Selasa, 31 Oktober 2023

Asuhan Keperawatan Klien dengan Diabetes Mellitus aplikasi NANDA, NOC, NIC

 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN DIABETES MELLITUS


A.    Konsep Diabetes Melitus
1.      Pengerian Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Smeltzer & Bare, 2012). Seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi disertai dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl (PERKENI, 2015).
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan hiperglikemia yang disebabkan penurunan kecepatan insulin oleh sel-sel beta pulau langerhans dalam pankreas (Guyton & Hall, 2012). American Diabetes Association (ADA) tahun 2013, mendefinisikan diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia yang terjadi karena pankreas tidak mampu mensekresi insulin, gangguan kerja insulin, ataupun keduanya. Dapat terjadi kerusakan jangka panjang dan kegagalan pada berbagai organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung, sertapembuluh darah apabila dalam keadaaan hiperglikemia kronis.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh jumlah hormon insulin yang tidak mencukupi atau tidak dapat bekerja secara normal, padahal hormon ini memiliki peran utama dalam mengatur kadar glukosa (gula) didalam darah.
2.        Etiologi DM
Menurut Smeltzer & Bare (2012), DM tipe II disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pancreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
3.        Klasifikasi diabetes Melitus
Diabetes mellitus dapat diklasifikasikan dalam klasifikasi umum menurut ADA (2013) sebagai berikut:
a.       Diabetes mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM), biasanya mengarah ke defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh kerusakan pada sel β pancreas oleh proses autoimun atau idiopatik. Umumnya penyakit ini berkembang ke arah ketoasidosis diabetik yang menyebabkan kematian. DM tipe 1 terjadi sebanyak 5-10% dari semua DM.
b.      Diabetes mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM), disebabkan oleh resistensi insulin yang menyebabkan kerusakan progresif pada sekresi hormone insulin. DM tipe 2 juga merupakan salah satu gangguan metabolik dengan kondisi insulin yang diproduksi oleh tubuh tidak cukup jumlahnya akan tetapi reseptor insulin di jaringan tidak berespon terhadap insulin tersebut. DM tipe 2 mengenai 90-95% pasien dengan DM. Insidensi terjadi lebih umum pada usia 30 tahun, obesitas, herediter, dan faktor lingkungan. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
c.       Diabetes mellitus gestasional terdiagnosa pada kehamilan trimester kedua atau ketiga dan biasanya tidak permanen. Terjadi 2 – 5% semua wanita hamil, setelah melahirkan akan kembali dalam keadaan normal.
d.      Diabetes mellitus tipe lain, seperti diabetes neonatal, adanya penyakit cystic fibrosis, pengaruh obat atau pasca transplantasi.
4.        Karakteristik DM
Pada penderita DM pemeriksaan dapat dilakukan pada mereka yang memiliki risiko untuk terkena DM seperti usia lebih dari 45 tahun, Berat Badan Relatif (BBR) >120%, dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >23 kg/m2, penderita hipertensi (>140/ 90 mmHg), dan yang mempunyai riwayat penyakit DM karena faktor keturunan, mempunyai riwayat abortus yang berulang-ulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi lahir lebih dari 4000 gram, kolesterol High Density Lipoproteins (HDL) <35 mg/dl atau kadar trigliserida >250 mg/dl (Perkeni, 2011). Risiko DM dapat terjadi pada yaitu pada usia lebih dari 40 tahun, obesitas atau kegemukan, hipertensi, adanya dislipidemia (gangguan pada lemak), terdapat luka, penyakit kardio vaskuler, TBC positif yang sulit sembuh (Perkeni, 2011).
5.       Patofisiologi DM
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia prosprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glikosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di eksresikan ke dalam urin, eksresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia) (Smeltzer dan Bare, 2012).


Difisiensi insulin juga akan menganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glikosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain). Namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbilkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang disebabkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perunahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting (Smeltzer dan Bare, 2012)
DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe 2. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya kadar asam lemak bebas (Smeltzer dan Bare, 2012). Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer dan Bare, 2012).
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol akan menimbulkan masalah akut lainnya seperti sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (HHNK) (Smeltzer dan Bare, 2012).
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Salah satu konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama bertahun-tahun adalah terjadinya komplikasi DM jangka panjang (misalnya, kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vaskuler perifer) mungkin sudah terjadi sebelum diagnosis ditegakkan (Smeltzer dan Bare, 2012)
6.       Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).
Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012).
Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala
akut dan gejala kronik (PERKENI, 2015):
a.       Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan mungkin tidakmenunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2 – 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015).
b.      Gejala kronik penyakit DM
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg (PERKENI, 2015).
7.      Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe 2 akan menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe 2 terbagi dua berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik (Smeltzer dan Bare, 2012; PERKENI, 2015).
a.       Komplikasi akut
1)      Ketoasidosis diabetic (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).
2)      Hiperosmolar non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).
3)      Hiperglikemi
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah  mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing, gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).
b.      Komplikasi Kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.
Kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri dari:
1)      Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis dari pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM namun dapat timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita DM meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungan dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapitelah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar insulin dapat menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular menjadi semakin tinggi. Kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar antara lain adalah pembuluh darah jantung atau penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak atau stroke, dan penyakit pembuluh darah. Hiperinsulinemia juga dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular (Smeltzer dan Bare, 2012)
2)      Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan retinopati proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah. Nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuria persisten (>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat masuk ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati diabetik tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal progresif dan upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah (Smeltzer dan Bare, 2012)
3)      Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan biasanya mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan. Neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal. Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Semua penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki (PERKENI, 2015).
8.      Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi:
a.       Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
b.      Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
c.       Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid (mengukur kadar lemak dalam darah), melalui pengelolaan pasien secara komprehensif.
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (24 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2015
Menurut Smeltzer dan Bare (2012), tujuan utama penatalaksanaan terapi pada Diabetes Mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi. Tatalaksana diabetes terangkum dalam 4 pilar pengendalian diabetes, yaitu:
a.       Edukasi
Penderita diabetes perlu mengetahui seluk beluk penyakit diabetes. Dengan mengetahui faktor risiko diabetes, proses terjadinya diabetes, gejala diabetes, komplikasi penyakit diabetes, serta pengobatan diabetes, penderita diharapkan dapat lebih menyadari pentingnya pengendalian diabetes, meningkatkan kepatuhan gaya hidup sehat dan pengobatan diabetes. Penderita perlu menyadari bahwa mereka mampu menanggulangi diabetes, dan diabetes bukanlah suatu penyakit yang di luar kendalinya. Terdiagnosis sebagai penderita diabetes bukan berarti akhir dari segalanya. Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil.
b.      Pengaturan makan (diet)
Pengaturan makan pada penderita diabetes bertujuan untuk mengendalikan gula darah, tekanan darah, kadar lemak darah, serta berat badan ideal. Dengan demikian, komplikasi diabetes dapat dihindari, sambil tetap mempertahankan kenikmatan proses makan itu sendiri. Pada prinsipnya, makanan perlu dikonsumsi teratur dan disebar merata dalam sehari. Seperti halnya prinsip sehat umum, makanan untuk penderita diabetes sebaiknya rendah lemak terutama lemak jenuh, kaya akan karbohidrat kompleks yang berserat termasuk sayur dan buah dalam porsi yang secukupnya, serta seimbang dengan kalori yang dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari penderita.
c.       Olah raga dan latihan
Pengendalian kadar gula, lemak darah, serta berat badan juga membutuhkan aktivitas fisik teratur. Selain itu, aktivitas fisik juga memiliki efek sangat baik meningkatkan sensitivitas insulin pada tubuh penderita sehingga pengendalian diabetes lebih mudah dicapai. Porsi olahraga perlu diseimbangkan dengan porsi makanan dan obat sehingga tidak mengakibatkan kadar gula darah yang terlalu rendah. Panduan umum yang dianjurkan yaitu aktivitas fisik dengan intensitas ringan selama 30 menit dalam sehari yang dimulai secara bertahap. Jenis olahraga yang dianjurkan adalah olahraga aerobik seperti berjalan, berenang, bersepeda, berdansa, berkebun, dll. Penderita juga perlu meningkatkan aktivitas fisik dalam kegiatan sehari-hari, seperti lebih memilih naik tangga ketimbang lift, dll. Sebelum olahraga, sebaiknya penderita diperiksa dokter sehingga penyulit seperti tekanan darah yang tinggi dapat diatasi sebelum olahraga dimulai
d.      Obat/terapi farmakologi
Obat oral ataupun suntikan perlu diresepkan dokter apabila gula darah tetap tidak terkendali setelah 3 bulan penderita mencoba menerapkan gaya hidup sehat di atas. Obat juga digunakan atas pertimbangan dokter pada keadaan-keadaan tertentu seperti pada komplikasi akut diabetes, atau pada keadaan kadar gula darah yang terlampau tinggi.






PATHWAY   DIABETES MELITUS








Sumber: Smeltzer & Bare (2012); Price & Wilson (2012); Guiton & Hall (2012)
 


B.     Konsep Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Riwayat:
-          Oligouria, nokturia
-          Dehidrasi
-          Polydipsia
-          Polipaghia
-          Membrane mukosa kering
-          Turgor kulit buruk
-          Penurunan berat badan dan rasa lapar
-          Lemah, letih
-          Gangguan penglihatan
-          Infeksi kulit dan saluran kemih yang sering
-          Kulit kering dan gatal
-          Masalah seksual
-          Mati rasa atau nyeri di tangan dan kaki
-          Mual atau penuh setelah makan
-          Diare di malam hari
-          Tipe I: Gejala berkembang cepat
-          Tipe II:
a.       Gejala samar dan bertahan lama yang berkembang secara bertahap
b.      Riwayat DM dalam keluarga
c.       Kehamilan
d.      Infeksi virus yang berat
e.       Penyakit endokrin lainnya
f.       Stress atau trauma baru
g.      Menggunakan obat yang meningkatkan glukosa darah (mis. Kortikosteroid)

2.      Temuan Pemeriksaan Fisik
-          Pembentukan retinopati atau katarak
-          Kangguan kulit khususnya tungkai bawah
-          Pelisutan otot dan penyusutan lemak subkutan (ttipe I)
-          Turgor kulit buruk
-          Membrane mukosa kering
-          Penurunan nadi perifer
-          Suhu kulit dingin
-          Penurunan reflex tendon profunda
-          Hipertensi ortostatik
-          Bau napas beraroma “buah” pada ketoasidosis
-          Mungkin terjadi hypovolemia dan syok pada ketoasidosis serta kondisi hiperglikemik hyperosmolar.
3.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Laboratorium
-          Kadar gula plasma puasalebih besar atau sama dengan 126 mg/dL (normal: 70 – 110 mg/dL) pada sedikitnya dua kali pemeriksaan
-          Kadar GDS ≥200 mg/dL (normal: <140 mg/dL)
-          Gula darah post prandial ≥200 mg/dL
-          Hemoglobin glikosilasi (HbA1c) meningkat
-          Urinalisis dapat menunjukkan aseton atau glukosa
b.      Prosedur diagnostic
-          Pemeriksaan oftalmik menunjukkan aseton atau glukosa
-           
4.      Diagnose dan Intervensi Keperawatan
NO
Diagnosa Keperawatan
NANDA
Hasil yang Dicapai
NOC
Intervensi Keperawatan
NIC
1
Risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah.
Factor risiko:
-       Kenaikan atau penurunan berat badan
-       Kurangnya manajemen DM
-       Status kesehatan fisik: stress; factor infeksi
Kadar glukosa darah:
Mempertahankan glukosa dalam batas yang memuaskan

Manajemen diri: Diabetes
-       Mengetahui factor yang menimbulkan glukosa tidak stabil
-       Mengungkapkan pemahaman tentang dan kebutuhan energy
-       Mengungkapkan rencana untuk memodifikasi factor untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi
Manajemen hiperglikemi:
Mandiri:
-       Lakukan pemeriksaan glukosa tusuk jari secara rutin. Pastikan klien dan orang terdekat klien mampu melakukan pemantauan glukosa darah secara mandiri.
-       Tentukan kelas obat yang digunakan dan pastikan klien memanajemen obat secara benar.
-       Tinjau program diet klien dan pola biasa; bandingkan dengan asupan saat ini.
-       Timbang berat badan setiap hari atau sesuai yang diindikasikan
-       Identifikasi pilihan makanan, termasuk pertimbangan etnik dan budaya
-       Sertakan orang terdekat dalam perencanaan makanan sesuai indikasi.
-       Observasi adanya tanda-tanda hipoglikemi: perubahan tingkat kesadaran, kulit dingin dan lembab, denyut jantung cepat, lapar, iritabilitas, cemas, sakit kepala, pusing, dan gemetar.
-       Intake glukosa bila bila merasakan gejala kekurangan glukosa: permen.
Kolaborasi:
-          Konsultasikan dengan ahli gizi untuk nutrisi oral
-          Pantau pemeriksaan laboratorium: glukosa serum, aseton, Ph.
2
Ketidakefektifan manajemen kesehatan.
Factor yang berhubungan:
-       Kerentanan/hambatan yang dirasakan
-       Kesulitan ekonomi
-       Kompleksitas regimen perawatan kesehatan
Pengetahuan: Manajemen diabetes
-       Verbalisasi pemahaman tentang proses penyakit dan potensi komplikasi
-       Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala terhadap proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan factor penyebab




Manajemen Diri: Diabetes
-       Dengan benar melakukan prosedur penting dan menjelaskan alasan tindakan
-       Memulai perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam regimen terapi
Fasilitas pembelajaran:
Independen:
-       Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan kekhawatiran yang selalu ada.
-       Kerjasama dengan klien dalam menentukan tujuan yang saling menguntungkan untuk pembelajaran
-       Pilih aneka strategi penyuluhan, seperti demonstrasi keterampilan yang diperlukan dan meminta klien untuk mendemonstrasikan kembali, menggabungkan keterampilan baru ke dalam rutinitas klien

Penyuluhan: Proses penyakit
Independen:
-       Diskusikan elemen esensial: jelaskan tentang rentang glukosa darah normal, gejala diabetes dan regimen terapi yang didapat
-       Tinjau rencana diet khusu klien
-       Tinjau regimen medikasi
-       Tegakkan latihan teratur
-       Identifikasi gejala hipoglikemi: kelemahan, pusing, letargi, tremor, sakit kepala, perubahan mental, dan jelaskan penyebabnya
-       Instruksikan orang terdekat mengenai penggunaan glucagon darurat
-       Instruksikan pentingnya pemeriksaan harian rutin pada kaki dan perawatan kaki yang baik.
3
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
Factor yang berhubungan:
-       hipovolemia,
-       hipervalemia,
-       aliran arteri terhambat,
-       hipoventilasi,
-       penurunan kosentrasi Hb darah

Integritas jaringan kulit dan membrane mukosa.
-          Perawatan kaki yang adekuat
-          Integritas jaringan perifer adekuat

Perawatan sirkulasi:
-       Melakukan sirkulasi perifer secara komperehensif (mis: periksa nadi perifer, edema, pengisian  kapiler, warna dan suhu ekstremitas)
-       Mengevaluasi edema perifer dan tekanannya.
-       Perhatikan kulit pada statis luka ataupun melukai
-       Pantau status cairan meliputi asupan dan keluaran
-       Berikan perawatan kaki yang tepat
-       Gunakan stoking antiemboli (mis: stoking elastic atau pneumatic)
-       Memberikan pengobatan antitrombosit atau antikoagulan jika diperlukan
-       Rendahkan ekstremitas untuk meningkatkan sirkulasi arteri dengan tepat
-       Anjurkan latihan rentang gerak aktif atau pasif
-       Anjurkan pasien akan pentingnya pencegahan statis vena (mis: tidak menyilangkan kaki, meninggikan kaki tanpa menekuk lutut dan latihan
4
Keletihan
Berhubungan dengan:
-       Peningkatan kebutuhan energy_status hipermetabolik, infeksi
-       Perubahan kimia tubuh_insufisiensi insulin
Level keletihan:
-       Menyatakan peningkatan tingkat energy
-       Menunjukkan perbaikan kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
Manajemen energy:
Independen:
-       Diskusikan dengan klien perlunya aktivitas. Rencanakan jadwal dengan klien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan
-       Selang seling aktivitas dengan periode istirahan dan tidur yang tidak terganggu
-       Pantau denyut, kecepatan pernapasan, dan tekanan darah sebelum dan setelah aktivitas
-       Diskusikan cara menyimpan energy ketika mandi, berpindah, dan sebagainya
-       Tingkatkan partisipasi klien dalam ADL, sesuai toleransi
5
Ketidakefektifan koping
Yang berhubungan dengan:
-       Ketidakadekuatan tingkat persepsi control
-       Krisis situasi (penyakit progresif, jangka panjang yang tidak dapat disembuhkan.
Keyakinan kesehatan: Kontrol yang diyakini:
-       Menyatakan perasaan terkendali
-       Beradaptasi terhadap perubahan kehidupan
-       Menggunakan strategi koping yang efektif
Mengembangkan koping:
Independen:
-       Dorong klien dan orang terdekat mengekspresikan perasaan tentang penyakit secara umum
-       Kenali kenormalan perasaan
-       Kaji cara klien menghadapi masalah di masa lalu: indetifikasi lokus control
-       Beri kesempatan orang yang terdekat untuk mengekspresikan kekuatiran dan diskusikan cara dia dapat membantu klien
-       Pastikan harapan dan tujuan klien dan orang terdekat.
-       Tentukan apakah perubahan dalam hubungan dengan orang terdekat telah terjadi
-       Dorong klien membuat keputusan yang berhubungan dengan perawatan, seperti ambulasi, waktu untuk aktivitas, dan sebagainya
-       Dukung partisipasi dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif untuk upaya yang dilakukan.






Referensi
American Diabetes Association. (2010). Diabetes Care. http://care.diabetesjournals.org. Diakses tanggal 20 Mei 2018

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC). 6th Ed. United Kingdom: Elsevier

Dosen Keperawatan Medikal Bedah. (2017). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Diagnosa NANDA-I Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC

Guyton & Hall. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th Ed. United Kingdom: Elsevier
NANDA International. (2015). Nursing Diagnoses. Definitions and Classification 2015 – 2017. 10th Ed.: WILEY Blackwell
PERKENI, (2015). Konsensus Pengelolaanda Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 di Indonesia 2015. http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf. Diakses tanggal 20 Mei 2018

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC

Smeltzer & Bare. (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta: EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar