Senin, 05 Maret 2012

GAMBARAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK YANG DILAKUKAN OLEH PERAWAT PADA KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN

GAMBARAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK YANG DILAKUKAN OLEH PERAWAT PADA KLIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RS. MARZOEKI MAHDI TAHUN 2009

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal (antarpribadi) yang profesional mengarah pada tujuan kesembuhan pasien dengan titik kualitas hubungan interpersonal. spesialis jiwa seyogianya menempatkan pasien bukan sekedar obyek, melainkan juga subyek yang punya latar belakang sosial budaya nilai harapan, perasaan, keinginan, dan kekhawatiran serta mendambakan kebahagia-an. Sikap ini melihat orang lain sebagai manusia individu yang patut dihargai. Menerima tidak berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung akibat perilakunya. Tenaga medis spesialis jiwa menyampaikan semua informasi yang diperlukan mengenai manfaat dan risiko pengobatan. Sementara itu, pasien sendiri yang mempertimbangkan dan memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Dalam sikap kesetaraan, tenaga medis tidak mempertegas perbedaan. Status boleh jadi berbedat,tetapi komunikasi tenaga medis dengan pasien tidak vertikal. Tenaga medis tidak menggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama. Dengan kesetaraan,tenaga medis mengomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan dan keyakinan. Hubungan tenaga medis spesialis jiwa dengan pasien harus dianggap sebagai hubungan antara mitra medis yang saling membutuhkan untuk memerangi keadaan sakit pasien. Komunikasi terapeutik ini akan efektif hanya melalui penggunaan dan latihan yang sering. Melatih diri menggunakan komunikasi interpersonal yang terapeutik akan ,meningkatkan kepekaan tenaga medis terhadap perasaan pasien. Saat pasien mengungkapkan keluhanya pada saat itulah pengobatan dalam proses terapeutik sudah dimulai. Keterampilan komunikasi terapeutik bukan bawaan, melainkan dipelajari. Sayang banyak tenaga medis spesialis jiwa yang tidak menyadari hal ini. Mengingat banyaknya penduduk yang mengalami gangguan jiwa dan kemungkinan rendahnya kesadaran akan arti penting komunikasi terapeutik bidang kajian komunikasi terapeutik ini perlu dipertimbangkan di perguruan tinggi. Bidang kajian ini justru lebih penting bagi para calon ahli spesialis jiwa dokter, bidan dan perawat sarjana kesehatan, apoteker. dan manajer rumah sakit.

(http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/01/kompas-membangun2.pdf)

Tahun 2008, hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan 2007 menyebutkan bahwa prevalensi warga Jawa Barat mengalami gangguan mental emosional tertinggi se-Indonesia dengan kisaran 20 persen. Artinya, satu dari lima orang dewasa mengalami gangguan jiwa.Penelitian terakhir membuat kesimpulan bahwa 37 persen warga Jabar mengalami gangguan jiwa dari tingkat rendah sampai tinggi.

Pada 2004 baru ada 13.908 orang dan pada 2005 meningkat menjadi 16.923 orang. Bila dihitung dari tahun 2002, ada penambahan 44,22 persen sehingga rata-rata setiap tahun ada pertambahan sekitar 1.126 pasien. Masalah kejiwaan memang sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan.

Berbagai upaya pelayanan kesehatan mental telah dilakukan oleh pemerintah daerah/dinas kesehatan melalui peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).Untuk mengatasi masalah kesehatan mental ini, salah satu kendala klasik yang sering muncul adalah terbatasnya sumber tenaga medis spesialis jiwa.

Di sisi lain prinsip dasar komunikasi kesehatan yang sering kali terabaikan oleh tenaga medis spesialis jiwa adalah pentingnya komunikasi terapeutik mereka dengan pasien. Sementara itu, ada juga anggapan pada sebagian tenaga medis bahwa mereka tidak membutuhkan keahlian lain kecuali mendiagnosis penyakit dan melakukan tindakan medis untuk menyembuhkan penyakit. Berdasarkan pengamatan, komunikasi tenaga medis spesialis jiwa dengan pasien umumnya bersifat formal dan terbatas, sedangkan pasien yang akan berkonsultasi umumnya cukup banyak. Padahal, komunikasi terapeutik tenaga medis spesialis jiwa yang lebih baik berkontribusi signifikan terhadap kesehatan pasien. (http://sudiryoblog.blogspot.com/2009/07/komunikasi-therapeutik-pada-klien.html)

  1. Rumusan Masalah
    1. Bagaimana penerapan salam terapeutik pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada klien dengan perilaku kekerasan
    2. Bagaimana penerapan evaluasi/ validasi pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada klien dengan perilaku kekerasan
    3. Bagaimana penerapan kontrak terapeutik pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada klien dengan perilaku kekerasan
    4. Berapa lama pengalaman kerja perawat yang menangani klien dengan perilaku kekerasan
    5. Apa tingkat pendidikan perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan
    6. Berapakah usia perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan
    7. Apa jenis kelamin perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan
    8. Tujuan Penelitian
      1. Tujuan Umum

Untuk mengeahui gambaran komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

  1. Tujuan Khusus

1). Untuk mengetahui komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

2).Untuk mengetahui penerapan evaluasi/ validasi pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada pasien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

3).Untuk mengetahui penerapan kontrak terapeutik pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada pasien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

4).Untuk mengetahui berapa lama pengalaman kerja perawat yamg menangani klien dengan perilaku kekekrasan di RSMM.

5).Untuk mengetahui tingkat pendidikan perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

6).Untuk mengetahui usia perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

7).Untuk mengetahui jenis kelamin perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.

  1. Manfaat Penelitian
    1. Untuk menambah wawasan perawat tentang komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan.
    2. Sebagai tambahan literature dalam proses keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan.
    3. Sebagai tambaan referensi dalam perpustakaan di Akper Depkes Bandung
    4. Sebagai bahan pertimbangan untuk penulisan riset selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

  1. Komunikasi Terapeutik
  2. Definisi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48).

Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi in adalah adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003 : 48).

Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003 50).

Komunikasi dalam bidang keperawatan merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu komunikasi terapeutik memegang peranan penting memecahkan masalah yang dihadapi pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi proposional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien pada komunikasi terapeutik terdapat dua komponen penting yaitu proses komunikasinya dan efek komunikasinya. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi untuk personal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar petugas kesehatan dengan pasien. Menurut Purwanto komunikasi terapeutik merupakan bentuk keterampilan dasar utnuk melakukan wawancara dan penyuluhan dalam artian wawancara digunakan pada saat petugas kesehatan melakukan pengkajian member penyuluhan kesehatan dan perencaan perawatan.

Tujuan dari komunikasi terapeutik : a. membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran mempertahakan kekuatan egonya. b. Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk mengubah situasi yang ada, c.Mengulang keraguan membantu dalam pengambilan tindakan yang efektif dan mempengaruhi orang lai lingkungan fisik dan dirinya.

Manfaat Komunikasi Terapeutik

Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati, 2003 : 50).

Tujuan Komunikasi Terapeutik (Indrawati, 2003 48).

Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.

Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa.

Jenis Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Purba (2003), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik.

Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995) dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik.

1. Komunikasi Verbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.

Komunikasi Verbal yang efektif harus:

1) Jelas dan ringkas

Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil keniungkinan teijadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.

2) Perbendaharaan Kata (Mudah dipahami)

Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya mendengarkan paru-paru anda”.

3) Arti denotatif dan konotatif

Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan keperawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.

4) Selaan dan kesempatan berbicara

Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang.

5) Waktu dan Relevansi

Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.

  1. Perilaku Kekerasan
  2. 1. Pengertian Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan dapat
menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan menyelesaikan
merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan
atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada
individu dan tidak akan menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan
frustasi dapat menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon
melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan respon
yang maladaptif yaitu agresif–kekerasan. Frustasi adalah respon yang terjadi
akibat gagal mencapai tujuan.

Dalam keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain.
Pasif adalah suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu
tuntutan nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah da n merupakan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Amuk
atau kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes, 2001).
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku kekerasan (Keliat,
2002) adalah :
a. Faktor Predisposisi
Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/mu ngkin tidak terjadi perilaku kekerasan
jika faktor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak -kanak yang tidak
menyenangkan yaitu perasaan ditolak, d ihina, dianiaya atau sanksi
penganiayaan.
2. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan di rumah atau diluar rumah, semua aspek
ini mestimulasi individu mengadopsi perilaku kerasan.
3. Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam (pasif agresif)
dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan
menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima ( permisive)
4. Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim limbik, lobus frontal,
lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fi sik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai atau pekerjaan, dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.
2. Tanda dan Gejala
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai
berikut :

a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam), jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan humor.
3. Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
b. Ancaman verbal atau fisik.
c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
(misalnya : garpu, asbak).
d. Agitasi psikomator progresif.
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pas ien
berada pada resiko tinggi.
h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada
temuan lobus temporalis (kontroversial).
i. Kegembiraan katatonik.
j. Episode manik tertentu.
k. Episode depresif teragitasi tertentu.
l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).
4. Patofisiologi Terjadinya Marah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yan g menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat
diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa
perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan
penyakit fisik.
Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga
perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya
dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan
menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari
rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian
akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat
menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes,
2000)

  1. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
    1. Komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.
    2. Penerapan evaluasi/ validasi pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada pasien dengan perilaku kekerasan di RSMM.
    3. Penerapan kontrak terapeutik pada fase orientasi yang dilakukan perawat pada pasien dengan perilaku kekerasan di RSMM.
    4. Lama pengalaman kerja perawat yamg menangani klien dengan perilaku kekekrasan di RSMM.
    5. Tingkat pendidikan perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.
    6. Usia perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM.
    7. Jenis kelamin perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik pada klien dengan perilaku kekerasan di RSMM
  1. Kerangka Teori





Langkah Komunikasi :
  1. Salam Terapeutik
  2. Evaluasi/ Validasi
  3. Kontrak Terapeutik




Faktor Lain :
  1. Pengalaman kerja perawat
  2. Tingkat pendidikan
  3. Usia
  4. Jenis kelamin

Komunikasi Terapeutik




BAB III

KERANGKA KONSEP

  1. Kerangka Konsep


Gambaran komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat pada klien dengan perilaku kekerasan di RS. Marzoeki Mahdi Tahun 2009

Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal (antarpribadi) yang profesional mengarah pada tujuan kesembuhan pasien dengan titik kualitas hubungan interpersonal. spesialis jiwa seyogianya menempatkan pasien bukan sekedar obyek, melainkan juga subyek yang punya latar belakang sosial budaya nilai harapan, perasaan, keinginan, dan kekhawatiran serta mendambakan kebahagia-an. Sikap ini melihat orang lain sebagai manusia individu yang patut dihargai. Menerima tidak berarti menyetujui semua perilaku orang lain atau rela menanggung akibat perilakunya. Tenaga medis spesialis jiwa menyampaikan semua informasi yang diperlukan mengenai manfaat dan risiko pengobatan. Sementara itu, pasien sendiri yang mempertimbangkan dan memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.Oleh karena itu peneliti mengangkat judul diatas.

  1. Definisi Operasional

BAB IV

METODOLOGI

  1. Disain

Disain penelitian yang akan diteliti termasuk ke dalam disain deskriptif dengan cara wawancara dan quisioner. Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada baik secara alamiah maupun buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan yang lainnya ( sukadinata, 2006:72 ).

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsika dan mengintrepertasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berkembang, proses yang sedang berlangsung atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung. Furchan ( 2004:447 ) menjelaskan bahwa penelitian adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status sesuatu gejala saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif mempunyai karakteristik seperti yang dikemukakan furchan ( 2004 ) bahwa 1). Penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa adanya secara teratur-ketat, mengutamakan obyektivitas dan dilakukan secara cermat, 2). Tidak ada perlakuan yang diberikan/ dikendallikan, 3). Tidak ada uji hipotesis.

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsika dan mengintrepertasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berkembang, proses yang sedang berlangsung atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung. Furchan ( 2004:447 ) menjelaskan bahwa penelitian adalah penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status sesuatu gejala saat penelitian dilakukan. Penelitian deskriptif mempunyai karakteristik seperti yang dikemukakan furchan ( 2004 ) bahwa 1). Penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa adanya secara teratur-ketat, mengutamakan obyektivitas dan dilakukan secara cermat, 2). Tidak ada perlakuan yang diberikan/ dikendallikan, 3). Tidak ada uji hipotesis.

  1. Populasi dan Sampel
    1. Populasi

1) Populasi Target : Perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik di RSMM Kota Bogor.

2) Populasi Study : Perawat yang menerapkan komunikasi terapeutik di RSMM di ruang Srikandi.

    1. Sampel

1) Jumlah

Cara pengambilan sample dengan minimal 30 responden.

2) Karakteristik

a) Inklusi : Perawat yang ada di RSMM di ruang Srikandi dengan pendidikan D3, usia 22-35 tahun, lama bekerja minimal 2 tahun, jenis kelamin pria dan wanita.

b) Eksklusi : Perawat yang ada di RSMM di ruang Srikandi dengan pendidikan D3, usia 22-35 tahun, lama bekerja minimal 2 tahun, jenis kelamin pria dan wanita namun sedang cuti.

    1. Cara
Cara pengambilan sample yang digunakan adalah secara quota sampling, data yang dikumpulkan/ didapat melalui wawancara dan quisioner. Quota sampling adalah metode memilih sample yang mempunyai cirri-ciri tertentu dalam jumlah atau quota yang diinginkan. Peneliti memilih cara ini karena dengan cara quota sampling peneliti akan lebih mudah dan cepat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar