Selasa, 26 Februari 2013

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN MUSKULUSKLETAL PADA PASIEN FRAKTUR TULANG BELAKANG (TORAKAL LUMBAL)



A.    KONSEP MEDIS
1.      Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah. (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala – gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Marilyn, E. Doengoes, 1999).
Fraktur thorakal lumbal adalah fraktur yang mengenai daerah tulang belakang terutama bagian thorakal lumbal. (Mansjoer 2000 : 351)
2.      Etiologi
Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut :
a.   Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras.
b.    Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur.
c.       Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya.
d.  Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang.
e.       Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan “Body Mekanik” yang salah seperti mengangkat benda berat.
3.      Patofisiolog
Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antara korpus vertebra yang saling berdekatan. Diantaranya korpus vertebra mulai dari vertebra sevikalis kedua sampai vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus-discus ini membentuk sendi fibrokartilago yang lentur antara korpus pulposus ditengah dan annulus fibrosus di sekelilingnya. Nucleus pulposus merupakan rongga intervertebralis yang terdiri dari lapisan tulang rawan dalam sifatnya semigelatin, mengandung berkas-berkas serabut kolagen, sel – sel jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan.
Zat-zat ini berfungsi sebagai peredam benturan antara korpus vertebra yang berdekatan, selain itu juga memainkan peranan penting dalam pertukaran cairan antara discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.
Apabila kontuinitas tulang terputus, hal tersebut akan mempengaruhi berbagai bagian struktur yang ada disekelilingnya seperti otot dan pembuluh darah. Akibat yang terjadi sangat tergantung pada berat ringannya fraktur, tipe, dan luas fraktur. Pada umumnya terjadi edema pada jaringan lunak, terjadi perdarahan pada otot dan persendian, ada dislokasi atau pergeseran tulang, ruptur tendon, putus persyarafan, kerusakan pembuluh darah dan perubahan bentuk tulang dan deformitas. Bila terjadi patah tulang, maka sel – sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan kedalaman jaringan lunak disekitar tulang tersebut dan biasanya juga mengalami kerusakan. Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.
4.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekkan deformitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan warna.
a.    Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilasi. Spasme otot yang menyertai fraktur yang merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.   Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas yang bisa diketahui dengan ekstermitas normal.
c.   Terjadi pemendekan tulang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
d.     Saat ekstermitas diperiksa teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e.    Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
5.      Klasifikasi
Fraktur vertebra lumbal dibagi dalam :
a.       Fraktur prosesus tranvensus, dapat terjadi karena trauma langsung atau oleh karena tarikan otot yang melekat pada prosesus tranvesus pada prosesus tranvensus melekat otot yang kuat sehingga dapat terjadi ovalsi bila terjadi fleksi lateral yang dipaksakan pada daerah ini. Fraktur yang terjadi bersifat stabil sehingga pengobatan hanya menghilangkan nyeri dan dilanjutkan dengan fisiotherapi
b.      Fraktur kompresi yang bersifat bagi dari badan vertebra
c.       Fraktur rekan badan vertebra
d.      Dislokasi dan fraktur dislokasi
e.       Trauma jack knife
Jenis fraktur ini terjadi karena trauma fleksi disertai dengan distraksi pada vertebra lumbal jenis ini sering ditemukan pada trauma sabuk pengaman dimana badan terdorong ke depan, sedang bagian lain terfiksasi. Ditemukan adanya robekan pada ligamen longitudinal atau fraktur pada tulang sendiri.
Jenis ini disebut juga fraktur chance (1948) dimana vertebra terbelah melalui prosesus spinosus dan badan vertebra. Mekanisme trauma dan pengobatan fraktur vertebra lumbal pada prinsipnya sama dengan fraktur vertebra torakal. (Rasjad, 1998, hal. 521).
6.      Komplikasi
a.       Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b.      Mal union,
gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
c.       Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d.      Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
e.       Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
f.       Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g.      Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.
h.      Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi.
7.      Pemeriksaan Penunjang
Pada klien dengan trauma tulang belakang, biasanya dilakukan beberapa tes diagnostik untuk menunjang diagnosa medis, yaitu :
1)      Foto Rontgen Spinal, yang memperlihatkan adanya perubahan degeneratif pada tulang belakang, atau tulang intervetebralis atau mengesampingkan kecurigaan patologis lain seperti tumor, osteomielitis.
2)      Elektromiografi, untuk melokalisasi lesi pada tingkat akar syaraf spinal utama yang terkena.
3)      Venogram Epidural, yang dapat dilakukan di mana keakuratan dan miogram terbatas.
4)      Fungsi Lumbal, yang dapat mengkesampingkan kondisi yang berhubungan, infeksi adanya darah.
5)      Tanda Le Seque (tes dengan mengangkat kaki lurus ke atas) untuk mendukung diagnosa awal dari herniasi discus intervertebralis ketika muncul nyeri pada kaki posterior.
6)      CT - Scan yang dapat menunjukkan kanal spinal yang mengecil, adanya protrusi discus intervetebralis.
7)      MRI, termasuk pemeriksaan non invasif yang dapat menunjukkan adanya perubahan tulang dan jaringan lunak dan dapat memperkuat adanya herniasi discus.
Mielogram, hasilnya mungkin normal atau memperlihatkan “penyempitan” dari ruang discus, menentukan lokasi dan ukuran herniasi secara spesifik.
8.      Penatalaksanaan
a.       Pengobatan dan Terapi Medis
·         Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
·         Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
·         Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
·         Bedrest, Fisioterapi
b.      Konservatif
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf.
9.      Pathway


B.     KONSEP KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual. Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpuln data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik, konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien fraktur menurut Brunner and Suddarth, 2002 adalah sebagai berikut :
a.       Data demografi/ identitas klien
Antara lain nama, umur, jenis kelamin, agama, tempat tinggal, pekerjaan, dan alamat klien.
b.      Keluhan utama
Adanya nyeri dan sakit pada daerah punggung
c.       Riwayat kesehatan keluarga
Untuk menentukan hubungan genetik perlu diidentifikasi misalnya adanya predisposisi seperti arthritis, spondilitis ankilosis, gout/ pirai (terdapat pada fraktur psikologis).
d.      Riwayat spiritual
Apakah agama yang dianut, nilai-nilai spiritual dalam keluarga dan bagaimana dalam menjalankannya.
e.       Aktivitas kegiatan sehari-hari
Identifikasi pekerjaan klien dan aktivitasnya sehari-hari, kebiasaan membawa benda-benda berat yang dapat menimbulkan strain otot dan jenis utama lainnya. Orang yang kurang aktivitas mengakibatkan tonus otot menurun. Fraktur atau trauma dapat timbul pada orang yang suka berolah raga dan hockey dapat menimbulkan nyeri sendi pada tangan.
f.       Pemeriksaan fisik
1)      Pengukuran tinggi badan
2)      Pengukuran tanda-tanda vital
3)      Integritas tulang, deformitas tulang belakang
4)      Kelainan bentuk pada dada
5)      Adakah kelainan bunyi pada paru-paru, seperti ronkhi basah atau kering, sonor atau vesikuler, apakah ada dahak atau tidak, bila ada bagaimana warna dan produktivitasnya.
6)      Kardiovaskuler: sirkulasi perifer yaitu frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler, warna kulit dan temperatur kulit.
7)      Abdomen tegang atau lemas, turgor kulit, bising usus, pembesaran hati atau tidak, apakah limpa membesar atau tidak.
8)      Eliminasi: terjadinya perubahan eliminasi fekal dan pola berkemih karena adanya immobilisasi.
9)      Aktivitas adanya keterbatasan gerak pada daerah fraktur
10)  Apakah ada nyeri, kaji kekuatan otot, apakah ada kelainan bentuk tulang dan keadaan tonus otot.
2.      Diagnosa
Diagnosa keperawatan secara teoritis menurut Doengoes, 2000 untuk klien dengan gangguan tulang belakang, yaitu :
a.       Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
b.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.
c.       Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
d.      Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra.
3.      Intervensi
a.       Diagnosa keperawatan I
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik kompresi saraf: spasme otomatis.
Tujuan : Nyeri hilang atau terkonrol
Kriteria hasil :
1.      Klien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol
2.      Klien dapat mengungkapkan yang dapat menghilangkan
3.      Klien dapat mendomenstrasikan penggunaan intervensi terapeutik seperti keterampilan relaksasi, modifikasi perilaku untuk menghilangkan nyeri.
Dx
Intervensi
Rasional
1
1)      Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi, lama serangan, faktor pencetus atau memperberat. Minta klien untuk mendapatkan skala nyeri 1 – 10.
2)      Pertahankan tirah baring selama fase akut. Letakkan klien dalam posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi; posisi telentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10° - 30° atau pada posisi lateral.
3)      Batasi aktivitas selama fase akut sesuai kebutuhan
4)      Letakkan semua kebutuhan, termasuk bel panggil dalam batas yang mudah dijangkau atau diraih klien.
5)      Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
6)      Instruksikan atau anjurkan klien untuk melakukan mekanisme tubuh atau gerakan yang tepat.
7)      kesempatan untuk berbicara atau mendengarkan masalah klien
8)      tempat tidur ortopedik atau letakan papan dibawah kasur atau matras.
9)      Berikan obat sesuai kebutuhan: relakskan otot seperti Diazepam (Valium)
1)      Membantu menentukan intervensi dan memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi.
2)      Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan klien untuk menurunkan penekanan pada bagian tubuh tertentu dan intervertebralis.
3)      Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada struktur sekitar discus intervertebralis yang terkena.
4)      Menurunkan resiko peregangan saat meraih
5)      Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
6)      Menghilangkan stress pada otot dan mencegah trauma lebih lanjut
7)      Berbicara dapat menurunkan strees atau rasa takut selama dalam keadaan sakit dan dirawat
.
8)      Memberikan sokongan dan menurunkan fleksi spinal yang menurunkan spasme
9)      Merelaksasikan otot dan menurunkan nyeri
b.      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri: ketidaknyamanan; spasme otot; kerusakan neuromuscular.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
1. Klien mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan pengobatan individu.
2. Mendemonstrasikan teknik atau perilaku yang mungkin
3. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit atau kompensasi.
Dx
Intervenasi
Rasional
2
1)      Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik.
2)      Catat respon-respon emosi atau perilaku pada immobilisasi, berikan aktivitas yang disesuaikan dengan klien.
3)      klien untuk melaksanakan latihan rentang gerak aktif dan pasif
4)      Anjurkan klien untuk melatih kaki bagian bawah dan lutut
5)      Bantu klien dalam melakukan ambulasi progresif
1)      Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur, aktivitas yang kurang berhati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2)      Immobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsangan. Aktivitas pengalihan dapat membantu dalam memfokuskan perhatian dan meningkatkan koping dengan batasan tersebut.
3)      Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang, memperbaiki mekanika tubuh.
4)      Stimulasi sir vena atau arus balik vena menurunkan keadaan vena yang statis dan kemungkinan terbentuknya trombus.
5)      Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi yang khusus, tapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
c.       Anxietas/ koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi; perubahan status kesehatan; ketidakadekuatan mekanisme koping.
Tujuan : Adaptasi klien efektif
Kriteria hasil :
1. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang pada tingkat dapat diatasi.
2. Mengidentifikasi ketidakefektifan perilaku koping
3. Mendemonstrasikan pemecahan masalah
Dx
Intervensi
Rasional
3
1)      Kaji tingkat anxietas pasien.
2)      Berikan informasi yang akurat dan jawab dengan jujur
3)      Berikan pasien untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya
4)      Kaji adanya masalah sekunder yang mungkin merintangi keinginan untuk sembuh.
5)      Cara perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran sakit.
6)       Rujuk pada kelompok pelayanan sosial, konselor finansial, psikoterapi dan sebagainya.
1)      Membantu mengidentifikasi dalam keadaan sekarang.
2)      Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan atas pengetahuan.
3)      Meningkatkan koping yang sedang dihadapi
4)      Memberikan perhatian terhadap klien, tanggung jawab untuk meningkatkan penyembuhan.
5)      Orang terdekat keluarga secara tanpa sadar memungkinkan untuk mempertahankan sesuatu yang dapat klien lakukan.
6)      Memberikan dukungan untuk beradaptasi pada perubahan dan memberikan sumber – sumber untuk mengatasi masalah.
d.      Retensi urinarius berhubungan dengan cedera vertebra
Tujuan : Setelah dilakukan tindak keperawatan retensi urinarius teratasi.
Kriteria hasil : Mengosongkan kandung kemih secara adekuat sesuai kebutuhan individu.
Dx
Intervensi
Rasional
4
1)      Observasi dan catat jumlah frekuensi berkemih
1)      Menentukan apakah kandung kemih dikosongkan dan saat kapan intervensi itu diperlukan.
2)      Lakukan palpasi terhadap adanya distensi kandung kemih
2)      Menandakan adanya retensi urine
3)      Tingkat pemberian cairan
3)      Mempertahankan fungsi ginjal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar