Keluarga merupakan organisasi paling penting dalamkelompok social. Keluarga merupakan lembaga paling utama dan paling pertama bertanggung jawab ditengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan social dan kelestarian biologis anak manusia karna ditengah keluargalah anak manusia dilahirkan serta mendidik hingga menjadi dewasa.
Keibuan itu bersangkutan dengan relasi ibu dengan anaknya, sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak si janin ada dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses proses fisiologis berupa masa hamil, kelahiran, periode menyusui dan memelihara si upik atau sibuyung. Semua fungsi fisiologis tersebut senantiasa dibarebgi sengan komponen komponen fisiologis ,yang pada setiap spesies menjadi typis khas dan sama sifatnya. Namun secara individual menujukkan adanya perbedaan, karena sifat – sifat kepribadian setiap individu wanita perbedaan, karena sifat-sifat keperibadian setiap individu wanita memang berbeda.
Masalah penting yang harus dihadapi wanita dalam melaksanakan fungsi reproduksi itu dimulai dengan kehamilan dan kelahiran bayi, sampai pada pemeliharaan anak; salah satu kesulitan pokok dalam pelaksanaan tugas ialah:
Berkonpliknya kepentingan spesies (demi melenggangkan spesies manusia). Maka tugas paling berat bagi ibu muda tersebut ialah: menciptakan unitas atau kesatuan yang harmonis di antara diri sendiri dengan anaknya. Dengan kata lain, ibu tersebut harus mampu “memanunggalkan diri” atau mengidentifikasikan diri secara selaras dengan bayi dengan anaknya.
BAB II
WANITA SEBAGAI IBU
I. FUNGSI KE-IBUAN
A. Wanita dan Keluarga
Keluarga merupakan organisasi paling penting dalam kelompok social. Keluarga merupakan lembaga paling utama dan paling pertama bertanggung jawab ditengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan social dan kelestarian biologis anak manusia karna ditengah keluargalah anak manusia dilahirkan serta mendidik hingga menjadi dewasa.
Keluarga juga merupakan matriks (tempat persemaian) bagi pembentukan kepribadian manusia sebab keluarga menyajikan lingkungan social yang total dan lengkap selama tahun pertama, yang perlu sebagai alas dasar bagi pembentukan kepribadian. Selanjutnya memberikan bereksperimen menuju kepada kedewasaan. Keluarga sebagai kesatuan primer terkecil juga memberikan bimbingan dan latihan bagi bakal warganegara sejak kehidupan anak yang sangat muda. Oleh karena itu rumah tangga dan keluarga benar-benar merupakan sentrum dari pola cultural untuk membudayakan anak manusia.
Sebagian besar dari anak manusia tumbuh berkembang dan didewasakan dalam lingkungan keluarga. Dan sejak masa bayi anak sudah menghirup iklim kasih sayang dan loyalitas terhadap terhadap ideologi keluarga. Ideologi ini dimuati dengan kebiasaan, tradisi, emosi-emosi, sentimen-sentimen, nilai, dan norma-norma tertentu yang mengikat setiap anggota menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu keluarga merupakan sarana paling penting untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi yang berikutnya. Pelaksanaan transmisi kultural ini berlangsung sepanjang sejarah kehidupan manusia, dan merupakan proses yang berkesinambungan.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang paling intim, yang diikat oleh relasi seks, cinta, kesetiaan dan pernikahan. Di mana wanita berfungsi sebagai istri dan pria sebagai suami. Dilihat dari segi naluri, dorongan paling kuat bagi wanita untuk kawin ialah: cinta dan mendapatkan cinta dari orang yang dicintainya, walaupun hal ini menuntut banyak penderitaan lahir dan batin pada diri wanita tersebut. Penderitaan oleh status perkawinan ini oleh banyak sosiologi disebut sebagai ”sindrom ibu-ibu rumah tangga”
B. Beberapa hal yang mendorong wanita menjadi ibu :
1. Finansial
Ibu yang bekerja jelas akan menambah pemasukan keluarga. Dengan sokongan finansial yang lebih baik, keluarga dapat menikmati kualitas hidup yang juga lebih baik. Keluarga dapt memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting seperti gizi yang cukup,.pendidikan yang baik, dan tempat tinggal serta pakaian yang layak. Selain itu, keluarga juga mampu memenuhi kebutuhan pelengkap seperti hiburan dan fasilitas kesehatan yang memadai.
2. Relasi Dengan Suami
Wanita cenderung memiliki wawasan yang luas, pola pikir yang terbuka, dan sikap yang dinamis . hal ini dapat menunjang relasi yang sehat dan positif daengan suami. Sebagai istri , seorang wanita bekerja juga dijadikan partner bertukar pikiran untuk saling membagi harapan dan pandangan. Dengan demikian, suami tidak merasa sendirian dalam memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
b) Relasi dengan anak
Masih terkait dengan kecenderungan wanita bekerja yang berwawasan luas, hal ini nantinya juga akan menjadi keuntungan ibu dalam membimbing perkembangan sangg anak. Memasuki usia sekolah , tentu anak akan memiliki banyak pertanyaan yang menuntut wawasan luas ibu agar dapat memberi jawaban memuaskan. Sedangkan ketika menginjak usia remaja dan dewasa, anak akan lebih bisa menerima ibu yang memiliki pola pikir terbuka dan dinamis sehingga anak tidak takut membagi masalah kesehariannya dengan ibu.
c) Kebutuhan sosial
Para ibu juga manusia biasa yang mempunyai kebutuhan untuk menjalin relasi sosial dengan orang lain. Dalam dunia bekerja, ibu akan memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dengan rekan dan relasi sehingga akan banyak pula kesempatan untuk membina hubungan sosial. Ibu bisa saling berbagi perasaan, pandangan dan solusi mengenai berbagai hal.
d) Harga diri dan identitas
Bekerja memungkinkan wanita mengekspresikan dirinya dengan cara yang produktif dan kreatif. Dengan bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya melalui penyaluran potensi-potensi yang dimiliki. Disamping itu, wanita bekerja juga dituntut senantiasa meningkatkan keterampilan dan kompetensi yang iya miliki untuk bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan pekerjaan. Pencapaian tersebut pada akhirnya akan mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan baik sebagai wanita, maupun sebagai karyawan..
C. Hal-Hal Yang Membantu Seorang Wanita Sebagai Ibu :
1. Jadikan suami sebagai partner
Dalam biduk rumah tangga, dibutuhkan kerja sama yang baik antara suami dan istri.ibaratnya, suami dan istri seperti kaki kanan dan kiri yang bekerja sama untuk saling memudahkan langkah maju kedepan.begitu juga dengan keputusan untuk menjadi ibu bekerja seperti yang telah dibahas, menjadi ibu bekerja jelas dapt meningkatkan kualitas hidup keluarga. Oleh karena itu, sebagai bentuk penghargaan terhadap usaha istri, sudah sepantasnya suami ikut membantu istri dalam menjalani peran gandanya. Komunikasikan baik-baik dengan suami mengenai hal-hal yang dapat ia lakukan untuk membantu anda. Mulai dari hal-hal teknis, seperti membagi jadwal begadang menemani sikecil tidur, menyiapkan sarapan atau makan malam, membawa si kecil cek kesehatan kedokter, dan sebagainya. Anda juga bisa berbagi dengan suami mendiskusikanhal-hal dilematis seperti misalnya ketika anda harus dinas keluar kota.
2. Beri suami kesempatan
Masih terkait dengan melibatkan suami sebagai partner.terkadang para ibu memiliki penilaian bahwa suami tidak akan mampu mengurus hal-hal rumah tangga. Memang sulit untuk menghapus nilai yang sudah tertanam bahwa ”perempuan yang paling tahu urusan dapur ”. Apalagi jika menyangkut urusan si kecil. Tanpa sadar ibu terkadand menilai ayah tidak seterampil dirinya dalan memahami dan memenuhi kebutuhan bayi. Sebenarnay, ada banyak hal yang bisa ibu ajarkan kepada ayah sehingga ibu bisa tenang mendelegasikan tugas-tugasnya.
3. Realisti-cari bantuan
Menjadi supermom sekali lagi bukan berarti menjadi seorang ibu dengan kekuatan super, ytang mampu mengerjakan semua hal sendiri. Ibu bekerja harus realistis dan tidak bermimpi menjadi wanita super karena pasti akan ada saat –saat dimana ibu membutuhkan bantuan pihak lain. Misalkan saja ketika anak memasuki usia sekolah. Mungkin ibu (dan ayah) akasn kesulitan mengantar sikecil kesekolah setiap pagi karena pada saat bersamaan juga harus berangkat kekantor yang tidak searah dengan sekolah anak. Pada saat seperti ini, wajib hukumnya untuk meminta pihak lain. Munkin si mbok dirumah, atau jasa angkutan antar-jemput khusus dari sekolah. Untuk hal-hal lain, ibu juga harus jeli memili pihak yang akan dimintakan pertolongan. Prioritaskan mencari bantuan dari keluarga terdekat, atau tetangga yang sudah dikenal baik. Ini berarti ibu bekerja juga harus pintar-pintar menjalin hubungan baik dengan keluarga dekat maupun tetangga, karena bisa saja sewaktu-waktu bantuan mereka dibutuhkan
4. Jangan merasa bersalah
Sadari bahwa keputusan untuk bekerja adalah pilihan yang diputuskan sendiri. Bila terjadi sesuatu, jangan sesali keputusan yang telah dibuat.Itu hanya akan membuat ibu bekerja terperosok dalam kondisi emosi yang negatif. Pikirkan bahwa setiap keputusan memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Walaupun menjadi ibu bekerja terkadang merepotkan, tapi tentu ada banyak keuntungan lain yang bisa dinikmati keluarga. Oleh karena itu, tidak ada gunanya merasa bersalah karena telah” meninggalkan keluarga”. sebenarnya, langkah menjadi ibu bekerja justru merupakanbentuk tanggung jawab pada keluarga.
5. Waktu untuk ”SAYA”
Ini dia yang sering terlupakan oleh banyak ibu bekerja. Saking sibuknya membelah diri menjadi ibu rumah tangga dan wanita karier, seringkali para ibu bekerja mengesampingkan jauh-jauh beberapa hal yang sebenarnya penting bagi keseimbangan mentalnya. Begitu tenggelamnya ibu bekerja didalamlautan kewajiban, sehingga ia lupa bahwa sesungguhnya ia juga punya hak untuk bersenang-senang. Dalam hal ini, seorang ibu bekerja tidak boleh lupa melakukan refreshing untuk diri sendiri. Luangkan waktu melakukan hal-hal yang bisa kembalimembuat anda merasa rileks, misalnya kesalon, jalan-jalan ke mall, atau sekedar membaca buku novel romantis.kegiatan semacam ini bukan merupakan aksi egois, malah justru prilaku yang dilakukan demi kemaslahatan orang banyak.
6. Waktu untuk suami
Meski sibuk bekerja dan mengurusi anak, jangan sampai suami terlupakan .banyak riset tentang perceraian mengungkap bahwa ” perasaan ditingalkan ” merupakan salah satu faktor penting yang mendorong suami – suami untuk bercerai dari isteri. Jangan sampai suami berpikiran bahwa ia hanya duduk di urutan kesekian, setelah urusan karier dan anak. Suami. Anda adalah partner. Partner anda juga butuh perhatian . Ada beberapa aktivitas yang bisa anda lakukan dengan suami, misalnya nonton teve/bioskop, makan siang atau makan malam berdua . anda juga bisa saling menelpon atau mengirim SMS saat bekerja.
II. KEIBUAN DAN SIFAT-SIFAT KEIBUAN
Keibuan itu bersangkutan dengan relasi ibu dengan anaknya, sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak si janin ada dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses proses fisiologis berupa masa hamil, kelahiran, periode menyusui dan memelihara si upik atau sibuyung. Semua fungsi fisiologis tersebut senantiasa dibarebgi sengan komponen komponen fisiologis ,yang pada setiap spesies menjadi typis khas dan sama sifatny. Namun secara individual menujukkan adanya perbedaan, karena sifat – sifat kepribadian setiap individu wanita perbedaan, karena sifat-sifat keperibadian setiap individu wanita memang berbeda.
Pengalaman-pengalaman sebagai seorang ibu tersebut menumbuhkan tugas-tugas kewajiban serta reaksi-reaksi emosional yang khas, baik yang bersifat positif (umpama kebahagian), maupun yang bersifat negatif, misalnya kecemasan dan ketakutan tertentu.
Sifat-sifat keibuan itu secara garis besar bisa digolongkan dalam dua ide, yaitu:
1) Kualitas tertentu dari karakter dan keperibadian wanita ayng bersangkutan.
2) Gejala emosional pada wanita tersebut, yang bersumber pada ketidak berdayaan bayi dan anak, sebab bayi atau anak selalu bergantung dan membutuhkan pertolongan serta pemeliharaan, terutama dari ibunya.
Sifat-sifat keibuan yang unggul itu dimiliki oleh para wanita yang feminin sifatnya, yang memiliki keseimbangan antara tendansi-tendansi narsisme yang sehat dan sangat mendukung harga dirinay, dengan etndansi-tendansi masokhisme, sehingga wanita tersebut bersedia berkorban diri dan mencintai anak keturunannya. Keinhinan yang narsistis dari wanita untuk dicintai oleh kekasih atu suaminya itu kini mengalami proses metamorfose atau perubahan bentuk, yaitu ditransformasikan dalam bentuk dorongan untuk mencintai anaknya. Dalam hal ini keinginan narsistis itu berubah menjadi wujud cinta-kasih wanita tersebut sebagai ibu terhadap anaknya.
Cinta-kasih ibu ini sering dibarengi oleh perasaan dedikasi (kebaktian,mmbaktikan diri) pada anaknya dan pengorbanan sebesar-besarnya.
Pada tipe wanita yang barsifat sangat narsistis, intensitas kasih-sayangnya terhadap anak-anaknya emnjadi semakin berkurang dengan semakin besar serta makin dewasanya anak-anaknya, dan tidak banyak memerlukan lagi pertolongan serta rawatan ibunya.
Komponen-komponen masokhistis pada sifat keibuan tadi diekspresikan dalam bentuk kesediaan untuk berkorban diri demi kebahagiaan anaknya, tanpa meminta balas-jasa bagi segala jerih payahnay. Oleh kasih-sayangnnya yang tiada terbatas besarnay terhadap anak-anaknya, ibu tersebut ebrsedi menanggung segala macam duka-derita, kalau saja semua pengorbanan dan kesenduannya itu bisa menumbuhkan (menyebabkan timbulnya) kebahagiaan, keselamatan dan eklestarin anaknya.
Dengan segala upaya ibu itu akan berusaha untuk melindungi anaknya dari segala macam mara bahaya yang bersifat lahiriah maupun batiniah, memberi makan yang cukup. Juga memberikan arena bermain yang teduh dan aman guna bereksplorasi bagi anaknya, agar anaknya bisa mengembangkan diri. Semua kegiatan dalam bentu menyusui, memberi makan, memberikan perlindungan, serta kesediaan membela anaknya itu diudkung kuat oleh dorongan-dorongan instiktif dan fylogenetis (perkembangan dari jenis tanaman atau binatang selama berabad-abad).
Intrinsik keibuan itu handaknya dibedakan dengan cinta-kasih keibuan. Cinta-kasih keibuan yang semula bersifat istinktif alami atau kodrati, dalam perkembangannya kemudian banyak diubah dan kondisionir oleh peristiwa-peristiwa psikologis dan pengalaman yang individual ataupun unifersal. Sehingga cinta-kasih keibuan tadi lambat laun sifatnya lebih sosio-kultural. Intrinsik keibuan itu mempunyai sumber-sumber utama pada komponen khemis bilogis yang tumbuh secara alami, berbareng dengan eksistensi janin yang dikandungnya. Bahkan dorongan instinktif ini sering juga sudah timbul sejak masa gadis. Instuink-instink alamiah ini tidak nampak jelas dalam masyarkat manusi yang berbudaya, dan sering terpendam dibaewah pacade kepribadian individual, serta pengaruh lingkungan, erpendam dibawah semua kehidupan psikis manusia.
Ciri utama instin wanita ini ialah : kelembutan (twenderness). Semua bentuk agresi dan sensualitas seksual yang cukup sehat, di kemudian hari akan di tranformasikan dalam bentuk kasih sayang pada anaknya; yaitu merupakan bentuk emosi yang khas terhadap keturunannya. Sedang surpuls dari komponen-komponen agresif , pada umumnya akan diwujudkan dalam upaya membela danmelindungi secara mati-matian anaknya dari segala macam mara bahaya.
Kondisi fisiologis atau jasmaniahseorang wanita ketika mengandung ibunya, serta ketidak-berdayaan sang bayi yang menuntut perlindungan dan pertolongan dari ibunya, kedua hal ini menggugah secara aktual pola-pola instink pada pribadi ibu tersebut untuk melindungi anaknya,yang sebenarnya sudah ada secara latent sejak masa gadis.dan tidak dapat disangkalbahwaaktivitas yang didorong oleh komponen instinktual ini banyak benayak berkaitan dengan fungsi terproduksi. Karakter dan intensitas dari impuls-impuls instinktual tadi berbeda pada setiap individu; yaitu bergantung sekali pada perbedaan konstitusi seluruh kepribadian
Salah satu impuls instinktual yang sangat mencolpk jelas itudiwujudkan dalam bentuk :
Tendens untuk memberi makan pada anaknya dan pada objek lain yang diminati. Kejadian ini merupakan komponen ”oral” pada sifat-sifat keibuannya, yang ingin memberikan rasa senang-puas-kenyang kepada anaknya, ataupun kepada seseorang yang dianggap sebagai anaknya ”anaknya”. Misalnya, para ibu yang sangat menderita batinya selama berkecamuknya perang dunia kedua atau semasa peperangan di Timur Tengah pada saat ssekarang ini, pasti rela memberikan makanan pada setiap pejuang yang tengah mendderitadan kelaparan; bahkan kepada serdadu musuh sekalipun. Karena insan yang tengah mengandung sengsdara ini dianggap sebagai anaknya sendiri.
Selanjutnya, tidak sedikit wanita yang mengembangkan minatnya pada masalah ”oral/mulus” ini dengan memperdalam seni masak-memasak dan nutrisia, khususnya bertujuan untuk memberikan kepuasan pada anak dan suaminya. Oleh karena itu banyak orang yang menyatakan, bahwa Cinta- terutama cinta pria-, pada hakekatnya berrlangsung melalui PERUT atau makanan.
Minat yang sangat besar pada masalah makanan ini kita jumpai secara khusus pada wanita-wanita Yahudi, yang sangat menjalankan anak-anaknya. Kalau di Indonesia, halini kita jumpai di wanita Jawa. Wanita Jawa lebih susks membnelanjakan uangnya pada makanan atau bahan makanan atau bahan makanan, untuk memuaskan anak-anaknya serta suaminya, dari pada menggunakanya untuk membeli perhiasan intan-berlian dan pakaian yang mewah-mewah. Mereka akan sangat bahagia, jika suami dan anak-anaknya bisa mengapserir masakanya, dan menjadi kenyang, senang serta terpuaskan segalanya.
Sehubungan dengan interst khusus pada masalah ”mulut” atau makanan tadi,pada umumnya wanita Jawa sangat ”marsudi” dalam seni memasak, dan menggunakan berpuluh-puluh macam bumbub dan rempah-rempah yang khas. Maka tidak heran Maka tidak heran kita bahwa lambat laun masakan Jawa ini menjadi populer dan sangat disukai orangb diseluruh dunia; Selanjutnya dikenal sebagai masakan khas Indonesia. Sebagai contoh kami kemukakan, para tamu di kedutaan-kedutaan besar indonesia diluar negeri banyak yang datang berjual-beli pada acara undangan khusus, bukan untuk urusan-urusan politik atau ekonomi akan tetapi karena mereka pada umumnya sangat menyukai masakan khas Jawa atau khas Indonesia ini.
Sifat-sifat keibuan ini juga harus harmonis dengan tendens-tendens psikis lainnya. Jika berlansung ketidak-harmonisan, dan sifat-sifat keibuan jadi sangat tidak imbang dan eksesif berlebihan-berlebihan, maka hal nii akan bertentangan dan mengganggu dorongan-dorongan psikis yang normal lainnya. Bahkan bisa menimbulkan inhibisi (pembatasan) atau penyaluran dorongan-dorongan psikis tersebut ke arah periaku yang keliru.
Salah satu hambatan yang ditimbulkan oleh sifat keibuan yang eksesif ini ialah:
Inhibisi terhadap nafsu eroitk yaitu nafsu seks menjadi berkurang, dan perhatian terhadap suami-atau terhadap kaum pria, jika wanita tadi belum kawin-menjadi mengecil.
Dengan sendirinya eksesivitas tersebut juga bisa mengganggu kelancaran kegiatan-kegiatan profesional keibuan tertentu, umpama mengganggu rofesi sebagai guru, peawat, pengurus yayasan yatim-piatu atau rumah orang jompo, dan lain-lain.
Sebaliknya dapat juga dinyatakan, bahwa macam-macam interest sosiak dan relasi emosional yang berlebih-lebihan, serta nafsu-nafsu seksual/erotik yang eksesif, bisa memiskinkan sifat-sifat keibuan wanita.
Selanjutnya, selama bermacam-macam fase dari fungsi responduktif tadi, perasaan-perasaan keibuan itu diperkuat oleh reaksi-reaksi emosional khusus, yang menampilkan aspek-aspek psikologis dari setiap fase tersebut. Umpama saja eraksi-reaksi emosional khusus, yang menampilkan aspek-aspek psikologis dari dari setiap fese tersebut. Umpama saja reaksi-reaksi emosional pada saat hamil muda, semasa mengandung tua, waktu menyusui, amemelihara bayi, ldan lain-lain yang mengandung nuansa emosional (perasaan-perasaan) yangistimewa.
Pada kehidupan kejiwaan manusia, juga pada kehidupan psikis wanita, komponen-komponen reaksi emoisonal itu tidak ada satupun yang berdiri sendiri secara otonom. Komponen-komponen efektif itu saling berkaitan satu sama lain, saling mempengaruhi secara simultan ataupun secara suksetif. Ada kalanya saling memperkuat, tetapi sering juga bertentangan satu sama lain, sehingga menimbulkan inhibisi dan komflik batin. Oleh karena itulah maka unsur perasaan pada setiap individu wanita tersebut berbeda-beda, khas pribadi, sangat kompleks, sering pula tidak diduga-diga (grilling),dan misterius. Disebabkan oleh ciri-ciri tesebutlah maka psikologi wanita mengandung faktor-fektor khusus yang tidak dimiliki oleh kaum pria, yaitu:
Dunia psikologis dari keibuan dengan segenap dinamika dan misterinya.
Maka sebagai hasil dari amalgamasi (luluh, terpadunya) bermacam-macam afeksi yang komlementer namun polair bertentangan, yaitu antara narsisme dan masokhisme, vasifitas versus aktifitas, persaan menghadapi kehidupan/kelahiran melawan kecemasan menghadapi kematian, dorongan menegakkan AKU atau harga diri kontra dorongan berkorbamdiri, dorongan reproduksi yang bertentangan dengan dorongan konservasi (memelihara), seksualitas kontra sifat-sifat keibuan, maka semuaperistiwa ini memunculkan.
III. Relasi ibu dan anak
Masalah penting yang harus dihadapi wanita dalam melaksanakan fungsi reproduksi itu dimulai dengan kehamilan dan kelahiran bayi, sampai pada pemeliharaan anak; salah satu kesulitan pokok dalam pelaksanaan tugas ialah:
Berkonpliknya kepentingan spesies (demi melenggangkan spesies manusia). Maka tugas paling berat bagi ibu muda tersebut ialah: menciptakan unitas atau kesatuan yang harmonis di antara diri sendiri dengan anaknya. Dengan kata lain, ibu tersebut harus mampu “memanunggalkan diri” atau mengidentifikasikan diri secara selaras dengan bayi dengan anaknya.
Jika ibu tersebut mengapdikan diri sepenuhnya pada tugas-tugas memelihara spesies manusia secara ekslusif, maka pasti dia akan / kehilangan individualitasnya. Oleh karena itu, pada zaman kebudayaan modern sekarang, wanita lebih leluasa untuk mengadakan kompromi diantara melaksanakan fungsi keibuannya dengan pengembangan EGO sendiri. Sehingga dia lebih bebas dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan bayinya serta lebih giat mengembangkan interest dan kepribadian sendiri. Kompromi tersebut tercapai oleh adanya kenyataan, bahwa fungsi dirinya itu tidak melulu sebagai pengembang speciesnya saja; akan tetapi feminitasnya baru bisa berkembang dalam satu konteks cultural yang memberikan kebebasan pada dirinya untuk memekarkan kepribadiaannya (sebagai ibu dan sebagai pribadi atau individu) .
Tugas-tugas keibuaan untuk mengabdi pada proses pelestarian species itu berlangsung sejajar dengan usia serta perkembangan anaknya, misalnya saja semua kegiatan ibu pada periode pertama dari bayinya akan terpusat pada pemeliharaan jasmani bayinya, khususnya pada kegiatan menyusui. Pada saat tersebut, dorongan untuk mempertahankan unitas dengan bayinya ternyata sangat kuat, dan usaha untuk melindungi bayinya mencapai titik kulminasi.
Tugas selanjutnya dari ibu ialah: mendidik anaknya. Sebab disamping pemeliharaan fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anaknya, agar anaknya bisa mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosial. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar anak mampu mengendalikan instingknya, untuk bisa menjadi manusia yang beradab sebab, jika si anak terlalu “di loloskan” atau dibiarkan lepas bebas serta dikuasai oleh dorongan-dorangan instinktifnya yang primitifnya maka ia bisa menjadi liar, tidak terkendali dan tidak berdisiplin. Namun sebaliknya apabila ibu tadi terlalu banyak melarang anaknya dengan macam-macam tabu dan pantangan, maka oleh inhibisi-inhibisi tersebut mungkin akan terhambat perkembangan si anaknya atau pada kasus lain anak lalu mengembangkan pola yang neorotis. Maka tidak mudahlah mengasuh dan mendidik anak itu. Bahkan ilmu pengetahuan modern pada zaman sekarang inipun tidak akan mampu memberikan resep-resep ampuh untuk mempersiapkan ibu-ibu mudah menjadi pengasuh dan pendidik yang sempurna.
Sangat esensial bagi ilmu pendidikan modern ialah:
1. mengenali unsur-unsur ketidak-sadaran dari ibu-ibu tersebut yang kondisionir oleh faktor-faktor lingkungan dan kultural
2. konflik-konflik batin yang belum bisa diselesaikan, yang kini mencari jalan keluar melalui tugas keibuannya, harus bisa diselesaikan
namun demikian adakalanya unsur ketidaksadaran itu justru bisa memperkaya kehidupan psikis seorang ibu, alam bentuk upaya sublimasi. Umpamnya saja,
1. tendens-tendens seksual secara tidak sadar ditranspormasikan dalam bentuk kelembutan terhadap anaknya.
2. unsut agresifitas ditrasformasikan dalam bentuk aktivitas melindungi anaknya
3. kecenderungan narsisitis untuk dicintai, diubah menjadi bentuk kasihsayang ibu pada anaknya (menyayangi anaknya)
4. sedang kecenderungan yang masokistis menyebabkan ibu tersebut rela mengorbankan jiwa raganya demi keskelamatan anaknya. Sehubung dengan ini semua, dapat dinyatakan bahwa kasih sayang ibu itu sifatnya sangat kompleks
Sebaliknya, unsur ketidaksadaran tersebut juga dapat melemahkan dan merusak kehidupan psikis ibu yang bersangkutan, misalnya jika unsur-unsur tadi selalu dirasionalisasikan lewat mekanisme pelarian diri atau mekanisme pembelaan diri yang tidak sehat.
Ada banyak sarjana yang berplendapat, bahwa pada taraf permulaan, pribadi ibu itu lebih mirip dengan suatu studio pemancar yang memancarkan macam-macam emosi keibuanya keluar. Sedang sang anak menjadi subjek reseptor pasif yang menerima segala pancaran afeksi ibunya.
Menurut pengalaman penulis sendiri, unitas ibu-anak itu sangat interdependen, saling bergantung satu sama lain, saling melibat,sempurna lagi apabila dikelak kemudian hari wanita yang bersangkutan bersedia untuk kawin lalu mengasuh anaknya dalm ikatan keluarga yang trianguler dalam suasana bahagia.
IV. Ibu Tiri
A. visi masyarakat mengenai kedudukan ibu tiri
Macam – macam ceritera dan legenda tentang ibu tiri yang ganas-jahat kita jumpai pada hampir setiap bangsa didunia . ceritera ceritera itu memberikan gambaran tentang penderitaan dan kesengsaraan yang harus dialami oleh anak tiri, serta penampilan kekejaman ibu-ibu tiri dalam menyiksa dan menyakiti anak tirinya. Bahkan tidak jarang ibu-ibu ini berusaha dengan segala macam daya dan akal untuk menyingkirkan dan membunuh anak tirinya. Maka perumpamaan yang menyatakan bahwa ibu-ibu tiri itu suka “ menggodok anak tirinya dalam kuali panjang “ yangt sangat populer ditengah masyarakat kita, memang mendekati realitas nyata. Hal ini menujukkan, bahwa dalam kenyataanya, ibu tiri itu sering menyebabkan azab sengsara kepada anak-anak tirinya.
Oleh salah satu sebab, anak –anak itu menjadi piatu ; yaitu ditinggal pergi oleh ibunya ; atau ibunya meninggal dunia. Kemudian, kedudukan ibu tadi ditempati oleh seprang substitut atau pengganti ibu, dengan semua hak dan kewajiban seperti hak –kewajiban ibu –kandung sendiri. Wanita substitut tadi kemudian menjadi istri baru ayahnya atau hidup / berdiam-bersama dengan ayah dari anak tersebut.
Motif utama semua tingkat keganasan ibu tiri ini terutama ialah : iri hati dan dengki. Khususnya ibu tiri tersebut sama sekali tidak menghendaki suaminya memberikan kasih-sayang kepada anaknya sendiri. Sebab ia ingin memonopoli suaminya . ibu tiri itu selalu saja berusaha dengan cara-cara yang licik untuk menyingkirkan dan menyisihkan anak gadis tirinya ; dan selanjutnya mengangkangi semua hak dan preorogatif yang menjadi milik anak tirinya untuk diri sendiri
Kita telah memahami, bahwa sikap wanita terhadap anak-anaknya itu besar sekali dipengaruhi oleh sikapnya terhadap ibu kandung sendiri pada usia remaja juga emosi dan fantasi tentang ciri-ciri seorang ibu tiri dikenalya pada usia muda. Maka adakalanya anak-anak itu secara sadar ataupun tidak sadar bermain-main dengan gaya masokhistis sebagai anak tiri ; sedang kawan atau kakaknya memerankan fungsi ibu tiri yang kejam. Ada pula gadis-gadis cilik yang suka bermain-main sebagai ibu tiri yang ganas terhadap adik-adiknya atau terhadap bonekanya, karena iya marah dan membenci ibunya
Kesimpulan kita ialah, apakah seorang wanita itu kelak menjadi seorang ibu tiri yang baik ataukah menjadi ibu tiri yang ganas, tidak hanya tergantung pada konstitusi psikis wanita itu sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi oleh semua faktor lingkungan sosialnya. Karena itu ibu tiri bukan satu fenomena yang terisolasi atau berdiri sendiri akan tetapi gejala ibu tiri itu hendaknya difahami secara psikologis dalam relasinya dengan lingkungan dan keluarganya ; yaitu dengan ayah, nenek-kakek, ibu, atau ibunya yang sudah meninggal, kakak-kakak, adik dan lain sebagainya.
B. Motivasi menjadi ibu tiri
Situasi ibu tiri itu seringkali juga di-pradeterminir ( dipastikan terlebih dahulu ) sejak mula pertama oleh pilihan wanita tersebut mengenai bakal-suaminya didorong oleh suara bathinnya, ada wanita-wanita yang selalu berminat pada pria-pria saja yang sudah kawin saja, yaitu pada kaum pria yang sudah jadi atau sudah mapan. Karena itu mereka akan merasa senang sekali, apabila bisa kawin dengan seorang duda yang kematian istrinya, atau pria yang ditinggalkan oleh istrinya.
Ada pula wanita-wanita yang didorong oleh motivasi-motivasi egoistis yang selalu cenderung untuk merebut suami orang lain guna menunjukkan kelebihan dirinya, misalnya dia merasa lebih cantik, lebih pintar, lebih pandai bermain seks dan lain-lain kepada dunia luar. Adapula tipe wanita yang sangat berminat pada duda-duda yang mempunyai anak-anak piatu, sebab didorong oleh perasaan iba. Biasanya wanita-wanita sedemikian ini pada mulanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Misalnya, karena wanita itu tidak mampu melahirkan seorang bayi sebab mandul. Oleh karena ingin diperistri oleh seorang duda dari kelas menengah, sehingga status sosial wanita tersebut bisa terangkat keatas
Tipe kelompok wanita-wanita pembantu rumah tangga yang kita sebut diatas pada umumnya bersifat efisien dan agresif yang secara tidak sadar memerankan fantasi otoritas ibu tiri. Tindakanya terhadap anak-anak majikannya antara lain:
1. menanamkan macam-macam peraturan dan disiplin yang ketat dalam rumah tangga dan tidak mempunyai ibu itu.
2. dia membuat dirinya sendiri “ onmisbaar” ( tidak boleh tidak harus ada ) bagi duda itu.
3. dia menuntut adanya sikap-sikap yang masokhistis,patuh, bersedia “menderita” pada anak-anak piatu tadi.
4. wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk mejadi ibu substitut bagi calon-calon anak tirinya.
Selanjutnya, apabila harapan untuk diperisteri oleh si duda itu kemudian terkabul, biasanya sikap-sikap yang mula-mula attent dan lembut ramah yamng dibuat-buat untuk menyembunyikan maksud sebenarnya itu jadi luntur. Lalu tampak sifat-sifat asli wanita tersebut, yaitu: kejam-ganas-palsu (sifat-sifat khas ibu tiri). Sikapnya yang baik jadi habis kikis, karena kini wanita tersebut mulai mengalami frustasi-frustasi tertentu. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a) perbedaan milie asal mereka masing-masing;
b) tidaki sabaran melakukan tugas-tugas berat sebagai ibu tiri, dan tidak punya dasar edukatif serta kesiapan menta;
c) anak-anak tirinya mulai bersikap bandel, memberontak dan sangat tidak menyukai pribadinya;
d) muncul kemudian dorongan-dorongan egoistis untuk menguasai suami, keinginan mendapatkan kepuasan seksual, pertimbangan-pertimbangan finansial dan ekonomis, nafsu untuk memonopoli warisan, dan lain-lain.
Oleh karena itu banyak orang menyebutkan,bahwa sikap wanita ibu tiri bekas Pramuwisma tadi sekjak semula adalah: palsu, berpura-pura , penuh kalkulasi, dan hipokrit atau munafik. Peranannya selaku “ ibu yang baik “ Cuma sampai pada batas pencapaian maksudnya , yaitu : diperistri oleh duda pria yang bersangkutan. Selanjutnya terbukalah watak-watak aslinya yang sadis dan kejam.
Dengan sendirinya, tidak semua pembantu rumah tangga bersikap hipokrit dan bertujuan seperti yang di lukiskan di atas. Sebab adapula pembantu-pembantu rumah tangga yang lembut dan baik budi pekertinya. Mereka ini memperlihatkan sifat-sifat maternal penuh kasih sayang terhapdap anak-anak yang menjadi piatu itu, tanpa pamrih sedikit pun juga, dan hatinya di penuhi oleh perasaan ibah, kasihan dan kasih yang tulus.
Psikologi mengenai ibu tiri terhadap duda atau suami dan anak tirinya itu memeng kompleks. jika suasana romantis secara bulan madu yang terlampau, dan ibu tiri ini mulai menghayati tugas-tugas rutin rumah tangga yang berat dan monoton, dan mulailah ia merasakan ketidak senangan, dan memendam kebencian, terhadap anak-anak wanita lain. Maka ibu tiri yang semula bersikap halus mesra itu kini mulai “ berkembang “ menjadi wanita galak-ganas dan kejam. Kondisi psikologis ibu tiri ini tidak bedanya dengan keadaan seorang ibu yang oleh rasa kebencian terhadap suaminya sendiri lalu melampiaskan kebencian dan kekejaman terhadap anak-anaknya. Sikap ibu tiri yang ganas itu terutama di sebabkan karena iya merasa bahwa anak-anak itu bukan darah dagingnya sendiri dan di anggap menjadi saingan baginya dalam memperebutkan kasih suaminya.
C. Kepribadian wanita menentukan sifat keibu-tirian-nya.
Nasib anak-anak tiri dan fungsi ibu tiri itu sendiri sebagian besar di-determinir oleh mutu cinta wanita tadi kepada suaminya, dan oleh kepribadiannya . jika wanita yang bersangkutan sifatnya sungguh-sungguh halus-mesra dan sangat feminin, ia paati rela berkorban diri demi kebahagiaan suami dan anak-anak tirinya, agar bisa berfungsi sebagai ibu yang baik .
Akan tetapi, apabila wanita itu sifatnya sangat egoitis dan erotis, mempunyai kecenderungan sangat kuat untuk “dimiliki” oleh suaminya, maka sifat-sifat yang sangat narsitis dan agresif akan dominan. Ia akan menolak dan membenci anak tirinya yang dianggap sebagai agen-pengacau atau troublemaker, atau ia selalu berusaha membuat suaminya marah dan membenci anak-anaknya sendiri. Ia selalu merasa cemburu oleh sikap suaminya yangh penuh kasih-sayang dan dianggap terlalu berlebih-lebihan terhadap anak-anak sendiri ; lebih-lebih kalau anak tiri ini laki-laki dan menjelang dewasa atau perjaka.
Wanita yang sangat nrsitis pada umumnya berusaha untuk selalu dicintai dan didambakan oleh pria yang manapun juga. Ia akan tetap mengasihi anak tiri dan suaminya, selama anak tiri tersebut mau membalas sikap –sikapnya yang erotis, dan suaminya sanggup memberikan kepuasan seksual pada dirinya. Namun apabila anak tiri yang sudah menjadi jejaka itu ternyata tidak mau membalas “cintanya” , maka ia berubah menjadi ganas, kejam dan jahat secara tidak-tanggung-tanggung. Sebab cinta-diri ( pada diri sendiri ) yang sangat narsitis pada wanita tadi betul-betul .
V. Ibu Angkat
Memang ada analogi psikis diantara kedudukan ibu tiri dengan ibu angkat antara lain adalah:
1) anak-anak itu oleh sebab-sebab tertentu jadi piatu. Kondisi ini disebabkan oleh karena mereka ditinggalkan oleh ibunya (lari, atau kawin dengan pria lain); atau disebabkan oleh kematian ibu kandungnya
2) kedudukan ibu tersebut lalu diambil alih oleh seorang ibu subtitutm (ibu pengganti), yang berperan sebagai ibu angkat atau ibu adopsi; ataupun pada kasus lain pada ibu tiri karena dikawin oleh sang duda.
Namun, perbedaan peranggapan dan perbedaan sosial psikologis antara kondisi ibu angkat dan ibu tiri memang ada. Yaitu ada pendapat tradisional dan prasangka yang menyatakan bahwa semua ibu tiri itu pasti menyebabkan kesengsaraan, azab dan kepedihan pada anak-anak tirinya. Hal ini disebabkan karena ibu tiri selalu menggunakan pola tingkah laku “tradisional”, beratribut kejam, agresif, egoistis, iri, dengkih, sadistis, ganas, dan suka bermusuhan serta sifat buruk lainnya.
Sedang ibu-ibu angkat pada umumnya umumnya bersifat lembut, perhatian, penuh kasih sayang, tidak egoistis, bersedia menggantikan kedudukan ibu kandung secara suka rela dan dibekali dengan hati belas kasih peranggapan semacam ini memang ada pada semua milieukultural di dunia kita.
A. kaitan kemandulan dengan keinginan untuk adopsi
Walaupun seorang wanita itu memilii kehidupan psikis dengan sifat – sifat maternal sejati , namun ada kalanya oleh suatu sebab tertentu ia menjadi menjadi atau steril ; lalu tidak bisa melahirkan anak sendiri. Kemandulan ini sering tragis sifatnya. Secara kontinu wanita tadi merasakan kegetiran hati dan selalu saja mengalami frustasi yang tidak bisa terpecahkan. Namun demikian apabila wanita tersebut bersedia/mau, dia pasti mampu mengalihkan atau mengkompensasikan dambaan untuk melahirkan anak sendiri. Salah satu jalan paling ringkas yang bisa ditempuhnya ialah dengan:
1) mengadopsi atau memungut seorang anak yang yatim piatu (yatim ataupun piatu); dan memberikan perlindungan, perawatan, dan kasih sayang yang tulus pada mahluk kecil yang tidak berdaya itu
2) lalu menganggap anak tersebut sebagai subtitut dari anak kandung sendiri
maka seorang ibu angkat itu benar-benar akan bisa menempati kedudukannya sebagai seorang ibu kandung dengan penuh kasih sayang dan sifat-sifat maternal, yang bisa:
a) menerima dengan hati sumarah kondisi fisik sendiri yang steril,
b) Bisa mengembangkan kehidupan emosional yang sesuai serta tepat dengan kondisi anak-anaknya,
c) Apabila ia mampu mengembangkan sifat-sifat feminin-masokhitis maternal,mempunyai kesedian berkorban-diri,serta pengabdian diri.
Reaksi psikis seorang anak pungut itu terutama sekali bukan bergantung pada faktor asalnya,dan saat ia dilahirkan oleh ibunya sendiri.Akan tetapi justru banyak bergantung pada kondisi milieunya yang sekarang; antara lain berupa kondisi finansial,kondisi intelektual,dan norma-norma etis yang dianut oleh ibu dan ayah angkat tadi. Namun faktor paling penting ialah; kondisi kehidupa psikis ibu angkatnya. Sebab,sejak anak itu dipungut oleh wanita tersebut, pengaruh wanita inilah merupakan faktor tunggal yang akan membentuk ciri-ciri- fisik dalam kondisi psikis anak pungut tersebut.
Untuk memahami ibu-ibu angkat tersebut sebagai idividu ataupun sebagai tipe Wanita, marilah kita pelajari dua faktor yang terdapat pada wanita tersebut,yaitu:
1) Kapasitas-kapasitas keibuan/maternal wanita ini dalam relasinya dengan anak pungutnya.
2) Motivasi-motivasi tertentu yang mendorong wanita tersebut memmungut seorang bayi, anak seorang wanita lain; baik hati dikenal mupun yang tidak dikenalnya. Khususnya diperhatikan. khususnya diperhatikan motivasi-motivasi emosionalnya ( jadi tidak hanya melihat motivasi rasional saja ).
Jika keinginan seorang wanita untuk menjadi ibu itu tidak terkabul, karena ia mandul dan tidak bisa melahirkan seorang bayi, lalu memungut beberapa orang anak, maka timbullah pertanyaan : apakah sebabnya sampai wanita ini tidak bisa melahirkan seorang anak?
Mengakibatkan seorang wanita menjadi steril ; antara lain ialah :
a) Ketakutan sendiri untuk menjalani fungsi-fungsi biologisnya.
b) Mau mengeksploitir kepuasan-kepuasan seksual saja, tanpa bersedia menanggung resiko punya anak.
c) Tipe wanita anrogynus yang mengingkari tugas-tugas reproduktif, dan ingin mengkrir seorang bayi menurut konsepsi dan fantasi sendiri.
d) Kecenderungan-kecenderungan homoseksualitas atau lesbian.
e) Fantasi-fantasi parthenogenetis yang ingin melahirkan seorang bayi tanpa pertolongan atau lantaran seorang pria.
f) Ketegangan-ketegangan batin yang neurotis sifatnya; dan lain-lain.
Semua alasan tersebut diatas dapat memberikan dorongan kepada ibu-ibu steril itu untuk melakukan adopsi terhadap seorang bayi atau seorang anak.
B. Motivasi pendorong untuk upaya adopsi
Mengenai motivasi yang menjadi pendorong bagi upaya adopsi itu juga sangat bervariasi, sebanyak pikiran dan perasaan manusia. Misalnya saja, seorang perawan tua yang merasa terpaksa memungut seorang anak, karena anak tersaebut membutuhkan seorang ibu-pengganti akan mempunyai alasan yang berbeda dengan seorang isteri yang mandul namun ingin melaksanakan fungsi keibuannya secara instinktif dengan memungut seoarang bayi. Motivasi seorang bibi yang harus mengadopsi kemenakannya, karena ia adalah satu-satunya keluarga yang masih ada, akan berbeda dengan motivasi seorang wanita kaya namun tidak beranak, dan ingin memungut anak sebanyak mungkin untuk menunjukkan martabat kekayaannya; dan saeterusnya.
Memang, proporsi paling besar(jumlah paling banyak) keluarga yang memungut anak ialah : pasangan-pasangan yang kawin, namun tetap steril keadaanya. Oleh karena itu “psikologi dari ibu-ibu angkat” ini sebagian besar oleh :
e) Motif-motif psikologis kemandulan atau sterilitasnya, dan
f) Reaksi psikisnya terhadap kemandulan dirinya.
Motif-motif psikologis itu antara lain:
1) Kecemasan dan ketakutan yang luar biasa besarnya, tapi sering tidak disadari terhadap fungsi reproduktif atau fungsi melahirkan anak. Kecemasan ini lebih dominan daripada keinginan menjadi seorang ibu.
2) Sifat yang sangat infantil, sehingga secra tidak sadar ia merasa tidak mampu memikul tanggung jawab sebagai seorang ibu.
3) Secar emosional dia terlalu dicekam oleh interest-interest dan minat diluar tugas keibuannya; misalnya sangat aktif dibidang ilmu pengetahuan, seni, politik,sosial, dan lain sebagainya.
4) Relasinya dengan suami dianggap begitu indah-syahdu dan memuaskan sehinggan ia merasa takut akan terganggu oleh kehadiran anak-anak mereka. Karena itu, wanita tadi ingin mempertahankan status-quonya, yaitu tidak mau melahirkan bayi.
5) Wanita itu begitu cinta dan menyayang suaminya, sehingga ia tidak sampai hati membebani suaminya dengan tugas-tugas baru sebagai AYAH.
6) Peringatan dan larangan dari ibu si wanita ketika ia masih gadis, kini masih saja jelas terngiang-ngiang sebagai obsesi. Yaitu berupa larangan atrau peringatan yang menyatakan, bahwa hubungan seksual itu adlah tabuh, dan perbuatan dosa. Sehingga wanita itu selalu dicekam oleh perasaan-perasaan berdosa dan kecemasan batin apabila melakukan senggama dengan suaminya. Peristiwa sedemikian ini bisa mengakibatkan: sterilitas dirinya.
7) Wanita yang bersangkutan dihinggapi fantasi-fantasi neurotis; yaitu merasa bahwa kesucian dirinya dilanggaroleh “perbuatan-perbuatan larangan dan dosa” sewaktu melakukan coitus dengan suaminya. Ketegangan-ketegangan batin dan kecemasan yang timbul oleh karenanya justru menstimulir kemandulannya.
8) Wanita yang sangat matriarkhal, dominan, dan suka memerintah. Ia menganggap suaminya sebagai seorang “bayi” yang harus dilindunginya; dan menganggap suaminya tidak kompeten untuk menjadi ” jantan pemacek”
9) Ada kutukan-kutukan herediter tertentu, sehingga menyebabkan kemandulan dirinya.
10) Penyiksaan-diri (terhadap diri sendiri) oleh sifat-sifat yang hypernarsistis, sehingga wanita yang bersangkutan tidak mau mengakui kemandulannya. Dan dengan biaya serta korban apapun juga ia ingin melahirkan seorang bayi; seklalipun dirinya tidak mampu melakukan hal itu (ada semacam obsessi).
Jika seorang wanita sudah sungguh-sungguh berniat untuk mengangkat seorang anak pungut, dan ia mampu mengatasi atau mengalahkan kesepuluh motif psikologis yang dituliskan diatas serta motif-motif neurotis yang tidak disadari lainnya, maka pastilah ia akan bisa menjadi seorang ibu angkat yang baik.
C. Adopsi dapat merangsang kelahiran anak sendiri.
Pada bagian didepan telah kami kemukakan, bahwa kondisi tidak punya anak itu adalah motif paling kuat dan paling banyak untuk usaha adopsi. Khususnya dengan intensi sebagai berikut : kehadiran anak pungut bisa merangsang konstitusi fisik dan psikis seorang ibu untuk melahirkan anakanya sendiri.
Pasa kasus lain, orang tua yang hanya memiliki anak seorang saja biasanya dirambati keinginan besar mau memungut anak untuk dijadikan teman bagi anak sendri. Sekaligus juga menyibukkan ibu yang bersangkutan untuk mengetest secara lebih mantap fungsi keibuannya. Test tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kepastian lebih mantap.
Jika ibu yang memungut seorang anak itu kemudin benar-benar bisa melahirkan anaknya sendiri, maka kondisi ini akan menjadi sangat menguntungkan. Khususnya apabila perbedaan umur dan perbedaab kelamin diantara anak angkat dan anak-anak sendiri itu cukup besar. Sehingga tidak akan banyak terjadi rivalitas dan perkelahian oleh rasa cemburu dan iri hati diantara anak pungut dan anak-anak sendiri.
Namun, walupun banyak mengalami penderitaan setiap wanita normal pada umumnya masih menginginkan hidup berkeluarga. Karena keluarga merupakan arena peluang untuk memainkan fungsi, yaitu:
1. Sebagai Istri dan Teman Hidup (companion)
Mencakup sikap hidup yang mantap, bisa mendampingi suami dalam situasi yang bagaimanapun juga, disertai rasa kasih saying, kecintaan, loyalitas dan kesetiaan pada partner hidupnya. Juga mendorong suami untuk berkarier denan cara-cara yang sehat.
1. Sebagai partner seksual
Mengimplikasikan hal seagai berikut: terdapat hubungan heteroseksual yang memuaskan, tanpa disfungsi (gangguan-gangguan fungsi) seks. Ada relasi seksual yang tidak berlebih-lebihan, tidak hiperseksual, juga tidak kurang. Maka kehidupan seks yang mapan itu terutama disebabkan oleh:
Kehidupan psikis yang stabil, imbang, tanpa konfli-konflik batin yang serius, ada kesediaan untuk memahami partnernya, serta rela berkorban.
2. Sebagai pengatur rumah tangga (home-maker)
Peranan sebagai pengatur rumah tangga cukup berat. Dalam hal ini terdapat relasi-relasi formal dan semacam pembagian-pembagian kerja (devision of labour); dimana suami terutama sekali bertindak sebagai pencari nafkah, dan istri berfungsi sebagai pengurus rumah tangga; tetapi acap kali juga berperan sebagai pencari nafkah. Dalam pengurusan rumah tangga ini yang sangat penting ialah faktor:
Kemampuan membagi-bagi waktu dan tenaga untuk melakukan 1001 macam tugas pekerjaan dirumah, dari subuh dini hari sampai larut malam.
3. Sebagai ibu dari anak-anak dan pendidik
Fungsi sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya bisa dipenhi dengan baik, bila ibu tersebut mampu menciptakan iklim psikis yang gembira-bahagia dan bebas; sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak, dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan, serta penuh kasih-sayang. Dengan begitu anak-anak dan suami akan betah tinggal dirumah. Iklim psikologis penuh kasih-sayang, kesabaran, ketenangan, dan kehangatan itu memberikan semacam vitamin psikolagis yang merangsang pertumbuhan anak-anak menuju pada kedewasaan.
Keluarga memberikan pada wanita arena bermain dan jaminan sekuritas untuk melaksanakan fiungsi-fungsi kewanitaanya. Selanjutnya semakin mantap wanita memainkan pelbagi peranan sosial tersebut diatas, semakin positif dan semakin produktiflah dirinya. Kesuksesan dalam memainkan peranan-peranan tersebut memberikan rasa puas bahagia dan kestabilan jiwa dalam hidupnya. Oleh karena itulah maka status perkawinan tersebut lebih banyak memberikan kesempatan untuk memperkaya kehidupan psikis wanita tersebut, dari pada jika wanita tersebut tidak kawin.
Bahwasanya ada banyak wanita yang sangat menderita dan tidak bahagia dalam perkawinan, sebenarnya bukan disebabkan oleh status perkawinan itu, akan tetapi disebabkan oleh: tidak siap dan kurangnya kemampuan wanita tersebut memainkan beberapa peranan ganda yang berbeda-beda dalam status perkawinan.
Kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan dalam kondisi perkawinan saja, akan tetapi juga berlaku pada setiap kondisi kehidupan manusia. Maka agar wanita mampu melaksanakan macam-macam peranannya, diperlukan: kedewasaan psikis.
Kedewasaan psikis mengandung arti ” memiliki emosi yang stabil, bisa mandiri (zelfstanding,bisa berdiri diatas kaki sendiri), menyadari tanggung jawab, terintegrasi segenap komponen kejiwaan, mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas, produktif-kreatif, dan etis-religius. Melalui kedewasan psikis tersebut akan dicapai kebahagiaan, kestabilan-keseimbangan jiwa dan kebahagian hidupnya.
KESIMPULAN
Keluarga merupakan organisasi paling penting dalam kelompok social. Keluarga juga merupakan matriks (tempat persemaian) bagi pembentukan kepribadian manusia sebab keluarga menyajikan lingkungan social yang total dan lengkap selama tahun pertama, yang perlu sebagai alas dasar bagi pembentukan kepribadian.
Keibuan itu bersangkutan dengan relasi ibu dengan anaknya, sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak si janin ada dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses proses fisiologis berupa masa hamil, kelahiran, periode menyusui dan memelihara si upik atau sibuyung.
Pada dasarnya tugas seorang ibu mencakup memelihara anak, mendidik serta mengasuh anak yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang ibu, selain itu tugas yang lain yang harus dijalankan oleh seorang wnita selain sebagai ibu juga sebagai istri yaitu melayani kebutuhan suami.
Dalam mesyarakat juga dikenal adanya ibu tiri, dimana sudah menjadi imej bahwa seorang ibu tiri itu merupakan sosok yang kejam, jahat dan bersikap tidak adil sehingga orang-orang banyak anak-anak yang tidak menginginkan adanya ibu tiri.
Selain dari ibu tiri ada juga yang disebut dengan ibu angkat, yaitu seorang wanita yang tidak bisa melahirkan seorang anak sehingga dia berkeinginan untuk mengangkat seorang anak dengan mengadopsi. Hal ini dilakukan untuk menghadirkan seorang anak yang dapat memberikan keceriaan dalam keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar