A. PENDAHULUAN
i. Definisi / klasfikasi
Rabies
adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat
menyerang semua jenis binatang berdarah panas dan manusia. Penyakit ini
ditandai dengan disfungsi hebat susunan saraf pusat dan hampir selalu berakhir
dengan kematian. Rabies merupakan salah satu penyakit menular tertua yang
dikenal di Indonesia. Virus rabies termasuk dalam genus Lyssavirus dan famili
Rhabdoviridae. Genus Lyssavirus sendiri terdiri dari 80 jenis virus dan virus
rabies merupakan prototipe dari genus ini. (1,2,3,4) Sejarah penemuan rabies
bermula 2000 tahun SM ketika Aristoteles menemukan bahwa anjing dapat
menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan. Ketika seorang anak
laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor anjing rabies pada tahun 1885,
Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla spinalis anjing tersebut,
menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas, karena anak tersebut
tidak menderita rabies. (5)
ii. Epidemiologi / angka kejadian
Data mengenai rabies yang dapat dipercaya di berbagai daerah
tidak merata, menyebabkan kesulitan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap
kesehatan manusia dan pada hewan. WHO kembali melakukan penghitungan jumlah
kasus rabies pada tahun 2004 dan berdasarkan data ini, jumlah kematian di
seluruh dunia akibat rabies mencapai kisaran angka 55000 jiwa, terbanyak di
daerah pedesaan Afrika dan Asia. Sedangkan jumlah orang yang mendapatkan
perawatan setelah terjadi kontak dengan hewan suspek rabies mencapai angka 10
juta orang setiap tahun. Di Amerika Serikat, kasus rabies di berbagai daerah
bergantung pada program pengendalian dan imunisasi hewan. Jumlah kematian
terbesar di negara ini terjadi pada awal pertengahan abad ke-20, dengan jumlah
rata-rata 50 kasus per tahun. Kebanyakan dikarenakan oleh gigitan anjing. (3,9)
B. PATOPISIOLOGI / PATHOGENESIS
Infeksi rabies pada manusia boleh
dikatakan hampir semuanya akibat gigitan hewan yang mengandung virus dalam
salivanya. Kulit yang utuh tidak dapat terinfeksi oleh rabies akan tetapi
jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit tidak utuh atau
terluka. (1,10) Virus juga dapat
masuk melalui selaput mukosa yang utuh, misalnya selaput konjungtiva mata,
mulut, anus, alat genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum pernah
dikonfirmasi sedangkan infeksi melalui inhalasi jarang ditemukan pada manusia.
Hanya ditemukan 3 kasus yang infeksi terjadi melalui inhalasi ini. Setelah
masuk ke dalam tubuh, virus rabies akan menghindari penghancuran oleh sistem imunitas
tubuh melalui pengikatannya pada sistem saraf. Setelah inokulasi, virus ini
memasuki saraf perifer. Masa inkubasi yang panjang menunjukkan jarak virus pada
saraf perifer tersebut dengan sistem saraf pusat. Amplifikasi terjadi hingga
nukleokapsid yang kosong masuk ke myoneural junction dan memasuki akson motorik
dan sensorik. Pada tahap ini, terapi pencegahan sudah tidak berguna lagi dan
perjalanan penyakit menjadi fatal dengan mortalitas 100 %. (1,3) Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan memperbanyak diri
dan menyebar ke dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus
terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak. Setelah
memperbanyak diri dalam neuron – neuron sentral, virus kemudian bergerak ke
perifer dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun
otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan
organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah. (1)
Khusus mengenai infeksi sistem limbik, sebagaimana
diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi
pengontrolan sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem
limbik ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar.
(1)
C.
ETIOLOGI / PENYEBAB
Berbagai
jenis hewan dapat menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak adalah oleh
hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. Anjing, kucing,
hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada manusia.
Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi. (6,7,8) Seperti
yang telah dipaparkan sebelumnya, virus rabies termasuk dalam famili
rhabdovirus, bersifat neurotrop, yang besarnya 100 x 140 nanometer. Inti virus
rabies terdiri dari asam nukleat RNA saja, yang bersifat genetik. Inti ini
dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut capsid. Kombinasi inti dan
kapsomer yang terdiri satuan molekul protein disebut nukleokapsid, di luarnya
terdapat envelope yang pada permukaannya terdapat spikula (spikes). Nukleokapsid
berbentuk kumparan heliks dari inti kompleks ribonukleoprotein yang dibentuk
oleh gen virus rabies, berupa sebuah rantai tunggal RNA tak bersegmen, sebuah
nukleoprotein, sebuah fosfoprotein, dan RNA dependen RNA polimerase. Envelope
virus terdiri dari sebuah membran yang terbuat dari lipid host dan 2 jenis
protein yaitu G dan M, lipid ini dapat dilarutkan dengan eter, sehingga virus
rabies itu dengan mudah sekali diinaktivasi dengan lipid solvent. Envelope
virus menentukan virulensi sedangkan RNA dan nukleokapsidnya sendiri tidak
infectious. (1,4)
D. GAMBARAN KLINIS
Pada
Hewan Kriteria tersangka rabies
adalah sebagai berikut :
1.
Anjing atau hewan yang menggigit terbukti secara laboraotrium adalah positif
menderita rabies.
2.
Anjing atau hewan yang menggigit mati dalam waktu 5 – 10 hari.
3.
Anjing atau hewan yang menggigit menghilang atau terbunuh.
4.
Anjing atau hewan yang menggigit mempunyai gejala-gejala rabies. (2)
Setelah virus rabies memasuki tubuh hewan, virus ini akan
berjalan ke otak melalui saraf perifer. Anjing, kucing, dan kelinci mungkin
dapat menunjukkan berbagai gejala, termasuk ketakutan, agresif, air liur yang
berlebih, sulit menelan, sempoyongan, dan kejang. Hewan liar dengan rabies
mungkin hanya menunjukkan prilaku yang tidak biasanya misalnya seekor hewan
yang biasanya terlihat di malam hari mungkin dapat ditemukan berkeliaran di
siang hari. Sebagai tambahan, gejala ini dapat terlihat pada anjing, kucing,
kuda, ternak, domba, dan kambing dengan rabies mungkin menunjukkan depresi,
atau peningkatan sensitivitas pada cahaya. (7).
Pada
Manusia Ketika seseorang pertama kali
digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat terlihat pada otot
rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 – 8 minggu, lebih lama
daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah ditemukan masa
inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang dari 1
tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk
gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan waktu
sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin dekat
dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies
menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini,
pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa – apa (asimptomatik). (1,3,5) Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat.
Stadium prodromal berlangsung 2 – 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul
berupa sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot,
insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi
inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus
pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal.
(2,3,5,13) Setelah melewati stadium prodromal, maka
dimulailah stadium kelainan neurologi yang berlangsung sekitar 2 – 7 hari. Pada
stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak dan gejalanya dapat
berupa : (1,2,3)
1.
Bentuk spastik (furious rabies): peka terhadap rangsangan ringan, kontraksi
otot farings dan esofagus, kejang, aerofobia, kaku kuduk, delirium, semikoma,
dan hidrofobia. Yang sangat terkenal adalah hidrofobia di mana bila pasien
diberikan segelas air minum, pasien akan menerimanya karena ia sangat haus, dan
mencoba meminumnya. Akan tetapi kehendak ini dihalangi oleh spasme hebat
otot-otot faring. Dengan demikian, ia menjadi takut dengan air sehingga
mendengar suara percikan air kran atau bahkan mendengar perkataan air saja,
sudah menyebabkan kontraksi hebat otot-otot tenggorok. Spasme otot-otot faring
maupun pernapasan dapat pula ditimbulkan oleh rangsangan sensorik seperti
meniupkan udara ke wajah pasien atau menyinari matanya. Pasien akan meninggal
dalam 3 – 5 hari setelah mengalami gejala-gejala ini.
2.
Bentuk demensia.
3.
Kepekaan terhadap rangsangan bertambah, gila mendadak, dapat melakukan tindakan
kekerasan, koma, mati.
4.
Bentuk paralitik (dumb rabies) : Pada bentuk ini pasien tampak lebih diam
daripada tipe furious. Gejala yang dapat muncul pada bentuk ini adalah demam
dan rigiditas. Paralisis yang terjadi bersifat simetrik dan mungkin menyeluruh
atau bersifat ascending sehingga dapat dikelirukan dengan Guillain-Barre
Syndrome. Sistem sensoris biasanya masih normal.
E. DIAGNOSA
i. Anamnesis
- kontak/jilatan/gigitan
-kejadian di daerah
tertular/terancam/bebas
-didahului tindakan
provokatif/tidak
-hewan yang menggigit
menunjukkan gejala rabies
-hewan yang menggigit
mati, tapi masih diragukan menderita rabies
- penderita luka gigitan
pernah di VAR, kapan ? hewan yang menggigit pernah di VAR, kapan ?
ii. Pemeriksaan fisik
- identifikasi luka gigitan (status
lokalis)
iii. Pemeriksaan Penunjang
1.
Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm3) dan
penurunan hemoglobin serta hemtokrit.
2.
Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
3.
Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu
setelah onset.
4.
Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa Negri bodies (badan
inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang
divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
5.
Serologi : Dengan mendeteksi RNA virus dari saliva pasien dengan menggunakan
polymerase chain reactions (PCR).
6.
Cairan serebrospinal : dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan
glukosa dalam batas normal. (1,2,3)
F. PENATALAKSANAAN
i. Medis
Prinsip penanganan rabies adalah dengan
menghilangkan virus bebas dari tubuh dengan pembersihan dan netralisasi, yang
diikuti dengan penginduksian sistem imun spesifik terhadap virus rabies pada
orang yang terpajan sebelum virusnya bereplikasi di susunan saraf pusat. Hal
ini membutuhkan vaksinasi aktif maupun pasif. Pada vaksinasi pasif,
imunoglobulin rabies dari orang yang telah divaksinasi sebelumnya (Human Rabies
Immune Globulin), diberikan kepada pasien yang belum memiliki imunitas sama
sekali. Sehingga dalam hal ini vaksinasi pasif disebut pula serum anti rabies.
ii. Asuhan keperawatan
a.
Pengkajian
Pengkajian mengenai:
6. Status Pernafasan
- Peningkatan tingkat pernapasan
- Takikardi
- Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
- Menggigil
7. Status Nutrisi
- kesulitan dalam menelan makanan
- berapa berat badan pasien
- mual dan muntah
- porsi makanan dihabiskan
- status gizi
8. Status Neurosensori
- Adanya tanda-tanda inflamasi
9. Keamanan
- Kejang
- Kelemahan
10. Integritas
Ego
- Klien
merasa cemas
- Klien
kurang paham tentang penyakitnya
Pengkajian
Fisik Neurologik :
9. Tanda – tanda vital:
Suhu
Pernapasan
Denyut
jantung
Tekanan
darah
Tekanan
nadi
10. Hasil
pemeriksaan kepala Fontanel :
menonjol,
rata, cekung
Bentuk
Umum Kepala
11. Reaksi
pupil
Ukuran
Reaksi terhadap cahaya
Kesamaan
respon
12. Tingkat
kesadaran Kewaspadaan :
respon
terhadap panggilan
Iritabilitas
Letargi
dan rasa mengantuk
Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
13. Afek
Alam
perasaan
Labilitas
14. Aktivitas
kejang
Jenis
Lamanya
15. Fungsi
sensoris
Reaksi
terhadap nyeri
Reaksi
terhadap suhu
16. Refleks
Refleks tendo superficial
Reflek patologi
b.
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnose yang pada penyakit
rabies yaitu:
1. Gangguan pola nafas berhubungan
dengan afiksia
2. Gangguan pola nutrisi berhubungan
dengan penurunan refleks menelan
3. Demam berhubungan dengan viremia
4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang
terpajan informasi
5. Resiko cedera berhubungan dengan
kejang dan kelemahan
6. Resiko infeksi berhubungan dengan
luka terbuka
Intervensi
No. Dx. Keperawatan Tujuan dan
kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Gangguan pola nafas berhubungan
dengan afiksia Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien
bernafas tanpa ada gangguan, dengan kriteria hasil :
-
pasien bernafas,tanpa ada gangguan.
-
pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas
-
respirasi normal (16-20 X/menit)
intervensi:
a. Obsevasi tanda-tanda vital pasien
terutama respirasi.
R//: Tanda
vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien.
b. Beri pasien alat bantu pernafasan
seperti O2.
R//: O2
membantu pasien dalam bernafas.
c. Beri posisi yang nyaman.
R//:
Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas.
2. Gangguan pola nutrisi berhubungn
dengan penurunan refleks menelan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil :
-
pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan
/dibutuhkan.
Intervensi:
a. Kaji keluhan mual, sakit menelan,
dan muntah yang dialami pasien.
R//: Untuk
menetapkan cara mengatasinya.
b. Kaji cara / bagaimana makanan
dihidangkan.
R//: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan pasien
c. Berikan makanan yang mudah ditelan
seperti bubur.
R//:
Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan
makanan.
d.
Berikan makanan dalam porsi kecil
dan frekuensi sering.
R//:
Untuk menghindari mual.
e.
Catat jumlah / porsi makanan yang
dihabiskan oleh pasien setiap hari.
R//:
Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
f.
Kaloboras pemberian obat-obatan
antiemetik sesuai program dokter.
R//: Antiemetik membantu pasien
mengurangi mual dan muntah dan diharapkan nutrisi pasien meningkat.
g.
Ukur berat badan pasien setiap
minggu.
R//:
Untuk mengetahui status gizi pasien
3.
Demam berhubungan dengan viremia
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam pasien teratasi, dengan
criteria hasil :
- Suhu
tubuh normal (36 – 370C).
-
Pasien bebas dari demam.
Intervensi:
a.
Kaji saat timbulnya demam
R//:
Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
b.
Observasi tanda vital (suhu, nadi,
tensi, pernafasan) setiap 3 jam
R//:
Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c.
Berikan kompres hangat
R//:
Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat
Penurunan suhu badan.
d.
Berikan terapi cairan intravena dan
obat-obatan sesuai program dokter.
R//:
Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
4.
Cemas (keluarga) berhubungan kurang
terpajan informasi tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan
diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien menurun/hilang,dengan kriteria
hasil :
-
Melaporkan cemas berkurang sampai hilang
-
Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien
-
Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien.
Intervensi:
a.
Kaji tingkat kecemasan keluarga.
R//:
Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara apa yang akan
digunakan.
b.
Jelaskan kepada keluarga tentang
penyakit dan kondisi pasien.
R//:
Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi kecema-
san keluarga.
c.
Berikan dukungan dan support kepada
keluarga pasien.
R//:
Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga
Pasien.
5.
Resiko cedera berhubungan dengan
kejang dan kelemahan Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien
tidak mengalami cedera,dengan kriteria hasil :
-
Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
-
klien tidur dengan tempat tidur pengaman
-
Tidak terjadi serangan kejang ulang.
- Suhu
36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit.
-
Kesadaran composmentis
Intervensi:
a.
Identifikasi dan hindari faktor
pencetus
R//:
Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus.
b.
Tempatkan klien pada tempat tidur
yang memakai pengaman di ruang yang tenang dan nyaman.
R//:
Tempat yang nyaman dan tenang dapat
mengurangi stimuli atau ransa-
ngan
yang dapat menimbulkan kejang.
c.
Anjurkan klien istirahat
R//:
Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.
d.
Lindungi klien pada saat kejang
dengan :
- longgarakn pakaian
- posisi miring ke satu sisi
- jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya
- kencangkan pengaman tempat tidur
- lakukan suction bila banyak secret
R//: Tindakan untuk mengurangi atau
mencegah terjadinya cedera fisik.
e.
Catat penyebab mulainya kejang,
proses berapa lama, adanya sianosis dan inkontinesia, deviasi dari mata dan
gejala-hgejala lainnya yang timbul.
R//:
Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan berikutnya,
f.
sesudah kejang observasi TTV setiap
15-30 menit dan obseervasi keadaan klien sampai benar-benar pulih dari kejang.
R//:
Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan penyakitnya dan
gambaran
status umum pasien.
g.
Observasi efek samping dan
keefektifan obat.
R//:
Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng untuk tindakan
lanjut.
h.
Observasi adanya depresi pernafasan
dan gangguan irama jantung.
R//:
Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan dan kelainan irama
jantung.
i.
Kerja sama dengan tim :
- pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi
- pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital)
- pemberian oksigen tambahan
- pemberian cairan parenteral
- pembuatan CT scan
R//:
untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat
antikonvulsan
baik berupa bolus, syringe pump.
6.
Resiko infeksi berhubungan dengan
luka terbuka Setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak
terjadi tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil:
Kriteria Hasil:
-
Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor,dubor,tumor,dolor,dan
fungsionalasia.
- TTV
dalam batas normal
Intervensi:
a.
Kaji tanda – tanda infeksi
R//:
Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi dan untuk menentu-
Kan tindakan
keperawatan berikutnya.
b.
Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
R//:
Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c.
Ajarkan teknik aseptik pada pasien
R//:
Meminimalisasi terjadinya infeksi.
d.
Cuci tangan sebelum memberi asuhan
keperawatan ke pasien.
R//:
Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
e.
Lakukan perawatan luka yang steril.
R//:
Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi.
c. Evaluasi
Dx
1 :
a.
pasien tidak mengalami gangguan
dalam bernafas
b.
pasien tidak menggunakan alat bantu
dalam bernafas.
Dx
2 :
a.
Pasien tidak mengalami gangguan
dalam makan dan minum.
b.
Pasien bisa menelan dengan baik
c.
Pasien tidak mengalami penurunan
berat badan.
Dx
3 :
a.
Suhu pasien normal (36-370C)
b.
Pasien tidak mengeluh demam
Dx
4 :
a.
Keluarga pasien tidak cemas lagi.
b.
Keluarga pasien bisa memahami
kondisi pasiendan ikut membantu dalam pemberian pengobatan.
Dx
5 :
a.
Pasien tidak mengalami cedera.
b.
Pasien tidak mengalami kejang
Dx
6 :
a.
Tidak ada tanda – tanda infeksi
seperti: kalor,dolor,tumor,dubor,dan fungsionalasia.
b.
Luka pasien terjaga dan terawat.
G. PROGNOSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar