehingga dapat digambarkan dalam suatu siklus penanggulangan bencana (disaster cycles). Siklus bencana umumnya disebut sebagai kontinum bencana, atau siklus manajemen darurat. Siklus bencana ini terdiri dari tiga fase utama,
preimpact (sebelum), dampak (selama), dan postimpact (setelah), dan dijadikan dasar dalam penanggulangan bencana. (Veenema, 2007).
Tahapan dasar dari program manajemen bencana terdiri dari 5 tahapan yaitu kesiapsiagaan, mitigasi, respon, pemulihan, dan evaluasi (Kim & Proctor, 2002; Landesman, 2001 dalam Veenema, 2007). Dimana, suatu fase yang terlihat tumpang tindih, tetapi masing-masing fase memiliki kegiatan yang berbeda.
Kesiapsiagaan mengacu pada upaya perencanaan yang dirancang dalam merespon sebelum terjadinya bencana. Perencanaan bencana meliputi mengevaluasi potensi kerentanan (penilaian risiko) dan kecenderungan terjadinya bencana. Peringatan dini (forecasting) untuk mencari indikator yang memprediksi lokasi, waktu, dan besarnya bencana di masa yang akan datang (Veenema, 2007).
Mitigasi mencakup tindakan yang diambil untuk mengurangi efek berbahaya akibat bencana dengan mengurangi dampaknya terhadap kesehatan manusia, fungsi masyarakat, infrastruktur dan ekonomi. Kegiatan-kegiatan pencegahan meliputi mencegah bencana terjadi, dan setiap tindakan yang diambil adalah  untuk mencegah penyakit makin berlanjut, cacat, atau kematian. Mitigasi biasanya membutuhkan sejumlah besar pemikiran, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan sebelum bencana terjadi (Veenema, 2007).
Fase tanggap adalah tindakan nyata dari manajemen bencana. Tanggap bencana, atau manajemen darurat, adalah kegiatan yang dilakukan  untuk mengatasi bencana. Fase tanggap bencana berfokus terutama pada memberikan bantuan darurat yaitu menyelamatkan nyawa, memberikan pertolongan pertama, meminimalkan dan memulihkan sistem yang rusak seperti komunikasi dan transportasi, dan memberikan perawatan serta penyediaan kebutuhan pokok bagi korban (makanan, air, dan tempat tinggal) (Veenema, 2007).
Kegiatan pemulihan berfokus pada stabilisasi dan mengembalikan keadaan masyarakat seperti keadaan sebelum terjadi bencana, seperti membangun kembali bangunan yang rusak dan memperbaiki infrastruktur, merelokasi penduduk, melakukian intervensi kesehatan mental. Rehabilitasi dan rekonstruksi melibatkan berbagai kegiatan untuk mencegah efek jangka panjang dari bencana pada masyarakat (Veenema, 2007).
Evaluasi adalah tahap perencanaan bencana dan sangat penting untuk diperhatikan. Setelah bencana, evaluasi dilakukan untuk menentukan tingkat keberhasilan, apakah ada masalah, dan mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ditemukan. Perencanaan bencana di masa mendatang harus didasarkan pada bukti empiris yang berasal dari peristiwa bencana sebelumnya (Veenema, 2007).
Siklus manajemen darurat bencana serta kegiatan pada masing-masing fase bencana dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1: Disaster Nursing Timeline Model Veenema, 2007
(Veenema, 2007)


Fase Bencana



Prabencana
Bencana


Pascabencana

WAKTU
                      0

 

(0-24 jam)        (24-72 jam)

Lebih dari 72 jam
Kontinum bencana
Perencanaan/ kesiapsiagaan
Pencegahan
Peringatan
Respon
Manajemen kedaruratan
Mitigasi
Pemulihan
Rehabilitasi
Rekonstruksi
Evaluasi
Nursing Action
1.  Berpartisipasi dalam membangun perencanaan bencana di masyarakat
2.  Berpartisipasi di masyarakat dalam pengkajian risiko: analisa elemen bahaya, mapping bahaya, analisis kelompok rentan
3.  Menginisiasi tindakan pencegahan bencana: mencegah atau menghilangkan bahaya, menggerakkan/ mereloksi penduduk yang berisiko, meningkatkan kesadaran publik, pembentukan sistem tanggap bahaya.
4.  Mengadakan pelatihan-pelatihan
1.    Mengaktifkan rencana tanggap bencana: pemberitahuan dan respon awal, menjadi pemimpin saat kejadian, mendirikan  posko, membangun komunikasi, memperbaiki kerusakan dan penilaian kebutuhan di tempat kejadian, pencarian, penyelamatan dan evakuasi, melakukan kunjungan ke rumah sakit dan posko-posko kesehatan, triase dan transport pasien
2.    Memperkecil bahaya yang sedang terjadi
3.    Mengaktifkan agen rencana bencana
4.    Membangun kebutuhan hubungan saling membantu
5.    Mengintegrasikan sumber-sumber daya
6.    Triase berkelanjutan
1.    Memberikan pelayanan keperawatan dan pelayanan medis secara terus menerus
2.    Surveylance penyakit yang terus menerus
3.    Monitor keamanan makanan dan air yang tersedia
4.    Menarik diri dari lokasi bencana
5.    Memulihkan infrastruktur kesehatan masyarakat
6.    Re-triase dan transport pasien ke fasilitas perawatan yang tepat
7.    Menyatukan kembali



Nursing Action
bencanaan dan melaksanakan latihan
5.  Mengidentifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan untuk semua perawat
6.  Mengembangkan database keperawatan bencana untuk pemberitahuan, mobilisasi dan triase perawat gawat darurat
7.  Mengembangkan rencana evaluasi pada semua elemen respon keperawatan bencana
dan penyediaan asuhan keperawatan
7.     Membangun tempat penampungan yang aman, pengiriman makanan dan persediaan air yang memadai
8.      Menyediakan kebutuhan sanitasi dan pembuangan sampah
9.      Mengaktifkan surveylance penyakit
10.  Membangun pengendalian vektor
11.  Mengevaluasi kebutuhan atau mengaktifkan staf perawat tambahan (rencana perawat tanggap bencana)
anggota keluarga
8.    Memantau kesehatan fisik jangka panjang dari korban
9.      Memantau status kesehatan mental dari korban
10.  Menyediakan waktu yang cukup untuk staf beristirahat
11.  Tindakan respon keperawatan bencana dievaluasi
12.  Merevisi rencana kesiapsiagaan bencana yang sudah ada.
Sumber: Veenema, 2007
Model Veenema ini menggunakan terminologi yang sama dengan Jennings Disaster Nursing Management Model tetapi menggabungkan kegiatan dalam tiga kategori yang terkait dengan timeline dari bencana.
Menurut DepKes (2007), tahap-tahap penanganan mengikuti pendekatan tahapan siklus penanganan bencana (disaster management cycle), yang dimulai dari waktu sebelum terjadinya bencana berupa kegiatan pencegahan, mitigasi (pelunakan/pengurangan dampak) dan kesiapsiagaan. Pada saat terjadinya bencana berupa kegiatan tanggap darurat dan selanjutnya pada saat setelah terjadinya bencana berupa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pencegahan dilakukan sebagai upaya mencegah timbulnya krisis akibat bencana sedangkan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan sebelum bencana terjadi dilakukan kegiatan mitigasi. Kegiatan mitigasi perlu dievaluasi untuk perbaikan secara berkala dengan melibatkan program dan sektor terkait, agar sesuai dengan kondisi yang berkembang di wilayah setempat (Depkes, 2007).
      Kesiapsiagaan merupakan upaya-upaya yang difokuskan kepada pengembangan rencana-rencana untuk menghadapi bencana. Tujuan dari usaha kesiapsiagaan adalah: (1) meminimalkan jumlah korban, (2) mengurangi penderitaan korban, (3) mencegah munculnya masalah kesehatan pasca bencana, (4) memudahkan upaya tanggap darurat dan pemulihan yang cepat (Depkes, 2007).
      Tanggap darurat merupakan upaya-upaya yang dilakukan segera sesudah terjadinya suatu bencana. Tindakan yang dilakukan umumnya ditujukan untuk menyelamatkan jiwa korban dan melindungi harta benda serta menangani kerusakan dan pengaruh terhadap bencana lainnya (kejadian lanjutan). Penanganan darurat pada kejadian bencana pada dasarnya dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, yaitu sekitar 2 – 3 minggu sesudah bencana terjadi (Depkes, 2007).
      Upaya pemulihan merupakan kegiatan yang dilakukan segera setelah bencana mereda atau masa tanggap darurat telah terlampaui agar masyarakat kembali mampu melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan upaya rekonstruksi adalah kegiatan kegiatan untuk membangun kembali berbagai sarana, prasarana dan pelayanan umum yang rusak akibat bencana agar lebih baik dari sebelumnya. Kegiatan rekonstruksi harus direncanakan dengan teliti dan seksama dengan mengikutsertakan berbagai disiplin ilmu, instansi, dan swasta secara terpadu dan terintegrasi (Depkes, 2007). 
  Kesiapsiagaan (preparedness) dalam menghadapi bencana
a.         Definisi kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007). Rangkaian kegiatan yang dimaksud misalnya: penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi evakuasi, Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan/pedoman penanggulangan bencana.
      Konsep kesiapsiagaan bencana meliputi tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan jiwa saat terjadi bencana, seperti tindakan protektif saat gempa, tumpahan zat/bahan berbahaya, atau serangan teroris. Kesiapsiagaan  termasuk tindakan yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan tindakan darurat untuk melindungi sarana/prasarana yang mengalami kerusakan saat terjadinya bencana, serta kemampuan untuk terlibat dalam pasca bencana dan kegiatan pemulihan awal (Sutton & Tierney2006). Kesiapsiagaan bencana mengacu pada langkah-langkah yang diambil untuk mempersiapkan dan mengurangi efek dari bencana. Artinya, untuk memprediksi dan jika mungkin, mencegah terjadinya bencana, mengurangi dampaknya terhadap masyarakat yang  rentan, dan menanggapi secara efektif untuk mengatasi dampak dari bencana (IFRC & RCS, 2016).
b.        Tujuan kesiapsiagaan
Tujuan dari kesiapsiagaan adalah untuk mengembangkan rencana darurat, untuk melatih personil di semua tingkatan dan di semua sektor, untuk mendidik masyarakat yang berisiko, dan untuk memantau serta mengevaluasi langkah-langkah ini secara teratur (Tekeli-Yeşil, 2006).
Menurut Sutton & Tierney (2006), dimensi kesiapsiagaan bencana dan aktivitasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2: Preparedness Dimensions and Activities
Dimensi Kesiapsiagaan
Aktivitas yang Berhubungan
Pengetahuan tentang adanya bahaya
Mengenal bahaya, dampak, dan penilaian kerentanan; Menggunakan perangkat lunak untuk mengestimasi kerugian, skenario, data sensus; Memahami potensi dampak pada fasilitas, struktur, infrastruktur, populasi; Memberikan informasi bahaya kepada para pemangku kepentingan.


Manajemen, petunjuk, dan koordinasi
Memberikan tanggung jawab; Mengembangkan pembagian kerja dan visi bersama dari peran dan tanggung jawab yang berhubungan dengan respon; Pembentukan komite kesiapsiagaan, jaringan; Mengadopsi prosedur manajemen yang dibutuhkan dan direkomendasikan; Memberikan pelatihan, melakukan latihan, dan mendidik masyarakat.


Perencanaan respon formal dan informal serta perjanjian
Mengembangkan perencanaan menghadapi bencana, rencana evakuasi, memorandum of understanding (MoU), perjanjian saling membantu, kemitraan kolaboratif, perjanjian berbagi sumber daya.


Sumber pendukung
Peralatan dan perlengkapan untuk mendukung kegiatan respon; Memastikan kapasitas bertahan; Merekrut staf; Mengidentifikasi sumber daya yang sebelumnya tidak diketahui; Mengembangkan kemampuan logistik.





Life Safety Protection
Mempersiapkan anggota keluarga, karyawan, orang lain untuk mengambil tindakan segera untuk mencegah kematian dan cedera, misalnya, dengan mengungsi, berlindung di tempat yang mempunyai struktur bangunan yang aman, mengambil tindakan
darurat untuk mengurangi dampak bencana terhadap kesehatan dan keselamatan.
Property Protection
Bertindak secara benar untuk mencegah kehilangan atau kerusakan harta benda; melindungi persediaan, mengamankan catatan kritis; Memastikan bahwa fungsi kritis dapat dipertahankan selama bencana.
Emergency Coping and Restoration of Key Functions
Mengembangkan kapasitas untuk berinovasi; Mengembangkan kemampuan untuk mandiri selama bencana; Memastikan kapasitas untuk melakukan restorasi darurat dan langkah-langkah pemulihan dini
Mempersiapkan rencana pemulihan
Mempersiapkan rencana pemulihan; tata cara pembangunan; Mendapatkan asuransi yang memadai; Mengidentifikasi sumber bantuan pemulihan
Sumber: Sutton & Tierney, 2006
Manajemen kesiapan bencana sangat menentukan keberhasilan manajemen bencana pada fase acute respons (DepKes RI, 1999). Tahapan preparedness mencakup enam kegiatan pokok, yaitu:
1)   Pengembangan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
SPGDT adalah sebuah sistem koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) yang didukung oleh berbagai kegiatan dari multi profesi untuk melakukan kegiatan pelayanan terpadu pada penderita gawat darurat baik dalam situasi setiap hari maupun dalam situasi bencana (KemenKes RI, 2006). Sistem ini merupakan pelayanan pasien gawat darurat mulai dari tempat kejadian samapai pada sarana pelayanan kesehatan dengan berpedoman pada respon cepat yang penekanannya pada time saving is life and limb saving.
2)   Pengembangan Sumber Daya
Kesiapsiagaan sumber daya menurut BNPB, 2015 pada masing-masing kementerian terkait meliputi: (1) Sarana, (2) Prasarana, (3) Sumber daya manusia yang kompeten, dan (4) Tersedianya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan oleh masing-masing kementerian terkait. Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penting dalam suatu organisasi. Walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak, namun dapat dikatakan sulit diatur, sangat komplek, namun yang paling penting adalah perlunya manajemen yang efektif dari seorang manajer bencana (Shapiro, et al.  2013).
Tersedianya SDM dalam jumlah yang cukup dengan mutu dan motivasi yang tinggi serta kemampuan antar disiplin, antar profesi, maupun antar sektor akan menentukan keberhasilan dalam penanganan keadaan gawat darurat (DepKes RI, 1999). SDM ini dapat dilihat dari pengetahuan dan tingkat pendidikannya. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengeinderaan terjadi melalui panca indera. Pengetahuan juga dapat diperoleh melalui pendidikan, pengalaman diri sendiri, maupun pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmojo, 2003).
3)   Pengembangan Subsistem Komunikasi
Sistem komunikasi pada penanggulangan penderita gawat darurat didasari oleh time saving is live in limb saving. Kasus kegawat daruratan sering terjadi pada kehidupan sehari-hari maupun dalam kondisi bencana yang menimbulkan koban baik individu maupun korban massal. Meningkatnya kasus kegawatdaruratan, perubahan epidemiologi penyakit, serta kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan sarana komunikasi dan transportasi yang berbeda-beda juga melatar belakangi pentingnya sistem komunikasi yang baik dalam penanggulangan penderita gawat darurat.
Komunikasi dalam pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari memerlukan subsistem komunikasi yang terdiri dari jaring penyampaian informasi, jaring koordinasi dan jaring pelayanan gawat darurat yang seluruh kegiatannya berlangsung dalam satu sistem terpadu. Jaring komunikasi adalah suatu komando untuk mengkomunikasikan informasi dalam suatu kejadian bencana. Komunikasi tersebut diharapkan menjadi penghubung antara semua fase penanganan gawat darurat sehari-hari maupun dalam situasi bencana dengan tata cara komunikasinya yang singkat, jelas, dan benar (DepKes RI, 2006).
4)   Pengembangan Subsistem Transportasi
Evakuasi dan transportasi merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan gawat darurat bencana. Dengan evakuasi dan transportasi yang baik dan tepat dapat membantu penangnan penderita gawat darurat dengan baik. Evakuasi adalah transportasi yang terutama ditujukan dari rumah sakit lapangan menuju ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit dikarenakan ada bencana yang terjadi pada satu rumah sakit dimana pasien harus dievakuasi ke rumah sakit lain (DepKes RI, 2006).
Transportasi situasi bencana terbagi menjadi dua jenis, yaitu transportasi untuk penolong dan transportasi untuk korban bencana. Transportasi untuk penolong dari tim setempat untuk memobilisasi semua kendaraan yang dimiliki oleh instansi kesehatan setempat baik milik pemerintah maupun swasta agar segera sampai di tempat terjadinya bencana. Transportasi untuk korban dengan menggunakan ambulans yang ada (ambulans darat, laut, udara) ataupun sarana lain yang diperlukan sesuai kebutuhan dalam situasi dan kondisi setempat (DepKes RI, 1999).
5)   Latihan-latihan gabungan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Bencana (SPGDB) perlu dilakukan evaluasi secara periodik. Evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu saat terjadinya bencana. Namun, karena bencana jarang terjadi maka evaluasi dilakukan saat latihan-latihan atau simulasi bencana. Dengan demikian SPGDB sudah dapat ditingkatkan mutunya jauh sebelum bencana terjadi (DepKes RI, 1999).
Simulasi dapat digunakan  untuk menguji sebuah ketentuan-ketentuan baik berupa prosedur tetap (protap), petunjuk pelaksanaan (juklak), maupun petunjuk teknis (juknis). Pengujian terhadap ketentuan tersebut agar dapat diketahui apakah semua rancangan dapat diimplementasikan pada kenyataan yang sebenarnya di lapangan (DepKes RI, 2006).
6)   Kerjasama lintas sektor
Kesiapsiagaan terhadap bencana adalah aktivitas yang melibatkan multisektor secara berkesinambungan. Aktivitas tersebut membentuk suatu bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem nasional yang bertanggungjawab dalam pengembangan perencanaan dan program pengelolaan bencana.
c.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana meliputi kemampuan kognitif, sikap (affektif), dan psikomotor (skill) dalam manajemen bencana (ICN, 2007). Pengetahuan perawat tentang penanggulangan bencana sangat penting dalam persiapan penanggulangan bencana. Persiapan mampu mendukung kompetensi perawat dalam manajemen bencana. Sikap (attitude) sangat mempengaruhi perawat bencana terutama dalam memberikan pertolongan. Selain itu sikap dapat mendukung kemauan perawat dalam meningkatkan pengetahuannya (Chan, 2010). Pengalaman perawat sebagai relawan juga berpengaruh pada kesiapan menghadapi bencana. Perawat yang mempunyai pengalaman sebagai relawan bencana lebih siap dan memiliki respon yang lebih efektif untuk ditempatkan pada keadaan darurat atau bencana (Zagelbaum, 2014).
Faktor lain yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat adalah kesiapan institusi kesehatan meliputi Puskesmas atau rumah sakit,  dukungan dalam peningkatan kompetensi perawat meliputi pelatihan-pelatihan manajemen bencana, adanya kebijakan (guidelines) yang jelas sehingga perawat tidak disorientasi dalam penangan bencana, dan sarana prasarana yang tersedia dalam manajemen bencana (Chapman, 2008). Perencanaan yang jelas oleh institusi pelayanan kesehatan, koordinasi  antar instansi , dan pendidikan kompetensi yang berkelanjutan mempengaruhi kesiapsiagaan perawat bencana. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat bermanfaat dalam penyusunan program-program pemerintah yang berhubungan dengan  kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana dan perawat memahami faktor-faktor yang perlu diperhatikan (Magnaye, 2011).
Peran perawat dalam situasi bencana
The International Council of Nurses ((ICN), (2009)) menyatakan bahwa perawat menjalankan perannya di semua kontinum manajemen bencana. Peran perawat yang paling nyata nampak selama fase tanggap bencana, ketika perawat memprioritaskan membantu untuk mempertahankan kehidupan dan pemeliharaan kesehatan.
Keperawatan bencana membutuhkan penerapan pengetahuan keperawatan dan keterampilan dasar di mana perawat bencana bekerja dalam lingkungan yang sulit dengan sumber daya yang kurang. Perawat harus mampu beradaptasi dengan melakukan praktik keperawatan dalam situasi bencana untuk meminimalkan bahaya kesehatan dan kerusakan yang mengancam jiwa akibat bencana (ICN, 2009).
Perawat harus dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya, para relawan bencana, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah. Perawat harus mampu merubah fokus perawatan dari yang hanya merawat satu pasien menjadi merawat pasien dalam jumlah besar (ICN, 2009).
Perawat memegang peranan penting dalam kesiapsiagaan bencana melalui memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bencana; membantu dalam  mengurangi bahaya di tempat kerja, rumah dan masyarakat; berkontribusi dalam pengembangan, implementasi dan evaluasi kesiapan masyarakat terhadap bencana; berpartisipasi dalam/dan mengevaluasi latihan bencana; berkoordinasi dan bekerja sama dengan organisasi masyarakat (ICN, 2009).
Peran perawat pada fase tanggap bencana adalah memberikan perawatan di berbagai area, termasuk trauma, triase, perawatan darurat, perawatan akut, pertolongan pertama, pengendalian infeksi, perawatan supportif dan paliatif, serta kesehatan masyarakat. Perawat turut mengelola dampak fisik maupun psikologis para korban bencana. Perawat membuat keputusan mengenai pendelegasian perawatan kepada relawan dan tenaga kesehatan lainnya untuk memaksimalkan sumber daya yang ada. Perawat juga berfungsi dalam peran kepemimpinan, mengelola dan mengkoordinasikan perawatan kesehatan (ICN, 2009).
Peran perawat pada fase pemulihan bencana adalah turut dalam pengelolaan ancaman kesehatan yang berkelanjutan pada individu, keluarga dan masyarakat, serta kebutuhan perawatan berkelanjutan bagi mereka yang mengalami cedera, penyakit, penyakit kronis dan kecacatan. Peningkatan risiko pada kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, orang cacat, lanjut usia, akan menjadi lebih rentan terhadap penyakit mengancam jiwa yang membutuhkan pemantauan keperawatan lebih lanjut (ICN, 2009).
Peran perawat pada fase rekonstruksi dan rehabilitasi adalah berhubungan dengan koordinasi pelayanan kesehatan di daerah yang terkena dampak, seperti manajemen kasus; identifikasi dan pelaksanaan arahan yang tepat, termasuk sumber daya sosial sangat penting karena masyarakat mulai kembali ke kegiatan seperti biasa. Peran lainnya mencakup sebagai surveilans kesehatan masyarakat, skrining, dan pendidikan kepada masyarakat (ICN, 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar