Senin, 04 Maret 2013

penyakit rabies



A. PENDAHULUAN
i. Definisi / klasfikasi
Rabies adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus rabies merupakan prototipe dari genus ini. (1,2,3,4) Sejarah penemuan rabies bermula 2000 tahun SM ketika Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan. Ketika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada tahun 1885, Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut, menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut tidak menderita rabies. (5)
ii. Epidemiologi / angka kejadian
Data mengenai rabies yang dapat dipercaya di berbagai daerah tidak merata, menyebabkan kesulitan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kesehatan manusia dan pada hewan. WHO kembali melakukan penghitungan jumlah kasus rabies pada tahun 2004 dan berdasarkan data ini, jumlah kematian di seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran angka 55000 jiwa, terbanyak di daerah pedesaan Afrika dan Asia. Sedangkan jumlah orang yang mendapatkan perawatan setelah terjadi kontak dengan hewan suspek rabies mencapai angka 10 juta orang setiap tahun. Di Amerika Serikat, kasus rabies di berbagai daerah bergantung pada program pengendalian dan imunisasi hewan. Jumlah kematian terbesar di negara ini terjadi pada awal pertengahan abad ke-20, dengan jumlah rata-rata 50 kasus per tahun. Kebanyakan dikarenakan oleh gigitan anjing. (3,9)

B. PATOPISIOLOGI / PATHOGENESIS
Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir semuanya akibat gigitan hewan yang mengandung virus dalam salivanya. Kulit yang utuh tidak dapat terinfeksi oleh rabies akan tetapi jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit tidak utuh atau terluka. (1,10) Virus juga dapat masuk melalui selaput mukosa yang utuh, misalnya selaput konjungtiva mata, mulut, anus, alat genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum pernah dikonfirmasi sedangkan infeksi melalui inhalasi jarang ditemukan pada manusia. Hanya ditemukan 3 kasus yang infeksi terjadi melalui inhalasi ini. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus rabies akan menghindari penghancuran oleh sistem imunitas tubuh melalui pengikatannya pada sistem saraf. Setelah inokulasi, virus ini memasuki saraf perifer. Masa inkubasi yang panjang menunjukkan jarak virus pada saraf perifer tersebut dengan sistem saraf pusat. Amplifikasi terjadi hingga nukleokapsid yang kosong masuk ke myoneural junction dan memasuki akson motorik dan sensorik. Pada tahap ini, terapi pencegahan sudah tidak berguna lagi dan perjalanan penyakit menjadi fatal dengan mortalitas 100 %. (1,3) Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron – neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. (1) Khusus mengenai infeksi sistem limbik, sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi pengontrolan sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbik ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar. (1)

C. ETIOLOGI / PENYEBAB
Berbagai jenis hewan dapat menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak adalah oleh hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. Anjing, kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi. (6,7,8) Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, virus rabies termasuk dalam famili rhabdovirus, bersifat neurotrop, yang besarnya 100 x 140 nanometer. Inti virus rabies terdiri dari asam nukleat RNA saja, yang bersifat genetik. Inti ini dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut capsid. Kombinasi inti dan kapsomer yang terdiri satuan molekul protein disebut nukleokapsid, di luarnya terdapat envelope yang pada permukaannya terdapat spikula (spikes). Nukleokapsid berbentuk kumparan heliks dari inti kompleks ribonukleoprotein yang dibentuk oleh gen virus rabies, berupa sebuah rantai tunggal RNA tak bersegmen, sebuah nukleoprotein, sebuah fosfoprotein, dan RNA dependen RNA polimerase. Envelope virus terdiri dari sebuah membran yang terbuat dari lipid host dan 2 jenis protein yaitu G dan M, lipid ini dapat dilarutkan dengan eter, sehingga virus rabies itu dengan mudah sekali diinaktivasi dengan lipid solvent. Envelope virus menentukan virulensi sedangkan RNA dan nukleokapsidnya sendiri tidak infectious. (1,4)

D. GAMBARAN KLINIS
Pada Hewan Kriteria tersangka rabies adalah sebagai berikut :
1. Anjing atau hewan yang menggigit terbukti secara laboraotrium adalah positif menderita rabies.
2. Anjing atau hewan yang menggigit mati dalam waktu 5 – 10 hari.
3. Anjing atau hewan yang menggigit menghilang atau terbunuh.
4. Anjing atau hewan yang menggigit mempunyai gejala-gejala rabies. (2) Setelah virus rabies memasuki tubuh hewan, virus ini akan berjalan ke otak melalui saraf perifer. Anjing, kucing, dan kelinci mungkin dapat menunjukkan berbagai gejala, termasuk ketakutan, agresif, air liur yang berlebih, sulit menelan, sempoyongan, dan kejang. Hewan liar dengan rabies mungkin hanya menunjukkan prilaku yang tidak biasanya misalnya seekor hewan yang biasanya terlihat di malam hari mungkin dapat ditemukan berkeliaran di siang hari. Sebagai tambahan, gejala ini dapat terlihat pada anjing, kucing, kuda, ternak, domba, dan kambing dengan rabies mungkin menunjukkan depresi, atau peningkatan sensitivitas pada cahaya. (7).
Pada Manusia Ketika seseorang pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8 minggu, lebih lama daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah ditemukan masa inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan waktu sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin dekat dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik). (1,3,5) Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal. (2,3,5,13) Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak dan gejalanya dapat berupa : (1,2,3)
1. Bentuk spastik (furious rabies): peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi otot farings dan esofagus, kejang, aerofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma, dan hidrofobia. Yang sangat terkenal adalah hidrofobia di mana bila pasien diberikan segelas air minum, pasien akan menerimanya karena ia sangat haus, dan mencoba meminumnya. Akan tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme hebat otot-otot faring. Dengan demikian, ia menjadi takut dengan air sehingga mendengar suara percikan air kran atau bahkan mendengar perkataan air saja, sudah menyebabkan kontraksi hebat otot-otot tenggorok. Spasme otot-otot faring maupun pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti meniupkan udara ke wajah pasien atau menyinari matanya. Pasien akan meninggal dalam 3 – 5 hari setelah mengalami gejala-gejala ini.
2. Bentuk demensia.
3. Kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat melakukan tindakan kekerasan, koma, mati.
4. Bentuk paralitik (dumb rabies) : Pada bentuk ini pasien tampak lebih diam daripada tipe furious. Gejala yang dapat muncul pada bentuk ini adalah demam dan rigiditas. Paralisis yang terjadi bersifat simetrik dan mungkin menyeluruh atau bersifat ascending sehingga dapat dikelirukan dengan Guillain-Barre Syndrome. Sistem sensoris biasanya masih normal.

E. DIAGNOSA
i. Anamnesis
- kontak/jilatan/gigitan
-kejadian di daerah tertular/terancam/bebas
-didahului tindakan provokatif/tidak
-hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies
-hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies
- penderita luka gigitan pernah di VAR, kapan ? hewan yang menggigit pernah di VAR, kapan ?
ii. Pemeriksaan fisik
- identifikasi luka gigitan (status lokalis)
iii. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm3) dan penurunan hemoglobin serta hemtokrit.
2. Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
3. Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu setelah onset.
4. Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa Negri bodies (badan inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
5. Serologi : Dengan mendeteksi RNA virus dari saliva pasien dengan menggunakan polymerase chain reactions (PCR).
6. Cairan serebrospinal : dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal. (1,2,3)

F. PENATALAKSANAAN
i. Medis
Prinsip penanganan rabies adalah dengan menghilangkan virus bebas dari tubuh dengan pembersihan dan netralisasi, yang diikuti dengan penginduksian sistem imun spesifik terhadap virus rabies pada orang yang terpajan sebelum virusnya bereplikasi di susunan saraf pusat. Hal ini membutuhkan vaksinasi aktif maupun pasif. Pada vaksinasi pasif, imunoglobulin rabies dari orang yang telah divaksinasi sebelumnya (Human Rabies Immune Globulin), diberikan kepada pasien yang belum memiliki imunitas sama sekali. Sehingga dalam hal ini vaksinasi pasif disebut pula serum anti rabies.
ii. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian mengenai:
6.       Status Pernafasan
-          Peningkatan tingkat pernapasan
-          Takikardi
-          Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
-          Menggigil
7.       Status Nutrisi
-          kesulitan dalam menelan makanan
-          berapa berat badan pasien
-          mual dan muntah
-          porsi makanan dihabiskan
-          status gizi
8.       Status Neurosensori
-          Adanya tanda-tanda inflamasi
9.       Keamanan
-          Kejang
-          Kelemahan
10.   Integritas Ego
-    Klien merasa cemas
-    Klien kurang paham tentang penyakitnya
  Pengkajian Fisik Neurologik :
9.       Tanda – tanda vital:
   Suhu
    Pernapasan
   Denyut jantung
   Tekanan darah
   Tekanan nadi
10.   Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
   menonjol, rata, cekung
   Bentuk Umum Kepala
11.   Reaksi pupil
   Ukuran
    Reaksi terhadap cahaya
   Kesamaan respon
12.   Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
   respon terhadap panggilan
   Iritabilitas
   Letargi dan rasa mengantuk
    Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
13.   Afek
   Alam perasaan
   Labilitas
14.   Aktivitas kejang
   Jenis
   Lamanya
15.   Fungsi sensoris
   Reaksi terhadap nyeri
   Reaksi terhadap suhu
16.   Refleks
   Refleks tendo superficial
   Reflek patologi
b.      Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnose yang pada penyakit rabies yaitu:
1.       Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
2.       Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan
3.       Demam berhubungan dengan viremia
4.       Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi
5.       Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
6.       Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
Intervensi
No. Dx. Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1.       Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil :
-    pasien bernafas,tanpa ada gangguan.
-    pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas
-    respirasi normal (16-20 X/menit)
            intervensi:
a.       Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.
R//: Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien.
b.       Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2.
R//: O2 membantu pasien dalam bernafas.
c.       Beri posisi yang nyaman.
R//: Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas.
2.       Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
-    pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi:
a.       Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
R//: Untuk menetapkan cara mengatasinya.
b.       Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
R//:  Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien
c.       Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
R//: Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan
                         makanan.
d.       Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
R//: Untuk menghindari mual.
e.       Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
R//: Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
f.        Kaloboras pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
R//: Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan muntah dan diharapkan nutrisi pasien meningkat.
g.       Ukur berat badan pasien setiap minggu.
R//: Untuk mengetahui status gizi pasien
3.       Demam berhubungan dengan viremia Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam pasien teratasi, dengan criteria hasil :
-          Suhu tubuh normal (36 – 370C).
-          Pasien bebas dari demam.
Intervensi:
a.       Kaji saat timbulnya demam
R//: Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
b.       Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam
R//: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c.       Berikan kompres hangat
R//: Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat
                        Penurunan suhu badan.
d.       Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
R//: Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
4.       Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan kriteria hasil :
-          Melaporkan cemas berkurang sampai hilang
-          Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien
-          Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien.
Intervensi:
a.       Kaji tingkat kecemasan keluarga.
R//: Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara apa yang akan
                           digunakan.
b.       Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.
R//: Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi kecema-
                          san keluarga.
c.       Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien.
R//: Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga
                          Pasien.
5.       Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera,dengan kriteria hasil :
-          Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
-          klien tidur dengan tempat tidur pengaman
-          Tidak terjadi serangan kejang ulang.
-          Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit.
-          Kesadaran composmentis
Intervensi:
a.       Identifikasi dan hindari faktor pencetus
R//: Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus.
b.       Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan nyaman.
R//: Tempat yang nyaman  dan tenang dapat mengurangi stimuli atau ransa-
ngan yang dapat menimbulkan kejang.
c.       Anjurkan klien istirahat
R//: Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.
d.       Lindungi klien pada saat kejang dengan :
- longgarakn pakaian
- posisi miring ke satu sisi
- jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya
- kencangkan pengaman tempat tidur
- lakukan suction bila banyak secret
R//: Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.
e.       Catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul.
R//: Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan berikutnya,
f.        sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari kejang.
R//: Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan penyakitnya dan
gambaran status umum pasien.
g.       Observasi efek samping dan keefektifan obat.
R//: Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng untuk tindakan
lanjut.
h.       Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung.
R//: Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan dan kelainan irama
jantung.
i.         Kerja sama dengan tim :
- pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi
- pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital)
- pemberian oksigen tambahan
- pemberian cairan parenteral
- pembuatan CT scan
R//: untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat
antikonvulsan baik berupa bolus, syringe pump.
6.       Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka Setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
-          Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor,dubor,tumor,dolor,dan fungsionalasia.
-          TTV dalam batas normal
Intervensi:
a.       Kaji tanda – tanda infeksi
R//: Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi dan untuk menentu-
                          Kan tindakan keperawatan berikutnya.
b.       Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
R//: Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c.       Ajarkan teknik aseptik pada pasien
R//: Meminimalisasi terjadinya infeksi.
d.       Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien.
R//: Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
e.       Lakukan perawatan luka yang steril.
R//: Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi.
c.       Evaluasi
  Dx 1 :
a.       pasien tidak mengalami gangguan dalam bernafas
b.       pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas.
  Dx 2 :
a.       Pasien tidak mengalami gangguan dalam makan dan minum.
b.       Pasien bisa menelan dengan baik
c.       Pasien tidak mengalami penurunan berat badan.
  Dx 3 :
a.       Suhu pasien normal (36-370C)
b.       Pasien tidak mengeluh demam
  Dx 4 :
a.       Keluarga pasien tidak cemas lagi.
b.       Keluarga pasien bisa memahami kondisi pasiendan ikut membantu dalam pemberian pengobatan.
  Dx 5 :
a.       Pasien tidak mengalami cedera.
b.       Pasien tidak mengalami kejang
  Dx 6 :
a.       Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti: kalor,dolor,tumor,dubor,dan fungsionalasia.
b.       Luka pasien terjaga dan terawat.

G. PROGNOSIS
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek (infaust). Tanpa pencegahan, penderita hanya dapat bertahan sekitar 8 hari sedangkan dengan penanganan suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan. (1,2,5,8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar